Anda di halaman 1dari 5

https://makassar.tribunnews.

com/2015/11/1
2/ham-dalam-pelayanan-kesehatan

HAM Dalam Pelayanan Kesehatan


Kamis, 12 November 2015 20:14

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada manusia sejak lahir. Hak tersebut
bukanlah pemberian manusia lain, bukan juga pemberian Negara. Hak-hak tersebut
merupakan karunia Tuhan, dan hanya Tuhan lah yang berhak mencabutnya.
Hal-hal yang asasi adalah segala hal yang memungkinkan seseorang mendapatkan kehidupan
yang layak sebagai manusia, tujuannya adalah keadilan dan kesetaraan dapat dirasakan oleh
semua manusia tanpa terkecuali. UU 39 Tahun 1999 menjelaskan bahwa HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada diri manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Hak
tersebut merupakan anugerah yang wajib dihargai dan dilindungi harkat dan martabat setiap
manusia.
Hak-hak yang melekat tersebut adalah hak dasar seperti hak hidup, hak kemerdekaan, hak
memiliki sesuatau. Pengelompokan hak-hak dasar manusia seperti hak hidup, hak persamaan
dan kebebasan, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, kebebasan berkumpul, hak
beragama, hak ekonomi, hak pelayanan kesehatan, dan hak memperoleh HAM dalam
pelayanan kesehatan.
Deklarasi Universal HAM PBB pada pasal 22 tentang hak jaminan sosial mennyatakan
bahwa setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak atas
terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat
dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama
internasional, dan sesuai dengan pengaturan dan sumber daya setiap negara.
Piagam Majelis Kesehatan Rakyat di Bangladesh pada tahun 2000 menyatakan mendukung
penerapan hak untuk sehat, menuntut pemerintah dan organisasi internasional dipastikan
melaksanakan kebijakan dan menghormati hak untuk sehat, membangun gerakan masyarakat
agar kesehatan dan HAM masuk dalam UU, melawan eksploitasi kebutuhan kesehatan rakyat
untuk mengambil keuntungan.
Dalam UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 4 – 8 menyatakan setiap orang berhak
atas, kesehatan, akses atas sumber daya di bidang kesehatan, pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau. Juga berhak menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang
diperlukan bagi dirinya, lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan, informasi
dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.
Juga berhak atas informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan
yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan Saat ini pemerintah telah
menerbitkan kebijakan terkait pemenuhan hak masyarakat dalam kesehatan yaitu BPJS
Kesehatan & BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS sebagai bentuk jaminan pembiayaan kesehatan warga negara Indonesia, tidak boleh lagi
ada masyarakat yang tidak memperoleh layanan kesehatan karena alasana biaya. BPJS telah
berlaku efektif tahun 2014. Namun faktanya, masih banyak kasus-kasus yang mengabaikan
hak-hak masyarakat dalam pelayanan kesehatan.
Kasus
Di Sulawesi Selatan misalnya. Pernah terjadi kasus seperti Zahrah (pasien hidrocepalus) yang
ditolak oleh rumah sakit. Ada juga Revan Adiyaksa Andi Amir, balita berumur 1 tahun 3
bulan yang meninggal pada 26 Juni 2013. Bayi perempuan Naila Mustari, berusia 2 bulan
sepuluh hari meninggal dunia setelah gagal mendapat perawatan di Rumah Sakit Lasinrang.
Naila meninggal dunia di ruang tunggu loket jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) saat
mengurus administrasi asuransi kesehatan gratis.
Kasus lainnya menimopa Masra Nurhidaya (7 Tahun), warga dusun Bontopannu, Desa
Mattunrung Tellue, Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai, karena orang tuanya tidak
mampu membayar ambulans mayat Masra terpaksa diangkut menggunakan sepeda motor dari
Puskesmas Lappadata ke kampungnya.
Sungguh Ironi, peristiwa seperti ini masih saja terjadi. Ini adalah fakta yang menunjukkan
bahwa pelayanan kesehatan secara adil belum tercapai maksimal. Negara harus
bertanggungjawab sepenuhnya dalam mewujudkan keadilan tersebut dalam hal ini
pemenuhan, perlindungan, dan penegakan HAM dalam pelayanan kesehatan.
Penyedia fasilitas kesehatan seperti puskesmas, klinik, dan rumah sakit harus ditindak tegas
jikalau melakukan-melakukan pelanggaran. Untuk menjawab tantang tersebut adalah dengan
mensinergiskan setiap kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
Kolaborasi lintas sektor sangat dibutuhkan, tentu saja dengan melibatkan masyarakat di
dalamnya. Seluruh stakeholder terkait harus menjadikan momentum hari kesehatan nasional
12 November tahun 2015 untuk mengevaluasi capaian-capaiannya dalam upaya mewujudkan
masyarakan sehat. Pada akhirnya kita berharap masyarakat akan memeroleh layanan
kesehatan yang berkeadilan dengan menjunjung tinggi asas-asas hak asasi manusia. Amin.
Wallahu a’lam bissawab. (*)

Oleh;
Andi Surahman Batara
Dosen FKM UMI-Mahasiswa S3 Kesmas Unhas
Mewujudkan hak asasi manusia di bidang
kesehatan
Oleh Oleh Jajat Sudrajat* Senin, 5 Desember 2011 19:19 WIB

Jakarta (ANTARA News) - Kesehatan merupakan aspek penting dari hak asasi manusia
(HAM), sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) tertanggal 10  November 1948 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak
atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan
keluarganya.
     
Di sisi lain, Konvensi International tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang
ditetapkan PBB pada tahun 1966 juga mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar 
tertinggi yang dapat dicapai dalam kesehatan fisik dan mentalnya.

Sebagai hak asasi manusia, maka hak kesehatan adalah hak yang melekat pada seseorang
karena kelahirannya sebagai manusia, bukan karena pemberian seseorang atau negara, dan
oleh sebab itu tentu saja tidak dapat dicabut dan dilanggar oleh siapa pun.

Sehat itu sendiri tidak hanya sekadar bebas dari penyakit, tetapi adalah kondisi sejahtera dari
badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara ekonomis.
Maka, sesuai dengan norma HAM, negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi,
dan memenuhi hak-hak asasi kesehatan tersebut.    

Kewajiban menghormati hak-hak asasi itu, antara lain dilakukan dengan cara  menciptakan
persamaan akses pelayanan kesehatan, mencegah tindakan-tindakan yang dapat menurunkan
status kesehatan masyarakat, melakukan langka-langkah legislasi yang dapat menjamin
perlindungan kesehatan masyarakat, dan membuat kebijakan kesehatan, serta  menyediakan
anggaran dan jasa-jasa pelayanan kesehatan yang layak dan memadai untuk seluruh
masyarakat.

Hak atas kesehatan ini bermakna bahwa pemerintah harus menciptakan kondisi yang
memungkinkan setiap individu untuk hidup sehat, dan ini berarti pemerintah harus
menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang memadai dan pelayanan kesehatan yang
terjangkau untuk semua.
 
Pelayanan kesehatan dimaksud meliputi akses terhadap jasa pelayanan kesehatan dan
perawatan kesehatan yang penting, seperti akses terhadap air bersih, nutrisi, imunisasi,
perumahan yang sehat, sanitasi, lingkungan dan tempat kerja yang sehat, pendidikan, dan
akses terhadap informasi terkait kesehatan.

Dalam upaya pemenuhan kesehatan sebagai hak asasi manusia, maka pemerintah yang
mempunyai tugas dan kewenangan untuk menyejahterakan warga negara mempunyai
kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut.

Aspek kesehatan ini harus dijadikan pertimbangan penting dalam setiap kebijakan
pembangunan. Salah satu bentuk implementasinya adalah kewajiban pemerintah untuk
menyediakan anggaran memadai untuk pembangunan kesehatan yang melibatkan masyarakat
luas.

Program Imunisasi Nasional

 Sementara itu dasar hukum konstitusi,  yakni Pasal 28 UUD 1945 dan  UU No. 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah, dikaitkan dengan PP No. 65/2005 tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota dan PP No. 38/2007
tentang Pembagian Urusan Bidang Kesehatan menempatkan imunisasi sebagai urusan
bersama Pusat-Daerah dalam komponen utama layanan pencegahan dan pemberantasan
penyakit.

 Dalam konteks kesehatan sebagai HAM, pelaksanaan imunisasi sebagai program pemerintah
mencakup dimensi ketersediaan dan kualitas (seperti bahan baku mutu vaksinnya) serta
menjamin aksesibilitas program yang nondiskriminatif hingga ke daerah terpencil sekali pun,
selain juga terjangkau oleh keuangan rakyat yang diwakili Pemda setempat.

Sementara itu, dalam Permenkes No. 741/2008 disebutkan bahwa setiap kabupaten/kota
harus menargetkan cakupan universal imunisasi anak sebanyak seratus prosen, dan
keberhasilan imunisasi merupakan prestasi bersama ketika Kementrian Kesehatan mampu
menyediakan vaksin secara memadai, sementara pemerintah provinsi menyediakan
transportasi dan penyimpanannya, sedangkan pemerintah kabupaten/kota mengurus pelatihan
tenaga kesehatan dan pelaksanaan vaksinasinya.
 
Pada sisi lain, pelaksanaan program imunisasi merupakan kewajiban pemerintah dalam
rangka menyehatkan bangsa, sebagaimana disebutkan pada Pasal 6, 7, dan 8 UU No. 23/1992
tentang Kesehatan yang diaktualkan dengan Perpres No. 7/2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Bidang Kesehatan dan MDG’s (Millenium Development
Goals).

Dengan demikian, hak rakyat bertaut dengan kewajiban pemerintah yang memiliki
konsekuensi hukum. Dalam kaitan ini hak rakyat menyangkut imunisasi publik atau massal
yang dikenal sebagai Program Pengembangan Imunisasi (PPI), seperti imunisasi untuk
mencegah BCG, DPT, polio, hepatitis B, dan Campak.

Peran Bio Farma

Dalam kaitan dengan program imunisasi, pertanyaan yang kemudian muncul adalah,
bagaimana peran PT Bio Farma (Persero)? Sebagai BUMN, kepemilikan Bio Farma 100
persen tetap harus berada di tangan pemerintah. Ini artinya pemerintah maupun Kementerian
Kesehatan tidak akan menjadikan perusahaan ini “go public”, semata-mata dimaksudkan
untuk menjaga tujuan utama Bio Farma, yaitu mendukung program imunisasi nasional.

"Jadi, kita diwajibkan menyuplai seluruh vaksin untuk kepentingan imunisasi dasar sebagai
program nasional," kata M. Rahman Rustan, Corporate Secretary PT Bio Farma (Persero) di
Bandung belum lama ini.

Menurut Rahman, bisnis yang dilakukan Bio Farma berbeda dengan bisnis farmasi pada
umumnya. Kalau perusahaan farmasi memproduksi obat-obatan,  Bio Farma memproduksi
vaksin untuk mencegah penyakit, yaitu vaksin yang termasuk program PPI (BCG, Polio,
Campak, DPT, dan Hepatitis B) dan bukan untuk kepentingan mengobati.

Tugas utama Bio Farma adalah mendukung program imunisasi nasional yang dilakukan
pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. Dengan begitu, vaksin untuk kepentingan
imunisasi-imunisasi dasar di seluruh Puskesmas di Tanah Air diproduksi oleh Bio Farma.

"Kalau nanti sahamnya milik swasta, maka pemegang saham bisa menentukan agar Bio
Farma memproduksi vaksin-vaksin lain. Ini yang harus kita jaga agar jangan sampai Bio
Farma mengabaikan progam imunisasi nasional," kata Rahman sambil menambahkan bahwa
Bio Farma menyuplai vaksin untuk program imunisasi nasional dengan target sebanyak lima
juta bayi per tahun dan 27,6 juta anak usia sekolah per tahun serta 15 juta wanita usia subur
per tahun.

Bio Farma merupakan  salah satu di antara 200 produsen vaksin di dunia, dan perusahaan itu
merupakan salah satu dari 30 produsen vaksin di dunia yang telah mendapatkan
Prakualifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO Praqualification). Sejak memiliki
Prakualifikasi WHO inilah Bio Farma mulai melakukan ekspansi pada tahun 1997 dengan
mengirimkan produk-produknya ke pasar internasional. Saat ini perusahaan itu telah
mengekspor vaksin ke 130 negara di berbagai belahan dunia.

Dengan demikian, peranan Bio Farma sebagai penyedia vaksin untuk pemenuhan program
imunisasi nasional merupakan pilar penegakan HAM di bidang kesehatansehingga setiap
warga negara di Tanah Air mempunyai kehidupan yang layak dan sehat sebagaimana
diamanatkan oleh Deklarasi HAM Perserikatan Bangsa Bangsa.

*Penulis, karyawan Bagian Produksi Vaksin Polio PT Bio Farma (Persero) Bandung sejak
1994.
https://www.antaranews.com/berita/287778/mewujudkan-hak-asasi-manusia-di-bidang-kesehatan

Anda mungkin juga menyukai