Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

TUBERKULOSIS PADA ANAK

Oleh:
Amalia Chairunnisa, S.Ked
712019058

Pembimbing:
dr. Liza Chairani, Sp.A, M. Kes
 

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Referat berjudul
TUBERKULOSIS PADA ANAK

Dipersiapkan dan disusun oleh


Amalia Chairunnisa, S.Ked
712019058

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Juni 2020


Dosen Pembimbing

dr. Liza Chairani, Sp.A., M.Kes


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah swt, zat Yang Maha Kuasa dengan segala
keindahan-Nya, zat Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk. 
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Tuberkulosis pada Anak” sebagai salah
satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
Dalam penyelesaian referat ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan dan
arahan maka dari itu kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada
dr. Liza Chairani, Sp.A, M.Kes selaku dosen pembimbing.
Semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis
menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan itu
hanya milik Allah. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.

Palembang, Juni
2020

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................................................
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................
2.1 DEFINISI DAN SEJARAH PERKEMBANGAN PENYAKIT......................................................
2.2 EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO....................................................................................
2.3 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS..................................................................................................
2.4..DIAGNOSIS……………………………………………………………………
8
2.4.1 Manifestasi Klinis…………………………………………………………...8
2.4.2 Pemeriksaan Penunjang……………………………………………………..9
2.5..TATA LAKSANA....…………………………………………………………16...........................
2.5.1 Medikamentosa…………………………………………………………….16
2.5.2 Non-Medikamentosa……………………………………………………….17
2.6 PENCEGAHAN………………………………………………………………18
2.6.1 Vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guerin).................................................................................
2.6.2 Kontrol Infeksi TB…………………………………………………………19
2.6.3 Terapi Isoniazid sebagai Profilaksis............................................................................................
BAB III. KESIMPULAN........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah infeksi menular oleh bakteri basil tahan asam,
Mycobacterium tuberculosis yang tercatat sebagai penyebab kematian manusia
terbanyak sepanjang sejarah mikroba. Kuman ini hidup berdampingan dengan
sejarah perkembangan manusia sejak 150 juta tahun yang lalu. Titik tolak sejarah
perkembangan ilmu TB terjadi pada 24 Maret 1882 saat Hermann Heinrich Robert
Koch berhasil menemukan kuman basil, M. tuberculosis.1 World Health
Organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk di dunia telah terinfeksi
oleh bakteri tersebut, sehingga hal ini menjadi masalah yang harus dihadapi baik
oleh negara berkembang maupun negara maju seiring dengan luasnya infeksi
Human Immunodeficiency Virus dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi.2,3
Jumlah populasi penduduk dunia pada tahun 2016 diperkirakan sebesar 7
miliar jiwa. Perkiraan insidens TB pada anak didunia tahun 2014 berjumlah
1.000.000 anak dengan total insidensi TB keseluruhan 9.000.000 orang. Jumlah
populasi anak <15 tahun adalah 30% dari total 7.126.098.000 penduduk. Angka
kematian karena TB pada anak di dunia adalah sekitar 136.000 anak. 4-6 Jumlah
populasi penduduk di Indonesia pada tahun 2016 berjumlah 261 juta jiwa, dengan
15% dari total populasi penduduk adalah anak berumur <15 tahun.2,3 Peningkatan
angka prevalens penduduk Indonesia dengan diagnosis TB pada tahun 2007 hingga
2013 adalah sebesar 0.4%. Provinsi Banten termasuk dalam lima provinsi dengan
prevalens TB tertinggi di seluruh Indonesia.7 Perkiraan insidens TB pada anak
perempuan dan laki-laki <15 tahun di Indonesia adalah sebesar 28.000 dan 32.000. 3
Peningkatan jumlah kasus TB ini diduga disebabkan oleh beberapa hal, seperti: (1)
diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) program penanggulangan
tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi penduduk,
(6) self treatment, (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8) pelayanan kesehatan yang
kurang memadai.2

1
Organ paru merupakan satu-satunya port d’ entry infeksi kuman TB dalam
tubuh manusia sebelum bermanifestasi ke organ lain dalam tubuh. Tingginya
jumlah anak yang terinfeksi dan sakit TB membuat dokter umum, sebagai pemberi
layanan kesehatan lini pertama, diharapkan mampu mendeteksi, menegakkan
diagnosis, memberikan terapi, dan mencegah infeksi TB. Maka dari itu, tujuan dari
penulisan referat ini adalah untuk penyegaran kembali mengenai definisi dan
sejarah perkembangan penyakit, epidemiologi dan faktor risiko, etiologi dan
patogenesis, diagnosis, tata laksana, dan prognosis penderita TB paru anak, serta
upaya pencegahannya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh M. tuberculosis

yang bersifat menetap seumur hidup.8 Paru merupakan port d’ entry M.

tuberculosis. Tuberkulosis pada anak dikategorikan untuk anak usia 0 – 14 tahun.4


Kasus penderita TB di dunia tahun 1916 – 1917 mencapai angka 400,000
hingga 500,000. Hal ini membuat tentara Jerman dan sekutunya berhati-hati saat
merekrut pasukan untuk melangsungkan Perang Dunia I. Mereka melakukan
rontgen dada untuk menapis penderita TB. WHO Expert Committee on
Tuberculosis dalam Ninth Report 1974 kemudian merekomendasikan pemeriksaan
mikroskopik sputum sebagai penapis dan modalitas diagnosis TB daripada
menggunakan foto toraks dan tes tuberkulin.1

Sejarah pengobatan TB dimulai pada tahun 1859 oleh Herman Brehmer


dengan peresmian sanatorium di desa Silesian Mountain Gobersdorf. Sanatorium
ini menekankan teknik pengobatan dengan tirah baring, perbaikan nutrisi makanan,
berjemur dengan udara terbuka, serta olahraga yang teratur. Terapi lain yang
digunakan adalah melakukan pneumothoraks buatan pada penderita TB. Namun,
hal tersebut mulai ditinggalkan setelah ditemukannya streptomisin oleh Albert
Schatz, dkk. pada tahun 1944. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbaikan
klinis pada 31 pasien yang mendapat terapi streptomisin dari total 50 penderita TB,
namun 12 diantaranya meninggal. Isoniazid dan Rifampisin kemudian ditemukan
pada tahun 1952 dan 1957. Kombinasi ketiga obat ini membawa hasil yang sangat
memuaskan pada penderita TB di dunia dan masih digunakan hingga saat ini.1

2.2 Epidemiologi dan Faktor Risiko


WHO memperkirakan bahwa terdapat 8.6 juta kasus TB pada tahun 2012 yang
13% dari totalnya merupakan pasien dengan HIV positif. Indonesia merupakan
penyumbang kasus baru dan memiliki penduduk terinfeksi TB terbanyak nomor 5
di dunia. Proporsi kasus TB anak di antara seluruh kasus TB di dunia mencapai
angka 6% atau sekitar 530.000 pasien per tahunnya dengan sekitar 8% dari total
kematian yang disebabkan oleh TB.2-4,9
Kumpulan data kasus kejadian TB anak dari tujuh rumah sakit Pusat
Pendidikan Indonesia dari tahun 1998 – 2002 adalah sebanyak 1.086 kasus dengan
angka kematian 0 – 14,1%. Kelompok penderita ditemukan terutama pada rentang
usia 12– 60 bulan (42,9%).10 Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalens TB paru
kelompok usia <5 tahun mencapai 0.6% dan pada kelompok usia 5 - 14 tahun
sebesar 0.3%.7 Angka persentase kasus baru dan kasus kambuh TB pulmonal di
wilayah Asia Tenggara mencapai 85% dengan TB ekstrapulmonal sebesar 15%.6
Penyebab kematian terbanyak disebabkan oleh TB pulmonal yang tidak diobati

(70%) .11 Angka kematian tertinggi pada TB ekstrapulmonal disebabkan oleh TB

diseminata dengan 33% dan meningitis TB dengan 26%.12


Tingginya angka kejadian dan kematian anak yang disebabkan TB dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Faktor yang berperan dalam kejadian TB pada anak dibagi
atas risiko infeksi dan risiko sakit. Faktor risiko infeksi TB pada anak adalah
kontak pasien dengan penderita TB paru BTA positif, (terutama oleh orang tua, dan
jarang oleh anak-anak), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan tidak sehat,
tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara) dengan penderita TB dewasa
aktif. Sedangkan, faktor yang mempengaruhi risiko sakit TB adalah usia dibawah
tahun, lama pajanan, daya tahan anak, tingkat penularan, malnutrisi, dan keadaan
imunosupresi karena HIV, diabetes melitus dan gagal ginjal kronik.2,10

Tabel 1. Risiko Sakit TB pada Anak yang Terinfeksi.2


Risiko Sakit
Umur saat infeksi
TB Diseminata (milier,
Primer (tahun) Tidak Sakit TB Paru
meningitis)
<1 50% 30 – 40% 10 – 20%
1–2 70 – 80% 10 – 20% 2 – 5%
2–5 95% 5% 0.5%
5 – 10 98% 2% <0.5%
>10 80 – 90% 10 – 20% <0.5%

2.3 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Bakteri Mycobacteria masuk dalam golongan famili Mycobactericeae dan ordo
Actinomyceales. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul.13 Bakteri ini bersifat aerobik, basil
tahan asam, bukan merupakan bakteri gram positif atau gram negatif (karena tidak
dapat diwarnai dengan pewarnaan gram). Bakteri ini memiliki dinding lipid yang
tebal (sekitar 60%) yang mengandung asam mikolat sehingga bersifat tahan asam.14
Gambar 1. Kuman Mycobacterium tuberculosis.14

Bakteri ini bertumbuh secara perlahan, dengan doubling time 18 jam sehingga
kultur specimen klinis bakteri harus dilakukan 6 sampai 8 minggu sebelum
diinterpretasi sebagai negatif. Bakteri ini dapat dikultur menggunakan media
Löwenstein-Jensen yang mengandung nutrien (kuning telur) dan pewarna
(malachite green). Pewarna ini berfungsi untuk menghambat normal flora yang
tidak diinginkan pada sampel sputum.14
Mycobacterium bersifat obligat aerobik sehingga hidup di jaringan dengan
kadar oksigen yang tinggi, seperti pada lobus atas paru dan ginjal. Cord factor yang

berkorelasi dengan faktor virulensi organisme ini akan berperan dalam


hipersensitivitas tipe 4. Bakteri berukuran <5m ini akan ditransmisikan dari
individu ke individu lainnya melalui aerosol masuk hingga alveolus. Bakteri akan
masuk dan tinggal didalam sel retikuloendotelial (makrofag) di alveolus. Bakteri
yang tidak mampu dibunuh oleh makrofag akan menginfeksi sel lainnya atau
diseminasi ke organ lainnya. Kuman TB yang berasal dari makrofag yang lisis akan
membentuk lesi yang disebut fokus primer Gohn. Kuman TB yang menyebar
melalui saluran limfe akan menyebabkan inflamasi pada saluran limfe (limfangitis)
dan kelenjar limfe (limfadenitis) perihiler dan atau paratrakeal. Gabungan ketiga
fokus ini disebut kompleks primer. Masa inkubasi ini berlangsung selama 2 – 12
minggu.2,14
Kuman TB dapat menyebar secara limfogen dan hematogen selama masa inkubasi.
Kuman TB cenderung bersarang di organ dengan vaskularisasi yang baik, seperti
apeks paru (fokus Simon), limpa, dan kelenjar limfe. Imunitas seluler terhadap TB
akan terbentuk setelah terbentuk kompleks primer yang ditandai dengan uji
tuberkulin positif. Fokus primer dijaringan paru kemudian mengalami resolusi
sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis kaseosa dan
enkapsulasi. Resolusi pada kelenjar limfe regional tidak akan sempurna. Kuman TB
ini akan menetap hingga bertahun-tahun dan dapat tidak menimbulkan gejala sakit
TB.2
Gambar 2. Perjalanan penyakit tuberkulosis primer.2

Gambar 3. Patogenesis tuberkulosis dengan modifikasi dari dua sumber. 2,14


DIAGNOSIS
Diagnosis definitif pada tuberkulosis adalah membuktikan adanya bakteri M.
tuberculosis dengan metode mikrobiologi, sitopatologi, ataupun histopatologi. Hal
ini tidaklah mudah untuk dibuktikan pada pasien anak. Tantangan diagnosis pasti
pada anak disebabkan oleh dua hal, yaitu kuman paucibacillary dan sulitnya
mendapatkan spesimen, terutama dahak.2
Pendekatan diagnosis yang dapat dilakukan pada TB anak adalah:
 Anamnesis (meliputi riwayat kontak TB dan gejala klinis yang mendukung
TB)
 Pemeriksaan fisis (meliputi antropometri)
 Tes tuberkulin
 Foto toraks
 Konfirmasi bakteri jika memungkinkan
 Investigasi yang relevan terhadap suspek TB pulmonal dan suspek TB
ekstrapulmonal
 Tes HIV.

2.4.1 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat kuman TB bergantung pada 3
faktor, yaitu kuman TB (jumlah dan virulensi), faktor pejamu (usia, kompetensi
imun), dan interaksi keduanya (kompetensi imun dan kerentanan). Manifestasi
sistemik yang ditimbulkan berupa:
 Demam tidak tinggi selama >2 minggu dan/atau berulang tanpa sebab yang
jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dll.), yang dapat
disertai dengan keringat malam.
 Batuk >3 minggu dengan penyebab lain telah disingkirkan.
 Berat badan turun tanpa sebab jelas, atau tidak naik dengan penanganan gizi
yang adekuat
 Anoreksia dengan failure to thrive
 Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Sedangkan, manifestasi spesifik organ yang dapat ditimbulkan adalah:


1. Kelenjar limfe superfisialis – limfadenopati yang multipel, unilateral, tidak
nyeri, tidak hangat, mobile, dan confluence
2. Susunan saraf pusat – meningitis (nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku
kuduk, muntah proyektil, kejang) dan tuberkuloma (proses desak ruang)
3. Sistem skeletal – nyeri, sendi bengkak, range of movement terbatas
4. Mata – Konjungtivitis fliktenularis dan tuberkel koroid
5. Organ lain.

2.4.2 Pemeriksaan Penunjang


2.4.2.1 Uji Tuberkulin
Uji Tuberkulin, Tuberculin Skin Test (TST) merupakan pemeriksaan respon
imun terhadap kuman TB (bukan ada/tidaknya kuman). Pada saat penyuntikan
secara intrakutan akan terjadi indurasi disekitar suntikan karena terjadi vasodilatasi
local, edema, endapan fibrin, dan akumulasi sel inflamasi di daerah suntikan. Uji
tuberkulin memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 75 – 85 % dan 50 – 70%.16
Tuberkulin yang tersedia di Indonesia adalah PPD RT-23 2TU buatan Statens
Serum Institute Denmark, dan PPD dari PT. Biofarma.
1.1 PPD akan disuntikkan secara intrakutan dibagian volar lengan bawah. Reaksi
hipersensitivitas akan memuncak pada 48 sampai 72 jam sehingga pembacaan
dilakukan pada saat ini. Interpretasi reaksi positif uji tuberkulin akan dijelaskan
pada tabel dibawah.

Tabel 2. Nilai cut-off rekasi positif tuberkulin pada anak.17


5 mm 10 mm 15 mm
Anak yang kontak dengan Anak dengan risiko TB Anak dengan tidak ada faktor
penderita TB aktif diseminata risiko
Anak dengan gejala klinis Anak dengan risiko paparan
mengarah TB penderita TB
Anak dengan hasil radiologi
sugestif TB dengan riwayat
TB sebelumnya atau TB aktif
Anak dengan keadaan
imunosupresif (HIV)
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan:
1. Tidak ada infeksi TB
2. Dalam masa inkubasi infeksi TB
3. Anergi.2
Anergi adalah keadaan dimana tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin
karena beberapa keadaan seperti gizi buruk, keganasan, penyakit morbili, pertusis,
varisela, influenza, pemberian vaksinasi dengan vaksin hidup, penggunaan obat-

obatan steroid jangka panjang, dan sitostatik.2

2.4.2.2 Uji Interferon


Modalitas terbaru, QuantiFERON-TB Gold dan T-SPOT.TB, menggunakan
prinsip uji Interferon Gamma Release Assays (IGRA). QuantiFERON
menggunakan protein early secretory antigenic target-6 (ESAT-6) dengan metode
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Sedangkan, T-SPOT menggunakan
protein culture filtrate protein–10 (CFP–10) dengan metode enzyme-linked
immunospot assay (ELISpot). Uji IGRA digunakan untuk mengukur reaksi
pembentukan interferon gamma (IFN-) atau respon imun yang disekresikan oleh
limfosit T dengan antigen spesifik M. tuberculosis yang tidak ditemukan dalam
vaksin BCG atau kebanyakan spesies Mycobacterium non-tuberkulosa (kecuali
Mycobacterium marinum, Mycobacterium kansasii, Mycobacterium szulgai, dan
Mycobacterium flavescens). Sensitivitas dan spesifisitas IGRA adalah 80 – 85%
dan 60 – 80%.16
Beberapa penelitian melaporkan bahwa penggunaan kombinasi ESAT-6 dan
CFP- 10 memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi, 73% dan
93% daripada penggunaan PPD sendiri yang spesifisitasnya 7%. QFT-RD1 sensitif
terhadap infeksi TB, terutama pada pasien dengan hasil pemeriksaan mikroskopis
dan kultur negatif.17 Penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Dr. Soetomo
Surabaya juga menyimpulkan bahwa penggunaan interferon- secreting T-cell
lebih baik untuk mendeteksi adanya infeksi dibandingkan dengan penggunaan TST.
Penelitian ini membuktikan infeksi kuman TB dengan pemeriksaan PCR 16s
rRNA.18,19 Pemeriksaan IGRA lebih spesifik daripada TST, namun keduanya tidak
dapat menentukan diagnosis sakit TB atau infeksi TB. Sehingga, pemeriksaan
IGRA tidak dapat menggantikan TST. WHO menyatakan bahwa pemeriksaan
IGRA juga tidak lebih baik daripada TST (mahal, secara teknis sulit
diimplementasikan, dan hasil yang tidak konklusif terutama pada anak-anak).15

2.4.2.3 Radiologi
Foto toraks yang normal jika disertai klinis dan pemeriksaan penunjang lain
yang mendukung ke arah TB, tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB. Namun,
foto toraks tidak mampu berdiri sendiri, kecuali gambaran TB milier. Foto toraks
yang digunakan adalah gambaran antero-posterior dan lateral. Selain, foto toraks,
dapat dilakukan computed tomography scan untuk mendapatkan gambaran paru
yang lebih jelas. Gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
 Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
 Konsolidasi segmental/lobar
 Kalsifikasi dengan infiltrat
 Atelektasis
 Kavitas
 Efusi pleura

 Tuberkuloma.2

2.4.2.4 Serologi
Pemeriksaan serologi merupakan salah satu modalitas yang sedang
berkembang. Pemeriksaan serologi menggunakan interaksi imun antigen terhadap
antibodi yang spesifik terhadap kuman M. tuberculosis seperti PPD, A60, 38kDa,
lipoarabinomanan dengan sampel yang berasal dari darah, sputum, cairan bronkus,
cairan pleura, dan cairan serebrospinal. Modalitas yang masih terus berkembang
adalah deteksi anti-interferon-gamma autoantibody (anti IFN-), PAP TB,
Mycodot, Immunochromatographic test (ICT), dll. Modalitas serologi ini masih
dalam tahap penelitian dan penggunaan secara rutin untuk diagnosis TB pada anak
belum direkomendasikan di Indonesia.2
Gambar 4.(a) Kompleks primer: fokus Gohn dan kelenjar limfe regional. (b) X-ray
menunjukkan kelenjar hilus dan infiltrat.20

Gambar 5.(a) Ruptur pada fokus yang menyebabkan efusi pleura. (b) X-ray menunjukkan
efusi pleura akibat tuberkulosis (panah). 20

Gambar 6.(a) Konsolidasi lobar. (b) Erosi kelenjar limfe parahilar dengan konsolidasi
paru kiri.20
Gambar 7.(a) Obstruksi bronkus oleh nodus limfe yang menyebabkan atelektasis. (b)
Atelektasis lobus kanan bawah paru.20

2.4.2.5 Mikrobiologi
Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman bakteri dalam
sampel pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang digunakan
terdiri atas pemeriksaan mikroskopis dengan apusan langsung (sebagian besar
negatif) dan pemeriksaan kultur (waktu pembiakan mencapai 6 – 8 minggu).
Spesimen sputum sulit didapatkan sehingga dapat menggunakan spesimen bilas
lambung 3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Pemeriksaan dengan kultur Bactec
hanya membutuhkan 1 – 3 minggu, tapi biaya mahal dan teknologi lebih rumit.2
Modalitas pemeriksaan mikrobiologi terbaru adalah dengan pemeriksaan PCR yang
memiliki senstivitas yang lebih tinggi. Namun, kelemahan pemeriksaan ini terdapat
pada variasi tingkat sensitivitas PCR berbeda pada setiap laboratorium, mudah
terjadi kontaminasi kuman dari pemeriksaan sebelumnya sehungga menyebabkan
keadaan positif palsu, kuman persisten atau dorman dapat menunjukkan hasil
positif, dan biaya pemeriksaan mahal. Pemeriksaan PCR dengan spesimen darah
tidak bermanfaat. Spesimen yang biasa digunakan adalah sputum, bilas lambung,
cairan pleura, atau cairan serebrospinal.2

2.4.2.6 Patologi Anatomi


Spesimen yang dapat digunakan dalam pemeriksaan PA adalah berupa kelenjar
getah bening dan cairan efusi. Hasil pemeriksaan akan menunjukkan gambaran
granuloma dengan area nekrosis kaseosa yang berukuran kecil dengan agregasi sel
epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit, disertai sel datia Langhans dan terkadang
BTA.2,4
2.4.2.7 Skoring TB Indonesia
Tabel 3. Sistem Skoring Diagnosis TB Anak.2
Parameter 0 1 2 3
Laporan keluarga,
BTA (-)/BTA
Tidak jelas -tidak
Kontak TB BTA (+)
jelas/tidak tahu

Positif (10 mm atau 5


Uji Tuberkulin (Mant Negatif - - mm pada
oux) immunokompromis)
Klinis gizi BB/TB <90%, atau
buruk atau
Berat Badan/Keadaan Gizi - BB/TB <70% -
BB/U <80% atau
BB/U<60%
Demam yang tidak diketahui - 2 minggu - -
Batuk kronik - 2 minggu - -
Pembesaran kelenjar limfe koli, 1 cm, lebih dari 1
- - -
aksila, inguinal JGB, tidak nyeri
Pembengkakan Ada
tulang/sendi/panggul/lutut - pembengkakan - -
Gambaran sugestif TB
Foto toraks Normal - -
Catatan:
 Gambaran TB milier atau skrofuloderma didagnosis langsung sebagai TB.
 Gambaran sugestif TB: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa
infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat; atelektasis; tuberkuloma.
 Pada anak dengan reaksi cepat BCG (7 hari pasca imunisasi) harus dievaluasi
dengan sistem skoring TB anak.
 Diagnosis kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor 6.2,4

2.4.2.8 Perkembangan modalitas diagnostik – Xpert MTB/RIF


(Mycobacterium tuberculosis/ Resistance to Rifampicin)
Xpert MTB/RIF merupakan tes yang sepenuhnya didasari oleh automated
real-time DNA yang dapat mendeteksi TB dan resistensi terhadap rifampisin hanya
dalam waktu kurang dari 2 jam dengan menggunakan sampel sputum, cairan bilas
lambung, dan aspirasi nasofaring. WHO merekomendasikan penggunaan Xpert
MTB/RIF sebagai tes diagnostik awal TB paru dan TB ekstrapulmonal
(limfadenopati TB, TB abdomen, meningitis TB atau jaringan lainnya)
menggantikan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan histopatologi.15 Xpert
MTB/RIF (Gene Xpert ®) direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai
modalitas diagnostik awal penderita suspek TB-Multi Drugs Resistance atau TB
dengan HIV. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada spesimen dengan hasil
apusan negatif. Perlu diingat bahwa penggunaan Gene Xpert ® tidak berarti
pemeriksaan mikroskopis tidak dilakukan.21 Gene Xpert ® mulai
diimplementasikan di Indonesia pada tahun 2011 dan terus dikembangkan
penggunaannya untuk skala nasional. Keberhasilan pengobatan TB mencapai angka
90% dan tingkat deteksi kasus baru TB >70% pada tahun 2013.

Gambar 4. Alur diagnosis TB pada Anak.4


2.5 Tatalaksana
Tata laksana TB pada anak secara umum dibagi atas medikamentosa dan non-
medikamentosa. Tata laksana medikamentosa terdiri atas terapi pengobatan dan
profilaksis. Tujuan dilakukan tata laksana adalah untuk:
 menyembuhkan pasien dengan TB;
 mencegah kematian karena sakit TB atau komplikasinya;
 mencegah kambuhnya TB;
 mencegah perkembangan dan transmisi TB resistensi obat;
 menurunkan transmisi TB;
 mencapai semua tujuan dengan toksisitas seminimal mungkin.4,13,15

2.5.1 Medikamentosa
2.5.1.1 Obat anti tuberkulosis (OAT)

Tabel 4. OAT yang digunakan pada anak.4


Dosis
Dosis Harian
Nama Obat maksimal Kerja Obat Efek Samping
(mg/kgBB/hari)
(mg/hari)
Bakterisid & Hepatotoksik, neuritis perifer,
Isoniazid (H) 10 (7 – 15) 300
bakteriostatik hipersensitivitas
Gejala gastrointestinal,
reaksi kulit, hepatitis,
Rifampisin (R) 15 (10 – 20) 600 Bakterisid trombositopenia, cairan
tubuh berwarna oranye
kemerahan
Toksisitas hepar, arthralgia,
Pirazinamid (Z) 35 (30 – 40) - Bakterisid gejala gastrointestinal

Neuritis optik, ketajaman mata


Bakteriostatik/Bak
berkurang, buta
Etambutol (E) 20 (15 – 25) - warna merah dan hijau,
terisid
hipersensitivitas, gejala
gastrointestinal

2.5.1.2 Kortikosteroid
Pada sakit TB yang berat, seperti meningitis TB, obstruksi jalan nafas akibat
limfadenopati TB, TB milier dengan gangguan nafas berat, efusi pleura TB, TB
abdomen dengan asites, dan perikardial TB akan diberikan terapi kortikosteroid.2,15
Dosis inisiasi prednison adalah 2 mg/kgBB/hari, kemudian dinaikkan 4
mg/kgBB/hari pada kasus berat dengan dosis maksimum 60 mg/hari, selama 4
minggu. Dosis obat kemudian diturunkan perlahan dalam 1 – 2 minggu sebelum
dihentikan sepenuhnya.15

2.5.1.3 Piridoksin
Suplementasi piridoksin dengan dosis 5 – 10 mg/hari direkomendasikan pada
pasien TB anak dengan HIV positif dalam pengobatan antiretroviral atau gizi
buruk.15

2.5.2 Non - Medikamentosa


2.5.2.1 Nutrisi dukungan
Semua pasien TB anak selain dengan malnutrisi akut yang berat, membutuhkan
nutrisi dukungan, seperti melanjutkan pemberian ASI hingga umur paling kurang
24 bulan, memastikan asupan makanan sehari-hari mengandung nutrisi yang cukup
dan seimbang. Anak dibawah 6 bulan harus didukung untuk mengoptimalkan
pemberian ASI. Suplementasi nutrisi diberikan kepada ibu yang menyusui bagi
anak dibawah 6 bulan.15

2.5.2.2 Pendekatan PMO (Pengawas Menelan Obat)


Dasar keberhasilan pengobatan dengan OAT adalah keteraturan minum obat.
Keteraturan dinilai baik bila pasien menelan obat sesuai dengan dosis yang telah
ditentukan. Keteraturan dapat mencegah risiko kambuh dan kejadian resistensi.
Pendekatan dengan PMO sebaiknya dilakukan orang tua. Kontrol dilakukan setiap
2 minggu pada fase intesif dan setiap 4 minggu. 2,4 Prognosis terhadap pemulihan
secara utuh dari infeksi TB sangat baik. Sedangkan, tanpa pengobatan yang tepat,
penyakit ini akan terus berkembang dan menyebabkan disabilitas pada pasien
bahkan kematian. Kepatuhan atas konsumsi obat-obatan anti tuberkulosis juga
menentukan prognosis pada pasien. Pengawasan dan dukungan pada pasien untuk
minum obat anti TB merupakan landasan DOTS dan dapat membantu keberhasilan
pengobatan sebesar 85%. Kerjasama antara pasien, keluarga, dan petugas pelayanan
kesehatan yang didukung oleh penyedia jasa kesehatan dan masyarakat sangat
berpengaruh.4
2.5.2.3 Evaluasi pengobatan
Respon terhadap pengobatan dinilai baik jika gejala klinis, nafsu makan, dan
berat badan meningkat. Jika respon tidak baik, maka pasien dirujuk dengan
kemungkinan resistensi obat, terdapat komplikasi, komorbiditas, dll. Pasien anak
dengan BTA positif akan dinilai dahak ulang pada akhir bulan ke-2, ke-5, dan ke-6.
Pemeriksaan radiologi ulang hanya akan dilakukan pada TB milier (1 bulan setelah
pengobatan) dan efusi pleura (2 – 4 minggu setelah pengobatan). Hasil akhir
pengobatan pada pasien TB anak adalah sebagai berikut:4

Tabel 5. Hasil Akhir Pengobatan4


Hasil Pengobatan Definisi
Sembuh Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis (+) pada awal pengobatan
dan (-) pada pemeriksaan bakteriologis dan salah satu pemeriksaan lainnya.

Pengobatan lengkap Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dimana pada salah
satu pemeriksaan sebelum pengobatan berakhir (-) tanpa ada bukti pemeriksaan
bakteriologis kembali.
Gagal Pasien dengan hasil dahak (+) atau kembali (+) 5 bulan setelah pengobatan atau
adanya resistensi OAT.
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau dalam
pengobatan.
Putus berobat Pasien yang tidak memulai pengobatannya atau yang terputus selama 2 bulan
berturut-turut.
Tidak dievaluasi Pasien yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya atau pasien pindah ke
kabupaten/kota lain dan hasil pengobatan akhirnya tidak terdata oleh
kabupaten/kota asalnya.

2.6 Pencegahan
2.6.1 Vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guerin)
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dibiakkan dari Mycobacterium bovis
berulang selama 1 – 3 tahun untuk mendapatkan basil tidak virulen yang masih
mampu menimbulkan imunogenitas. Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi
TB, namun dapat mengurangi risiko terjadi tuberkulosis yang berat. Efek proteksi
akan timbul setelah 8 – 12 minggu pasca imunisasi. Efek proteksi vaksin
berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu mutu vaksin yang digunakan,
lingkungan dengan Mycobacterium atypical atau faktor pejamu.22 M. atypical yang
telah teridentifikasi terdiri atas 50 spesies. Beberapa kuman yang bersifat
patogen terhadap manusia, seperti M. ulcerans, M. intracellulare, M. chelonae, M.
kansasii, M. marinum, M.
fortuitum, M. gordonae, dan M. avium. Infeksi kuman ini meningkat seiring dengan
tingginya angka kejadian HIV/AIDS di dunia.23
Vaksin BCG harus disimpan pada suhu 2 – 8oC (tidak beku) dan tidak boleh
terkena sinar matahari. Vaksin yang telah diencerkan digunakan dalam waktu <8
jam. Vaksin BCG direkomendasikan pada bayi usia <3 bulan. Vaksin BCG
rekombinan dan booster sedang dalam tahap perkembangan.22
BCG memiliki fungsi yang unik dan menguntungkan sehingga baik digunakan
sebagai vektor vaksin (biaya terjangkau, sifatnya stabil dan aman, dapat berperan
sebagai adjuvan, tidak berpengaruh terhadap antibodi maternal, dapat digunakan
peroral, sangat imunogenik, dan mampu bereplikasi didalam makrofag). BCG
diharapkan mampu memberikan imunitas (respon imun humoral dan seluler) yang
awet dengan pemberian dosis tunggal. Namun, BCG gagal melindungi pejamu dari
infeksi TB, terutama pada orang dewasa di negara endemis seperti Indonesia.
Pengembangan rBCG bertujuan untuk mengeksresikan sitokin yang lebih spesifik,
seperti interleukin-2 dan interferon gamma agar dapat memodulasi imun respon
pejamu. Penelitian yang sedang berkembang sekarang ini adalah menemukan
antigen yang bersifat imunodominan dan antigen yang mampu terus terpapar pada
imun tubuh saat terjadi penurunan kadar BCG dalam tubuh. Beberapa antigen yang
digunakan adalah protein HspX dan kompleks Ag85B, serta paparan kembali oleh
antigen ESAT-6 dan CFP-10.24,25

2.6.2 Kontrol Infeksi TB


Kontrol infeksi kuman TB perlu dilakukan untuk mencegah transmisi. Upaya
kontrol ini melibatkan pasien, keluarga, komunitas, lingkungan, fasilitas kesehatan
dan pemerintah. WHO telah mengeluarkan panduan terhadap kontrol infeksi
sebagai pencegahan transmisi kuman TB. Hal yang dapat dilakukan adalah
melibatkan pasien dan komunitas dalam kampanye pencegahan TB,
mensosialisasikan etiket dan kebersihan batuk, menemukan sumber penularan,
melindungi kesehatan petugas, memastikan diagnosis dan inisiasi pengobatan cepat
dan tepat, memperbaiki ventilasi ruangan, serta melakukan pengawasan praktik
kontrol infeksi.2

2.6.3 Terapi Isoniazid sebagai Profilaksis


Terapi profilaksis terhadap infeksi TB diberikan pada anak usia <5 tahun yang
memiliki riwayat kontak dan serumah dengan individu positif dengan TB atau
memiliki riwayat TB yang telah dieksklusi atau tinggal dengan individu dengan
HIV (usia berapapun). Isoniazid diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB/hari (7 – 15
mg/kgBB/hari) selama 6 bulan. Pasien akan kontrol ke petugas kesehatan
setidaknya setiap 2 bulan sekali sampai pengobatan selesai.15
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Tuberkulosis sampai saat ini, masih menjadi masalah utama dalam bidang
kesehatan yang dihadapi khususnya oleh negara berkembang, termasuk Indonesia.
Negara Indonesia merupakan negara endemis TB, sehingga kita perlu memiliki
kecurigaan yang tinggi terhadap infeksi TB saat menghadapi pasien. Berbagai
tindakan pencegahan pun harus dilakukan, salah satunya dengan pemberian vaksin
BCG. Penegakan diagnosis anak dengan TB masih menjadi tantangan besar bagi
dokter umum. Kuman TB menyebar melalui droplets dan masuk ke alveolus.
Kuman ini bersifat paucibacillary dan tinggal dilokasi parenkim yang cukup jauh
dari bronkus. Hal ini mengakibatkan sulitnya mencapai diagnosis pasti dengan
menemukan kuman dalam dahak. Dengan penegakan diagnosis yang dini, maka
penatalaksanaan utama dengan medikamentosa pun dapat diinisiasi sedini mungkin.
Perlu diingat bahwa semua modalitas yang diketahui tidak perlu diaplikasikan pada
seluruh pasien. Penggunaanya harus disesuaikan dengan keadaan dan kondisi
pasien.

3.2 Saran
Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB menyebabkan tingginya biaya
pengobatan yang diperlukan. Oleh karena itu, pencegahan infeksi TB merupakan
salah satu upaya penting yang harus dilakukan. Pencegahan ini dilakukan dengan
pengendalian berbagai faktor resiko infeksi TB.
DAFTAR PUSTAKA

1. Daniel TM. The history of tuberculosis. Res Med Journal. 2006; 100: p. 1862-70.
2. UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasional Tuberkulosis
Anak. 2nd ed, Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, editors. Jakarta:
UKK Respirologi PP IDAI; 2007.
3. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2017 (Report). Geneva:
World Health Organization; 2017.
4. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis
Manajemen dan Tatalaksana TB Anak Asik , Hastuti EB, Yuzwar YE, editors. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2016.
5. Jenkins HE. Global burden of childhood tuberculosis. Pneumonia. 2016; 8: p. 1-7.
6. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2014. Report. Geneva: World
Health Organization; 2014.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2013.
8. Barberis I, Bragazzi NL, Galluzzo L, Martini M. The history of tuberculosis: from the
first historical records to the isolation of Koch's bacillus. J Prev Med Hyg. 2017; 58: p.
E9-E12.
9. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tuberkulosis:
Temukan Obati Sampai Sembuh (Report). Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2016.
10. Kartasasmita CB. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri. 2009; 11: p. 124-9.
11. Tiemersma EW, Werf MJvd, Borgdorff MW, Williams BG, Nagelkerke NJD. Natural
History of Tuberculosis: Duration and Fatality of Untreated Pulmonary Tuberculosis
in HIV Negative Patients: A Systematic Review. PLOS. 201; 6: p. 1-13.
12. Kourbatova EV, Leonard Jr MK, Romero J, Kraft C, Rio Cd, Blumberg HM. Risk
factors for mortality among patients with extrapulmonary tuberculosis at an academic
inner-city hospital in th eus. Eur J Epidemiol. 2006; 21: p. 715-21.
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.
14. Levinson WE. Mycobacterium Tuberculosis. In: Weitz M, Davis KJ, editors. Review
of Medical Microbiology and Immunology. 14th ed. New York: McGraw-Hill
Education; 2016. p. 183-93.
15. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on the
management of tuberculosis in children. 2nd ed. Geneva: WHO Press; 2014. p. 21-50.
16. Dunn JJ, Starke JR, Revell PA. Laboratory Diagnosis of Mycobacterium tuberculosis
Infection and Disease in Children. J Clin Microbiol. 2016; 54: p. 1434-41.
17. Pinxteren LAH, Ravn P, Agger EM, Pollock J, Andersen P. Diagnosis of Tuberculosis
based on the Two Specific Antigens ESAT-6 and CFP10. Clin Diagn Lab Immunol;
2000; 7: p. 155-60.
18. Setyaningtyas A, Iskandar D, Setyaningrum RA, Setiawati L. Comparison of
Tuberculin Skin Test and Interferon Gamma Secreting T-Cell Assay for Detecting
Tuberculosis Infection in Children Exposed to Mycobacterium Tuberculosis at Dr.
Soetomo Hospital Surabaya. Sari Pediatri. 2014; 16: p. 1-7.
19. Lalvani A, Pareek M. Interferon gamma release assays: principles and practice.
Enferm Infecc Microbiol Clin. 2010; 28: p. 245-52.
20. Verghese VP. Diagnosing pulmonary tuberculosis in children. Curr Med Issues. 2017;
15: p. 106-13.
21. World Health Organization. Automated Real-time Nucleic Acid Amplification
Technology for Rapid and Simultaneous Detection of Tuberculosis and Rifampicin
Resistance: Xpert MTB/TIF System (Policy Statement). Geneva: WHO Press; 2011.
22. Rahajoe NN, Kaswandani N. Tuberkulosis. In Ranuh IG, Hadinegoro SRS,
Kartasasmita CB, Ismoedijanto , Soedjatmiko , Gunardi H, et al., editors. Pedoman
Imunisasi di Indonesia. 6th ed. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2017. p. 274-9.
23. Chesney PJ. Nontuberculous Mycobacteria. Peds in Review. 2002; 23: p. 300-9.
24. Triccas JA. Recombinant BCG as a vaccine vehicle to protect against tuberculosis.
Bioengineered. 2010 March; 1: p. 110-5.
25. Oliveira TL, Rizzi C, Dellagostin OA. Recombinant BCG vaccines: molecular
features and their influence in the expression of foreign genes. Appl Microbiol
Biotechnol; 2017. p. 1-13.

Anda mungkin juga menyukai