Oleh:
Amalia Chairunnisa, S.Ked
712019058
Pembimbing:
dr. Liza Chairani, Sp.A, M. Kes
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
Puji Syukur kehadirat Allah swt, zat Yang Maha Kuasa dengan segala
keindahan-Nya, zat Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Tuberkulosis pada Anak” sebagai salah
satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
Dalam penyelesaian referat ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan dan
arahan maka dari itu kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada
dr. Liza Chairani, Sp.A, M.Kes selaku dosen pembimbing.
Semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis
menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan itu
hanya milik Allah. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.
Palembang, Juni
2020
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................................................
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................
2.1 DEFINISI DAN SEJARAH PERKEMBANGAN PENYAKIT......................................................
2.2 EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO....................................................................................
2.3 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS..................................................................................................
2.4..DIAGNOSIS……………………………………………………………………
8
2.4.1 Manifestasi Klinis…………………………………………………………...8
2.4.2 Pemeriksaan Penunjang……………………………………………………..9
2.5..TATA LAKSANA....…………………………………………………………16...........................
2.5.1 Medikamentosa…………………………………………………………….16
2.5.2 Non-Medikamentosa……………………………………………………….17
2.6 PENCEGAHAN………………………………………………………………18
2.6.1 Vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guerin).................................................................................
2.6.2 Kontrol Infeksi TB…………………………………………………………19
2.6.3 Terapi Isoniazid sebagai Profilaksis............................................................................................
BAB III. KESIMPULAN........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah infeksi menular oleh bakteri basil tahan asam,
Mycobacterium tuberculosis yang tercatat sebagai penyebab kematian manusia
terbanyak sepanjang sejarah mikroba. Kuman ini hidup berdampingan dengan
sejarah perkembangan manusia sejak 150 juta tahun yang lalu. Titik tolak sejarah
perkembangan ilmu TB terjadi pada 24 Maret 1882 saat Hermann Heinrich Robert
Koch berhasil menemukan kuman basil, M. tuberculosis.1 World Health
Organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk di dunia telah terinfeksi
oleh bakteri tersebut, sehingga hal ini menjadi masalah yang harus dihadapi baik
oleh negara berkembang maupun negara maju seiring dengan luasnya infeksi
Human Immunodeficiency Virus dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi.2,3
Jumlah populasi penduduk dunia pada tahun 2016 diperkirakan sebesar 7
miliar jiwa. Perkiraan insidens TB pada anak didunia tahun 2014 berjumlah
1.000.000 anak dengan total insidensi TB keseluruhan 9.000.000 orang. Jumlah
populasi anak <15 tahun adalah 30% dari total 7.126.098.000 penduduk. Angka
kematian karena TB pada anak di dunia adalah sekitar 136.000 anak. 4-6 Jumlah
populasi penduduk di Indonesia pada tahun 2016 berjumlah 261 juta jiwa, dengan
15% dari total populasi penduduk adalah anak berumur <15 tahun.2,3 Peningkatan
angka prevalens penduduk Indonesia dengan diagnosis TB pada tahun 2007 hingga
2013 adalah sebesar 0.4%. Provinsi Banten termasuk dalam lima provinsi dengan
prevalens TB tertinggi di seluruh Indonesia.7 Perkiraan insidens TB pada anak
perempuan dan laki-laki <15 tahun di Indonesia adalah sebesar 28.000 dan 32.000. 3
Peningkatan jumlah kasus TB ini diduga disebabkan oleh beberapa hal, seperti: (1)
diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) program penanggulangan
tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi penduduk,
(6) self treatment, (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8) pelayanan kesehatan yang
kurang memadai.2
1
Organ paru merupakan satu-satunya port d’ entry infeksi kuman TB dalam
tubuh manusia sebelum bermanifestasi ke organ lain dalam tubuh. Tingginya
jumlah anak yang terinfeksi dan sakit TB membuat dokter umum, sebagai pemberi
layanan kesehatan lini pertama, diharapkan mampu mendeteksi, menegakkan
diagnosis, memberikan terapi, dan mencegah infeksi TB. Maka dari itu, tujuan dari
penulisan referat ini adalah untuk penyegaran kembali mengenai definisi dan
sejarah perkembangan penyakit, epidemiologi dan faktor risiko, etiologi dan
patogenesis, diagnosis, tata laksana, dan prognosis penderita TB paru anak, serta
upaya pencegahannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bakteri ini bertumbuh secara perlahan, dengan doubling time 18 jam sehingga
kultur specimen klinis bakteri harus dilakukan 6 sampai 8 minggu sebelum
diinterpretasi sebagai negatif. Bakteri ini dapat dikultur menggunakan media
Löwenstein-Jensen yang mengandung nutrien (kuning telur) dan pewarna
(malachite green). Pewarna ini berfungsi untuk menghambat normal flora yang
tidak diinginkan pada sampel sputum.14
Mycobacterium bersifat obligat aerobik sehingga hidup di jaringan dengan
kadar oksigen yang tinggi, seperti pada lobus atas paru dan ginjal. Cord factor yang
2.4.2.3 Radiologi
Foto toraks yang normal jika disertai klinis dan pemeriksaan penunjang lain
yang mendukung ke arah TB, tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB. Namun,
foto toraks tidak mampu berdiri sendiri, kecuali gambaran TB milier. Foto toraks
yang digunakan adalah gambaran antero-posterior dan lateral. Selain, foto toraks,
dapat dilakukan computed tomography scan untuk mendapatkan gambaran paru
yang lebih jelas. Gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
Konsolidasi segmental/lobar
Kalsifikasi dengan infiltrat
Atelektasis
Kavitas
Efusi pleura
Tuberkuloma.2
2.4.2.4 Serologi
Pemeriksaan serologi merupakan salah satu modalitas yang sedang
berkembang. Pemeriksaan serologi menggunakan interaksi imun antigen terhadap
antibodi yang spesifik terhadap kuman M. tuberculosis seperti PPD, A60, 38kDa,
lipoarabinomanan dengan sampel yang berasal dari darah, sputum, cairan bronkus,
cairan pleura, dan cairan serebrospinal. Modalitas yang masih terus berkembang
adalah deteksi anti-interferon-gamma autoantibody (anti IFN-), PAP TB,
Mycodot, Immunochromatographic test (ICT), dll. Modalitas serologi ini masih
dalam tahap penelitian dan penggunaan secara rutin untuk diagnosis TB pada anak
belum direkomendasikan di Indonesia.2
Gambar 4.(a) Kompleks primer: fokus Gohn dan kelenjar limfe regional. (b) X-ray
menunjukkan kelenjar hilus dan infiltrat.20
Gambar 5.(a) Ruptur pada fokus yang menyebabkan efusi pleura. (b) X-ray menunjukkan
efusi pleura akibat tuberkulosis (panah). 20
Gambar 6.(a) Konsolidasi lobar. (b) Erosi kelenjar limfe parahilar dengan konsolidasi
paru kiri.20
Gambar 7.(a) Obstruksi bronkus oleh nodus limfe yang menyebabkan atelektasis. (b)
Atelektasis lobus kanan bawah paru.20
2.4.2.5 Mikrobiologi
Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman bakteri dalam
sampel pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang digunakan
terdiri atas pemeriksaan mikroskopis dengan apusan langsung (sebagian besar
negatif) dan pemeriksaan kultur (waktu pembiakan mencapai 6 – 8 minggu).
Spesimen sputum sulit didapatkan sehingga dapat menggunakan spesimen bilas
lambung 3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Pemeriksaan dengan kultur Bactec
hanya membutuhkan 1 – 3 minggu, tapi biaya mahal dan teknologi lebih rumit.2
Modalitas pemeriksaan mikrobiologi terbaru adalah dengan pemeriksaan PCR yang
memiliki senstivitas yang lebih tinggi. Namun, kelemahan pemeriksaan ini terdapat
pada variasi tingkat sensitivitas PCR berbeda pada setiap laboratorium, mudah
terjadi kontaminasi kuman dari pemeriksaan sebelumnya sehungga menyebabkan
keadaan positif palsu, kuman persisten atau dorman dapat menunjukkan hasil
positif, dan biaya pemeriksaan mahal. Pemeriksaan PCR dengan spesimen darah
tidak bermanfaat. Spesimen yang biasa digunakan adalah sputum, bilas lambung,
cairan pleura, atau cairan serebrospinal.2
2.5.1 Medikamentosa
2.5.1.1 Obat anti tuberkulosis (OAT)
2.5.1.2 Kortikosteroid
Pada sakit TB yang berat, seperti meningitis TB, obstruksi jalan nafas akibat
limfadenopati TB, TB milier dengan gangguan nafas berat, efusi pleura TB, TB
abdomen dengan asites, dan perikardial TB akan diberikan terapi kortikosteroid.2,15
Dosis inisiasi prednison adalah 2 mg/kgBB/hari, kemudian dinaikkan 4
mg/kgBB/hari pada kasus berat dengan dosis maksimum 60 mg/hari, selama 4
minggu. Dosis obat kemudian diturunkan perlahan dalam 1 – 2 minggu sebelum
dihentikan sepenuhnya.15
2.5.1.3 Piridoksin
Suplementasi piridoksin dengan dosis 5 – 10 mg/hari direkomendasikan pada
pasien TB anak dengan HIV positif dalam pengobatan antiretroviral atau gizi
buruk.15
Pengobatan lengkap Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dimana pada salah
satu pemeriksaan sebelum pengobatan berakhir (-) tanpa ada bukti pemeriksaan
bakteriologis kembali.
Gagal Pasien dengan hasil dahak (+) atau kembali (+) 5 bulan setelah pengobatan atau
adanya resistensi OAT.
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau dalam
pengobatan.
Putus berobat Pasien yang tidak memulai pengobatannya atau yang terputus selama 2 bulan
berturut-turut.
Tidak dievaluasi Pasien yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya atau pasien pindah ke
kabupaten/kota lain dan hasil pengobatan akhirnya tidak terdata oleh
kabupaten/kota asalnya.
2.6 Pencegahan
2.6.1 Vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guerin)
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dibiakkan dari Mycobacterium bovis
berulang selama 1 – 3 tahun untuk mendapatkan basil tidak virulen yang masih
mampu menimbulkan imunogenitas. Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi
TB, namun dapat mengurangi risiko terjadi tuberkulosis yang berat. Efek proteksi
akan timbul setelah 8 – 12 minggu pasca imunisasi. Efek proteksi vaksin
berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu mutu vaksin yang digunakan,
lingkungan dengan Mycobacterium atypical atau faktor pejamu.22 M. atypical yang
telah teridentifikasi terdiri atas 50 spesies. Beberapa kuman yang bersifat
patogen terhadap manusia, seperti M. ulcerans, M. intracellulare, M. chelonae, M.
kansasii, M. marinum, M.
fortuitum, M. gordonae, dan M. avium. Infeksi kuman ini meningkat seiring dengan
tingginya angka kejadian HIV/AIDS di dunia.23
Vaksin BCG harus disimpan pada suhu 2 – 8oC (tidak beku) dan tidak boleh
terkena sinar matahari. Vaksin yang telah diencerkan digunakan dalam waktu <8
jam. Vaksin BCG direkomendasikan pada bayi usia <3 bulan. Vaksin BCG
rekombinan dan booster sedang dalam tahap perkembangan.22
BCG memiliki fungsi yang unik dan menguntungkan sehingga baik digunakan
sebagai vektor vaksin (biaya terjangkau, sifatnya stabil dan aman, dapat berperan
sebagai adjuvan, tidak berpengaruh terhadap antibodi maternal, dapat digunakan
peroral, sangat imunogenik, dan mampu bereplikasi didalam makrofag). BCG
diharapkan mampu memberikan imunitas (respon imun humoral dan seluler) yang
awet dengan pemberian dosis tunggal. Namun, BCG gagal melindungi pejamu dari
infeksi TB, terutama pada orang dewasa di negara endemis seperti Indonesia.
Pengembangan rBCG bertujuan untuk mengeksresikan sitokin yang lebih spesifik,
seperti interleukin-2 dan interferon gamma agar dapat memodulasi imun respon
pejamu. Penelitian yang sedang berkembang sekarang ini adalah menemukan
antigen yang bersifat imunodominan dan antigen yang mampu terus terpapar pada
imun tubuh saat terjadi penurunan kadar BCG dalam tubuh. Beberapa antigen yang
digunakan adalah protein HspX dan kompleks Ag85B, serta paparan kembali oleh
antigen ESAT-6 dan CFP-10.24,25
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Tuberkulosis sampai saat ini, masih menjadi masalah utama dalam bidang
kesehatan yang dihadapi khususnya oleh negara berkembang, termasuk Indonesia.
Negara Indonesia merupakan negara endemis TB, sehingga kita perlu memiliki
kecurigaan yang tinggi terhadap infeksi TB saat menghadapi pasien. Berbagai
tindakan pencegahan pun harus dilakukan, salah satunya dengan pemberian vaksin
BCG. Penegakan diagnosis anak dengan TB masih menjadi tantangan besar bagi
dokter umum. Kuman TB menyebar melalui droplets dan masuk ke alveolus.
Kuman ini bersifat paucibacillary dan tinggal dilokasi parenkim yang cukup jauh
dari bronkus. Hal ini mengakibatkan sulitnya mencapai diagnosis pasti dengan
menemukan kuman dalam dahak. Dengan penegakan diagnosis yang dini, maka
penatalaksanaan utama dengan medikamentosa pun dapat diinisiasi sedini mungkin.
Perlu diingat bahwa semua modalitas yang diketahui tidak perlu diaplikasikan pada
seluruh pasien. Penggunaanya harus disesuaikan dengan keadaan dan kondisi
pasien.
3.2 Saran
Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB menyebabkan tingginya biaya
pengobatan yang diperlukan. Oleh karena itu, pencegahan infeksi TB merupakan
salah satu upaya penting yang harus dilakukan. Pencegahan ini dilakukan dengan
pengendalian berbagai faktor resiko infeksi TB.
DAFTAR PUSTAKA
1. Daniel TM. The history of tuberculosis. Res Med Journal. 2006; 100: p. 1862-70.
2. UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasional Tuberkulosis
Anak. 2nd ed, Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, editors. Jakarta:
UKK Respirologi PP IDAI; 2007.
3. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2017 (Report). Geneva:
World Health Organization; 2017.
4. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis
Manajemen dan Tatalaksana TB Anak Asik , Hastuti EB, Yuzwar YE, editors. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2016.
5. Jenkins HE. Global burden of childhood tuberculosis. Pneumonia. 2016; 8: p. 1-7.
6. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2014. Report. Geneva: World
Health Organization; 2014.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2013.
8. Barberis I, Bragazzi NL, Galluzzo L, Martini M. The history of tuberculosis: from the
first historical records to the isolation of Koch's bacillus. J Prev Med Hyg. 2017; 58: p.
E9-E12.
9. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tuberkulosis:
Temukan Obati Sampai Sembuh (Report). Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2016.
10. Kartasasmita CB. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri. 2009; 11: p. 124-9.
11. Tiemersma EW, Werf MJvd, Borgdorff MW, Williams BG, Nagelkerke NJD. Natural
History of Tuberculosis: Duration and Fatality of Untreated Pulmonary Tuberculosis
in HIV Negative Patients: A Systematic Review. PLOS. 201; 6: p. 1-13.
12. Kourbatova EV, Leonard Jr MK, Romero J, Kraft C, Rio Cd, Blumberg HM. Risk
factors for mortality among patients with extrapulmonary tuberculosis at an academic
inner-city hospital in th eus. Eur J Epidemiol. 2006; 21: p. 715-21.
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.
14. Levinson WE. Mycobacterium Tuberculosis. In: Weitz M, Davis KJ, editors. Review
of Medical Microbiology and Immunology. 14th ed. New York: McGraw-Hill
Education; 2016. p. 183-93.
15. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on the
management of tuberculosis in children. 2nd ed. Geneva: WHO Press; 2014. p. 21-50.
16. Dunn JJ, Starke JR, Revell PA. Laboratory Diagnosis of Mycobacterium tuberculosis
Infection and Disease in Children. J Clin Microbiol. 2016; 54: p. 1434-41.
17. Pinxteren LAH, Ravn P, Agger EM, Pollock J, Andersen P. Diagnosis of Tuberculosis
based on the Two Specific Antigens ESAT-6 and CFP10. Clin Diagn Lab Immunol;
2000; 7: p. 155-60.
18. Setyaningtyas A, Iskandar D, Setyaningrum RA, Setiawati L. Comparison of
Tuberculin Skin Test and Interferon Gamma Secreting T-Cell Assay for Detecting
Tuberculosis Infection in Children Exposed to Mycobacterium Tuberculosis at Dr.
Soetomo Hospital Surabaya. Sari Pediatri. 2014; 16: p. 1-7.
19. Lalvani A, Pareek M. Interferon gamma release assays: principles and practice.
Enferm Infecc Microbiol Clin. 2010; 28: p. 245-52.
20. Verghese VP. Diagnosing pulmonary tuberculosis in children. Curr Med Issues. 2017;
15: p. 106-13.
21. World Health Organization. Automated Real-time Nucleic Acid Amplification
Technology for Rapid and Simultaneous Detection of Tuberculosis and Rifampicin
Resistance: Xpert MTB/TIF System (Policy Statement). Geneva: WHO Press; 2011.
22. Rahajoe NN, Kaswandani N. Tuberkulosis. In Ranuh IG, Hadinegoro SRS,
Kartasasmita CB, Ismoedijanto , Soedjatmiko , Gunardi H, et al., editors. Pedoman
Imunisasi di Indonesia. 6th ed. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2017. p. 274-9.
23. Chesney PJ. Nontuberculous Mycobacteria. Peds in Review. 2002; 23: p. 300-9.
24. Triccas JA. Recombinant BCG as a vaccine vehicle to protect against tuberculosis.
Bioengineered. 2010 March; 1: p. 110-5.
25. Oliveira TL, Rizzi C, Dellagostin OA. Recombinant BCG vaccines: molecular
features and their influence in the expression of foreign genes. Appl Microbiol
Biotechnol; 2017. p. 1-13.