Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATA KRITIS DENGAN DIAGNOSA MEDIS RUPTURE GINJAL


DI IGD RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

DISUSUN OLEH:
Isnaini Via Zuraiyahya
1319131433076

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS (P3N)


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
TINJAUAN TEORI KASUS

1. Definisi
Ruptur ginjal adalah diskontinuitas jaringan ginjal yang biasanya disebabkan oleh
trauma. Ginjal merupakan organ saluran kemih yang paling rentan cedera, dengan atau
tanpa diikuti cedera organ intraabdomen lainnya (Erlich & Kitrey, 2018). Ruptur ginjal
dapat terjadi tanpa diikuti cedera organ intraabdomen di sekitarnya (isolated renal
trauma), namun 80-95% kasus rupture ginjal diikuti dengan cedera organ intraabdomen
lain. Rupture ginjal terjadi pada sekitar 1-5% seluruh kejadian trauma dan pada sekitar
10% pasien trauma abdomen (Indraputra & Hartono, 2016).
Trauma ginjal adalah cedera yang mengenai ginjal yang memberikan
manifestasi memar, laserasi, atau kerusakan pada struktur ginjal (Arif Muttaqin,
2011)
2. Etiologi
Ada 3 penyebab utama dari trauma ginjal yaitu :
1. Trauma Tumpul
Trauma tumpul sering menyebabkan luka pada ginjal, misalnya karena
kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh atau trauma pada saat berolahraga.
Luka tusuk pada ginjal dapat karena tembakan atau tikaman. Trauma tumpul
dibedakan menjadi :
a. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
olahraga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai
trauma berat yang juga mengenai organ organ lain.
b. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan
pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian
ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima
arteri renalis yang menimbulkan trombosis.
2. Trauma iatrogenik
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau
radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde
pyelography, percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy
3. Trauma Tajam
Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh tusukan benda tajam
misalnya tusukan pisau. Luka karena senjata api dan pisau merupakan luka
tembus terbanyak yang mengenai ginjal sehingga bila terdapat luka pada
pinggang harus dipikirkan trauma ginjal sampai terbukti sebaliknya. Pada
luka tembus ginjal, 80% berhubungan dengan trauma viscera abdomen.
3. Klasifikasi
Ruptur ginjal adalah robek atau koyaknya jaringan ginjal secara paksa.
Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum menyebabkan regangan pedikel
ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan
memicu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan
trombosis arteri renalis beserta cabang cabangnya (Purnomo, 2009).
Cedera ginjal dapat dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, antara
lain hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal. Menurut derajat berat ringannya
kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan menjadi: (1) cedera minor, (2) cedera
major, (3) cedera pedikel atau pembuluh darah ginjal (Purnomo, 2009).
Terdapat dua penggolongan derajat pada ruptur ginjal yaitu sebagai berikut.
Klasifikasi pencitraan Federle Klasifikasi AAST (American
Associate of Surgery)
Tingkat Tingkat cedera Derajat Tingkat cedera
I MINOR 1 Kontusio dan/atau
Kontusi hematoma subkapsular
Laserasi korteks (tidak
meluas ke calyx)
II MAJOR 2 Laserasi korteks < 1 cm,
Laserasi korteks (meluas tidak sampai kaliks
ke calyx)
Ruptur ginjal
III CATHATROPHIC 3 Laserasi korteks > 1 cm,
Trauma sampai ke tidak sampai kaliks
pedikulus ginjal
IV SHATTERED KIDNEY 4 Laserasi korteks hingga
Perlukaan sampai di corticomedullary junction
pelviureteric junction atau hingga collecting system
5 Cedera arteri atau vena
renalis disertai perdarahan
Avulsi pedikel ginjal
Ginjal terbelah (shattered
kidney)

Namun klasifikasi yang paling sering di


digunakan
gunakan dalam pencitraan adalah
klasifikasi Federle. Sistem Federle mengkategorikan cedera ginjal menjadi empat
kelompok (minor, mayor, catastrophic, dan pelviureteric junction injuries).
4. Patofisiologi
Patofisiologi ruptur ginjal berbeda sesuai dengan jenis trauma yang menyebabkan.
Perbedaan patofisiologi
ologi dapat disebabkan oleh perbedaan energi yang mengenai jaringan
ginjal.
a. Trauma Tumpul
Patofisiologi trauma ginjal tumpul tidak sepenuhnya dipahami, tetapi unsur utama
yang mungkin menyebabkan trauma adalah kekuatan perlambatan dan percepatan
(deceleration and acceleration). Ginjal ditutupi oleh lemak dan fascia Gerota di
retroperitoneum, serta pedikel ginjal dan ureteropelvic junction (UPJ) adalah elemen
perlekatan utama. Oleh karena itu, kekuatan perlambatan (deceleration) pada elemen-
elemen
elemen ini dapat menyebabkan cedera ginjal, seperti pecah atau trombosis. Kekuatan
percepatan (acceleration) dapat menyebabkan tabrakan antara ginjal dengan unsur-
unsur
unsur di sekitarnya, seperti tulang rusuk dan tulang belakang, dan menyebabkan
cedera parenkim dan ppembuluh darah. ginjal mudah mengalami dislokasi oleh
adanya akselerasi maupun deselerasi mendadak, yang bisa menyebabkan
trauma seperti avulsi collecting system atau sobekan pada intima arteri
renalis sehingga terjadi oklusi parsial maupun komplet pembuluh darah.
Sejumlah darah besar dapat terperangkap didalam rongga retroperitoneal
sebelum dilakukan stabilisasi. Keadaan ekstrem ini sering terjadi pada
pasien yang datang di ruang gawat darurat dengan kondisi stabil sementara
terdapat perdarahan retroperitoneal. Korteks ginjal ditutupi kapsul tipis yang
cukup kuat. Trauma yang menyebabkan robekan kapsul sehingga
menimbulkan perdarahan pada kantong gerota perlu lebih mendapat
perhatian dibanding trauma yang tidak menyebabkan robekan pada kapsul.
Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrans didaerah
ini bisa menyebabkan trauma pada kedua struktur. Karena letaknya yang
berdekatan antara pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan
tepi medial ginjal kanan bisa menyebabkan trauma kombinasi pada
pankreas, duodenum dan ginjal.. Anatomi ginjal yang mengalami kelainan
seperti hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur
hanya oleh adanya trauma ringan.
b. Trauma Tajam
Trauma tajam dapat terbagi menjadi kecepatan tinggi (seperti senjata api laras
panjang), kecepatan menengah (seperti pistol), dan kecepatan rendah (seperti tusukan
pisau). Senjata berkecepatan tinggi menimbulkan kerusakan yang lebih besar karena
peluru menghasilkan energi dalam jumlah besar ke jaringan. Proyektil peluru akan
membentuk kavitasi ekspansif sementaram yang kemudian hancur dan membentuk
gaya geser (shear force) dan kerusakan di area yang jauh lebih besar daripada saluran
proyektil itu sendiri. Pada cedera kecepatan rendah, kerusakan biasanya terbatas pada
jalur proyektil.
c. Spontaneous Rupture
Ruptur spontan pada ginjal atau ruptur nontraumatik merupakan kasus yang jarang.
Kasus ruptur spontan pada ginjal disebut juga Wunderlich’s syndrome. Mekanisme
ruptur spontan tergantung pada penyebab yang mendasari, misalnya pecahnya
aneurisma atau terjadi vaskulitis.
5. Manifestasi klinis
Tanda kardinal dari trauma (ruptur) ginjal adalah hematuria, yang dapat bersifat
massif atau sedikit, tetapi besarnya trauma tidak dapat diukur dengan volume
hematuria atau tanda-tanda luka.
a. Nyeri
b. Hematuria
c. Mual dan muntah
d. Distensi abdomen
e. Fraktur costae
f. Hematoma di daerah pinggang yang semakin hari semakin besar
g. Massa di rongga panggul
h. Ekimosis
i. Laserasi atau luka pada abdomen lateral dan rongga panggul
6. Pemeriksaan penunjang
a. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
• Stabilitas hemodinamik perlu dipastikan pada saat kedatangan penderita
• Anamnesa diperoleh dari pasien dengan kondisi stabil, saksi kejadian,
atau petugas medis tentang waktu kejadian
• Keadaan ginjal sebelum kejadian trauma
• Pemeriksaa fisik dari thorax, abdomen, flanks, punggung
• Temuan pada saat pemeriksaan fisik seperti hematuria ekimosis dan abrasi
fraktur costa, massa atau distensi abdomen kemungkinan terjadinya
kerusakan ginjal
b. Pemeriksaan Laboratorium
• Urine dari pasien dengan kecurigaan trauma ginjal diperiksa secara macros/
menggunakan dipstick
• Pemeriksaan hematokrit serial bila dicurigai blood loss, namun tidak
dapat dipastikan karena trauma ginjal atau karena trauma penyerta yang lain
• Pemeriksaan kreatinin dapat menandakan penurunan fungsi ginjal akibat
dari trauma
c. Pemeriksaan Radiografi
• Pasien trauma tumpul ginjal dengan hematuri makros maupun
mikroskopik (5 eritrosit/lapangan pandang) disertai hipotensi (tekanan
sistolik < 90 mmHg) harus menjalani pemeriksaan radiografi
• Pemeriksaan radiologi direkomendasikan pada pasien dengan riwayat
trauma deselerasi
• Semua pasien dengan hematuri karena trauma tumpul atau trauma
tembus perlu dilakukan imaging pada ginjal
• USG dapat dilakukan pada evalusai primer
• CT scan dengan kontras merupakan pemeriksaan paling baik untuk diagnosa
dan staging trauma ginjal pada pasien dengan hemodinamik stabil

• Pasien dengan hemodinamik tidak stabil yang memerlukan tindakan bedah


harus diperiksa one shot IVP. Pemeriksaan Intravenous Urografi (IVU) atau
disebut sebagai Pielografi Intra Vena (PIV) atau Intravenous Pyelografi (IVP).
Pemeriksaan IV
IVP
P adalah foto yang dapat mengambarkan keadaan sistem
urinaria melalui bahan kontras( dengan menyuntikkan bahan kontras dosis
tinggi ±2ml/kgBB) digunakan untuk menilai tingkat kerusakan ginjal dan
menilai keadaan ginjal kontralateral. Pemeriksaan IVU dilakukan
dilaku apabila
diduga terdapat : Luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal, cedera
tumpul ginjal yang memberikan tanda
tanda-tanda
tanda hematuria makroskopik, cedera
tumpul ginjal yang memberikan tanda
tanda-tanda
tanda hematuria, mikroskopik dan
disertai syok (Purnomo, 2011
2011).
• IVP, MRI, scintigraphy merupakan alternatif apabila CT Scan tidak tersedia
• Angiography dapat digunakan sebagai diagnostik dan embolisasi pada
pembuluh darah yang mengalami perdarahan
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ruptur ginjal tergantung pada jenis trauma yang dialami dan status
hemodinamik pasien. Stabilisasi dan keadaan gawat harus ditangani terlebih dahulu.
Tercapainya hemodinamik yang stabil merupakan langkah penting dalam tata laksana
ruptur ginjal.
a. Tata Laksana Nonoperatif
Pada pasien ruptur ginjal dengan hemodinamik stabil, tata laksana nonoperatif
atau konservatif merupakan standar manajemen pasien. Tata laksana nonoperatif
melingkupi supportive care, tirah baring dengan pemantauan ketat terhadap tanda
vital dan laboratorium, pemberian antibiotik, dan pencitraan ulang dengan
menggunakan tindakan invasif minimal (angioembolization atau stent ureter) bila
diperlukan. Tata laksana nonoperatif terutama diindikasikan pada ruptur ginjal grade
1–2.
Tata laksana nonoperatif sangat disarankan pada ruptur ginjal anak. Sebuah studi
yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan dari 228 kasus ruptur ginjal pada
anak selama 20 tahun, hanya 1,4% kasus membutuhkan penanganan operatif.
b. Tata Laksana Operatif
Walaupun tata laksana nonoperatif memiliki berbagai keuntungan, beberapa
pasien ruptur ginjal tetap membutuhkan tindakan operatif. Tata laksana operatif bagi
ruptur ginjal dapat berupa radiologi intervensi, hingga eksplorasi ginjal, baik
rekonstruksi maupun nefrektomi, dan laparotomi cito. Pembedahan cito dilakukan
pada kasus ruptur atau pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik, seperti aneurisma
aorta.
Indikasi eksplorasi ginjal antara lain:
• Hemodinamik tidak stabil
• Eksplorasi terhadap cedera lain
• Temuan hematoma perirenal yang meningkat atau pulsatile pada laparotomi
• Cedera vaskular grade V
Radiologi intervensi diindikasikan pada pasien dengan perdarahan aktif dari ginjal
tanpa disertai dengan keperluan operasi abdomen segera.

Prinsip tindakan eksplorasi ginjal adalah mengontrol perdarahan yang terjadi


untuk mencegah nefrektomi yang tidak diperlukan. Kontrol perdarahan dapat membantu
operator tindakan melakukan evaluasi area retroperitoneal secara menyeluruh. Pada
ruptur ginjal, drainase retroperitoneum ipsilateral disarankan selama minimal 48 jam.

Guidelines Management Post‐Operative dan Follow Up


• Pemeriksaan ulang radiografi diperlukan 2‐4 hari post operasi
• Scintigrafi nuklir diperlukan untuk mengetahui fungsi ginjal
• Dalam waktu 3 bulan :
- Dilakukan pemeriksaan fisik
- Urinalisis
- Pemeriksaan radiologi
- Pengukuran tekanan darah serial
- Pemeriksaan fungsi ginjal
-
8. Komplikasi
Jika tidak mendapatkan perawatan cepat dan tepat, maka trauma mayor dan trauma
pedikel sering menimbulkan perdarahan yang hebat dan berakhir dengan kematian.
Terdapat beberapa komplikasi awal setelah cedera yaitu :
a. Delayed bleeding.
b. Urinary leakage.
c. Abses perirenal.
Dikemudian hari pasca cedera ginjal dapat menimbulkan komplikasi lanjutan yaitu :
a. Hidronefrosis.
b. Pielonefritis kronis.
c. Hipertensi.
d. Fistula arteriovenosa.
e. Urolithiasis
9. WOC

Kecelakaan jatuh Tembakan senjata Tindakan medis


api/tusukan benda tajam (operasi, biopsi)

Deselerasi (gerakan ginjal


secara tiba-tiba) Mencederai Mencederai ginjal
abdomen/pinggang/punggung
Didalam rongga
retroperitonium Menembus ginjal

Regangan predikal
ginjal

Robekan tunika
intima arteri
Ruptur Ginjal

Robekan pada
Merangsang Perdarahan Fungsi ginjal
ginjal
resptor saraf massif pada terganggu
nyeri retroperitonial
Peningkatan subkortikal
Penurunan GFR
dan intra kortikal
Pelepasan
Penurunan Invasi darah
mediator Disuria
volume ke cavum
nyeri Ruptur/perdarahan
intravaskuler peritoneum
Gangguan
Sensitisasi CO menurun Distensi eliminasi Port de entry Masuk ke
reseptor abdomen urin aliran urin
nyeri TD menurun
Invasi bakteri ke
Mual Robekan tunika ginjal Hematuria
Nyeri akut Risiko syok muntah intima arteri
Risiko infeksi Hipovolemi
Deficit nutrisi Pembentukan
trombus

Risiko Penurunan Hematoma Aliran Thrombosis


perfusi O2 ke darah ke
renal tidak ginjal ginjal
efekitif terhambat
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS RUPTUR GINJAL
1. Pengkajian
a. Identitas : Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, agama, suku, bangsa
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama : nyeri pada daerah abdomen, hematuria, ekimosis, kaji keluhan
nyeri PQRST, mekanisme cedera
2. Riwayat Kesehatan saat ini : infeksi traktus urinarius, hidronefrosis, tumor nefro
3. Riwayat Kesehatan masa lalu : riwayat penyakit ginjal, DM, hipertensi
4. Riwayat pengobatan : obat-obatan yang diminum
5. Riwayat Merokok, minuman beralkohol, olahraga
c. Pengkajian Primer
- Airway : adanya obstruksi pada jalan nafas seperti tersedak benda asing,
trauma medulla spinalis, sianosis, snoring atau gurgling, hipoksia, penggunaan
otot bantu nafas
- Breathing
Inspeksi : adanya fraktur costae, sianosis, trauma tajam, adanya luka pada
dada, penggunaan otot bantu nafas, RR meningkat
Palpasi : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, emfisema subkutan
Perkusi : hematorac atau pneumothorax
Auskultasi : suara abnormal pada dada
- Circulation : adanya perdarahan, takikardi, takipnea, CRT > 2 dtk, sianosis
perifer, pucat, hipotensi, hipotermia, ekstremitas dingin dan penurunan
produksi urin, hematuria
- Disability : nilai GCS, penurunan kesadaran, pupil isokor anisokor, reflex
cahaya, besar pupil, nyeri pada abdomen
- Exposure : adanya luka atau jejas, hematoma di daerah pinggang yang
semakin hari semakin besar, massa di rongga panggu, ekimosis, laserasi
atau luka pada abdomen lateral dan rongga panggul
- Folley Catheter : pemasangan kateter, urin yang dikeluarkan berapa ml, warna
urine, hematuria
-
d. Pengkajian B1-B6
- B1 : adanya obstruksi pada jalan nafas seperti tersedak benda asing, trauma
medulla spinalis, snoring atau gurgling, hipoksia, penggunaan otot bantu
nafas, adanya fraktur costae, sianosis, trauma tajam, adanya luka pada dada,
penggunaan otot bantu nafas, RR meningkat, pergeseran trakea, fraktur ruling
iga, emfisema subkutan, hematorac atau pneumothorax, suara abnormal pada
dada, pernafasan cuping hidung
- B2 : adanya perdarahan, takikardi, takipnea, CRT > 2 dtk, sianosis perifer,
pucat, hipotensi, hipotermia, ekstremitas dingin dan penurunan produksi urin,
hematuria, S1/S2 tunggal, tidak ada murmur, pekak tidak ada kardiomegali
- B3 : nilai GCS, penurunan kesadaran, pupil isokor anisokor, reflex cahaya,
besar pupil, nyeri pada abdomen
- B4 : pemasangan kateter, urin yang dikeluarkan berapa ml, warna urine,
hematuria
- B5 : mual muntah, nyeri pada abdomen, distensi abdomen, adanya luka atau
jejas, hematoma di daerah pinggang yang semakin hari semakin besar,
massa di rongga panggul, ekimosis, laserasi atau luka pada abdomen
lateral dan rongga panggul, bising usus 15x/mnt
- B6 : merasa lemah, pusing, cepat lelah, sulit tidur, turgor kulit menurun
e. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium : hematokrit, BUN kreatinin
- Pemeriksaan Radiografi : CT scan, IVP, MRI, USG abdomen, angiography
2. Diagnose Keperawatan
1. Risiko Perdarahan b.d trauma
2. Nyeri akut b.d trauma d.d mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah
3. Gangguan eliminasi urin b.d trauma d.d urgensi, hematuria
4. Risiko perfusi renal tidak efektif b.d trauma
5. Risiko syok hipovolemik b.d hipotensi, kekurangan volume cairan
6. Risiko infeksi b.d efek prosedur invasif
3. Intervensi Keperawatan
Risiko perdarahan b.d trauma
SLKI SIKI
Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pencegahan perdarahan (I.02067)
selama 1 x 24 jam Tingkat perdarahan 1. Monitor tanda dan gejala
(L.02017) menurun dengan criteria hasil : perdarahan
1. Hematuria menurun 2. Monitor nilai
2. Distensi abdomen menurun hematokrit/haemoglobin sebelum
3. Kelembapan kulit meningkat dan setelah kehilan darah
4. HB membaik 3. Monitor tanda-tanda vital ortostatik
5. Hematokrit membaik 4. Monitor koagulasi (PT,PTT,
6. Suhu tubuh membaik fibrinogen dan platelet)
7. Tekanan darah membaik 5. Pertahankan bedrest selama
(120/80mmHg) perdarahan
8. Denyut nadi apikal membaik (60- 6. Batasi tindakan invasive jika perlu
100x/mnt) 7. Anjurkan segera melapor jika
9. Pengisian kapiler membaik (<2dtk) terjadi perdarahan
8. Kolaborasi pemberian obat
pengontrol perdarahan
9. Kolaborasi pemberian produk
darah
Pencegahan syok (I.02068)
1. Monitor status oksigenasi
2. Monitor status cairan
3. Monitor tingkat kesadaran dan
respon pupil
4. Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi >94%
5. Pasang jalur IV
6. Pasang kateter urin untuk menilai
produksi urin
7. Anjurkan memperbanyak asupan
cairan oral
8. Kolaborasi pemberian cairan IV
Balut tekan (I.02028)
1. Tinggikan bagian tubuh yang
cedera di atas level jantung jika
tidak ada fraktur
2. Tutup luka dengan kasa tebal
3. Tekan kasa dengan kuat diatas luka
4. Fiksasi kasa dengan plaster setelah
perdarahan berhenti
5. Anjurkan membatasi gerak pada
area cedera

Nyeri akut b.d trauma d.d mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah
SLKI SIKI
Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen nyeri (I.08238)
selama 1 x 24 jam tingkat nyeri (L.08066) 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
menurun dengan criteria hasil : durasi, frekuensi, kualitas,
1. Keluhan nyeri menurun intensitas nyeri dan skala nyeri
2. Meringis menurun 2. Identifikasi faktor yang
3. Gelisah menurun memperberat dan memperingan
4. Mual muntah menurun nyeri
5. Pola nafas membaik 3. Identifikasi pengaruh nyeri pada
6. Fungsi berkemih membaik kualitas nyeri
7. Nafsu makan membaik 4. Berikan teknik nonfarmakologi
8. Pola tidur membaik untuk mengurangi nyeri
5. Kontrol lingkungan yang
memperberat nyeri
6. Fasilitasi istirahat dan tidur
7. Ajarkan teknik nonfarmakologi
relaksasi
8. Kolaborasi pemberian analgesic
Gangguan eliminasi urin b.d trauma d.d urgensi, hematuria
SLKI SIKI
Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen eliminasi urin (I.04152)
selama 1 x 24 jam eliminasi urin 1. Identifikasi tanda dan gejala retensi
(L.04034) membaik dengan criteria hasil : atau inkontinensia urin
1. Volume residu urin menurun 2. Monitor eliminasi urin (frekuensi,
2. Karakteristik urin membaik aroma,konsistensi, volume, warna)
3. Desakan berkemih menurun 3. Catat waktu dan haluaran berkemih
4. Ambil sampel urin tengah atau
kultur
5. Anjurkan mengukur asupan cairan
dan haluaran urin
6. Anjurkan minum yang cukup
DAFTAR PUSTAKA
Ahn T, Roberts MJ, Navaratnam A, Chung E, Wood S. Changing etiology and
management patterns for spontaneous renal hemorrhage: a systematic review of
contemporary series. International urology and nephrology. 2017 Nov 1;49(11):1897-
905.

Chronopoulos PN, Kaisidis GN, Vaiopoulos CK, Perits DM, Varvarousis MN, Malioris
AV, Pazarli E, Skandalos IK. Spontaneous rupture of a giant renal angiomyolipoma—
Wunderlich’s syndrome: Report of a case. International journal of surgery case reports.
2016 Jan 1;19:140-3.

Erlich T, Kitrey ND. Renal trauma: the current best practice. Therapeutic advances in
urology. 2018 Oct;10(10):295-303.

Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2013. Guidline Trauma Ginjal. Available from:
http//iaui.or.id.

Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:


Salemba Medika

Purnomo, B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto

Summerton DJ, Djakovic N, Kitrey ND, Kuehhas F, Lumen N, Serafetinidis E. 2014.


Guidelines on urological trauma. European Association of Urology

American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced trauma life support


for doctors (Student Course Manual). 9th ed. 2012.

The American Association for the Surgery of Trauma. Kidney injury scoring scale.
Available : http://www.aast.org/library/traumatools/injuryscoringscales.aspx#kidney

Scientific American Surgery. Injuries to the urogenital tract [Internet]. 2015. Available
from:http://www.sciamsurgery.com/sciamsurgery/institutional/figTabPopup.action?boo
kId=ACS&linkId=part07_ch11_fi g3&type=fi g

Anda mungkin juga menyukai