Anda di halaman 1dari 1

Aku, Kamu, dan Kita

Kamu adalah orang yang seharusnya aku lupakan, namun kamu juga adalah orang
yang selalu aku rindu. Rindu ini tak tau diri, disaat hati sedang remuk redam, bayanganmu
selalu hadir menjelma menjadi butiran kenangan yang tiba-tiba datang menyergap dari segala
arah. Semakin kesini aku semakin mengerti bahwa kata kita tidak akan pernah ada dalam
kamusmu.

Sudah cukup. Selama ini aku terlalu jauh melangkah dan terlalu lama menunggu.
Menunggu sebuah makna, menjamah segala harap, merangkai segenap cita, dan menyatukan
resah menjadi gelisah. Aku lelah dalam posisi ini. Disini aku hanya sebuah cangkir kosong
yang berisikan air mata tempatmu membasuh luka. Tidak akan pernah lagi ku petikan sebuah
bintang untukmu, karena setelahnya kau pun akan hilang ke angkasa menjadi satu rasi yang
tak pernah ku hafal namanya.

Aku sadar, nyatanya hati ini tak pernah cukup untuk mengisi ruang itu. Lampu pijar
ditepi jalan seakan menjadi penerang untuk hati yang letih. Waktu telah menguji hati ini, dan
waktu adalah satuan dinamis untuk itu, serta air mata ialah hujan yang paling ikhlas untuk
jatuh meneduhkan hati.

Memang sungguh ironis sekali cerita ini. Dari awal, penulis tidak pernah berniat
untuk menyatukan fajar dengan senja. Mereka hanya dikisahkan dalam satu buku yang sama,
satu judul yang sama, tapi dengan waktu yang berbeda. Begitupun dengan kita, kata “aku”
dan “kamu” tak pernah terangkai dalam suatu kalimat yang sama.

Anda mungkin juga menyukai