LP Ppok
LP Ppok
DI SUSUN OLEH :
RITA NOVALINDA
NIM. 149012018221
A.PENGERTIAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ,bahasa Inggris: Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) adalah penyakit paru kronik. PPOK ditandai dengan keterbatasan
aliran udara di dalam saluran napas tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan biasanya
disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat
memberikan gambaran gangguan sistemik.
Menurut tinjauan pustaka :
1. PPOK Merujuk pada sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan
keluar Paru. Gangguan yang penting adalah Bronkhitis Obstruktif, Emphysema dan
Asthma Bronkiale. (Black. J. M. & Matassarin,.E. J. 1993).
2. Suatu kondisi dimana aliran udara pada paru tersumbat secara terus menerus. Proses
penyakit ini adalah seringkali kombinasi dari 2 atau 3 kondisi berikut ini (Bronkhitis
Obstruktif Kronis, Emphysema dan Asthma Bronkiale) dengan suatu penyebab primer dan
yang lain adalah komplikasi dari penyakit primer.(Enggram, B. 1996).
A. Bronkhitis Kronis
Gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukakn mucus yang berlebihan dalam
bronkus dan termanifestasikan dalam bentuk batuk kronis dan pembentuk sputum selama
3 bulan dalam setahun, paling sedikit 2 tahun berturut – turut.
B. Emphysema
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus
alveolaris dan destruksi dinding alveolar.
C. Asthma Bronkiale
Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trachea dan
bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran
bernafas yang disebabkan oleh peyempitan yang menyeluruh dari saluran nafas.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan
hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel.
Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi
paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya. Bronkitis kronik dan
emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena bronkitis kronik
merupakan diagnosis klinis sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.
Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan hal-
hal sebagai berikut:
1. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan,
2. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat
3. Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam
ruangan, luar ruangan dan tempat kerja).
4. Sesak pada saat melakukan aktivitas.
5. Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal)
B.ETIOLOGI
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah:
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi udara
3. Paparan debu,asap,dan gas-gas kimiawi akibat kerja
4. Riwayat infeksi saluran nafas
5. Bersifat genetik yaitu difisiensi α-1 antitripsin merupakan predisposisi untuk
berkembangnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik dini. (mansjoer, 2001).
C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah :
Batuk
Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas (mansjoer,
2001).
Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan,
b. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat
c. Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar ruangan dan
tempat kerja)
d. Sesak pada saat melakukan aktivitas
e. Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal).
D. PATOFISIOLOGI
Pada bronkitis kronik terjadi penyempitan saluran nafas. Penyempitan ini dapat
mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik, saluran
pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit. Berkelok-kelok, dan
berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel goblet. Saluran nafas besar juga
menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru penyempitan
saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru. (Mansjoer,2001).
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan nafas yaitu: inflamasi dan
pembengkakan bronki, produksi lendir yang berlebihan, kehilangan rekoil elastik jalan nafas, dan
kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi. Karena dinding alveoli
mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara
kontinu berkurang mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen
mengakibatkan hipoksemia.
Pada tahap akhir, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan mengakibatkan
peningkatan tekanan karbon dalam darah arteri (hiperkapnia) danmenyebabkan asidosis
respirastorius individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik kealiran masuk dan aliran
keluar dari paru. Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru-paru, dibutuhkan tekanan
negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan
dipertahankan selama ekspirasi. (Mansjoer, 2001) (Diane C. Baughman, 2000).
E.PATHWAY
Sumber : Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2001. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II, edisi ketiga. Jakarta: balai Penerbit FKUI
F.PEMERIKSAAN PENUNJANG:
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara
lain :
- Radiologi (foto toraks)
- Spirometri
- Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik)
- Analisa gas darah
- Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi)
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi
pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya
atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.
Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan :
- Paru hiperinflasi atau hiperlusen
- Diafragma mendatar
- Corakan bronkovaskuler meningkat
- Bulla
- Jantung pendulum
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi dan
iritan jalan napas.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan akibat sesak, pengaturan posisi
dan pengaruh lingkungan.
4. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
C. INTERVENSI
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi
sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan jalan nafas kembali efektif
Kriteria Hasil :
a. Menunjukkan jalan nafas yang paten
b. Mampu mengidentifikasi dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan nafas
c. Suara nafas bersih, tidah ada sianosis dan dyspneu(mampu bernafas dengan mudah)
Intervensi :
a. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
Rasional:
Mencegah terjadinya dehidrasi
b. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan batuk.
Rasional :
Mengajarkan cara batuk efektif
c. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB
Rasional :
Mengatasi sesak yang dialami pasien
d. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim,
dan asap.
e. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter dengan segera:
peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan sputum, peningkatan napas pendek,
rasa sesak didada, keletihan.
Rasional :
Pemberian tindakan pengobatan selanjutnya
f. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi dan
iritan jalan napas.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan ketidakefektifan pola nafas pasien dapat
teratasi
Kriteria Hasil :
a. Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal
b. Bunyi nafas terdengar jelas.
Intervensi :
a. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi.
Rasional :
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita dapat mengetahui sejauh
mana perubahan kondisi pasien.
b. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat tidur
ditinggikan 60 – 90 derajat.
Rasional :
Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal.
c. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon pasien).
Rasional :
Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
d. Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif.
Rasional :
Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam. Penekanan otot-otot dada serta
abdomen membuat batuk lebih efektif.
e. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan
Rasional :
Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah terjadinya sianosis akibat
hiponia
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan akibat sesak, pengaturan posisi
dan pengaruh lingkungan.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan istirahat dan tidur pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
a. Pasien tidak sesak nafas
b. Pasien dapat tidur dengan nyaman tanpa mengalami gangguan
c. Pasien dapat tertidur dengan mudah dalam waktu 30-40 menit
d. Pasien beristirahat atau tidur dalam waktu 3-8 jam per hari.
Intervensi :
a. Beri posisi senyaman mungkin bagi pasien.
Rasional :
Posisi semi fowler atau posisi yang menyenangkan akan memperlancar peredaran O2dan CO2.
b. Tentukan kebiasaan motivasi sebelum tidur malam sesuai dengan kebiasaan pasien sebelum
dirawat.
Rasional :
Mengubah pola yang sudah menjadi kebiasaan sebelum tidur akan mengganggu proses tidur.
c. Anjurkan pasien untuk latihan relaksasi sebelum tidur.
Rasional :
Relaksasi dapat membantu mengatasi gangguan tidur.
d. Observasi gejala kardinal dan keadaan umum pasien.
Rasional :
Observasi gejala kardinal guna mengetahui perubahan terhadap kondisi pasien.
4. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan asupan nutrisi dapat terpenuhi.
Kriteria Hasil :
a. Peningkatan berat badan
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
Intervensi :
a. Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi.
Rasional :
Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh kesukaannya, kebiasaannya, agama, ekonomi dan
pengetahuannya tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
b. Auskultasi suara bising usus.
Rasional :
Bising usus yang menurun atau meningkat menunjukkan adanya gangguan pada fungsi
pencernaan.
c. Lakukan oral hygiene setiap hari.
Rasional :
Bau mulut yang kurang sedap dapat mengurangi nafsu makan.
d. Sajikan makanan semenarik mungkin.
Rasional :
Penyajian makanan yang menarik dapat meningkatkan nafsu makan.
e. Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasional :
Makanan dalam porsi kecil tidak membutuhkan energi, banyak selingan memudahkan reflek.
f. Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet TKTP.
Rasional :
Diet TKTP sangat baik untuk kebutuhan metabolisme dan pembentukan antibody karena diet
TKTP menyediakan kalori dan semua asam amino esensial.
g. Kolaborasi dengan dokter atau konsultasi untuk melakukan pemeriksaan laboratorium
alabumin dan pemberian vitamin dan suplemen nutrisi lainnya (zevity, ensure, socal, putmocare)
jika intake diet terus menurun lebih 30 % dari kebutuhan.
Rasional :
Peningkatan intake protein, vitamin dan mineral dapat menambah asam lemak dalam tubuh.
C. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat terhadap pasien.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan rencana keperawatan diantaranya :
Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi ; ketrampilan
interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang
tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta dokumentasi intervensi dan respon
pasien.
Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana intervensi yang
telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan yang muncul pada pasien
(Budianna Keliat, 1994,4).
D. EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi adalah
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota tim
kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai
dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang (US. Midar H, dkk, 1989).
DAFTAR PUSTAKA