Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tahun 2005, harian Kompas memberitakan, banyak anak menderita gizi buruk atau
bahkan busung lapar di beberapa wilayah. Misalnya, 66.685 anak di Nusa Tenggara Timur
(Kompas, 7/6/2005), sekitar 49.000 anak di Nusa Tenggara Barat (Kompas, 4/4/2005), 425 anak
di Boyolali (Kompas, 7/6/2005), 11.368 anak di Sumba Barat (Kompas, 16/6/2005), dan masih
banyak lagi, menderita gizi buruk yang sangat memprihatinkan, dan sebagian dari mereka
meninggal dunia karena orang tuanya tidak bisa memenuhi gizi anaknya (Asqolani, 2011).
Peristiwa gizi buruk di awal tahun 2005 yang melanda NTB, NTT, Sumba, dan lain-lain itu yang
menjadi korban rawan pangan justru adalah para petani miskin yang tinggal di pedesaan. Itu
yang sempat diekspose di media, belum terhitung yang lolos dari pengamatan media. Persoalan
yang dihadapi pemerintah dalam mengatasi kerawanan pangan menyangkut lima aspek (Deptan,
2009): 1) Ketersediaan pangan, 2) Distribusi pangan, 3) Konsumsi pangan, 4) Pemberdayaan
masyarakat, dan 5) Manajemen.Dari lima aspek di atas, menarik untuk dibahas perihal distribusi
pangan. Pada aspek ini permasalahan yang muncul secara teknis meliputi 4 (empat) hal (Deptan,

2009) ialah: (1) Belum memadainya infrastruktur, prasarana distribusi darat dan antar pulau yang
dapat menjangkau seluruh wilayah konsumen, (2) belum merata dan memadainya infrastruktur
pengumpulan, penyimpanan dan distribusi pangan, kecuali beras, (3) sstem distribusi pangan
yang belum efisien, dan (4) bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar
musim menuntut kecermatan dalam mengelola sistim distribusi pangan agar pangan tersedia
sepanjang waktu di seluruh wilayah konsumen. Sementara yang berkaitan dengan aspek sosial
ekonomi adalah: (1) belum berperannya kelembagaan pemasaran hasil pangan secara baik dalam
menyangga kestabilan distribusi dan harga pangan, (2) masalah keamanan jalur distribusi dan
pungutan resmi pemerintah pusat dan daerah serta berbagai pungutan lainnya, sepanjang jalur
distribusi dan pemasaran telah menghasilkan biaya distribusi yang mahal dan akibatnya
meningkatkan harga produk pangan.

Untuk itulah masalah rawan pangan segera dicarikan solusinya, agar ketersediaan pangan dapat
diwujudkan di seluruh wilayah tanah air. Misalnya, implementasi UU Pokok Agraria no. 5 th.
1960, agar para petani memiliki cukup lahan pertanian untuk keperluan produksi pangan. Perlu
adanya perubahan mind seta masyarakat, agar yang namanya pangan itu tidak hanya sekedar
beras, jagung, ubi-ubian, sagu, dan lain-lain, perlu juga dibudidayakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan kita. Keanekaragaman pangan inilah yang mungkin bisa menjadi makanan
alternatif untuk terbebas dari ancaman kelaparan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian aksesibilitas dan distribusi pangan ?

2. Apa saja pembagian aksesibilitas ?

3. Bagaimana distribusi pangan antar daerah kelompok konsumen dan antar waktu ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian aksesibilitas dan distribusi pangan

2. Untuk mengetahui pembagian aksesibilitas

3. Untuk mengetahui distribusi pangan antar daerah kelompok konsumen dan antar waktu
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Definisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sejak adanya
Conference of Food and Agriculture tahum 1943 yang mencanangkan konsep secure, adequate
and suitable supply of food for everyone”. Definisi ketahanan pangan sangat bervariasi, namun
umumnya mengacu definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992)
yakni “akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure access
at all times to sufficient food for a healthy life). Studi pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999)
diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang ketahanan pangan (Weingärtner,
2000).

Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 menyatakan kondisi terpenuhinya kebutuhan


pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sementara USAID (1992) menyatakan
kondisi ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk
memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif. Sedangkan FAO (1997)
menyatakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi
untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak
beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.

FIVIMS (2005) menyatakan kondisi ketika semua orang pada segala waktusecara fisik, social
dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan3bergizi untuk pemenuhan
kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif
dan sehat. Adapun Mercy Corps (2007) menyatakan keadaan ketika semua orang pada setiap saat
mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap terhadap kecukupan pangan, aman dan
bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat.3
Aksesibilitas Pangan

Ketersediaan pangan yang cukup dan stabil lintas waktu dan wilayah saja belumlah dapat
menjamin bahwa setiap orang akan memperoleh pangan yang dibutuhkannya. Jumlah dan
kualitas pangan yang dibutuhkan seorang acapkali bervariasi antara satu dan lainnya, sesuai
dengan selera, perilaku makan, budaya, kepercayaan, dan agama. Ada yang suka makan nasi,
gandum, jagung ataupun ubi sebagai makanan pokok. Ada makan sebanyak 3x sehari dan ada
yang 2x sehari. Ada yang makan dalam jumlah banyak saat makan siang dan ada yang saat
malam hari. Sementara itu, kemampuan seseorang untuk memproleh makanan yang
dibutuhkannya dipengaruhi oleh kapasitas ekonomis dan sosialnya, disamping ketersediaan
pangan itu sendiri di dalam wilayah jangkauan fisiknya.

Pada masa sekarang, dimana bahan pangan merupakan komoditas ekonomis dan kebanyakan
orang tidak memproduksi sendiri bahan pangan yang dibutuhkannya, seseorang yang tidak
memiliki daya beli umumnya akan menghadapi kesulitan untuk memproleh bahan pangan yang
dibutuhkannya. Pada masyarakat tertentu masih terdapat nilai sosial dimana penyuguhan pangan
diutamakan pada anggota keluarga yang produktif, lelaki, ataupun yang terhormat. Dalam
masyarakat demikian dan bila persediaan pangan keluarga terbatas maka anggota keluarga yang
tidak produktif, wanita dan anak akan memproleh makanan yang kurang dari cukup Upaya
penguatan ketahanan pangan, karenanya; perlu memperhatikan hal-hal terkait dengan aspek
akses penduduk terhadap pangan berikut: aksesibilitas secara fisik, aksesibilitas secara ekonomis,
aksesibilitas secara sosial, selera makan, tingkah laku makan, budaya makan, serta nilai-nilai
kepercayaan dan agama terkait dengan makanan.

Jadi aksesibilitas pangan berkaitan dengan Akses pangan yakni kemampuan memiliki sumber
daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi.

Distribusi Pangan

Distribusi pangan adalah tersedianya pangan dan pasokan pangan secara merata sepanjang
waktu baik jumlah, mutu, aman dan keragamannya untuk memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat, sedangkan akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk dapat
menjangkau/mendapatkan pemenuhan kebutuhan pangan sepanjang waktu baik jumlah, mutu,
aman, keragaman untuk menunjang hidup yang aktif, sehat dan produktif.

Subsistem distribusi pangan merupakan salah satu subsistem dari sistem ketahanan pangan yang
mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien, sebagai prasyarat untuk menjamin agar
seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup
sepanjang waktu, dengan harga yang terjangkau. Bervariasinya kemampuan produksi pangan
antar wilayah dan antar musim menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi,
sehingga pangan tersedia sepanjang waktu di seluruh wilayah.

Kinerja subsistem distribusi dipengaruhi oleh kondisi prasarana dan sarana, kelembagaan dan
peraturan perundangan. Penguatan di subsistem produksi/ketersediaan pasokan tidak akan
memberi nilai tambah bagi masyarakat apabila tidak didukung dengan berjalannya subsistem
distribusi. Melihat kondisi Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki variasi kemampuan
produksi antar wilayah dan antar musim, manajemen distribusi yang baik dan berpihak kepada
seluruh lapisan masyarakat sangat mutlak diperlukan untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan
sepanjang waktu. Hal ini membawa konsekuensi bagi pemerintah untuk menciptakan
perundangan dan sebuah lembaga yang mampu memastikan terciptanya kondisi dimana seluruh
masyarakat memiliki kemampuan untuk mengakses pangan secara mudah dengan harga yang
rasional dan terjangkau sepanjang waktu.

Kebijakan menyerahkan kelancaran subsistem distribusi komoditi pangan pokok kepada entitas
bisnis dalam mekanisme pasar, tentu saja, akan memicu kerawanan sosial dan berpotensi
dimanfaatkan oleh spekulan tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional. Hal ini berkorelasi
dengan fluktuasi harga dan pasokan pada komoditi pangan pokok yang dampaknya akan
menimbulkan kerugian bagi konsumen rakyat. Hampir semua negara berkembang di dunia
memiliki perangkat hukum dan kelembagaan untuk melakukan intervensi kebijakan, dalam
rangka menjaga stabilitas harga dan pasokan untuk komoditi pangan strategis yang
mempengaruhi hidup orang banyak. Indonesia memiliki Bulog sebagai lembaga pangan yang
pada masanya diakui dapat menjamin bekerjanya subsistem distribusi secara optimal. Dalam
perjalananya, Bulog mengalami berbagai proses transformasi, semisal kelembagaan, dengan
pembatasan kewenangan berkaitan dengan kegiatan operasional dan pengelolaan komoditi
(hanya beras). Transformasi Bulog paling signifikan adalah akibat dari tekanan IMF dan World
Bank pada era liberalisasi, yang berakibat tereduksinya peran Bulog secara signifikan dalam
menunjang keberhasilan subsistem distribusi pangan. Bulog mempunyai beban untuk
menjalankan fungsi komersial, ditengah fungsi sosial menjaga stabilisasi harga pangan.

Indikator keberhasilan dalam distribusi pangan adalah pada saat pangan telah mencapai
ke konsumen. Bahan pangan tersebut harus cukup secara kuantitas, aman bagi kesehatan, bergizi
baik, sesuai selera konsumen, harganya terjangkau, dan tersedia sepanjang tahun.

Distribusi Pangan mempunyai tugas membantu Kepala Badan Ketahanan Pangan dalam
melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang Distribusi Pangan.

2.1 Macam-macam aksesibilitas

Akses pangan atau aksesibilitas terhadap pangan dipengaruhi oleh aspek fisik (sarana dan
prasarana distribusi pangan), aspek ekonomi (daya beli masyarakat) dan aspek sosial (preferensi
jenis pangan).

1.Aksesbilitas fisik terkait dengan kualitas prasarana dan sarana transportasi, sistem distribusi
dan logistik pangan, dan kebijakan pemasaran dan perdagangan pangan.

2.Aksesibilitas Ekonomi, terkait dengan daya beli perseorangan dan rumah tangga yang
dicerminkan oleh pendapatan dan sistem kekerabatan dalam mengatasi masalah pangan dalam
suatu keluarga besar.

3.Aksesibilitas Sosial, terkait dengan keadaan lingkungan wilayah pangan.

2.3 Distribusi pangan antar daerah kelompok konsumen dan antar waktu

Distribusi pangan merupakan bagian dari sistem ketahanan pangan yang mempunyai fungsi penting
untuk mendukung keterjangkauan terhadap pangan, karena merupakan rantai penghubung antara
produsen dengan konsumen pangan, dan antara wilayah sentra produksi pangan dengan wilayah
konsumen.

Permasalahan distribusi pangan dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat fisik dan non fisik.
Persoalan fisik yang paling utama adalah terkait sarana dan prasarana transportasi dan angkutan barang.
Sementara penyebab yang bersifat non-fisik antara lain adalah adanya perilaku pelaku distribusi yang
mempunyai kekuatan untuk mengendalikan pasokan pangan yang pada akhirnya bertujuan untuk
mengendalikan harga serta keterbatasan informasi pasar.

Mekanisme distribusi pangan yang berjalan efisien merupakan salah satu tujuan yang akan dicapai
dalam pembangunan ketahanan pangan. Salah satu indikator bahwa distribusi pangan telah berjalan
sesuai yang diharapkan adalah tersedianya pangan dalam kondisi tepat jumlah dan tepat waktu disetiap
tempat sesuai dengan pola kebutuhan masyarakat.

Salah satu upaya untuk mendukung perwujudan situasi distribusi pangan yang berjalan efisien adalah
melalui penyediaan informasi dan pembangunan data base distribusi pangan. Sesuai dengan tugas dan
fungsi Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, pada tahun 2015 ini upaya tersebut dilaksanakan melalui
kegiatan Analisis Jaringan Distribusi Pangan.

Kegiatan Analisis Jaringan Distribusi Pangan dilaksanakan oleh Badan Ketahanan Pangan bekerjasama
dengan instansi pelaksana ketahanan pangan di tingkat provinsi. Pada tahun 2015 ini, kegiatan baru
dapat dilaksanakan di 24 provinsi. Diharapkan pada tahun-tahun mendatang dapat diperluas ke provinsi
yang lainnya.

Pembangunan data base dan penyediaan informasi distribusi pangan dalam kegiatan ini difokuskan
kepada data dan informasi distribusi pangan antar wilayah untuk komoditas beras, cabai merah dan
bawang merah. Ketiga komoditas tersebut diprioritaskan karena mempunyai pengaruh yang besar
dalam perekonomian dan seringkali berperan dalam angka inflasi.

Keberhasilan pelaksanaan kegiatan ini sangat tergantung dari komitmen seluruh pelaksana kegiatan baik
di tingkat pusat maupun di tingkat provinsi, meskipun disadari adanya beberapa keterbatasan yang ada
dalam pelaksanaan kegiatan ini.

Dukungan dan peran aktif Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi terhadap pelaksanaan kegiatan
sangat diharapkan, terutama untuk menggalang peran serta antar instansi terkait di tingkat provinsi
sehingga dapat memperkecil kendala pengumpulan data.

Pemanfaatan dana dekonsentrasi kegiatan Analisis Jaringan Distribusi Pangan pada masing-masing
provinsi antara lain digunakan untuk mendukung kegiatan tim pelaksana, pengumpulan data dan
penyusunan laporan.
Selain berkewajiban untuk mengumpulkan dan mengirimkan data bulanan, Tim Pelaksana di tingkat
provinsi juga harus menyusun laporan tiga bulanan dan laporan akhir sebagai bentuk
pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan di setiap provinsi.

Anda mungkin juga menyukai