SURAKARTA
2012
BAB I
KELOMPOK 2
APLIKASI TEORI MODERNISASI DALAM
SOSIOLOGI PEMBANGUNAN
Modernisasi seringkali diartikan sebagai perubahan masyarakat yang bergerak dari
keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang
modern. Teori pembangunan modernisasi yang dikemukakan oleh Alex Inkeles dan David H.
Smith menyebutkan bahwa modernisasi adalah suatu proses dari serangkaian upaya untuk
menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi
universal, rasional, dan fungsional. Modernisasi menunjukkan sebuah perkembangan.
Perkembangan dari hal-hal yang masih bersifat rumit menjadi sesuatu yang praktis, canggih, dan
ekonomis.
Modernisasi walaupun berhasil memajukan perekonomian negara dunia kedua namun
gagal mewujudkan hal yang sama pada negara dunia ketiga. Bagi negara dunia ketiga
modernisasi tak ubahnya dianggap sebagai “westernisasi”. Modernisasi dianggap telah
menghilangkan nilai - nilai budaya yang ada. Pada sisi lain, modernisasi akan menghasilkan
suatu pola perkembangan pembangunan dengan mendifusikan secara aktif segala sesuatu yang
diperlukan dalam pembangunan, terutama nilai-nilai ‘modern’, teknologi, keahlian, dan modal.
Penganut teori modernisasi cenderung merasakan dunia ketiga dari sebuah posisi
evolusioner dari manfaat dan superioritas negara barat. Teori underdevelopment menganggap
bahwa dunia ketiga perlu melangkah maju ke arah versi yang ideal dari apa yang mungkin telah
dunia barat lakukan, tanpa intervensi kejam dari kapitalisme.
Di sisi lain penganut teori modernisasi melihat industrialisasi kapitalis sebagai jalur
paling efektif dari pembangunan, kurang tulus dan bermoral dalam hubungannya dengan
kesejahteraan manusia daripada penganut teori underdevelopment (dan teori lainnya) yang
Modernisasi merupakan salah satu teori pembangunan. Terdapat beberapa konsep kunci
sosiologi yang berhubungan dengan proses-proses modernisasi seperti industrialisasi,
pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi, perubahan struktur masyarakat baik melalui kemajuan
politik maupun mobilitas penduduk, perkembangan teknologi sebagai peningkatan pengetahuan.
Schoorl (1980) dalam bukunya berjudul Modernisasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan
Negara-Negara Sedang Berkembang membuka tulisannya dengan menyatakan bahwa
modernisasi sebagai gejala umum. Semua bangsa terlibat dalam proses modernisasi. Manifestasi
proses ini pertama kali nampak di Inggris pada abad ke-18 yang disebut revolusi industri.
Penyebaran itu dianggap sebagai sesuatu yang begitu biasa, sehingga masyarakat dunia itu sering
dibagi menjadi dua kategori : negara maju dan negara sedang berkembang, masing-masing
terdiri atas negara-negara yang telah mengalami modernisasi dan negara-negara yang
mengadakan modernisasi.
Konsep modernisasi gagal dalam mengantisipasi kelemahan-kelemahan tersebut,
pendekatan yang selalu berorientasi pada iptek mengasumsikan bahwa masalah kemanusiaan
dapat diatasi dengan menggunakan iptek tersebut. pendekatan ini sangat kontraproduktif dimana
tekanan penggunaan iptek pada industri adalah “padat modal”. Industri yang berbasis iptek
tersebut memerlukan tenaga kerja yang sedikit namun dengan kualifikasi yang sangat tinggi.
Kondisi yang tidak mungkin terdapat pada negara berkembang dengan jumlah naker melimpah
namun kualifikasi yang ada sangat rendah. Negara berkembang lebih cocok dengan industri yang
menggunakan konsep “padat karya”. Bukti kegagalan pendekatan iptek semata adalah vietnam
yang mampu memenangi peperangan dengan USA menggunakan taktik gerilya.
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama ini juga tidak lepas
dari pendekatan modernisasi. Asumsi modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam
pembangunan menyebabkan beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi masalah
krusial Bangsa Indonesia. Penelitian tentang modernisasi di Indonesia yang dilakukan oleh
Sajogyo (1982) dan Dove (1988). Kedua hasil penelitian mengupas dampak modernisasi di
beberapa wilayah Indonesia. Hasil penelitian keduanya menunjukkan dampak negatif
modernisasi di daerah pedesaan. Dove mengulas lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai akibat
benturan dua budaya yang berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal
APLIKASI TEORI STRUKTURAL DAN STRATIFIKASI SOSIAL DALAM
PEMBANGUNAN
Dalam teori fungsional, suatu masyarakat manusia akan sejahtera, hidup harmonis dan
nyaman jika fungsi masing-masing anggota masyarakat bersangkutan tidak lepas dari status,
posisi dan peranannya yang telah disepakati bersama dan tidak menyimpang dari tatanan
perilaku atau pranata sosial (social order) yang manusiawi dan bermartabat, sehingga gejala
konflik atau kejadian konflik sosial tidak terjadi. Begitu juga dalam pola pembangunan, di dalam
pembangunan harus melihat struturasi di dalam masyarakat. Baik dari keluarga, suku, atau marga
(klan), melakukan semua fungsi kemasyarakatannya dengan proporsional. Aplikasi teori
fungsional dalam pembangunan ini dapat di lihat dari pembangunan ekonomi di afrika.
Pada abad ke-19 masyarakat-masyarakat tradisional di Timur Tengah terbangun oleh
pengaruh peradaban barat dan abruk karenanya. Barat tidak dapat mengganti nilai-nilai yang
telah menghancurkannya itu, demikian pula jamahannya tidak banyak melampaui kelas-kelas
atas dan menengah. Yang terakhir ini dengan sendirinya tidak dapat disamakan dengan kelas
menengah di Barat. Kelas itu terdiri dari pagawai-pegawai pemerintah yang digaji dan tenaga-
tenaga profesi. Kelas-kelas lainnya untuk bagian terbesar tidak terjamah, terutama kaum tani.
Massa rakyat, pada hakikatnya, tetap mempertahankan banyak dari norma-norma dan bentuk-
bentuk tradisional. Proses modernisasi di negara-negara berkembang seringkali merupakan tata
usaha yang menyeluruh, yang dengan sendirinya melibatkan mobilisasi sumber-sumber daya
nasional lainnya. Oleh karena sejumlah bangsa baru dalam menyusun program-program
pembangunan, mereka secara sadar telah meniru model-model sosialis, seperti contoh di negara
Aljazair dan Tunisia.
Fred W. Riggs (1957:23-116), umpamanya, dalam usahanya untuk mengadakan koreksi,
telah mengembangkan sebuah model yang cocok dengan campuran antara tradisional dan
modern sebagaimana yang ditemukan di negeri-negeri yang sedang berkembang. Menurut
modelnya yang ‘prismatik’ itu, maka cirri masyarakat-masyarakat peralihan adalah bahwa
mereka terletak sepanjang suatu continuum antara masyarakat yang fused dan masyarakat yang
refracted. Yang pertama adalah masyarakat tradisional di mana satu struktur, seperti keluarga,
suku, atau marga (klan), melakukan semua fungsi kemasyarakatannya. Dalam masyarakat yang
kedua, yakni yang modern, terdapat struktur-struktur khusus untuk tiap fungsi, seperti gereja,
masjid, sekolah, pemerintah, dan lembaga stratafikasi lainnya.
Riggs membahas masalahnya dalam sebuah sub-model administrative dari masyarakat
prismatic, atau masyarakat peralihan, dan menamakannya dengan model sala (konsep serba guna
sebagai prototype fungsi rumah atau keratin yang dijadikan pusat pemerintahan).dengan
menggunakan sala sebagai tempat kedudukan administrasi baik dalam masyarakat yang fused
maupun dalam masyarakat yang refracted. Riggs memberikan sususan dalam sala dalam
masyarakat-masyarakat prismatic yang heterogen, formalistis, dan saling melimpahi. Heterogen
mengandung implikasi satu campuran tradisional dan modern; formalistis, perbedaan antara
peraturan dan praktek; dan saling melimpahi, apabila fungsi-fungsi modern dilakukan oleh
struktur-struktur tradisional, seperti keluarga atau kelompok komunal. Sebagai satu alat
heuristik, model prismatic itu menyingkapkan cirri campuran dari proses pembangunan. Jika
diterapkan pada pengembangan sumber-sumber daya manusia, model itu menempatkan dalam
hubungan-hubungan yang sebenarnya beberapa di antara masalah-masalah yang khas – dan yang
menyebabkan frustasi – yang terdapat pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang.
Negara-negara berkembang sering terpuruk karena tekanan kemelaratan dan kekacauan
integritas. Masalah lama masih menjadi persoalan utama bangsa. Kemiskinan, kelaparan,
pelanggaran hak-hak asasi manusia, minim dari daya tarik wisatawan sebagai penuymbang
devisa juga penindasan pada kaum peremuan. Selain itu, ancaman dari kaum separatis yang
selalu meneror keamanan negara menjadikan perekonomian dan fungsi struktural masyarakat
terganggu. Walaupun kekacauan seperti ini dapat diamati seperti halnya di negara-negara lemah
Asia, Eropa dan Amerika, keadaan tampak lebih parah untuk negara-negara Afrika. Termasuk
peningkatan perang saudara dan seringnya terjadi peperangan antar masyarakat telah
mengarahkan Afrika ke dalam satu pandangan pada perselisihan serius. Dasa warsa terakhir telah
menyaksikan gagalnya pemerintahan di Somalia, Liberia, Rwanda dan Kongo, dan kegagalan
umum dari rencana pembangunan nasional sepanjang benua.
Teori funmgsional dalam pembanguna hanya memiliki peran untuk menjaga sistem dan
integritas setiap status dan fungsi di dalam masyarakat tanpa memperhatikan konflik. Pola
perubahannya berbentuk siklus dan banyak sekali kelemahan- kelemahan di balik asumsi-
asumsi teori fungsional dalam pembangunan.
Berikut ini adalah beberapa contoh penanganan masalah social, khususnya masalah
pembangunan, dengan menggunakan teori sosiologi.
Salah satu tujuan utama kegiatan penyuluhan pembangunan dalam berbagai bidang
(pembangunan) adalah agar sasaran penyuluhan selaku subyek mampu mengembangkan
kesadarannya untuk mengubah perilakunya sedemikian rupa, sehingga mereka dapat
menempatkan perubahan (yang positif) sebagai bagian dari kebutuhannya untuk hidup lebih
sejahtera dan berkualitas. Bila penyuluhan tidak berhasil maka akan menimbulkan berbagai
dampak yang tidak diinginkan, untuk itu perlu diidentifikasi kemungkinan penyebab dan akar
masalahnya untuk dapat melakukan pencegahan bagi masalah yang mungkin terjadi.
Permasalahan yang terjadi yaitu ketidakberhasilan penyuluhan dalam rangka perubahan
perilaku mengakibatkan kegagalan pembangunan yang pada akhirnya berdampak pada
kesejahteraan masyarakat tidak tercapai dan masyarakat tidak berkualitas. Penyuluh harus
dapat mengidentifikasi apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi dan bagaimana dia dapat
mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan teori sosiologi yang bisa dijadikan alasan
untuk melakukan perubahan didalam sistem sosial masyarakat bersangkutan.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, diketahui bahwa akar masalahnya antara lain:
1. Tidak berfungsinya peran perencana dan pelaksana perubahan perilaku berkaitan dengan
ketidakmampuan perencana dan pelaksana untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat
sehingga mengakibatkan pelaksanaan penyuluhan tidak optimal. Dalam hal ini penyuluh
perlu memahami teori fungsional, dimana jika perencana atau pelaksana pembangunan
tidak menjalankan fungsinya dengan baik akan menimbulkan konflik (timbulnya perilaku
menyimpang). Untuk mengantisipasi masalah ini dapat dilakukan melalui pendidikan dan
latihan bagi perencana dan pelaksana agar dapat melaksanakan peran dan fungsinya
dengan baik serta dengan menyadarkan mereka tentang pentingnya posisi, peran dan
fungsi mereka dalam pembangunan (memberi pengakuan).
2. Masyarakat tidak menyadari sumberdaya yang dimiliki sehingga masyarakat tidak yakin
bahwa mereka mampu merubah tingkah lakunya. Berdasarkan hal tersebut yang dapat
dilakukan adalah menyadarkan masyarakat bahwa mereka memiliki sumberdaya yang
bila dimanfaatkan dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Proses
penyadaran dapat dilakukan melalui penyelenggaraan pendidikan non formal dan
pelaksanaan program pembangunan dengan pendekatan partisipatif.
3. Masyarakat cenderung mempertahankan nilai yang selama ini dianggap benar (value
expressive dan ego defensif attitude). Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak
mempercayai bahwa dengan merubah perilaku mereka dapat meningkatkan kualitas
hidupnya. Dalam hal ini penyuluh berhadapan dengan perilaku kolektif dimana
masyarakat sasaran cenderung untuk mempertahankan statusnya. Untuk itu, sebaiknya
penyuluh dapat membangun kepercayaan masyarakat pada dirinya setelah itu melakukan
penyadaran pada masyarakat bahwa dengan perubahan perilaku (biasanya berkaitan
dengan penerapan inovasi), kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Kegiatan yang bisa
dilakukan adalah melalui sistem latihan dan kunjungan (pendekatan kelompok dan
pendekatan individu).
Berdasarkan analisa permasalahan kerusakan alam dan berbagai masalah sosial yang
dihadapi saat ini, diketahui bahwa terdapat beberapa akar masalah dan melalui ilmu sosiologi
dan ilmu penyuluhan pembangunan dapat diatasi, minimal dikurangi melalui usaha sebagai
berikut:
1. Memudarnya peran gate keeper dalam masyarakat. Dalam hal ini, penyuluh harus
mengerti teori sistem sosial dimana dalam sistem sosial, masyarakat merupakan satu unit
yang berbeda dengan yang lainnya dimana terdapat nilai atau norma yang tetap
dipertahankan sebagai identitas masyarakat. Dalam hal ini, peran gate keeper dalam
menjaga masyarakat masih diperlukan sebagai penyaring nilai yang boleh dan tidak boleh
berkembang dalam masyarakat dan dalam mengendalikan Demonstration effect. Untuk
itu, perlu penyadaran masyarakat tentang pentingnya peranan gate keeper tersebut
sehingga masyarakat dapat mengakui kembali keberadaan gate keeper.
2. Konflik Kepentingan dan distribusi kekuasaan yang tidak seimbang. Dalam pemecahan
masalah, penyuluh berkaitan dengan teori konflik, dimana konflik terjadi menimbulkan
ketidaknyamanan hidup individu yang sering direfleksikan pada bentuk perilaku yang
cenderung menyimpang seperti tindakan korupsi sebagai akibat dari adanya kesenjangan
pemenuhan kebutuhan (antara yang diinginkan dan kenyataan) dimana pada saat seorang
PNS panitia pengadaan golongan III sangat ingin memiliki mobil keluaran terbaru tapi
kenyataannya gajinya tidak mencukupi untuk membeli mobil/mencicil maka pada saat
seorang pengusaha yang ingin memenangkan lelang pengadaan memberikan iming-iming
sebuah mobil bila perusahaannya menang pada tender tersebut, PNS tersebut berada
dalam konflik dimana dia harus menjalankan tugasnya dengan baik dan keinginannya
untuk memiliki mobil. Untuk mengantisipasi permasalahan ini (perilaku menyimpang
yaitu korupsi) tidak menjadi budaya dalam masyarakat maka pengendaliannya dapat
melalui diterapkannya hukuman sosial (dikucilkan) bahkan dengan hukuman penjara
(tindak pidana korupsi).
Di sana sini banyak terjadi pergolakan politik yang menimbulkan konflik sosial.
Masyarakat kehilangan pijakan dan kepercayaan diri, emosi sosial meningkat tak tahu akan
menyalahkan siapa. Akibnatnya antar warga masyarakat saling curiga, solidaritas sosial
menurun, sehingga timbul tragedi kemanusiaan yang panjang dan pada akhirnya mengancam
integritas bangsa secara global. Sesuai dengan perkembangan kondisi sosial dan perubahan
kepentingan masyarakat, maka lumrah kalau adat istiadat itu selalu berubah sesuai dengan
tuntutan hidup. Akan tetapi bukan berarti hukum adat masyarakat itu tak berlaku atau mati,
melainkan ia tetap hidup dalam jiwa mereka. Jadi perubahan adat tidak dapat dijadikan
alasan untuk tidak memperhatikan eksistensi adat masyarakat setempat, apalagi menyangkut
kepentingan berbagai pihak untuk mengubah penguasaan dan pemanfaatan tanah yang ada di
wilayah mereka. Sebagai kenyataan pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan adanya
konflik-konflik soal tanah yang terjadi di sekitar kegiatan pembangunan. Oleh karena itu
perlu penataan posisi hukum adat terasa semakin mendesak dan segera dilakukan. Hal ini
dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan semakin meningkatnya konflik sehubungan
dengan terus bergeraknya kegiatan-kegiatan pembangunan dari berbagai sektor yang
cenderung menyentuh kepentingan masyarakat adat.
Mengenai titik persoalan konflik pertanahan pada akhir-akhir ini tidak lepas dari benturan
pemahaman pihak-pihak terhadap status Tanah hak ulayat yang secara realistik keluar dari
fungsinya sebagai lahan jaminan kesejahteraan bersama, sumber kebutuhan taktis, dan
sebagai sumber dana dalam setiap upaya pemenuhan tuntutan hajat hidup. Sementara itu hak
ulayat menurut hukum adat adalah hak atas tanah oleh suatu klen/kerabat masyarakat adat.
Termasuk juga penguasaan hukum adat terhadap kali (sungai), danau, pantai serta tumbuh-
tumbuhan yang hidup secara liar dan binatang.
Pada dasarnya masyarakat berhak mempergunakan tanah-tanah dan kekayaan alam yang
ada di wilayah hukum adat. Dalam hukum adat ditentukan bahwa pihak luar bias
memanfaatkan tanah ulayat dengan seizin pimpinan adat (penyimbang) melalui musyawarah
perwatin adat. Tanah ulayat menurut hukum adat tidak dapat dilepaskan, dipindah-tangankan
dengan hak milik pribadi, termasuh tanah yang sedang digarap. Hal ini menunjukkan bahwa
hubungan hak ulayat dengan hak perorangan mempunyai hubungan timbal balik. Semakin
kuat hubungan antara masyarakat dengan tanah semakin kuat hak ulayat yang berlaku.
Oleh karena diketahui bahwa masyarakat hukum adat sangat terbuka terhadap jalur
musyawarah dalam setiap penyelesaian masalah, termasuk masalah pertanahan, maka apabila
terjadi sengketa tanah ulayat/marga, maka dapat diselesaikan melalui mekanisme tersebut.
Adapun pertimbangannya adalah bahwa masyarakat adat Lampung pada umumnya masih
tetap mendukung adat budayanya. Dalam penyelesaian masalah tanah harus dilakukan
dengan musyawarah bersama antara masyarakat tiyuh semarga, antara masyarakat adat
dengan pihak-pihak yang berkepentingan, dan Pemerintah Daerah sebagai mediator.
Kepala Adat dan warga masyarakat adat Lampung pada umumnya menyadari bahwa
tanah ulayat itu bukan milik perorangan, melainkan hanya dikuasai oleh Kepala Adat dalam
pengertian pengelolaan dan pemanfaatannya atas kewenangan dan seizin Kepala Adat
setempat. Mengenai hasil produksi tanah atau hasil tanam tumbuhnya diatur oleh Kepala
Adat melalui musyawarah perwatin adat, yaitu sebagian besar hasilnya milik penggarap dan
sebagian kecil untuk diserahkan kepada lembaga adat melalui Kepala Adat. Peruntukan hasil
yang diserahkan kepada Kepala Adat adalah sebagai sumber dana pelestarian adat dalam
bentuk gawi adat, musyawarah adat dan kepentingan adat lainnya.
Apabila ada pihak lain, baik pemerintah, badan, lembaga atau perusahaan yang secara
formal ingin menggunakan tanah ulayat tersebut dengan tujuan pembangunan, maka pada
dasarnya masyarakat tidak keberatan sepanjang pihak-pihak yang berkepentingan tadi dapat
bekerjasama, baik dalam proses perencanaan, pengelolaan, pemeliharaan, maupun dalam
pembagian hasil usaha atas tanah tersebut. Hal ini berarti pihak-pihak yang berkepentingan
harus mengikutsertakan masyarakat dengan sentuhan sosial budaya dan dapat mengangkat
kepentingan serta harkat martabat hukum adat yang berlaku. Dalam hal ini tentu saja dalam
segala tindak dan kebijakan harus disesuaikan dengan prosesur hukum adat yang berlaku,
yaitu melalui musyawarah perwatin adat untuk mencapai mufakat.
Mengenai keterlibatan swasta dalam perencanaan dan pelaksanaan program
pembangunan, perlu mendapat pengawasan pihak-pihak yang berwenang agar tidak terjadi
penyimpangan tujuan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Program harus sesuai
dengan potensi sosial budaya, alam, pekerjaan pokok dan aspirasi ekonomi masyarakat.
Apabila tidak, maka proses pelaksanaan program tersebut akan tertatih, bahkan mungkin tak
berhasil atau sedikitnya tak memiliki nilai tambah. Sebagai contoh program cetak sawah
tadah hujan terhadap masyarakat etnis Lampung, tentu mereka akan kalah bersaing dengan
saudara-saudara kita pendatang yang sudah biasa bekerja di sawah. Jika kenyataan ini
ditanggapi dengan perbedaan sikap dan perlakuan serta propokasi sepihak, maka dapat
mengakibatkan timbulnya kecemburuan yang pada akirnya dapat melahirkan konflik etnis.
Contoh konkret teori structural fungsional dalam pembangunan adalah dalam kegiatan PNPM
mandiri. Program tersebut merupakan terobosan dari pemerintah untuk memberikan sebuah bantuan
bagi masyarakat luas dengan prosedur yang telah di tentukan agar pembangunan dapat memberikan
manfaat yang dinikmati oleh masyarakat. Dalam pelaksanaannya terdapat fungsi perencanaan,
pelaksanaan, serta evaluasi. Dalam hal ini pembentukannya sesuai dengan komponen dalam PNPM
Mandiri itu sendiri.
1. Fungsi Perencanaan
Pendekatan Program PNPM-MANDIRI
Pendekatan atau upaya-upaya rasional dalam mencapai tujuan program dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan program adalah pembangunan yang berbasis
masyarakat dengan :
Menggunakan kecamatan sebagai fokus program untuk mengharmonisasikan
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program.
Memposisikan masyarakat sebagai penentu/pengambil kebijakan dan pelaku utama
pembangunan pada tingkat lokal.
Mengutamakan nilai-nilai universal dan budaya lokal dalam proses pembangunan
partisipatif.
Menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan karakteristik
sosial, budaya dan geografis.
Melalui proses pemberdayaan yang terdiri dari atas pembelajaran, kemandirian dan
keberlanjutan.
2. Fungsi Pelaksanaan
Komponen Program dalam PNPM-MANDIRI
Rangkaian proses pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui komponen program
sebagai berikut :
Pengembangan Masyarakat.
Komponen Pengembangan Masyarakat mencakup serangkaian kegiatan untuk
membangun kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat yang terdiri dari pemetaan
potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat, perencanaan partisipatif, pengorganisasian,
pemanfaatan sumberdaya, pemantauan dan pemeliharaan hasil-hasil yang telah dicapai.
Untuk mendukung rangkaian kegiatan tersebut, diesediakan dana pendukung kegiatan
pembelajaran masyarakat, pengembangan relawan dan operasional pendampingan
masyarakat; dan fasilitator, pengembangan kapasitas, mediasi dan advokasi. Peran
fasilitator terutama pada saat awal pemberdayaan, sedangkan relawan masyarakat adalah
yang utama sebagai motor penggerak masyarakat di wilayahnya.
Bantuan Langsung Masyarakat
Komponen Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) adalah dana stimulan keswadayaan
yang diberikan kepada kelompok masyarakat untuk membiayai sebagian kegiatan yang
direncanakan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan terutama
masyarakat miskin.
Peningkatan Kapasitas Pemerintahan dan Pelaku Lokal
Komponen Peningkatan Kapasitas Pemerintah dan Pelaku Lokal adalah serangkaian
kegiatan yang meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan pelaku lokal/kelompok
perduli lainnya agar mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan sinergi yang positif
bagi masyarakat terutama kelompok miskin dalam menyelenggarakan hidupnya secara
layak. Kegiatan terkait dalam komponen ini diantaranya seminar, pelatihan, lokakarya,
kunjungan lapangan yang dilakukan secara selektif dan sebagainya.
Bantuan Pengelolaan dan Pengembangan Program
Komponen ini meliputi kegiatan-kegiatan untuk mendukung pemerintah dan berbagai
kelompok peduli lainnya dalam pengelolaan kegiatan seperti penyediaan konsultan
manajemen, pengendalian mutu, evaluasi dan pengembangan program.
3. Fungsi Evaluasi
Dalam evaluasi ini harus menjadi perhatian bersama mulai dari pemerintah daerah
sebagai evaluator, hingga kepada elemen masyarakat yang menjadi obyek pelaksanaan
kegiatan PNPM Mandiri.
APLIKASI TEORI PERUBAHAN SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN
TINDAKAN – TINDAKAN