Anda di halaman 1dari 5

Uji coba akan melihat bagaimana kinerja dan dampak vaksi terhadap respons kekebalan dan efek

samping.

Kaiser Permanente mengungkapkan jika metode peneltian vaksin ini berbeda dengan vaksin lain karena
tidak mengandung virus yang memicu COVID-19, yang disebut SARS-CoV-2, dan tidak dapat
menyebabkan infeksi. Tidak seperti vaksin yang dikembangkan untuk virus lain, seperti campak, vaksin
baru ini tidak memanfaatkan virus yang lemah atau mati.

Sebagai gantinya, vaksin mengandung segmen pendek materi genetik yang disebut messenger RNA,
atau mRNA, yang dihasilkan di laboratorium. Dalam sel tipikal, mRNA mengkodekan instruksi untuk
membangun protein yang berbeda.

Vaksin ini harus melewati tiga fase uji klinis berulang agar dapat dinyatakan aman dan efektif untuk
penggunaan luas. Jika semua tes berjalan dengan baik, makan vaksin baru siap digunakan untuk umum
pada 12-18 bulan ke depan.

Berikut tahap-tahap penelitian vaksin corona.

1. Fase 1

Penelitian yang dilakukan saat ini merupakan tahap uji coba klinis fase 1. Dikutip dari Live Science,
tahapan ini bertujuan untuk mengetahui interaksi vaksin dengan tubuh manusia sehat.

Uji coba klinis fase 1 ini melibatkan sekelompok kecil orang antara 20-80 orang yang akan menerima
dosis berbeda. Peneliti akan memantau metabolisme pengobatan dan efek samping yang muncul dari
setiap dosis yang diberikan.

Pada uji klinis ini, relawan menerima dua suntikan vaksin berjarak 28 hari di lengan atas. Partisipan akan
dipantau selama 14 bulan.

Jika vaksin berfungsi seperti rancangan awal, sistem kekebalan akan menghadirkan antibodi yang
menangkap protein khas yang ditemukan pada permukaan virus corona. Vaksin ini memerintahkan sel
untuk membangun protein virus sendiri menggunakan molekul yang disebut messenger RNA (mRNA)z.
Setelah digunakan oleh tubuh, mRNA rusak dan hilang, sehingga hanya menyisakan antibodi pelindung.

2. Fase 2

Setelah uji coba klinis fase 1, vaksin kemudian harus diuji pada kelompok orang yang lebih besar dalam
jangka waktu yang lebih lama pada fase 2 dan 3.

Uji coba fase 2 umumnya meneliti beberapa ratus orang dan memantau peserta dalam periode bulan
hingga dua tahun.

Fase 2 bertujuan untuk mengukur keamanan vaksin dan membantu peneliti memperbaiki dosis obat
tertentu. Pada tahap ini, peneliti memilih peserta dengan karakteristik seperti usia dan kesehatan fisik
yang cocok dengan orang yang sedang mengembangkan vaksin. Misalnya, orang yang berusia lanjut dan
memiliki penyakit kronis karena lebih rentan terhadap COVID-19.

3. Fase 3

Menurut FDA, uji coba klinis fase 3 biasanya diikuti 300 hingga 3.000 relawan selama satu hingga empat
tahun.

Jumlah peserta yang besar memungkinkan tim peneliti untuk melihat efek samping yang tidak bisa dari
vaksin. Jangka waktu yang panjang juga memungkinkan peneliti melihat efek samping yang muncul
dalam jangka panjang.

Uji coba fase 3 harus menunjukkan bahwa vaksin harus memberikan manfaat medis yang sesuai.

Setelah lulus uji coba klinis, FDA akan menganalisis dan menyetujui vaksin untuk dapat digunakan secara
luas di Amerika Serikat.

Di Indonesia, Honesti Basyir, Direktur Utama PT Biofarma mengungkapkan jika pihaknya belum memiliki
vaksin virus corona. Saat ini rencana pembuatan vaksin masih dalam tahap kajian
China kini punya tiga vaksin yang sedang dalam proses uji coba pada manusia. Ketiganya menggunakan
metode produksi yang lebih konvensional.

Vaksin AD5-nCoV dibuat perusahaan bioteknologi CanSino Biologics.

Tanggal 16 Maret, saat Moderna memulai uji coba pada manusia, CanSino Biologics bekerja sama
dengan Institut Bioteknologi dan Akademi Ilmu Kedokteran Militer China, menguji vaksin mereka.

Vaksin AD5-nCoV menggunakan adenovirus – virus penyebab flu – sebagai vektor (pengantar).
Adenovirus yang digunakan adalah versi yang tidak berkembang biak.

Vektor tersebut membawa gen untuk protein S (spike) dari permukaan virus corona. Dan dengan ini
berusaha memancing respons kekebalan tubuh guna melawan infeksi.

China juga tengah melakukan uji coba pada manusia untuk vaksin LV-SMENP-DC dari Institut Kedokteran
Genoimun, Shenzen. Vaksin ini berfokus pada penggunaan model sel dendrit yang dimodifikasi dengan
vektor dari lentivirus.

Calon berikutnya adalah vaksin yang dibuat dari virus yang telah dinonaktifkan dari Institut Produk
Biologi Wuhan, subordinat dari Grup Farmasi Nasional China, Sinopharm.

Tipe vaksin ini dibuat dengan memproduksi partikel virus di reaktor dan memurnikannya sehingga virus
kehilangan kemampuan untuk menyebabkan penyakit.

Vaksin keenam adalah Vacuna ChAdOx1 dari Jenner Institute, University of Oxford, Inggris.

Uji coba klinis pertama di Eropa dimulai tanggal 23 April untuk mengetes vaksin ini.
Ini adalah jenis vaksin gabungan atau rekombinan, serupa dengan yang dibuat oleh CanSino di China.

Namun tim di Oxford menggunakan versi adenovirus dari simpanse yang telah dilemahkan dengan
modifikasi sehingga tidak direproduksi pada manusia sebagai vektor.

Para ilmuwan telah berpengalaman menggunakan teknologi ini, antara lain untuk mengembangkan
vaksin untuk MERS yang juga disebabkan virus corona.

Hasil uij coba klinis, kata tim ini, memperlihatkan hasil yang positif.

Tantangan produksi masal

Sekalipun kemajuan pesat terjadi dalam pembuatan vaksin Covid-19, para ahli mengatakan tak ada
jaminan bahwa penyuntikan atau inokulasi akan berhasil.

Dijelaskan oleh dr. Felipe Tapia, tidak diketahui bagaimana reaksi vaksin ini terhadap jenis populasi
berbeda, atau di antara kelompok umur berbeda.

Ilmuwan Singapura mengklaim telah menemukan cara melacak perubahan genetika, yang
memungkinkan digunakan untuk mempercepat pembuatan vaksin virus corona.

Dilansir dari Reuters, Selasa (24/3), para ilmuwan di Duke-NUS Medical School menyatakan, metode
yang mereka kembangkan mampu mengevaluasi potensi vaksin yang dikembangkan oleh Arcturus
Therapeutics, sebuah perusahaan bioteknologi Amerika Serikat (AS), dalam hitungan hari.

Wakil Direktur Program Penyakit Menular Duke-NUS Medical School Ooi Eng Eong mengatakan,
penilaian cepat atas perubahan genetika memungkinkan para ilmuwan menentukan efektivitas dan efek
samping vaksin, alih-alih hanya mengandalkan respons dari manusia yang menerimanya.
Saat ini, tidak ada obat yang disetujui atau vaksin pencegahan yang menargetkan virus corona, dengan
sebagian besar pasien hanya menerima perawatan suportif, seperti bantuan pernapasan mereka. Para
ahli mengatakan, upaya menyiapkan vaksin bisa memakan waktu satu tahun atau lebih.

Anda mungkin juga menyukai