Volume - 1
Panduan Peraturan Desa
tentang Daerah Perlindungan Laut
Volume -1
Kerjasama :
iii
Kata Pengantar
Buku ini dibuat merupakan salah satu seri dari sepuluh buku panduan
pembelanjaran mandiri dalam pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis
masyarakat yang diterbitkan oleh COREMAP II. Memang penerapan
pengelolaan berbasis masyarakat menjadi pendekatan yang dirintis sejak
akhir tahun 1990-an dan menjadi penting salahsatunya diterapkan pada
pengelolaan terumbu karang. Penerapan pengelolaan pada terumbu karang
ini membutuhkan pengenalan, pemahaman dan pendalaman terumbu karang
itu sendiri terutama manfaat dan fungsi ekosistem terumbu karang itu
sendiri termasuk ekosistem yang terkait dengannya.
iv
selanjutnya secara mandiri yang bermanfaat bagi motivasi penggerak
partisipasi masyarakat di daerahnya.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada berbagai pihak sehingga buku ini
bisa diterbitkan pada waktunya, terutama kepada para fasilitator dan
pertugas yang ada di garis terdepan di daerah yang telah memberikan
pengkayaan pada langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mengenalkan
ekosistem terumbu karang ini.
Penyusun.
v
Sambutan Dirjen KP3K
vi
sudut pandang masyarakat nelayan, para manajer sumberdaya dan
organisasi-organisasi yang bergerak di bidang lingkungan.
vii
Sekapur Sirih
Paket Buku Panduan ini dapat diselesaikan karena kerja keras Tim
Penyusun dan berkat kontribusi yang diberikan oleh Tim COREMAP II di
Jakarta serta Tim COREMAP Daerah dan para fasilitator dan motivator
desa di lokasi-lokasi CORMAP II di 7 (tujuh) kabupaten, yaitu Kabupaten
Banggai Kepulauan, Kabupaten Buton, Kabupaten Selayar, Kabupaten
Wakatobi, Kabupaten Sikka, Kabupaten Raja Ampat, dan Kabupaten Biak.
Kontribusi yang sangat berharga berupa dukungan kesekretariatan dan
logistik disediakan oleh PT Bina Marina Nusantara.
viii
Daftar Istilah dan Singkatan
ix
Daftar Isi
PENGANTAR .................................................................................................................
x
BAB 3. LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERDES .......................... 18
1. Identifikasi Permasalahan dan Pemangku Kepentingan ............... 18
2. Identifikasi Landasan Hukum ............................................................. 21
3. Penulisan Rancangan Peraturan Desa ............................................. 23
4. Penyelenggaraan Konsultasi Publik .................................................. 28
5. Pembahasan di Badan Perwakilan Desa .......................................... 32
6. Sosialisasi dan Persetujuan Formal ................................................... 33
xi
BAB Pendahuluan
Gambar Daerah
Perlindungan Laut
1
2. Mengapa Perlu Buku Panduan?
2
7). Panduan Jenis-jenis Penangkapan Ikan yang Ramah dan Tidak Ramah
Lingkungan
8). Panduan Monitoring Berbasis Masyarakat
9). Panduan Penyusunan Daerah Perlindungan Laut
10). Panduan Pengelolaan Info Center, dan lain lain
3
4. Bagaimana Menggunakan Buku Panduan?
Buku Panduan Pembuatan Peraturan Desa tentang DPL ini memuat dua hal
pokok. Pertama, Buku Panduan ini menguraikan secara ringkas latar
belakang teori mengenai Peraturan Desa tentang DPL yang berisi prinsip-
prinsip utama pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu dan faktor
utama yang sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan dan penegakan
Peraturan Desa tentang DPL. Bagian ini harus dipahami betul oleh para
fasilitator dan motivator desa sebelum membaca bagian berikutnya.
Kedua, Buku Panduan ini berupaya untuk menuntun para fasilitator dan
motivator desa menyusuri langkah demi langkah dalam upaya menyusun,
menyelesaikan, dan mengesahkan Perdes tentang DPL. Pembuatan Perdes
DPL secara umum memerlukan 6 (enam) langkah yang harus diselesaikan.
Buku Panduan ini berupaya untuk menguraikan setiap langkah,
menunjukkan hasil-hasil yang harus dicapai pada setiap langkah, dan sejauh
memungkinkan memberikan arahan-arahan berupa checklist dan contoh-
contoh teknik atau alat yang dapat digunakan.
Terakhir, Buku Panduan ini dilengkapi dengan contoh Perdes yang sudah
disahkan dan diberlakukan di Desa Bentenan, Kabupaten Minahasa, Provinsi
Sulawesi Utara. Contoh Perdes yang ada dalam Buku Panduan ini
dimaksudkan hanya untuk memberi gambaran mengenai Perdes yang sudah
jadi dan diberlakukan, yang mengatur pengelolaan DPL. Perdes dari Desa
Bentenan ini berjudul Peraturan Desa Bentenan Nomor: 3 Tahun 2002
tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut Desa Bentenan. Dari
judulnya, tampak jelas bahwa Perdes ini cakupannya jauh lebih luas
daripada hanya sekedar mengatur pengelolaan DPL. Selain mengatur
pengelolaan DPL, Perdes ini juga mengatur Kawasan Wisata Bahari, Jalur
Transportasi Laut, Kawasan Pemanfaatan Terbatas, dan Kawasan
Perlindungan Pantai. Tentu saja dapat dibuat satu Pedes khusus yang
mengatur tentang DPL.
4
Para fasilitator dan motivator desa sangat tidak disarankan untuk
menggunakan contoh-contoh untuk disadur atau dijiplak dalam langkah
awal dalam menyusun Perdes di lokasi lain. Penyusunan Perdes harus
dimulai dari langkah awal berupa indentifikasi permasalahan dan dilanjutkan
dengan menyelesaikan langkah-langkah berikutnya. Penyusunan Perdes
harus tumbuh dari kebutuhan nyata di lapangan. Bentuk akhir Perdes
merupakan hasil akhir proses panjang dari langkah pertama sampai langkah
terakhir. Sangat tidak dapat dibernarkan untuk menyadur Perdes dari lokasi
lain hanya dengan sekedar mengadakan perubahan kecil seperti nama-nama
tempat, tanggal pengesahan, nama orang, dan perubahan-perubahan kecil
lainnya.
5
6
BAB Dasar Teori
2 Bab ini memuat uraian ringkas mengenai dua hal pokok yang
akan sangat menentukan tingkat keberhasilan pelaksanaan
Peraturan Desa mengenai pengelolaan Daerah Perlindungan
Laut, yaitu:
(1) Prinsip-prinsip pengelolaan wilayan pesisir dan laut
terpadu; dan
(2) Legitimasi Peraturan Desa.
7
dan peran serta masyarakat; dan (5) kepastian hukum. Seluruh prinsip dasar di
atas harus mampu mempengaruhi norma-norma yang dikembangkan dalam
Perdes tentang DPL, agar supaya seluruh aktivitas yang berkaitan dengan DPL
tersebut akan mengikuti keseluruhan prinsip-prinsip ini.
a. Prinsip Keterpaduan
8
• Keterpaduan Perencanaan Secara Vertikal
Yang dimaksud dengan keterpaduan perencanaan vertikal adalah
keterpaduan kebijakan dan perencanaan pembangunan di tingkat desa
dengan tingkat-tingkat di atasnya, yaitu tingkat kekamatan, kabupaten/
kota, provinsi, sampai tingkat nasional. Seluruh aktivitas pembangunan di
masing-masing tingkat harus terpadu dan saling mendukung dan
menguatkan.
Ekosistem Darat
Ekosistem Laut
Wilayah Pesisir
9
sosial-ekonomi-budaya, kelembagaan, dan biogeofisik lingkungan
setempat.
10
c. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Tujuan utama pengelolaaan wilayah pesisir dan laut terpadu ialah untuk
memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam rangka peningkatan taraf hidup
masyarakat setempat dan pelaksanaan pembangunan regional dan nasional,
dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya tersebut, baik untuk
generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Oleh karena itu, laju
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut harus dilakukan kurang atau sama
dengan laju regenerasi sumberdaya hayati, atau laju inovasi untuk
menemukan substitusi sumberdaya nir hayati di wilayah pesisir dan laut.
Dalam hal keterbatasan kemampuan manusia dalam mengatisipasi dampak
lingkungan di wilayah pesisir dan laut akibat berbagai aktivitas, maka setiap
pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah ini harus dilakukan dengan
mengikuti prinsip kehati-hatian (precautionary principles), dalam
mengantisipasi dampak negatifnya.
11
d. Prinsip Keterbukaan dan Peran Serta dan Pemberdayaan
Masyarakat
12
Prinsip keterbukaan berarti juga memberi kesempatan kepada masyarakat
untuk ikut berperan serta dalam menyusun, melaksanakan, serta memantau
sekaligus pelaksanaan dari rencana pembangunan tersebut. Masyarakat
semestinya memiliki hak untuk menyampaikan gagasan, persepsi, keberatan,
usulan perubahan, ataupun gagasan mereka lainnya yang berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut, sebelum rumusan
kebijakan dan rencana pembangunan ditetapkan oleh pihak yang
berwenang. Dengan demikian, rumusan kebijakan dan rencana
pembangunan tersebut akan lebih sesuai dengan keinginan dan kehendak
masyarakat. Keterbukaan tersebut juga dapat menambah wawasan
masyarakat tentang proses pengambilan keputusan yang dilakukan dalam
rangka mengupayakan pembangunan yang optimal.
Oleh karena perumusan kebijakan dan rencana kegiatan dilakukan bersama
masyarakat, maka dalam pelaksanaan rencana pembangunan tersebut
diharapkan potensi konflik pemanfaatan atau konflik yuridiksi dapat
diminimalisasi bahkan dihindarkan. Oleh sebab itu, konsultasi publik yang
melibatkan para stakeholders pemangku kepentingan utama sejak proses
perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengendalian adalah sesuatu yang
sangat penting.
13
rasa tanggung jawab, yang menjadi nilai dasar pelestarian tersebut. Kepastian
hukum dapat memberikan rasa keadilan dan keamanan pada masyarakat
dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut,
tanpa intervensi pihak penguasa atau pengguna sumberdaya dari daerah
lain. Bagi dunia usaha, kepastian hukum memberikan jaminan keamanan
invesatasi jangka panjang serta mengurangi resiko berusaha. Sedangkan bagi
unsur pemerintahan di daerah, kepastian hukum dapat menjamin
konsistensi dan kebijakan pelaksaan otonomi daerah secara penuh dan
bertanggung jawab.
14
yang diatur? Keberhasilan pelaksanaan atau penegakan aturan hukum
sangat tergantung pada “legitimasi” dari masyarakat dan pihak-pihak lain
yang diatur. Bagaimana supaya sebuah aturan hukum memperoleh legitimasi
dari pihak-pihak yang diatur?
Juga merupakan salah satu faktor yang penting adalah penyusun aturan
hukum hendaknya mendokumentasikan secara cermat dalam bentuk yang
ringkas namun komprehensif hasil-hasil dari setiap konsultasi dengan
masyarakat dan/atau pemangku kepentingan lain. Dokumen-dokumen yang
15
berupa notulensi konsultasi dengan para pihak ini akan menjadi dokumen
publik (public record) yang menggambarkan suatu proses pembuatan suatu
aturan hukum yang dilakukan secara akuntabel atau bertanggung-gugat
(accountable).
16
BAB Langkah-langkah Penyusunan Perdes
5 Pembahasan
di BPD
Penulisan
3 Rancangan
Peraturan Desa
4 Penyelenggaran
Konsultasi Publik
Identifikasi
Landasan Hukum
2 dan Perundang-
Undangan
Identifikasi
1 Permasalahan dan
Pemangku
Kepentingan
17
Langkah 1
1. Identifikasi Permasalahan dan Pemangku Kepentingan
Permasalahan yang terkait dengan suatu DPL dapat meliputi banyak hal,
antara lain degradasi sumberdaya alam, deplisi sumberdaya alam, konflik
pemanfaatan antar pemangku kepentingan yang dapat mengakibatkan
keresahan sosial, kepadatan penduduk yang mengakibatkan rendahnya
sanitasi, pendapatan penduduk pesisir yang rendah, dan lain-lain
permasalahan.
18
Setelah permasalahan teridentifikasi, maka perancang Perdes hendaknya
berupaya sekuat tenaga mengidentifikasi sebab-sebab terjadinya
permasalahan tersebut, dan pihak-pihak yang terkena dampak dari
permasalahan tersebut. Berikut contoh tabel yang merangkum
permasalahan, penyebab terjadinya masalah (akar masalah), dan kelompok
yang terkena dampak.
Identifikasi Permasalahan
Kelompok yang terkena dampak
Permasalahan Akar masalah
Jenis kelompok # Orang
19
Pemangku Kepentingan Kawasan Pesisir dan Laut
20
Langkah 2
2. Identifikasi Landasan Hukum
21
Contoh Hasil Identifikasi Landasan Hukum
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3419);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);
6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
7. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung;
8. Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Nomor 2 Tahun 2000 tentang Pemerintahan
Desa;
9. Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Nomor 6 Tahun 2000 tentang Peraturan
Desa;
10. Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat.
22
Langkah 3
3. Penulisan Rancangan Peraturan Desa
1. Pertimbangan Proses
Penulisan konsep Rancangan Peraturan Desa (Ranperdes) hendaknya
dimulai dengan penulisan secara garis besar, kemudian dilanjutkan dengan
penulisan secara lebih rinci. Tim penulis dapat memulainya dengan
membuat satu kerangka tulisan atau outline. Naskah-naskah atau dokumen
awal yang sudah ada mengenai Daerah Perlindungan Laut, seperti draft
Rencana Pengelolaan dan lain-lain, hendaknya dimanfaatkan sebagai bahan
penulisan Ranperdes. Dalam tahap ini hendaknya konsep Ranperdes tidak
ditulis menyerupai Perdes yang sebenarnya, yakni tidak ditulis dalam
bentuk bab, pasal, dan ayat. Tim Penulis dapat memulai dengan sebuah
matriks yang memuat subyek yang akan diatur (permasalahan yang akan
diatasi) dan usulan pengaturannya (usulan pemecahan masalah atau
ketentuan-ketentuan).
2. Pertimbangan Format
Secara umum, seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik di
tingkat pusat maupun daerah, mengikuti format yang hampir sama, seperti
format di bawah.
23
Judul
Pembukaan
Batang Tubuh
• Ketentuan Umum
• Materi Pokok yang Diatur (larangan, keharusan, dll.)
• Ketentuan Sanksi
Penutup
Penjelasan
Lampiran
3. Pertimbangan Substansi
Perdes tentang DPL hendaknya mengandung materi muatan yang
komprehensif atau menyeluruh, yang meliputi hal-hal seperti diuraikan
secara ringkas di bawah. Contoh-contoh dari masing-masing komponen
dalam Perdes dapat dilihat pada contoh Perdes tentang DPL yang terdapat
pada bagian belakang buku ini. Namun perlu diingat bahwa dalam membuat
Ranperdes untuk suatu lokasi tertentu, contoh tersebut hendaknya
sekedar dipakai sebagai contoh, tidak disadur apalagi dijiplak apa adanya.
Substansi dari sebuah Ranperdes harus mencerminkan kebutuhan spesifik
yang berada di lokasi di mana Ranperdes tersebut akan diberlakukan.
Judul
Judul sebuah Perdes hendaknya mencerminkan hal-hal atau materi muatan
yang diatur. Sedapat mungkin judul dirumuskan dengan ringkas dan jelas
sehingga dapat mudah diingat. Apabila penentuan judul menemui kesulitan
pada awal penulisan Ranperdes, maka penentuan nama judul dapat
dilakukan pada akhir penulisan Ranperdes, setelah Ranperdes tersebut
menjadi jelas kandungan isinya.
Pembukaan
Pembukaan atau preambul suatu Perdes biasanya memuat konsideran
“menimbang” dan konsideran “mengingat.” Konsideran “menimbang” berisi:
24
(1) gambaran dari masalah yang diupayakan untuk diatasi oleh Perdes; dan
(2) identifikasi alasan mengapa diperlukan sebuah Perdes baru untuk
memecahkan masalah-masalah tersebut. Sehingga dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa konsideran “menimbang” merupakan landasan filosifis dan
landasan sosiologis, dan konsideran “mengingat” merupakan landasan
yuridis dari suatu peraturan perundang-undangan dan berisi seluruh
peraturan perundang-undangan terkait yang ada, baik di tingkat nasional,
daerah, maupun desa.
Batang Tubuh
Dalam menyusun ketentuan-ketentuan dalam batang tubuh Perdes,
pembuat Perdes hendaknya menyadari bahwa pembuatan Perdes baru
adalah suatu kesempatan emas untuk memformalkan aturan-aturan tidak
tertulis yang berlaku dan diikukti oleh masyarakat. Oleh karena itu,
pembuat Perdes hendaknya memperhatikan dan mempertimbangkan
aturan-aturan tidak tertulis desa yang mempunyai latar belakan magis,
historis (sejarah), dan sosial budaya, yang meliputi adat istiadat dan
kebiasaan yang telah tumbuh dan berkembang sejak lama dan ditaati sebagai
aturan umum dalam masyarakat. Dengan demikian aturan tertulis yang akan
dibuat tidak tumpang tindih dan kontradiksi dengan aturan tidak tertulis
yang sudah ada sebelumnya.
25
• Ketentuan Umum
Ketentuan umum berisi batasan-batasan (definisi-definisi) atau
pengertian-pengertian mengenai komponen-komponen dalam DPL yang
dimuat dalam Perdes.
Materi pokok yang diatur dalam Perdes tentang DPL, atau sering disebut
dengan materi muatan, meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Cakupan wilayah DPL, meliputi batas-batas zona (zona inti dan zona
penyangga kawasan DPL yang menjelaskan jarak antara batas satu dengan
lainnya).
Batas-batas wilayah DPL, zona inti dan zona penyangga, hendaknya
ditentukan secara jelas dengan memperhatikan pertimbangan-
pertimbangan ekologis secara ilmiah.
b) Tugas dan tanggung-jawab pihak-pihak terkait
Seperti disinggung di depan, Perdes hendaknya merumuskan ketentuan-
ketentuan tentang tugas dan tanggung jawab pihak-pihak terkait,
termasuk masyarakat yang diatur, Kelompok Pengelola DPL, aparat desa,
Badan Perwakilan Desa, dan pihak lain yang terkait.
c) Kegiatan yang diperbolehkan dalam DPL
Ketentuan-ketentuan mengenai kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan
dalam wilayah DPL, seperti kegiatan penelitian dan monitoring atau
pemantauan.
d) Kegiatan yang dilarang dalam kawasan DPL
Ketentuan-ketentuan mengenai kegiatan-kegiatan yang dilarang untuk
26
dilakukan dalam wilayah DPL, seperti melakukan penangkapan ikan
dengan cara apapun, mengambil terumbu karang dan benda-benda lain,
melempar jangkar, melewati wilayah DPL dengan perahu/kapal, menyelam,
snorkeling, dan lain-lain.
e) Ketentuan Sanksi
Dalam merumuskan ketentuan sanksi, hendaknya penulis mengacu pada
Pasal 14 UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang berbunyi: “Materi muatan mengenai ketentuan pidana
hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
Berdasarkan UU 10/2004 tersebut Perdes tidak dibenarkan memuat
ketentuan sanksi pidana.
f) Pendanaan dan pengelolaan dana DPL
Bagian ini memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sumber-sumber
pendanaan dan pengelolaan dana yang diperoleh untuk mengelola DPL.
g) Pengawasan, berisi pelaku dan metoda pengawasan
Ketentuan-ketentuan mengenai siapa yang bertugas untuk melakukan
pengawasan dan bagaimana (metoda) pengawasan harus dilakukan.
Penutup
Ketentuan peralihan dan penutup berkaitan dengan hubungan Perdes yang
baru dengan struktur hukum yang ada. Ketentuan peralihan dan penutup
hendaknya dirumuskan secara singkat namun jelas sehingga tidak
menimbulkan ketidak-pastian hukum.
Penjelasan
Perdes tentang DPL dapat dilengkapi dengan penjelasan umum yang
menguraikan secara memadai tentang dasar pemikiran mengenai alasan-
alasan, ruang lingkup, sistematika penulisan, dan hal lain yang dianggap perlu,
dan dengan penjelasan pasal demi pasal untuk mengurangi terjadinya salah
penafsiran dari pasal-pasal dan ayat-ayat yang dikandungnya.
27
Lampiran
Perdes tentang DPL dapat dilengkapi dengan lampiran-lampiran, seperti
peta desa, peta DPL dan poster.
Secara umum, kegiatan-kegiatan dan hasil kegiatan dalam Langkah 3 ini dapat
diringkas seperti tersaji dalam Tabel Checklist Langkah 3 di bawah.
Format:
• Gunakan farmat yang baku
Substansi meliputi:
• Prinsip-prinsip terkandung dalam konsideran
• Aturan hukum terkait dalam konsideran
• Kegiatan yang diperbolehkan dan dilarang
• Ketentuan Sanksi
• Ketentuan Penutup
• Lampiran-Lampiran
Langkah 4
4. Penyelenggaraan Konsultasi Publik
Pengertian
Konsultasi publik adalah konsultasi atau dengar pendapat antar para
pemangku kepentingan yang bertujuan untuk mencapai kesepakan tentang
28
substansi yang akan dimuat dalam Perdes baru. Konsultasi publik
merupakan salah satu aspek terpenting dalam pebuatan sebuah Perdes
baru. Dengan partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam proses yang
transparan inilah para pemrakarsa Perdes membangun legitimasi ke dalam
Perdes tersebut. Dengan konsultasi publik yang partisipatif dan transparan,
diharapkan Perdes yang dihasilkan akan merupakan kesepakatan bersama
antara seluruh pemangku kepentingan, sehingga semua merasa memiliki dan
merasa berkewajiban untuk mengakkannya secara bersama-sama.
Penjangkauan
Idealnya, proses konsultasi publik pembuatan Perdes tentang DPL
dilakukan di seluruh wilayah (dusun) dan menjangkau seluruh pemangku
kepentingan dan seluruh anggota masyarakat yang akan terkena dampak
oleh adanya Perdes tersebut. Untuk menjangkau wilayah yang luas dan
warga masyarakat yang besar, dapat dilakukan beberapa kali konsultasi
publik.
29
memberikan komitmen waktu dan sumberdaya/dana dalam konsultasi
publik. Konsultasi publik hendaknya dilakukan dalam bentuk yang berbeda-
beda, dan diselenggarakan beberapa kali. Tentu diperlukan waktu untuk
menyajian materi mengenai Ranperdes berikut permasalahan-permasalahan
terkait. Selain itu, diperlukan diskusi kelompok untuk membahas bagian-
bagian khusus secara lebih rinci untuk memperoleh masukan-masukan
nyata dari para peserta konsultasi publik.
30
men-dokumen inti yang diperlukan jauh hari sebelumnya, dan idealnya
disampaikan kepada calon peserta bersamaan dengan undangan, untuk
memberi waktu kepada mereka guna menelaahnya dan mempersiapkan
komentar dan masukan-masukan menurut aspirasi mereka. Juga, hendaknya
ditunjuk petugas khusus, seperti narasumber, moderator, dan notulis yang
bertugas untuk merekam atau mencatat komentar dan masukan dari para
peserta.
Persiapan:
• Pastikan semua calon perserta menerima undangan tepat waktu
• Pastikan semua calon perserta menerima bahan-bahan
(idealnya bersamaan dengan undangan)
• Tunjuk petugas khusus; narasumber, moderator, notulen
31
Langkah 5
5. Pembahasan di Badan Perwakilan Desa
Gunakan kesempatan ini untuk konsultasi • Masukan-masukan dari BPD dan publik
publik; libatkan seluruh stakeholders • Persetujuan dari BPD
Musyawarah di desa
32
Langkah 6
6. Sosialisasi dan Persetujuan Formal
33
hukum untuk melaksanakannya. Apabila masyarakat dan aparat belum siap,
hendaknya disediakan tenggat waktu yang cukup guna mempersiapkannya.
Kegiatan dan hasil kegiatan dalam Langkah 6 ini dirangkum dalam Tebel
Checklist Langkah 6 sebagai berikut.
34
BAB Ringkasan
35
oleh pihak-pihak yang diatur maupun pihak yang mengatur. Dengan
demikian, mau tidak mau sebuah aturan hukum yang baru hendaknya
dibuat secara bersama-sama antara seluruh pemangku kepentingan terkait,
dalam suatu proses yang bersifat transparan atau terbuka. Masyarakat yang
diatur hendaknya diberi kesempatan seluas-luasnya sehingga mereka
merasa bebas, tidak diselimuti rasa takut, untuk menyampaikan pendapat-
pendapat mereka secara murni (genuine) dalam keseluruhan proses
pembuatan aturan hukum tersebut, mulai dari tahap inisiasi (pemrakarsaan)
hingga tahap pengesahan.
36
Penyusunan Perdes tentang DPL
37
CHECKLIST
Cheklist Langkah 1
Cheklist Langkah 1: Identifikasi Permasalahan dan Pemangku Kepentingan
Kegiatan Hasil
Checklist Langkah 2
Cheklist Langkah 2: Identifikasi Landasan Hukum
Kegiatan Hasil
Checklist Langkah 3
Cheklist Langkah 3: Penyusunan draft rancangan peraturan desa
Kegiatan Hasil
Format:
• Gunakan farmat yang baku
Substansi meliputi:
• Prinsip-prinsip terkandung dalam konsideran
• Aturan hukum terkait dalam konsideran
• Kegiatan yang diperbolehkan dan dilarang
• Ketentuan Sanksi
• Ketentuan Penutup
• Lampiran-Lampiran
38
Checklist Langkah 4
Cheklist Langkah 4: Konsultasi Publik
Kegiatan Hasil
Persiapan:
• Pastikan semua calon perserta menerima undangan tepat waktu
• Pastikan semua calon perserta menerima bahan-bahan
(idealnya bersamaan dengan undangan)
• Tunjuk petugas khusus; narasumber, moderator, notulen
Checklist Langkah 5
Cheklist Langkah 5: Pembahasan di Badan Perwakilan Desa (BPD)
Kegiatan Hasil
Gunakan kesempatan ini untuk konsultasi • Masukan-masukan dari BPD dan publik
publik; libatkan seluruh stakeholders • Persetujuan dari BPD
Checklist Langkah 6
Cheklist Langkah 6: Sosialisasi dan Pengesahan Perdes
Kegiatan Hasil
39
40
BAB Contoh Peraturan Desa
41
CONTOH PERATURAN DESA
TENTANG
42
hidup, maka perlinduangan kawasan peisir dan laut desa perlu
dituangkan dalam suatu peraturan desa sebagai perwujudan
masyarakat yang sadar hukum dan lingkungan;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, b, c, d, dan e di atas,
maka perlu menetapkan Peratruan Desa Bentenan tentang
Pengelolaan Kawsan Pesisir dan Laut.
43
DENGAN PERSETUJUAN BADAN PERWAKILAN DESA BENTENAN,
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
PERATURAN DESA BENTENAN TENTANG PENGELOLAAN
KAWASAN PESISIR DAN LAUT DESA BENTENAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
44
11. Jalur Transportsi Laut adalah sebagian wilayah perairan laut Desa Bentenan yang
ditentukan sebagai jalur transportasi laut atau jalan perahu dan atau kapal, yang
menuju ke arah laut atau merapat ke pantai. Jalur ini dibatasi oleh pelampung-
pelampung tanda batas yang ditempatkan di sepanjang jalur;
12. Daerah Perindungan Laut adalah sebagian wilayah perairan Desa Bentenan yang
disetujui oleh masyarakat untuk dilindungi dan ditutup secara permanen
terhadap berbagai kegiatan penangkapan, pengambilan dan atau pemeliharaan
biota laut, serta jalur transportsi laut;
13. Zona Inti Daerah Perlindungan Laut adalah lokasi terumbu karang yang
dilindungi dari berbagai kegiatan pemanfaatan dan aktivitas manusia lainnya,
untuk membiarkan terumbu karang dan biota laut lainnya hidup dan
berkembang-biak tanpa gangguan dari manusia;
14. Zona Penyangga Daerah Perlindungan Laut adalah lokasi terumbu karang yang
berada di sekeliling Zona Inti DPL sebagai penyangga atau pencegah terjadinya
pelanggaran di zona inti DPL;
15. Kawasan Wisata Bahari adalah sebagian wilayah paerairan Desa Bentenan yang
diarahkan pemanfaatannya untuk tujuan-tujuan wisata rakyat;
16. Sumberdaya perarian adalah semua jenis fauna dan flora yang ada di dalam
wilayah administrasi Desa Bentenan;
17. Kawasan Perlindungan Pantai adalah daerah sepanjang garis pantai Desa
Bentenan yang dilindungi dari kerusakan dan abrasi.
BAB II
RUANG LINGKUP WILAYAH PENGELOLAAN
Pasal 2
Pengelolaan kawasan pesisir dan laut Desa Bentenan meliputi seluruh wilayah
pesisir dan laut yang masuk dalam wilayah administrasi Desa Bentenan.
BAB III
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT
Pasal 3
Kawasan pesisir dan laut Desa Bentenan dibagi dalam beberapa kawasan
pengelolaan dan pemanfaatan, yaitu:
1. DaerahPerlindugn Laut (DPL)
2. Kawasan Wisata Bahari
45
3. Jalur Transportasi Laut;
4. Kawasan Pemanfaatan Terbatas;
5. Kawasan Perlindungan Pantai.
BAB IV
DAERAH PERLINDUNGAN LAUT (DPL)
Pasal 4
(1)Daerah Perlindungan Laut Desa Bentenan dilindungi secara tetap sebagai
daerah tabungan ikan dan pelindung pantai serta keanekaragaman hayati
terumbu karang;
(2) Lokasi Daerah Perlindungan Laut terdapat di daerah terumbu karang Jaga V,
terdiri dari Zona Inti dan Zona Penyangga dan ditandai dengan pelampung-
pelampung tanda pembatas.
Pasal 5
(1) Titik batas I Zona Inti berjarak 85 meter dari patokan KPL nomor 3, dan
berjarak 160 meter dari patokan KPL nomor 2;
(2) Titik batas II Zona Inti berjarak 400 meter dari patokan KPL nomor 3, dan
berjarak 450 meter dari patokan KPL nomor 2;
(3) Titik batas III Zona Inti berjarak 750 meter dari patokan KPL nomor 5, dan
berjarak 400 meter dari patokan KPL nomor 4;
(4) Titik batas IV Zona Inti berjarak 500 meter dari patokan KPL nomor 5, dan
berjarak 160 meter dari patokan KPL nomor 4.
Pasal 6
(1) Titik batas I Zona Penyangga berjarak 85 meter dari patokan KPL nomor 3, dan
berjarak 160 meter dari patokan KPL nomor 2;
(2) Titik batas II Zona Penyangga berjarak 400 meter dari patokan KPL nomor 3,
dan berjarak 450 meter dari patokan KPL nomor 2;
(3) Titik batas III Zona Penyangga berjarak 750 meter dari patokan KPL nomor 5,
dan berjarak 400 meter dari patokan KPL nomor 4;
(4) Titik batas IV Zona Penyangga berjarak 500 meter dari patokan KPL nomor 5,
dan berjarak 160 meter dari patokan KPL nomor 4.
Pasal 7
(1) Zona Inti DPL ditutup secara tetap terhadap berbagai kegiatan penangkapan
ikan dan atau budidaya laut, perusakan dan atau pengambilan karang serta biota
46
laut lainnya baik hidup maupun mati, kegiatan pariwisata, penyelaman komersial,
lalu lintas perahu dan angkuan laut lainnya;
(2) Zona Penyangga DPL berlokasi di sekeliling Zona Inti DPL dan ditutup secara
tetap terhadap berbagai kegiatan penangkapan dan pembudidayaan perikanan,
perusakan dan pengambilan karang serta biota laut lainnya baik hidup maupun
mati.
(3) Kegiatan peninjauan, monitoring, penyelaman dan atau pengambilan biota laut
untuk tujuan penelitain dan atau kunjungan studi banding dapat dilakukan di
loksi DPL, dengan ketentutan harus melapor dan mendapat izin dari Kelompok
Pengelola KPL.
BAB V
KAWASAN WISATA BAHARI
Pasal 8
(1) Kawasan Wisata Bahari Desa Bentenan adalah suatu bagian wilayah perariran
Desa Bentenan yang diarahkan pada pengembangan usaha wisata;
(2) Kawasan Wisata Bahari Desa Bentenan berloksi di Jaga V di daerah Katama.
Pasal 9
(1) Titik batas I Kawasan Wisata Bahari berjarak 170 meter dari patokan KPL
nomor 3 dan berjarak 140 meter dari patokan KPL nomor 2;
(2) Titik batas II Kawasan Wisata Bahari berjarak 300 meter dari patokan KPL
nomor 3 dan berjarak 300 meter dari patokan KPL nomor 2;
(3) Titik batas III Kawasan Wisata Bahari berjarak 470 meter dari patokan KPL
nomor 3 dan berjarak 450 meter dari patokan KPL nomor 2;
(4) Titik batas IV Kawasan Wisata Bahari berjarak 650 meter dari patokan KPL
nomor 2 dan berjarak 400 meter dari patokan KPL nomor 1;
(5) Titik batas V Kawasan Wisata Bahari berjarak 790 meter dari patokan KPL
nomor 2 dan berjarak 290 meter dari patokan KPL nomor 1;
(6) Titik batas VI Kawasan Wisata Bahari berjarak 690 meter dari patokan KPL
nomor 2 dan berjarak 70 meter dari patokan KPL nomor 1.
Pasal 10
Kegiatan atau usaha pariwisata yang dilakukan di kawasan Wisata Bahari oleh
masyarakat maupun pengusaha dari luar desa, harus melapor dan mendapat izin
dari Pemerintah Desa Bentenan serta mengikuti ketentuan dari Pemerintah Desa
Bentenan.
47
BAB VI
JALUR TRANSPORTASI LAUT
Pasal 11
(1) Jalur Transportasi Laut digunakan sebagai lokasi lalu lintas perahu atau kapal
dan sarana angkutan laut lainnya yang menuju laut dan atau berlabuh di pantai;
(2) Lokasi Jalur Transportasi Laut berada di depan Pasar Desa dan lokasi Sebelah
Batu di Jaga IV, dan di depan Jaga V Desa;
(3) Jalur Transportasi Laut ditandai dengan pelampung-pelampung tanda batas
trasnportasi.
Pasal 12
(1) Titik batas I Jalur Transportasi Laut berjarak 5 meter dari patokan KPL nomor 5
dan berjarak 460 meter dari KPL nomor 4;
(2) Titik batas II Jalur Transportasi Laut berjarak 660 meter dari patokan KPL
nomor 5 dan berjarak 680 meter dari KPL nomor 4;
(3) Titik batas III Jalur Transportasi Laut berjarak 690 meter dari patokan KPL
nomor 5 dan berjarak 630 meter dari KPL nomor 4;
(4) Titik batas IV Jalur Transportasi Laut berjarak 280 meter dari patokan KPL
nomor 5 dan berjarak 350 meter dari KPL nomor 4;
(5) Titik batas V Jalur Transportasi Laut berjarak 400 meter dari patokan KPL
nomor 5 dan berjarak 230 meter dari KPL nomor 4;
(6) Titik batas VI Jalur Transportasi Laut berjarak 780 meter dari patokan KPL
nomor 5 dan berjarak 600 meter dari KPL nomor 4;
(7) Titik batas VII Jalur Transportasi Laut berjarak 450 meter dari patokan KPL
nomor 5 dan berjarak 80 meter dari KPL nomor 4;
(8) Titik batas VIII Jalur Transportasi Laut berjarak 500 meter dari patokan KPL
nomor 2 dan berjarak 510 meter dari KPL nomor 3.
Pasal 13
(1) Lebar Jalur Transportasi Laut di depan Pasar Desa di Jaga IV sebesar 125 meter;
(2) Lebar Jalur Transportasi Laut di depan Batu Tinggi di Jaga IV sebesar 115 meter;
(3) Lebar Jalur Transportasi Laut di depan Muara Rawa di Jaga V sebesar 85 meter.
48
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
(1) Kegiatan yang dapat dilakukan di Kawasan Pemanfaatan Terbatas yaitu berbagai
jenis usaha budidaya laut dan penangkapan ikan yang tidak merusak lingkungan
pesisir, olahraga air, penyelaman dan parkir perahu di sepanjang pantai;
(2) Kegiatan atau usaha perikanan dan budidaya laut yang dilakukan di Kawasan
Pemanfaatan Terbatas oleh masyarakat maupun pengusaha dari luar desa harus
mengikuti ketentuan dari Pemerintah Desa.
BABVIII
KAWASAN PERLINDUNGAN PANTAI
Pasal 17
(1) Lokasi Kawasan Perlindungan Pantai yaitu sepanjang pesisir pantai Desa
Bentenan 100 meter ke arah darat dari garis pantai dan 50 meter ke laut dari
garis pantai;
(2) Kawasan Perlindungan Pantai ditetapkan untuk melindungi daerah pesisir pantai
dari berbagai kegiatan pengrusakan yang mengancam kelestarian pesisir pantai
dan keselamatan pemukiman masyarakat yang berada di wilayah pesisir.
49
BAB VIX
KAWASAN PERLINDUNGAN PANTAI
Pasal 18
Di seluruh kawasan pesisir dan laut Desa Bentenan dilarang keras melakukan
kegiatan penangkapan ikan yang merusakkan karang yaitu dengan menggunakan
bahan beracun, obat bius dan atau bom ikan.
Pasal 19
(1) Setiap masyarakat desa dan atau masyarakat dari luar desa tidak diperlukan
malakukan aktivitas di lokasi Daerah Perlindungan Laut;
(2) Hal-hal yang dilarang di zona inti Daerah Perlindungan Laut sebagai berikut:
a. Melintasi atau menyeberangi lokasi dengan menggunakan segala jenis
angkutan laut;
b. Memancing segala jenis ikan;
c. Menangkap ikan dengan menggunakan panah;
d. Penebaran jala, pukat, soma pajeko dan sejenisnya;
e. Pengambilan atau penambangan karang baik hidup maupun mati;
f. Pengambilan kerang-kerangan atau jenis biota lainnya;
g. Melakukan budidaya laut apa saja;
h. Berjalan di atas karang;
i. Menangkap satwa laut yang dilindungi menurut undang-undang;j.
Menggunakan perahu lampu atau cahaya lainnya.
(3) Hal-hal yang dilarang di Zona Penyangga Daerah Perlindungan Laut sebagai
berikut:
a. Perahu bermotor dan atau perahu lampu melintasi atau menyeberangi lokasi;
b. Memancing segala jenis ikan;
c. Menangkap ikan dengan menggunakan panah;
d. Penebaran jala, pukat, soma pajeko dan peralatan tangkap ikan sejenisnya;
e. Pengambilan atau penambangan karang baik hidup maupun mati;
f. Pengambilan kerang-kerangan dan atau jenis biota lainnya;
g. Melakukan budidaya laut;
h. Menangkap satwa laut yang dilindungi menurut undang-unang.
Pasal 20
(1) Setiap penduduk desa dan atau luar desa dilarang merusak rambu-rambu yang
dipakai sebagai tanda-tanda batas masing-masing kawasan perlindungan dan
50
papan-papan informasi sebagai sarana penunjang upaya perlindungan.
(2) Barang siapa yang menemukan pelampung tanda batas dan atau perlengkapan
kawasan pengelolaan pesisir dan laut yang rusak, hanyut dan atau terdampar di
pantai baik di dalam maupun luar desa wajib mengembalikan kepada Kelompok
Pengelola.
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
51
BAB X
SANKSI TERHADAP PELANGGARAN
Pasal 24
(1) Sanksi tingkat pertama (Sanksi Tingkat I) yaitu mendapat teguran dan
pelaksanaan kerja bakti menanam kembali pohon-pohon pelindung dan
membersihkan sampah di pantai atau memperbaiki dan atau mengganti
kerusakan atau kehilangan yang dilakukan sehubungan dengan tindakan
pelanggaran dan menanda-tangani surat perjanjian untuk tidak melakukan lagi
tindakan pelanggaran;
(2) Sanksi tingkat kedua (Sanksi Tingkat II) yaitu mendapat teguran dan membayar
denda sebesar dua puluh lima ribu rupiah (Rp 25.000,00) dan atau penyitaan
hasil tangkapan serta peralatan yang digunakan saat pelanggaran dilakukan;
(3) Sanksi tingkat ketiga (Sanksi Tingkat III) yaitu membayar denda sebesar lima
puluh ribu rupiah (Rp50.000,00) dan diproses secara hukum sesuai undang-
undang yang berlaku.
Pasal 25
(1) Barang siapa yang terbukti atau diketahui atas keterangan saksi telah melangar
Pasal 18 Peraturan Desa ini yaitu dengan melakukan perusakan karang dengan
racun dan bom ikan, langsung mendapat sanksi tingkat ketiga (Sanksi Tingkat
III);serta membayar denda sebesar dua juta rupiah (Rp2.000.000,00);
(2) Barang siapa yang terbukti dan atau diketahui atas keterangan saksi melakukan
pelanggaran ayat-ayat dalam Pasal 19 dan atau 20 Peraturan Desa ini dikenakan
sanksi tingkat kedaua (Sanksi Tingkat II);
(3) Barang siapa yang karena ketidaksengajaan atau tidak terencana telah melanggar
ayat-ayat dalam Pasal 21, 22, dan atau 23 Peraturan Desa ini, dikenakan sanksi
tingkat pertama (Sanksi Tingkat I);
(4) Barang siapa yang terbukti dan atau diketahui atas keterangan saksi secara
sengaja atau secara terencana melakukan pelanggaran terhadap ayat-ayat dalam
Pasal 21, 22, dan atau 23 Peraturan Desa ini dikenakan sanksi tingkat kedua
(Sanksi Tingkat II);
(5) Barang siapa yang terbukti atau diketahui atas keterangan saksi untuk kedua kali
atau seterusnya tetap melakukan pelanggaran, baik sengaja maupun tidak
disengaja terhadap ayat-ayat dalam Pasal 21, 22, 23 dan atau 24 Peraturan
Desa ini dikenakan sanksi tingkat ketiga (Sanksi Tingkat III).
52
BAB XI
TUGAS DAN TANGGUNG-JAWAB PENGELOLAAN
Pasal 26
BAB XII
TATA CARA PENEGAKAN ATURAN DAN PENERAPAN SANKSI
Pasal 27
53
dengan memanggil dan mendengar keterangan dari pelaku, pelapor dan satu
atau lebih saksi tindak pelanggaran dan atau korban jika ada, serta menahan
barang bukti yang ada;
(3) Pelaku pelanggaran yang terbukti bersalah dan atau mengakui kesalahan yang
diperbuat, baik sengaja maupun tidak disengaja, harus membuat surat
pernyataan dan perjanjian untuk tidak melakukan pelanggaran;
(4) Pelaku pelanggaran diberikan pengarahan oleh aparat Pemerintah Desa dan
wajib menerima sanksi dan atau membayar denda sesuai aturan yang berlaku.
BAB XIII
PENERIMAAN DAN PEMANFAATAN DANA
Pasal 28
(1) Dana yang diperoleh dari penerapan sanksi dalam kawasan pengelolaan pesisir
dan laut, yaitu uang denda dan atau uang dari hasil barang sitaan,
diperuntukkan sebagai dana pendapatkan untuk pembiayaan perawatan yang
diperlukan dalam upaya perlinduangan wilayah pesisir dan laut, dan atau sebagai
dana pendapatan desa untuk menunjang kegiatan-kegiatan dalam desa;
(2) Dana untuk pembiayaan perawatan yang diperlukan dalam upaya perlindungan
diserahkan kepada kelompok pengelola, sedangkan dana pendapatan untuk
menunjang kegiatan-kegiatan dalam desa dikelola oleh Pemerintah Desa, yaitu
oleh Aparat Desa yang berwenang dalam pengelolaan dana;
(3) Besar dana yang diperuntukkan untuk pembiayaan perawatan KPL sebesar lima
puluh persen (50%) dari uang yang diterima dari setiap kasus pelanggaran, dan
besar dana yang diperuntukan untuk kegiatan-kegiatan lain dalam desa sebesar
50 persen (50%) dari uang yang diterima dari setiap kasus pelanggaran;
(4) Setiap kegiatan usaha dari kelompok maupun usaha perorangan dalam rangka
pemanfaatan kawasan pelestarian laut yang mendatangkan hasil keuntungan
memberikan kontribusi kepada Pemerintah Desa sebesar dua puluh lima persen
(25%) dari hasil bersih yang diperoleh;
(5) Dana-dana lain yang diperoleh melalui bantuan dan partisipasi Pemerintah dan
atau organisasi lain yang tidak mengikat dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kepentingan pengelolaan wilayah perlindungan pesisir dan laut;
(6) Tata cara pemungutan dana dilaksanakn oleh Aparat Desa yang berwenang
dalam pengelolaan keuangan desa.
54
BAB XIV
PENUTUP
Pasal 29
(1) Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Desa ini, sepanjang mengenai
pelaksanaan perlindungan wilayah pesisir dan laut, akan diatur lebih lanjut
dengan keputusan desa lewat musyawarah desa;(
2) Peraturan Desa ini mulai diberlakukan sejak tanggal diundangkan agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Peraturan Desa ini dengan
menempatkannya dalam Lembaran Desa Bentenan.Disahkan di Bentenan,Pada
tanggal: 28 Oktober 2002Hukum Tua BentenanJantje GijohDiundangkan di Desa
BentenanPada tanggal: 28 Oktober 2002Sekretaris Desa,Otniel RakoLembaran
Desa Bentenan Nomor 3 Tahun 2002
Disahkan di Bentenan,
Pada tanggal: 28 Oktober 2002
Jantje Gijoh
Sekretaris Desa,
Otniel Rako
55
Daftar Pustaka
Idris, I., M.E. Rudianto, S. Putra, R. Pasaribu, S. Hasan, A.D. Patria, A. Wiyana, J.
Patlis, A. Husen, W. Siahaan, K.S. Hidayat. 2003. Studi Kasus Konsultasi
Publik dalam Penyusunan Rancangan Undang-Undang, dalam Koleksi
Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003, Seri Reformasi Hukum, M. Knight, S.
Tighe (editor), Coastal Resources Center, University of Rhode Island,
Narraganset, Rhode Island, USA.
Wiyana, A., G.H. Perdanaharja, j.m. Patlis (eds). 2005. Materi Acuan
Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu. Seri Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah
Pesisir Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Bdan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Departemen Hukum dan HAM berkerjasama dengan
Coastal Resources Management Project (USAID). Jakarta. 70 halaman.
56