Anda di halaman 1dari 66

i

Volume - 1
Panduan Peraturan Desa
tentang Daerah Perlindungan Laut

Volume -1

Kerjasama :

Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumberdaya Alam


SATKER REHABILITASI DAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG
(COREMAP II)
TAHUN 2006

Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil


DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
TAHUN 2006

PT. BINA MARINA NUSANTARA (Konsultan Kelautan dan Perikanan)


Kantor: Gedung Sarana Pengembangan Usaha Lt.8, Jl. Angkasa Blok B-9
Kav 6 Kota Baru, Bandar Kemayoran, Jakarta 10720
Telp. (021) 6546630, Fax. (021) 6546631, E-mail: binamarina@cbn.net.id

iii
Kata Pengantar

Buku ini dibuat merupakan salah satu seri dari sepuluh buku panduan
pembelanjaran mandiri dalam pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis
masyarakat yang diterbitkan oleh COREMAP II. Memang penerapan
pengelolaan berbasis masyarakat menjadi pendekatan yang dirintis sejak
akhir tahun 1990-an dan menjadi penting salahsatunya diterapkan pada
pengelolaan terumbu karang. Penerapan pengelolaan pada terumbu karang
ini membutuhkan pengenalan, pemahaman dan pendalaman terumbu karang
itu sendiri terutama manfaat dan fungsi ekosistem terumbu karang itu
sendiri termasuk ekosistem yang terkait dengannya.

Sudah banyak yang menyebutkan bahwa dari ekosistem terumbu karang


bisa menjadikan tulang punggung ekonomi di wilayah pesisir. Nilai ekonomi
langsung dari ikan hias laut di Indonesia yang berasal dari terumbu karang
bisa mencapai US$ 32 juta/tahun. Selain itu nilai ekonomi dari terumbu
karang yang non konsumtif bisa berupa kegiatan pariwisata, pelindung
pantai, dan keragaman hayati. Ada yang memperkirakan bahwa nilai
keragaman hayati terumbu karang Indonesia mencapai US$ 7,8 juta,
sedangkan total nilai ekosistem terumbu karang Indonesia diperkirakan
sekitar US$ 466 juta (nilai bersih) sampai dengan US$ 567 juta (nilai kotor).
Namun demikian, ancaman terhadap sumberdaya terumbu karang juga
selalu menghadang di hadapan kita yang bisa menyebabkan menurunnya
kualitas sumberdaya tersebut.

Keberhasilan penerapan pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat


tergantung pada tingkat partisipasi masyarakat dan yang tiada lain juga
tergantung pada kemampuan para penggerak, fasilitator di daerah dalam
upaya meningkatkan partisipasi tersebut. Pembuatan buku ini ditujukan
untuk memberikan bahan yang menjadikan pengguna terutama para
fasilitator di daerah agar bisa lebih mudah mengenali dan manfaat ekosistem
terumbu karang dan sekaligus semoga menjadi bahan pembelajaran

iv
selanjutnya secara mandiri yang bermanfaat bagi motivasi penggerak
partisipasi masyarakat di daerahnya.

Buku ini berisi terutama terkait dengan pendalaman pemahaman ekosistem


terumbu karang terutama pengenalan manfaat dan fungsi ekositem dan
strategi pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat. Konsep, kajian,
teknik rehabilitasi dan langkah-langkah dalam pengelolaan ini menjadi hal-hal
yang dicoba diangkat dalam buku ini. Disadari bahwa panduan pengenalan
manfaat dan fungsi ekosistem termasuk langkah-langkahnya agar tujuan
menjadi tercapai, bukan satu-satunya cara dalam upaya meningkatkan
tingkat pengetahuan, kesadaran, pemahaman terhadap ekosistem terumbu
karang. Demikian juga penerapan buku ini akan tergantung sekali pada
kondisi lokal yang ada.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada berbagai pihak sehingga buku ini
bisa diterbitkan pada waktunya, terutama kepada para fasilitator dan
pertugas yang ada di garis terdepan di daerah yang telah memberikan
pengkayaan pada langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mengenalkan
ekosistem terumbu karang ini.

Jakarta, Desember 2006.

Penyusun.

v
Sambutan Dirjen KP3K

Pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang berkelanjutan menuntut


kesinambungan upaya dan konsistensi sistem kebijakan, serta mensyaratkan
kemampuan sumberdaya manusia sebagai pengelola dan ketersediaan
informasi yang memadai sebagai dasar pengambilan keputusan. Peran
manusia, terutama masyarakat pesisir sebagai pengguna dan pengelola
sumberdaya alam pesisir dan laut, menjadi sentral dalam proses pengelolaan
sumberdaya terumbu karang. Namun, pada kenyataannya, pemangku
kepentingan pengelolaan sumberdaya terumbu karang selain memiliki
beragam kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam tersebut
memiliki kapasitas yang sangat bervariasi. Ada ketidakseimbangan kemampuan
dalam pengetahuan secara formal yang memadai di antara pemangku
kepentingan. Rendahnya sebagian besar kapasitas pemangku kepentingan
sumberdaya terumbu karang, memicu ketidakseimbangan pemanfaatan
sumberdaya tersebut. Dengan demikian, pembelajaran yang terus menerus
bagi mereka merupakan hal yang sangat diperlukan dalam meningkatkan
kapasitas pemangku kepentingan sumberdaya terumbu karang.

Namun demikian, tingginya kebutuhan peningkatan kapasitas sumberdaya


manusia dan terbatasnya dana yang ada menyebabkan proses pembelajaran
yang sangat diperlukan sebagai dasar pengelolaan sumberdaya pesisir dan
laut timpang. Sehubungan dengan itu, maka dirasakan penting untuk
menyusun Paket Buku Panduan (Self Learning Material Pack) untuk
pembelajaran mandiri pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat
(Community-Based Management CBM). Hal ini karena salah satu pendekatan
bagi pembelajaran masyarakat yang paling efektif dan menjangkau lokasi
terpencil adalah melalui media buku. Media buku dapat membawa pesan
jauh lebih banyak dan luas dibandingkan media lainnya. Kegiatan ini bertujuan
untuk menyediakan informasi untuk seluruh tingkatan para pemangku
kepentingan dengan menyediakan berbagai pilihan. Selain itu, kegiatan
pengembangan Buku Panduan ini ditujukan untuk memberikan informasi
mengenai berbagai strategi pengelolaan sumberdaya terumbu karang dari

vi
sudut pandang masyarakat nelayan, para manajer sumberdaya dan
organisasi-organisasi yang bergerak di bidang lingkungan.

Materi Paket Buku Panduan merupakan pembelajaran dari pengalaman-


pengalaman pelaksanaan program-program pengelolaan sumberdaya pesisir
dan laut berbasis masyarakat di Indonesia maupun di luar negeri. Paket
Buku Panduan terdiri atas 11(sebelas) judul sebagai berikut:
(1) Panduan penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK)
(2) Pengenalan Manfaat dan Fungsi Ekosistem Terumbu Karang dan
Ekosistem Terkait, serta Kondisi Terumbu Karang di Indonesia
(3) Pembelajaran dari Program Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut
Berbasis Masyarakat
(4) Panduan Pengambilan Data dengan Metode RRA dan PRA.
(5) Panduan Penyusunan Peraturan Desa tentang Daerah Perlindungan
Laut
(6) Panduan Pengorganisasian Masyarakat
(7) Panduan Mata Pencaharian Alternatif
(8) Panduan Jenis-jenis Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan
(9) Panduan Monitoring Berbasis Masyarakat
(10)Panduan Pembuatan Daerah Perlindungan Laut, dan
(11)Panduan Pengelolaan Pondok Informasi (Info Center).

Seluruh Paket Buku Panduan tersebut diharapkan dapat memberi manfaat


bagi seluruh pihak, terutama masyarakat pesisir, para Terakhir, kami mengu-
capkan terima kasih kepada ketua dan seluruh anggota Tim Penyusun atas
kerja kerasnya sehingga seluruh paket buku panduan dapat diselesaikan
dengan baik. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan masukan dalam penyusunan paket buku panduan ini.

Jakarta, Nopember 2006


Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil

vii
Sekapur Sirih

Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada semua pihak


yang telah menyumbangkan pikiran dan tenaga sehingga penyusunan Paket
Buku Panduan (Self Learning Material Pack) untuk pembelajaran mandiri
pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat (Community-Based Man-
agement CBM) dapat diselesaikan dengan baik.

Paket Buku Panduan ini dapat diselesaikan karena kerja keras Tim
Penyusun dan berkat kontribusi yang diberikan oleh Tim COREMAP II di
Jakarta serta Tim COREMAP Daerah dan para fasilitator dan motivator
desa di lokasi-lokasi CORMAP II di 7 (tujuh) kabupaten, yaitu Kabupaten
Banggai Kepulauan, Kabupaten Buton, Kabupaten Selayar, Kabupaten
Wakatobi, Kabupaten Sikka, Kabupaten Raja Ampat, dan Kabupaten Biak.
Kontribusi yang sangat berharga berupa dukungan kesekretariatan dan
logistik disediakan oleh PT Bina Marina Nusantara.

viii
Daftar Istilah dan Singkatan

DAS : Daerah Aliran Sungai


Degaradasi sumberdaya : Menurunnya kualitas/mutu sumberdaya alam
Deplisi sumberdaya alam : Menurunnya jumlah sumberdaya alam
DPL-BM : Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat
Eksploitasi :
Eksplorasi :
Stakeholders : Pemangku kepentingan, (para) pihak-pihak
terkait
Legal baseline : Landasan hukum
Konservasi :

ix
Daftar Isi

PENGANTAR .................................................................................................................

SEKAPUR SIRIH ............................................................................................................

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ....................................................................

DAFTAR ISI ...................................................................................................................

BABA 1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1


1. Mengapa Perlu Peraturan Desa tentang Daerah
Perlindungan Laut? .............................................................................. 1
2. Mengapa Perlu Buku Panduan? ........................................................ 2
3. Buku Panduan untuk Siapa? .............................................................. 3
4. Bagaimana Menggunakan Buku Panduan? ...................................... 4

BAB 2. DASAR TEORI ............................................................................................ 7


1. Prinsip-prinsip Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu ... 7
a. Prinsip Keterpaduan ...................................................................... 8
b. Prinsip Desentralisasi Pengelolaan dan Penguatan
Kelembagaan ................................................................................... 10
c. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan ........................................ 11
d. Prinsip Keterbukaan dan Peran Serta dan Pemberdayaan
Masyarakat ...................................................................................... 12
e. Prinsip Kepastian Hukum ............................................................ 13
2. Legitimasi Aturan Hukum ................................................................... 14

x
BAB 3. LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERDES .......................... 18
1. Identifikasi Permasalahan dan Pemangku Kepentingan ............... 18
2. Identifikasi Landasan Hukum ............................................................. 21
3. Penulisan Rancangan Peraturan Desa ............................................. 23
4. Penyelenggaraan Konsultasi Publik .................................................. 28
5. Pembahasan di Badan Perwakilan Desa .......................................... 32
6. Sosialisasi dan Persetujuan Formal ................................................... 33

BAB 4. RINGKASAN ............................................................................................... 35

BAB 5. CONTOH PERDES .................................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 56

xi
BAB Pendahuluan

1 1. Mengapa Perlu Peraturan Desa tentang


Daerah Perlindungan Laut?

Peraturan Desa (Perdes) tentang Daerah Perlindungan Laut


Berbasis Masyarakat (DPL-BM, untuk selanjutnya disebut
DPL) mutlak diperlukan untuk mendukung keberhasilan
pengelolaan suatu kawasan DPL. Keberhasilan pengelolaan
suatu kawasan DPL sangat tergantung pada aturan-aturan
yang dibuat dan ditetapkan berdasarkan kesepakan
masyarakat. Perdes tentang DPL merupakan sebuah
peraturan perundang-undangan formal yang memiliki
kekuatan hukum terkuat di tingkat desa. Perdes ini harus
mengikat masyarakat di dalam dan luar desa, sehingga
masyarakat, pemerintah desa, dan kelompok pengelola DPL
mempunyai kekuatan atau dasar hukum untuk melarang atau
menindak pelaku pelanggaran.

Peraturan Desa Para Pemangku


Tentang DPL Kepentingan

Gambar Daerah
Perlindungan Laut

Gambar 1: Keberhasilan DPL Tergantung pada Aturan Tertulis


dan Para Pihak Terkait

1
2. Mengapa Perlu Buku Panduan?

Tujuan penyusunan paket panduan pembelajaran mandiri (self learning


material pack) mengenai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Berbasis
Masyarakat (Community-Based Management – CBM) ini adalah:
a. Menyediakan konsep buku panduan (handbook) pembelajaran mandiri
masyarakat untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis
masyarakat;
b. Membuat buku panduan (handbook) sebagai bahan pembelajaran
mandiri masyarakat tentang CBM yang mudah dipelajari dan dipahami
oleh berbagai lapisan masyarakat, khususnya masyarakat di lokasi
COREMAP;
c. Memberikan materi sebagai bekal pengetahuan dan informasi yang benar
tentang pentingnya pengelolaan sumberdaya alam laut secara lestari,
khususnya terumbu karang dan ekositem terkait

Sasaran yang diinginkan dari penyusunan konsep pembuatan paket


panduan pembelajaran mandiri (self learning material pack) mengenai
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat (Community-
Based Management – CBM) ini adalah tersedianya buku panduan bagi
pembelajaran mandiri pengelolaan berbasis masyarakat yang terdiri dan
tema-tema di bawah ini:
1). Pengenalan Manfaat dan Fungsi Ekosistem Terumbu Karang dan
ekosistem terkait, serta kondisi terumbu karang di Indonesia
2). Pembelajaran dan program-program pengelolaan sumberdaya laut
berbasis masyarakat
3). Panduan Pengambilan Data dengan metode Rural Rapid Appraisal dan
Participatory Rural Appraisal
4). Panduan Penyusunan Regulasi Tingkat Desa
5). Panduan Pengorganisasian Masyarakat
6). Panduan Mata Pencaharian Alternatif

2
7). Panduan Jenis-jenis Penangkapan Ikan yang Ramah dan Tidak Ramah
Lingkungan
8). Panduan Monitoring Berbasis Masyarakat
9). Panduan Penyusunan Daerah Perlindungan Laut
10). Panduan Pengelolaan Info Center, dan lain lain

Buku Panduan Penyusunan Peraturan Desa tentang Pengelolaan Daerah


Perlindungn Laut (DPL) sangat diperlukan di Indonesia saat ini. Mengapa?
Sampai dengan saat ini, telah terdapat puluhan DPL yang dikembangkan di
beberapa kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia, yaitu kabupaten/kota
dan dan provinsi yang menerima bantuan teknis dan pendanaan dari
Coastal Resources Management Project (CRMP) atau dikenal dengan Proyek
Pesisir atau Mitra Pesisir dan Marine and Coastal Resouces Management
Project (MCRMP). Telah cukup banyak pengalaman diperoleh dalam
membuat DPL dan Perdes tentang pengelolaan DPL di lokasi-lokasi CRMP
dan MCRMP. Untuk mereplikasi pengalaman dari dua proyek tersebut ke
lokasi-lokasi lain di Indonesia diperlukan sumberdaya manusia, sumber dana,
dan waktu yang sangat banyak. Pembuatan buku panduan pembelajaran
mandiri akan sangat membantu untuk mempercepat proses replikasi
tersebut, baik dari segi sumberdaya manusia, sumber dana, maupun waktu.

3. Buku Panduan untuk Siapa?

Target utama Seri Buku Pembelajaran Mandiri adalah para fasilitator


COREMAP II yang berada di tingkat kabupaten dan desa, yang kebanyakan
adalah lulusan perguruan tinggi (Diploma 3) dan para motivator desa yang
berasal dari dan tinggal di desa-desa lokasi, yang kebanyakan lulusan SMP
dan SMA. Motivator Desa merupakan kader pengelola terumbu karang di
desa-desa di 7 (tujuh) Kabupaten COREMAP II di Indonesia Timur.

3
4. Bagaimana Menggunakan Buku Panduan?

Buku Panduan Pembuatan Peraturan Desa tentang DPL ini memuat dua hal
pokok. Pertama, Buku Panduan ini menguraikan secara ringkas latar
belakang teori mengenai Peraturan Desa tentang DPL yang berisi prinsip-
prinsip utama pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu dan faktor
utama yang sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan dan penegakan
Peraturan Desa tentang DPL. Bagian ini harus dipahami betul oleh para
fasilitator dan motivator desa sebelum membaca bagian berikutnya.

Kedua, Buku Panduan ini berupaya untuk menuntun para fasilitator dan
motivator desa menyusuri langkah demi langkah dalam upaya menyusun,
menyelesaikan, dan mengesahkan Perdes tentang DPL. Pembuatan Perdes
DPL secara umum memerlukan 6 (enam) langkah yang harus diselesaikan.
Buku Panduan ini berupaya untuk menguraikan setiap langkah,
menunjukkan hasil-hasil yang harus dicapai pada setiap langkah, dan sejauh
memungkinkan memberikan arahan-arahan berupa checklist dan contoh-
contoh teknik atau alat yang dapat digunakan.

Terakhir, Buku Panduan ini dilengkapi dengan contoh Perdes yang sudah
disahkan dan diberlakukan di Desa Bentenan, Kabupaten Minahasa, Provinsi
Sulawesi Utara. Contoh Perdes yang ada dalam Buku Panduan ini
dimaksudkan hanya untuk memberi gambaran mengenai Perdes yang sudah
jadi dan diberlakukan, yang mengatur pengelolaan DPL. Perdes dari Desa
Bentenan ini berjudul Peraturan Desa Bentenan Nomor: 3 Tahun 2002
tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut Desa Bentenan. Dari
judulnya, tampak jelas bahwa Perdes ini cakupannya jauh lebih luas
daripada hanya sekedar mengatur pengelolaan DPL. Selain mengatur
pengelolaan DPL, Perdes ini juga mengatur Kawasan Wisata Bahari, Jalur
Transportasi Laut, Kawasan Pemanfaatan Terbatas, dan Kawasan
Perlindungan Pantai. Tentu saja dapat dibuat satu Pedes khusus yang
mengatur tentang DPL.

4
Para fasilitator dan motivator desa sangat tidak disarankan untuk
menggunakan contoh-contoh untuk disadur atau dijiplak dalam langkah
awal dalam menyusun Perdes di lokasi lain. Penyusunan Perdes harus
dimulai dari langkah awal berupa indentifikasi permasalahan dan dilanjutkan
dengan menyelesaikan langkah-langkah berikutnya. Penyusunan Perdes
harus tumbuh dari kebutuhan nyata di lapangan. Bentuk akhir Perdes
merupakan hasil akhir proses panjang dari langkah pertama sampai langkah
terakhir. Sangat tidak dapat dibernarkan untuk menyadur Perdes dari lokasi
lain hanya dengan sekedar mengadakan perubahan kecil seperti nama-nama
tempat, tanggal pengesahan, nama orang, dan perubahan-perubahan kecil
lainnya.

Diharapkan Buku Panduan ini akan memberi manfaat kepada semua


fasilitator dan motivator desa serta masyarkat desa pada umumnya dalam
upaya membuat Perdes tentang DPL.

5
6
BAB Dasar Teori

2 Bab ini memuat uraian ringkas mengenai dua hal pokok yang
akan sangat menentukan tingkat keberhasilan pelaksanaan
Peraturan Desa mengenai pengelolaan Daerah Perlindungan
Laut, yaitu:
(1) Prinsip-prinsip pengelolaan wilayan pesisir dan laut
terpadu; dan
(2) Legitimasi Peraturan Desa.

1. Prinsip-prinsip Pengelolaan Wilayah


Pesisir dan Laut Terpadu

Harus dipahami dari awal bahwa tata kelola sumberdaya


wilayah pesisir dan laut merupa kan bagian yang tidak
terpisahkan dari tata keloka pemerintahan secara umum,
dalam hal ini tata kelola pemerintahan desa. Oleh karena itu,
sudah selayaknya bahwa tata kelola sumberdaya wilayah
pesisir dan laut harus mengikuti prinsip-prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance), di samping
mengadopsi prinsip-prinsip tata kelola sumberdaya wiayah
pesisir dan laut yang saat ini telah banyak dikembangkan oleh
para ilmuwan dan praktisi di banyak negara. Dengan demikian,
Perdes tentang DPL harus memuat prinsip-prinsip tersebut.

Prinsip-prinsip apakah yang harus diperhatikan dalam


menyusun Perdes tentang DPL? Untuk mudahnya,
pemrakarsa Perdes tentang DPL dapat mengacu pada Materi
Acuan Pengelolaan Wilayah Perisir terpadu yang telah
diterbitkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP),
yang memuat prinsip-prinsip dasar pengelolaan pesisir
terpadu sebagai berikut: (1) keterpaduan; (2) desantralisasi
pengelolaan; (3) pembangunan berkelanjutan; (4) keterbukaan

7
dan peran serta masyarakat; dan (5) kepastian hukum. Seluruh prinsip dasar di
atas harus mampu mempengaruhi norma-norma yang dikembangkan dalam
Perdes tentang DPL, agar supaya seluruh aktivitas yang berkaitan dengan DPL
tersebut akan mengikuti keseluruhan prinsip-prinsip ini.

a. Prinsip Keterpaduan

• Keterpaduan Perencanaan Sektor Secara Horinzontal


Perencanaan antar berbagai sektor yang ada di tingkat desa harus dilakukan
secara terpadu. Sektor-sektor yang ada di desa pesisir dapat bervariasi,
seperti sektor pertanian dan kehutanan yang pada umumnya berada di
wilayah hulu, perikanan darat dan laut, pariwisata, perhubungan darat dan
laut, industri maritim, pertambangan lepas pantai, konservasi laut, dan lain-
lain. Keterpaduan perencanaan horizontal di tingkat desa mutlak diperlukan.
Apabila terjadi ketidakterpaduan antar sektor maka dapat terjadi saling
berbenturan dan saling melemahkan antar sektor, yaitu satu sektor
melemahkan kekuatan sektor lainnya, dan sebaliknya. Hal demikian berakibat
pada tidak optimalnya hasil pembangunan yang ingin dicapai.

Pengelolaan DPL harus


terpadu dengan aktivitas … dan juga harus terpadu
lain di desa dengan program
kabupaten!!

8
• Keterpaduan Perencanaan Secara Vertikal
Yang dimaksud dengan keterpaduan perencanaan vertikal adalah
keterpaduan kebijakan dan perencanaan pembangunan di tingkat desa
dengan tingkat-tingkat di atasnya, yaitu tingkat kekamatan, kabupaten/
kota, provinsi, sampai tingkat nasional. Seluruh aktivitas pembangunan di
masing-masing tingkat harus terpadu dan saling mendukung dan
menguatkan.

• Keterpaduan Ekosistem Darat dan Laut


Ekosistem darat dan ekosistem laut memiliki sifat atau karakteristik yang
sangat berbeda yang saling mempengaruhi. Oleh karena itu, perencanaan
pengelolaan pesisir terpadu harus mengkombinasikan pendekatan batas
ekosistem darat dan laut, misalnya daerah aliran sungai (DAS), atau
wilayah administratif desa sebagai basis perencanaan. Dampak positif dan
negatif dari suatu kegiatan di wilayah hulu suatu DAS, seperti misalnya
kegiatan pertanian, industri dan pertambangan, perlu diperhitungkan
secara seksama dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu.

Ekosistem Darat

Ekosistem Laut

Wilayah Pesisir

• Keterpaduan Ilmu Pengetahuan dan Manajemen


Pengelolaan pesisir terpadu, termasuk DPL, hendaknya didasarkan pada
masukan data dan informasi ilmiah yang absah dari berbagai cabang ilmu
yang terkait untuk memberikan berbagai alternatif rekomendasi bagi
pengabil keputusan dengan mempertimbangkan kondisi, karakteristik

9
sosial-ekonomi-budaya, kelembagaan, dan biogeofisik lingkungan
setempat.

b. Prinsip Desentralisasi Pengelolaan dan Penguatan


Kelembagaan

Oleh karena cakupan wilayah yang sangat luas dan ketersediaan


sumberdaya manusia dan sumber dana di tingkat pusat yang sangat
terbatas, maka pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut harus
didesentralisasikan ke tingkat-tingkat yang lebih dekat dengan keberadaan
sumberdaya pesisir dan laut tersebut, yaitu provinsi, kabupaten/kota, dan
desa. Sejalan dengan ototomi daerah, kewenangan pengelolaan wilayah
pesisir dan laut telah didesentralisasikan kepada Pemerintah Daerah,
sebagaimana diamanatkan dalam UU 32/2004. Urusan pemerintahan yang
didesentralisasikan tersebut meliputi bidang eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, tata ruang dan administrasi, serta
penegakan hukum di laut. Untuk itu,
kemampuan kelembagaan perencanaan
dan pengelolaan sumberdaya pesisir Kita harus dapat mengelola
di tingkat daerah perlu diperkuat. sumberdaya alam dengan lebih
bertanggung-jawab, karena hidup kita
tergantung padanya! Benar?

10
c. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Tujuan utama pengelolaaan wilayah pesisir dan laut terpadu ialah untuk
memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam rangka peningkatan taraf hidup
masyarakat setempat dan pelaksanaan pembangunan regional dan nasional,
dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya tersebut, baik untuk
generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Oleh karena itu, laju
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut harus dilakukan kurang atau sama
dengan laju regenerasi sumberdaya hayati, atau laju inovasi untuk
menemukan substitusi sumberdaya nir hayati di wilayah pesisir dan laut.
Dalam hal keterbatasan kemampuan manusia dalam mengatisipasi dampak
lingkungan di wilayah pesisir dan laut akibat berbagai aktivitas, maka setiap
pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah ini harus dilakukan dengan
mengikuti prinsip kehati-hatian (precautionary principles), dalam
mengantisipasi dampak negatifnya.

Mari kita manfaatkan


sumberdaya alam kita Bahkan kita harus
untuk seumur hidup kita. mewariskannya untuk
Jangan dihabiskan!!! anak cucu kita. Ingat itu!!

11
d. Prinsip Keterbukaan dan Peran Serta dan Pemberdayaan
Masyarakat

Keterbukaan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut


terpadu memberikan kesempatan luas bagi masyarakat desa untuk
memahami bahwasanya perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan
laut yang ditetapkan pada dasarnya adalah untuk sebesar-besarnya
kepentingan masyarakat sendiri. Dalam hal penyusunan Rancangan
Peraturan Desa (Ranperdes), masyarakat perlu mengetahui proses
perumusan peraturan tersebut mulai dari tahap inisiasi atau prakarsa
sampai disahkannya peraturan tersebut oleh Badan Perwakilan Desa dan
Kepala Desa. Masyarakat perlu memahami bagaimana, kapan, dan untuk apa
Peraturan Desa disahkan dan dilaksanakan penegakannya. Masyarakat juga
perlu mengetahui isi Peraturan Desa tersebut, misalnya obyek dan lingkup
pengaturan, serta dampak pengaturan tersebut dalam kehidupan mereka.

Pperencanaan bersama antar pemangku kepentingan dalam suasana yang


terbuka

12
Prinsip keterbukaan berarti juga memberi kesempatan kepada masyarakat
untuk ikut berperan serta dalam menyusun, melaksanakan, serta memantau
sekaligus pelaksanaan dari rencana pembangunan tersebut. Masyarakat
semestinya memiliki hak untuk menyampaikan gagasan, persepsi, keberatan,
usulan perubahan, ataupun gagasan mereka lainnya yang berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut, sebelum rumusan
kebijakan dan rencana pembangunan ditetapkan oleh pihak yang
berwenang. Dengan demikian, rumusan kebijakan dan rencana
pembangunan tersebut akan lebih sesuai dengan keinginan dan kehendak
masyarakat. Keterbukaan tersebut juga dapat menambah wawasan
masyarakat tentang proses pengambilan keputusan yang dilakukan dalam
rangka mengupayakan pembangunan yang optimal.
Oleh karena perumusan kebijakan dan rencana kegiatan dilakukan bersama
masyarakat, maka dalam pelaksanaan rencana pembangunan tersebut
diharapkan potensi konflik pemanfaatan atau konflik yuridiksi dapat
diminimalisasi bahkan dihindarkan. Oleh sebab itu, konsultasi publik yang
melibatkan para stakeholders pemangku kepentingan utama sejak proses
perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengendalian adalah sesuatu yang
sangat penting.

e. Prinsip Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan prinsip utama dalam penyelenggaran sistem


pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Kepastian hukum sangat penting
untuk menentukan pihak-pihak mana yang mempunyai akses terhadap
sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang diatur, siapa saja yang mempunyai
hak memiliki, dan hak memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut. Setiap
pihak yang mempunyai hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya
tersebut dilindungi oleh Negara dan diakui oleh para pemangku
kepentingan (stakeholders) lainnya. Dengan demikian, setiap orang atau
kelompok dapat mengelola wilalyah pesisir secara terencana dan memiliki

13
rasa tanggung jawab, yang menjadi nilai dasar pelestarian tersebut. Kepastian
hukum dapat memberikan rasa keadilan dan keamanan pada masyarakat
dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut,
tanpa intervensi pihak penguasa atau pengguna sumberdaya dari daerah
lain. Bagi dunia usaha, kepastian hukum memberikan jaminan keamanan
invesatasi jangka panjang serta mengurangi resiko berusaha. Sedangkan bagi
unsur pemerintahan di daerah, kepastian hukum dapat menjamin
konsistensi dan kebijakan pelaksaan otonomi daerah secara penuh dan
bertanggung jawab.

Dengan adanya Perdes ini Sebagai nelayan, kami


kelangsungan usahaku juga senang karena
menjadi terjamin. keberadaan ikan pasti
terjamin untuk kami dan
anak cucu kami.

2. Legitimasi Aturan Hukum

Aturan hukum dibuat untuk membentuk atau mengubah perilaku individu


dan lembaga dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat. Aturan hukum
yang disusun begitu sempurna tidak akan ada artinya apabila tidak
dipatuhui oleh kelompok-kelompok atau pihak-pihak yang diaturnya. Kiat
apa yang harus diambil agar sebuah Peraturan Desa ditaati oleh pihak-pihak

14
yang diatur? Keberhasilan pelaksanaan atau penegakan aturan hukum
sangat tergantung pada “legitimasi” dari masyarakat dan pihak-pihak lain
yang diatur. Bagaimana supaya sebuah aturan hukum memperoleh legitimasi
dari pihak-pihak yang diatur?

Agar sebuah aturan hukum (Perdes) memperoleh legitimasi dan ditaati


penegakannya baik oleh pihak-pihak yang diatur maupun pihak-pihak yang
mengatur, maka aturan hukum tersebut hendaknya merupakan formulasi
dan refleksi dari kesepakatan yang dibuat secara bersama-sama oleh pihak-
pihak yang diatur maupun pihak yang mengatur. Dengan demikian, mau tidak
mau sebuah aturan hukum yang baru hendaknya dibuat secara bersama-
sama antara seluruh pemangku kepentingan terkait, dalam suatu proses
yang bersifat transparan atau terbuka. Masyarakat yang diatur hendaknya
diberi kesempatan seluas-luasnya sehingga mereka merasa bebas, tidak
diselimuti rasa takut, untuk menyampaikan pendapat-pendapat mereka
secara murni (genuine) dalam keseluruhan proses pembuatan aturan
hukum tersebut, mulai dari tahap inisiasi (pemrakarsaan) hingga tahap
pengesahan.

Namun, tidak akan banyak berarti walaupun masyarakat diberi keleluasaan


dalam menyampaikan pendapatnya apabila pendapat-pendapat mereka tidak
dihargai. Para penyusun aturan hukum hendaknya bersedia untuk belajar
dari masyarakat dan bersikap terbuka. Masukan-masukan dari masyarakat
harus ditanggapi secara mamadai dan terbuka. Terhadap masukan-masukan
masyarakat yang tidak dapat diakomodasi dalam aturan hukum, mereka
harus mampu memberikan uraian penjelasan yang memadai dan dapat
diterima oleh masyarakat.

Juga merupakan salah satu faktor yang penting adalah penyusun aturan
hukum hendaknya mendokumentasikan secara cermat dalam bentuk yang
ringkas namun komprehensif hasil-hasil dari setiap konsultasi dengan
masyarakat dan/atau pemangku kepentingan lain. Dokumen-dokumen yang

15
berupa notulensi konsultasi dengan para pihak ini akan menjadi dokumen
publik (public record) yang menggambarkan suatu proses pembuatan suatu
aturan hukum yang dilakukan secara akuntabel atau bertanggung-gugat
(accountable).

16
BAB Langkah-langkah Penyusunan Perdes

3 Inisiatif penyusunan sebuah Peraturan Desa (Perdes) hanya


dapat dilakukan apabila terdapat permasalahan yang
pencegahan atau pemecahannya memang benar-benar
memerlukan sebuah Perdes baru. Inisiasi sebuah Perdes
baru tentang Daerah Perlindungan Laut (DPL) dapat
diprakarsai oleh pemangku kepentingan yang terkait dengan
sumberdaya pesisir dan laut terkait, baik itu lembaga/instansi
pemerintah, badan perwakilan masyarakat, dunia usaha,
organisasi non pemerintah, lembaga pendidikan, maupun
kelompok masyarakat sendiri. Secara umum, penyusunan
sebuah Perdes baru meliputi 6 (enam) langkan sebagai
berikut.
Sosialisasi &
6 Pengesahan
Peraturan Desa

5 Pembahasan
di BPD

Penulisan
3 Rancangan
Peraturan Desa
4 Penyelenggaran
Konsultasi Publik

Identifikasi
Landasan Hukum
2 dan Perundang-
Undangan

Identifikasi

1 Permasalahan dan
Pemangku
Kepentingan

17
Langkah 1
1. Identifikasi Permasalahan dan Pemangku Kepentingan

Perancangan Peraturan Desa tentang Daerah Perlindungan Laut Berbasis


Masyarakat sangat berkaitan dengan keseluruhan proses pembentukan
suatu DPL. Identifikasi permasalahan dan pemangku kepentingan (stakehold-
ers) semestinya dilakukan pada proses pembentukan suatu DPL. Apabila
permasalahan dan pemangku kepentingan telah diidentifkasi dalam proses
pembentukan DPL, maka manfaatkanlah daftar permasalahan dan pemangku
kepentingan yang sudah ada tersebut.

Permasalahan yang terkait dengan suatu DPL dapat meliputi banyak hal,
antara lain degradasi sumberdaya alam, deplisi sumberdaya alam, konflik
pemanfaatan antar pemangku kepentingan yang dapat mengakibatkan
keresahan sosial, kepadatan penduduk yang mengakibatkan rendahnya
sanitasi, pendapatan penduduk pesisir yang rendah, dan lain-lain
permasalahan.

Permasalahan-permasalahan suatu kawasan persisir dan laut

18
Setelah permasalahan teridentifikasi, maka perancang Perdes hendaknya
berupaya sekuat tenaga mengidentifikasi sebab-sebab terjadinya
permasalahan tersebut, dan pihak-pihak yang terkena dampak dari
permasalahan tersebut. Berikut contoh tabel yang merangkum
permasalahan, penyebab terjadinya masalah (akar masalah), dan kelompok
yang terkena dampak.

Identifikasi Permasalahan
Kelompok yang terkena dampak
Permasalahan Akar masalah
Jenis kelompok # Orang

Perancang Perdes hendaknya memahami akibat-akibat yang akan ditimbulkan


dengan dibuatnya dan ditetapkannya satu Perdes baru tentang DPL.
Misalnya, apakah pihak-pihak tertentu akan sangat diuntungkan dan di sisi
lain pihak lain akan dikorbankan? Ataukah suatu Perdes akan menjamin
pemanfaatan bersama dari sumberdaya alam pesisir dan laut oleh berbagai
pihak secara lebih berkeadilan?

Kelompok kepentingan suatu DPL dapat meliputi berbagai pihak seperti


pengambil kayu bakau, pengumpul kerang-kerangan/moluska, nelayan
pemanah, nelayan pancing, nelayan jaring, pemancing ikan, pengusaha skala
menengah dan skala besar, Pemerintah Daerah, dan lain-lain. Identifikasi
pemangku kepentingan hendaknya dilakukan sebelum pembuatan aturan-
aturan tentang DPL. Tujuannya adalah agar pemangku kepentingan calon atau
bakal lokasi DPL dapat mengambil kepususan bersama mengenai lokasi yang
dipilih dan aturan yang akan dibuat. Seluruh pemangku kepentingan
hendaknya dilibatkan dalam pembuatan suatu peraturan desa mengenai DPL.

19
Pemangku Kepentingan Kawasan Pesisir dan Laut

Pada akhir Langkah 1, yang terdiri atas identifikasi permasalahan,


identifikasi pemangku kepentingan, dan identifikasi dampak yang dapat
ditimbulkan oleh Perdes baru, akan didapat hasil: (1) daftar permasalahan
yang dihadapi, (2) uraian penyebab terjadinya masalah (akar masalah), (3)
kelompok yang terkena dampak dari masalah, dan (4) dampak yang
potensial dapat terjadi akibat diberlakukannya Perdes baru serta
kelompok-kelompok yang akan terkena dampak tersebut. Proses yang
perlu dilalui dan hasil yang akan dicapai pada Langkah 1 ini dapat dilihat
pada Tabel Checklist Langkah 1 di bawah.

Cheklist Langkah 1: Identifikasi Permasalahan dan Pemangku Kepentingan


Kegiatan Hasil

Identifikasi permasalahan • Daftar permasalahan


• Urainan tentang penyebab timbulnya masalah
• Kelompok yang terkena dampak dari masalah

Identifikasi pemangku kepentingan • Daftar pemangku kepentingan

Identifkasi dampak potensial Perdes baru • Dampak positif terhadap siapa?


• Dampak negatif terhadap siapa?

20
Langkah 2
2. Identifikasi Landasan Hukum

Identifikasi landasan hukum mencakup inventarisasi peraturan perundang-


undangan yang ada yang terkait dengan DPL, analisis tentang kemampuan
sumberdaya manusia dalam melaksanakan berbagai peraturan perundang-
undangan, serta analisis terhadap efektifitas pelaksaan penegakan hukum
dan peraturan perundang-undangan terkait tersebut. Mencermati secara
khusus landasan hukum yang berkaitan dengan DPL, maka ditemui
beberapa pasal dan ayat sebagai berikut:
• UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
• UU 32/2004 menetapkan bahwa kabupaten dan kota memiliki
kewenangan untuk mengelola sumberdaya alam yang ada di wilayahnya,
dan bertanggung-jawab untuk menjaga kelestarian alamnya sesuai
dengan undang-undang. Dengan demikian pemerintahan di daerah
berkewajiban memperhatikan seluruh UU yang berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya alam.
• Peraturan Daerah-Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang jenis dan jumlahnya sangat bervariasi
antar daerah.

Sebagai ilustrasi, di bawah disajikan contoh hasil identifikasi landasan hukum


yang yang berkaitan dengan pengelolaan DPL yang dilakukan di Desa
Bentenan, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara dalam rangka
menyusun Peraturan Desa mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut
di desa tersebut.

21
Contoh Hasil Identifikasi Landasan Hukum

1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3419);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);
6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
7. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung;
8. Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Nomor 2 Tahun 2000 tentang Pemerintahan
Desa;
9. Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Nomor 6 Tahun 2000 tentang Peraturan
Desa;
10. Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat.

Dalam menyelesaikan Langkah 2 ini, terdapat beberapa kegiatan yang harus


mendapat perhatian. Kegiatan-kegiatan tersebut, berserta hasil dari setiap
kegiatan disajikan dalam Tabel Checklist Langkah 2 di bawah.

Cheklist Langkah 2: Identifikasi Landasan Hukum


Kegiatan Hasil

Inventarisasi peraturan perundang-undangan • Daftar peraturan perundang-undangan terkait


terkait

Kemampuan SDM dalam melaksanakan • Analisis singkat


peraturan perundang-undangan terkait

Efektifitas pelaksanaan/penegakan hukum • Analisis singkat


peraturan perundang-undangan terkait

22
Langkah 3
3. Penulisan Rancangan Peraturan Desa

1. Pertimbangan Proses
Penulisan konsep Rancangan Peraturan Desa (Ranperdes) hendaknya
dimulai dengan penulisan secara garis besar, kemudian dilanjutkan dengan
penulisan secara lebih rinci. Tim penulis dapat memulainya dengan
membuat satu kerangka tulisan atau outline. Naskah-naskah atau dokumen
awal yang sudah ada mengenai Daerah Perlindungan Laut, seperti draft
Rencana Pengelolaan dan lain-lain, hendaknya dimanfaatkan sebagai bahan
penulisan Ranperdes. Dalam tahap ini hendaknya konsep Ranperdes tidak
ditulis menyerupai Perdes yang sebenarnya, yakni tidak ditulis dalam
bentuk bab, pasal, dan ayat. Tim Penulis dapat memulai dengan sebuah
matriks yang memuat subyek yang akan diatur (permasalahan yang akan
diatasi) dan usulan pengaturannya (usulan pemecahan masalah atau
ketentuan-ketentuan).

Setelah berbagai ide dari masyarakat dan kelompok kepentingan lain


terkumpul, tahapan berikutnya adalah memformulasikan ide tersebut ke
dalam bahasa hukum Peraturan Desa. Formulasi Ranperdes awal ke dalam
bahasa hukum hendaknya memanfaatkan jasa konsultan atau pihak-pihak
lain yang paham tentang hukum. Formulasi Ranperdes ke dalam bahasa
hokum dapat dilakukan pada Langkah 2 ini atau pada saat setelah dilakukan
konsultasi publik.

2. Pertimbangan Format
Secara umum, seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik di
tingkat pusat maupun daerah, mengikuti format yang hampir sama, seperti
format di bawah.

23
Judul
Pembukaan
Batang Tubuh
• Ketentuan Umum
• Materi Pokok yang Diatur (larangan, keharusan, dll.)
• Ketentuan Sanksi
Penutup
Penjelasan
Lampiran

3. Pertimbangan Substansi
Perdes tentang DPL hendaknya mengandung materi muatan yang
komprehensif atau menyeluruh, yang meliputi hal-hal seperti diuraikan
secara ringkas di bawah. Contoh-contoh dari masing-masing komponen
dalam Perdes dapat dilihat pada contoh Perdes tentang DPL yang terdapat
pada bagian belakang buku ini. Namun perlu diingat bahwa dalam membuat
Ranperdes untuk suatu lokasi tertentu, contoh tersebut hendaknya
sekedar dipakai sebagai contoh, tidak disadur apalagi dijiplak apa adanya.
Substansi dari sebuah Ranperdes harus mencerminkan kebutuhan spesifik
yang berada di lokasi di mana Ranperdes tersebut akan diberlakukan.

Judul
Judul sebuah Perdes hendaknya mencerminkan hal-hal atau materi muatan
yang diatur. Sedapat mungkin judul dirumuskan dengan ringkas dan jelas
sehingga dapat mudah diingat. Apabila penentuan judul menemui kesulitan
pada awal penulisan Ranperdes, maka penentuan nama judul dapat
dilakukan pada akhir penulisan Ranperdes, setelah Ranperdes tersebut
menjadi jelas kandungan isinya.

Pembukaan
Pembukaan atau preambul suatu Perdes biasanya memuat konsideran
“menimbang” dan konsideran “mengingat.” Konsideran “menimbang” berisi:

24
(1) gambaran dari masalah yang diupayakan untuk diatasi oleh Perdes; dan
(2) identifikasi alasan mengapa diperlukan sebuah Perdes baru untuk
memecahkan masalah-masalah tersebut. Sehingga dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa konsideran “menimbang” merupakan landasan filosifis dan
landasan sosiologis, dan konsideran “mengingat” merupakan landasan
yuridis dari suatu peraturan perundang-undangan dan berisi seluruh
peraturan perundang-undangan terkait yang ada, baik di tingkat nasional,
daerah, maupun desa.

Batang Tubuh
Dalam menyusun ketentuan-ketentuan dalam batang tubuh Perdes,
pembuat Perdes hendaknya menyadari bahwa pembuatan Perdes baru
adalah suatu kesempatan emas untuk memformalkan aturan-aturan tidak
tertulis yang berlaku dan diikukti oleh masyarakat. Oleh karena itu,
pembuat Perdes hendaknya memperhatikan dan mempertimbangkan
aturan-aturan tidak tertulis desa yang mempunyai latar belakan magis,
historis (sejarah), dan sosial budaya, yang meliputi adat istiadat dan
kebiasaan yang telah tumbuh dan berkembang sejak lama dan ditaati sebagai
aturan umum dalam masyarakat. Dengan demikian aturan tertulis yang akan
dibuat tidak tumpang tindih dan kontradiksi dengan aturan tidak tertulis
yang sudah ada sebelumnya.

Dokumen- Aturan-aturan tidak Masukan para pakar Sumber-sumber


dokemen tertulis tertulis yang berlaku dan pemangku lain yang layak
yang ada di masyarakat kepentingan lain dipertimbangkan

Tim Penyusun Ranperdes

25
• Ketentuan Umum
Ketentuan umum berisi batasan-batasan (definisi-definisi) atau
pengertian-pengertian mengenai komponen-komponen dalam DPL yang
dimuat dalam Perdes.

• Materi Pokok yang Diatur


Bagian ini hendaknya memuat ketentuan-ketentuan yang mengikat
pengguna utama Perdes, yaitu masyarakat yang diatur, dan aparat desa
atau petugas yang mengatur (pelaksana). Banyak peraturan perundang-
undangan didesain hanya untuk mengatur masyarakat, dan melupakan
pengaturan terhadap pelaksana atau pengatur. Hal demikian jangan
sampai terjadi dalam pembuatan Perdes tentang DPL.

Materi pokok yang diatur dalam Perdes tentang DPL, atau sering disebut
dengan materi muatan, meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Cakupan wilayah DPL, meliputi batas-batas zona (zona inti dan zona
penyangga kawasan DPL yang menjelaskan jarak antara batas satu dengan
lainnya).
Batas-batas wilayah DPL, zona inti dan zona penyangga, hendaknya
ditentukan secara jelas dengan memperhatikan pertimbangan-
pertimbangan ekologis secara ilmiah.
b) Tugas dan tanggung-jawab pihak-pihak terkait
Seperti disinggung di depan, Perdes hendaknya merumuskan ketentuan-
ketentuan tentang tugas dan tanggung jawab pihak-pihak terkait,
termasuk masyarakat yang diatur, Kelompok Pengelola DPL, aparat desa,
Badan Perwakilan Desa, dan pihak lain yang terkait.
c) Kegiatan yang diperbolehkan dalam DPL
Ketentuan-ketentuan mengenai kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan
dalam wilayah DPL, seperti kegiatan penelitian dan monitoring atau
pemantauan.
d) Kegiatan yang dilarang dalam kawasan DPL
Ketentuan-ketentuan mengenai kegiatan-kegiatan yang dilarang untuk

26
dilakukan dalam wilayah DPL, seperti melakukan penangkapan ikan
dengan cara apapun, mengambil terumbu karang dan benda-benda lain,
melempar jangkar, melewati wilayah DPL dengan perahu/kapal, menyelam,
snorkeling, dan lain-lain.
e) Ketentuan Sanksi
Dalam merumuskan ketentuan sanksi, hendaknya penulis mengacu pada
Pasal 14 UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang berbunyi: “Materi muatan mengenai ketentuan pidana
hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
Berdasarkan UU 10/2004 tersebut Perdes tidak dibenarkan memuat
ketentuan sanksi pidana.
f) Pendanaan dan pengelolaan dana DPL
Bagian ini memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sumber-sumber
pendanaan dan pengelolaan dana yang diperoleh untuk mengelola DPL.
g) Pengawasan, berisi pelaku dan metoda pengawasan
Ketentuan-ketentuan mengenai siapa yang bertugas untuk melakukan
pengawasan dan bagaimana (metoda) pengawasan harus dilakukan.

Penutup
Ketentuan peralihan dan penutup berkaitan dengan hubungan Perdes yang
baru dengan struktur hukum yang ada. Ketentuan peralihan dan penutup
hendaknya dirumuskan secara singkat namun jelas sehingga tidak
menimbulkan ketidak-pastian hukum.

Penjelasan
Perdes tentang DPL dapat dilengkapi dengan penjelasan umum yang
menguraikan secara memadai tentang dasar pemikiran mengenai alasan-
alasan, ruang lingkup, sistematika penulisan, dan hal lain yang dianggap perlu,
dan dengan penjelasan pasal demi pasal untuk mengurangi terjadinya salah
penafsiran dari pasal-pasal dan ayat-ayat yang dikandungnya.

27
Lampiran
Perdes tentang DPL dapat dilengkapi dengan lampiran-lampiran, seperti
peta desa, peta DPL dan poster.

Secara umum, kegiatan-kegiatan dan hasil kegiatan dalam Langkah 3 ini dapat
diringkas seperti tersaji dalam Tabel Checklist Langkah 3 di bawah.

Cheklist Langkah 3: Penyusunan draft rancangan peraturan desa


Kegiatan Hasil

Proses: • Outline dan draft awal


• Susun draft Ranperda secara umum (outline) • Draft lebih rinci
• Uraikan draft Ranperda secara lebih rinci • Draft dalam bahasa hukum
• Alihkan ke dalam bahasa hukum (bila perlu) (apabila sudah dianggap perlu)
• Libatkan pakar dan stakeholdes lain

Format:
• Gunakan farmat yang baku

Substansi meliputi:
• Prinsip-prinsip terkandung dalam konsideran
• Aturan hukum terkait dalam konsideran
• Kegiatan yang diperbolehkan dan dilarang
• Ketentuan Sanksi
• Ketentuan Penutup
• Lampiran-Lampiran

Langkah 4
4. Penyelenggaraan Konsultasi Publik

Interaksi dengan masyarakat merupakan proses yang lentur, yang harus


diintegrasikan ke dalam proses penulisan Ranperdes. Proses konsultasi
dengan masyarakat dan penulisan Ranperdes bersifat interaktif, saling
mengisi dan mempengaruhi.

Pengertian
Konsultasi publik adalah konsultasi atau dengar pendapat antar para
pemangku kepentingan yang bertujuan untuk mencapai kesepakan tentang

28
substansi yang akan dimuat dalam Perdes baru. Konsultasi publik
merupakan salah satu aspek terpenting dalam pebuatan sebuah Perdes
baru. Dengan partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam proses yang
transparan inilah para pemrakarsa Perdes membangun legitimasi ke dalam
Perdes tersebut. Dengan konsultasi publik yang partisipatif dan transparan,
diharapkan Perdes yang dihasilkan akan merupakan kesepakatan bersama
antara seluruh pemangku kepentingan, sehingga semua merasa memiliki dan
merasa berkewajiban untuk mengakkannya secara bersama-sama.

Penjangkauan
Idealnya, proses konsultasi publik pembuatan Perdes tentang DPL
dilakukan di seluruh wilayah (dusun) dan menjangkau seluruh pemangku
kepentingan dan seluruh anggota masyarakat yang akan terkena dampak
oleh adanya Perdes tersebut. Untuk menjangkau wilayah yang luas dan
warga masyarakat yang besar, dapat dilakukan beberapa kali konsultasi
publik.

Alokasi Dana dan Sumberdaya


Oleh karena konsultasi publik merupakan salah satu komponen terpenting
dalam keseluruhan proses pembuatan Perdes, maka selayaknya konsultasi
publik dialokasikan dana dan sumberdaya manusia yang mamadai. Para
pemrakarsa Perdes harus bersedia untuk membuat komitmen kuat untuk
menyediakan dana dan waktu untuk menyelenggarakan konsultasi publik
yang memadai.

Bentuk Konsultasi Publik


Proses konsultasi publik menghendaki arus informasi dua arah. Pembuat
Perdes menyampaikan kepada publik mengenai Ranperdes yang sedang
disusun, termasuk alasan-alasan, justifikasi, dan dampak potensialnya
terhadap para pihak. Di lain pihak, masyarakat memiliki tanggung-jawab
untuk berpatisipasi dan memberi umpan balik kepada pembuat Perdes.
Oleh karena itu, kedua belah pihak mempunyai kewajiban untuk

29
memberikan komitmen waktu dan sumberdaya/dana dalam konsultasi
publik. Konsultasi publik hendaknya dilakukan dalam bentuk yang berbeda-
beda, dan diselenggarakan beberapa kali. Tentu diperlukan waktu untuk
menyajian materi mengenai Ranperdes berikut permasalahan-permasalahan
terkait. Selain itu, diperlukan diskusi kelompok untuk membahas bagian-
bagian khusus secara lebih rinci untuk memperoleh masukan-masukan
nyata dari para peserta konsultasi publik.

Konsultasi publik hendaknya dilakukan dengan berbagai cara seperti


musyawarah bersama kelompok pengguna, musyawarah dusun, musyawarah
desa, dan dialog informal dengan para pemangku kepentingan.

Bahan-bahan Konsultasi Publik


Untuk memperoleh masukan-masukan yang berarti dari para peserta
konsultasi publik, maka persiapan bahan-bahan yang diperlukan menjadi
sangat vital. Bahan-bahan yang diperlukan meliputi: (a) informasi dasar yang
dapat menjelaskan secara umum permasalahan yang dihadapi dan gambaran
mengenai Ranperdes, termasuk hal-hal yang boleh dan tidak boleh
dilakukan di lokasi DPL; (b) dokumen-dokumen resmi/semi resmi, seperti
draft profil desa, draft rencana pengelolaan dan lain-lain. Bahan-bahan ini
hendaknya dipaparkan secara jelas sehingga akan membantu masyarakat
dalam memahami materi muatan Ranperdes. Dengan demikian para peserta
akan dapat berpartisipasi dalam diskusi dan memberikan masukan-masukan
seseuai dengan aspirasi mereka.

Perencanaan Konsultasi Publik


Penyelenggaraan konsultasi publik hendaknya direncanakan secara cermat
dengan persiapan yang matang. Penyelenggara hendaknya mengidentifikasi
siapa yang perlu hadir dalam sebuah konsultasi publik, kemudian dipastikan
bahwa informasi atau undangan untuk konsultasi publik sampai kepada
para calon peserta beberapa hari sebelum diselenggarkannya konsultasi
tersebut (tepat waktu). Pemrakarsa hendaknya menyiapkan salinan doku-

30
men-dokumen inti yang diperlukan jauh hari sebelumnya, dan idealnya
disampaikan kepada calon peserta bersamaan dengan undangan, untuk
memberi waktu kepada mereka guna menelaahnya dan mempersiapkan
komentar dan masukan-masukan menurut aspirasi mereka. Juga, hendaknya
ditunjuk petugas khusus, seperti narasumber, moderator, dan notulis yang
bertugas untuk merekam atau mencatat komentar dan masukan dari para
peserta.

Secara umum, kegiatan-kegiatan dan hasil dari masing-masing kegiatan dalam


Langkah 4 ini dapat dirangkum seperti ditampilkan pada Tabel Checklist
Langkah 4 di bawah.

Cheklist Langkah 4: Konsultasi Publik


Kegiatan Hasil

Pastikan seluruh stakeholders dijangkau • Notulensi tentang


komentar dan masukan
Alokasikan dana, SDM, dan waktu yang memadai dari seluruh pemangku
kepentingan secara
Pastikan komunikasi dua arah: gunakan bentuk-bentuk komunikasi ringkas namun
seperti siding pleno, tatap muka, diskusi kelompok, pertemuan komprehensif
informal, dll.

Siapkan bahan-bahan yang diperlukan seperti, informasi dasar,


draft Ranperdes, informasi terkait lainnya

Persiapan:
• Pastikan semua calon perserta menerima undangan tepat waktu
• Pastikan semua calon perserta menerima bahan-bahan
(idealnya bersamaan dengan undangan)
• Tunjuk petugas khusus; narasumber, moderator, notulen

Setelah konsultasi public selesai, hendaknya draft Ranperdes direvisi


dengan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya hasil konsultasi publik.
Pembuat Perdes hendaknya sejauh mingkin mengakomodasi masukan-
masukan dari publik dalam Ranperdes. Namun, tentu terdapat masukan-
masukan dari publik yang karena suatu alasan tidak dapat dimasukkan ke
dalam Ranperda. Pembuat Perdes harus mampu untuk memberikan
penjelasan-penjelasan kepada publik mengenai masukan-masukan publik
yang tidak dapat diakomodasi dalam Ranperdes.

31
Langkah 5
5. Pembahasan di Badan Perwakilan Desa

Pembahasan di Badan Perwakilan Desa (BPD) hendaknya juga dianggap


sebagai salah satu bentuk dari konsultasi publik. BPD sebagai wadah
musyawarah di tingkat desa hendaknya membuka ruang diskusi dengan
berbagai kelompok kepentingan terkait, seperti organisasi non pemerintah,
aparat desa, dunia usaha, kelompok-kelompok masyarakat, dan pihak lain
yang dianggap relevan. Kegiatan dan hasil dari Langkah ini disajikan dalam
Tabel Cheklist Langkah 5 di bawah.

Cheklist Langkah 5: Pembahasan di Badan Perwakilan Desa (BPD)


Kegiatan Hasil

Gunakan kesempatan ini untuk konsultasi • Masukan-masukan dari BPD dan publik
publik; libatkan seluruh stakeholders • Persetujuan dari BPD

Musyawarah di desa

32
Langkah 6
6. Sosialisasi dan Persetujuan Formal

Sosialisasi kepada masyarakat hendaknya dimulai sebelum Ranperdes


disetujui secara formal oleh pihak yang berwenang, dengan cara
memperbanyak salinan Ranperdes dan membagikannya ke setiap penduduk
desa. Dengan demikian, masyarakat dapat membaca hasil formulasi bahasa
hukum yang dilakukan dan mengetahui perubahan isi yang terjadi. Bagi
masyarakat yang tidak ikut dalam proses musyawarah sebelumnya, rancangan
tersebut membantu mereka mengetahui, memahami, dan memberi masukan
terhadap isi rancangan pertauran tersebut.

Persetujuan formal atau pengesahan Perdes adalah langkah terakhir dalam


keseluruhan proses pembuatan Perdes baru, sekaligus menjadi langkah
pertama pelaksanaan Perdes tersebut. Salah satu faktor penting yang akan
sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan
pelaksanaaan sebuah
Perdes baru adalah masa
transisinya. Masa transisi
ini terkait erat dengan
tanggal mulai
diberlakukannya Perdes
baru tersebut. Sebuah
Perdes dapat segera Kepala Desa menandatangani Peraturan Desa
diberlakukan pada tanggal disaksikan oleh masyarakat

disahkannya, atau diberi


tenggat waktu antara disahkannya Perdes tersebut dangan tanggal
diberlakukannya. Penentuan tanggal diberlakukannya Perdes hendaknya
mempertimbangkan dengan masak kesiapan masyarakat dan aparat penegak

33
hukum untuk melaksanakannya. Apabila masyarakat dan aparat belum siap,
hendaknya disediakan tenggat waktu yang cukup guna mempersiapkannya.

Bagaimanapun juga, pengesahan suatu Perdes harus didahului dan diikuti


dengan upaya-upaya penjangkauan dan penyadaran yang memadai untuk
menginformasikan kepada masyarakat dan aparat terkait. Upaya sosialisasi
ini harus ditunjang dengan penyediaan bahan-bahan penunjang yang
menjelaskan tentang Perdes tersebut, latar belakangnya, serta
pelaksanaannya kepada seluruh pemangku kepentingan dan aparat terkait.

Kegiatan dan hasil kegiatan dalam Langkah 6 ini dirangkum dalam Tebel
Checklist Langkah 6 sebagai berikut.

Cheklist Langkah 6: Sosialisasi dan Pengesahan Perdes


Kegiatan Hasil

• Pastikan sosialisasi dilakukan sebelum Perdes disahkan oleh Kepala Desa


dan sesudah pengesahan Perdes
• Siapkan Ranperdes dalam bentuk akhir
• Undang pihak-pihak yang berkepentingan

34
BAB Ringkasan

4 Bagian ini merangkum dalam bentuk yang ringkas substansi


yang termuat dalam Bab 2, yaitu landasan teori terkait dengan
peraturan desa, dan materi Bab 3, yaitu 6 (enam) langkah
proses pembuatan Perdes tentang DPL. Sebelum proses
pembuatan Perdes tentang DPL dimulai, pemrakarsa Perdes
hendaknya senantiasa mengingat 2 (dua) hal. Pertama,
pemrakarsa Perdes harus selalu memperhatikan prinsip-
prinsip yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir
dan lautan terpadu, yang meliputi:
• Prinsip keterpaduan
- Keterpaduan perencanaan sektor secara
horinzontal
- Keterpaduan perencanaan secara vertikal
- Keterpaduan ekosistem darat dan laut
- Keterpaduan ilmu pengetahuan dan manajemen
• Prinsip desentralisasi pengelolaan dan penguatan
kelembagaan
• Prinsip pembangunan berkelanjutan
• Prinsip keterbukaan dan peran serta dan pemberdayaan
masyarakat
• Prinsip kepastian hukum

Kedua, pemrakarsa Perdes hedaknya menyadari dari awal


bahwa aturan hukum yang baru hanya akan dapat
dilaksanakan dengan efektif dan efisien apabila atruan hukum
tersebut memperoleh legitimasi dari pihak-pihak yang
diaturnya. Agar sebuah aturan hukum (Perdes) memperoleh
legitimasi dan ditaati penegakannya baik oleh pihak-pihak
yang diatur maupun pihak-pihak yang mengatur, maka aturan
hukum tersebut hendaknya merupakan formulasi dan
refleksi dari kesepakatan yang dibuat secara bersama-sama

35
oleh pihak-pihak yang diatur maupun pihak yang mengatur. Dengan
demikian, mau tidak mau sebuah aturan hukum yang baru hendaknya
dibuat secara bersama-sama antara seluruh pemangku kepentingan terkait,
dalam suatu proses yang bersifat transparan atau terbuka. Masyarakat yang
diatur hendaknya diberi kesempatan seluas-luasnya sehingga mereka
merasa bebas, tidak diselimuti rasa takut, untuk menyampaikan pendapat-
pendapat mereka secara murni (genuine) dalam keseluruhan proses
pembuatan aturan hukum tersebut, mulai dari tahap inisiasi (pemrakarsaan)
hingga tahap pengesahan.

Di bawah disajikan 6 (enam) langkah dalam keseluruhan proses membuatan


Perdes, yang dilengkapi dengan checklist langkah 1 s/d 6, serta hasil akhir
dari setiap kegiatan dan langkah, agar memudahkan para pengguna Buku
Panduan ini dalam melaksanakan tugasnya di lokasi masing-masing.

36
Penyusunan Perdes tentang DPL

Langkah Checklist Hasil


Langkah 1 • Identifikasi masalah Daftar masalah dan akar
Identifikasi • Identifikasi akar masalah masalah, pemangku
Permasalahan dan • Identifikasi stakeholders kepentingan, dampak
Pemangku • Identifikasi dampak potensial Perdes baru
Kepentingan potensiial Perdes baru

Langkah 2 • Inventarisasi aturan hokum


Identifikasi Landasan terkait Daftar aturan hokum terkait,
Hukum dan Perundang- • Analisis kemampuan SDM analisis SDM, analisis
Undangan • Analisis tentang penegakan pelaksanan aturan terkait
hukum

Langkah 3 • Susun dari umum ke detil


Penulisan • Gunakan format baku Draft Ranperdes
Rancangan • Ketentuan apa yang boleh dalam bentuk awal
Peraturan Desa dan dilarang
• Ketentuan sanksi

Langkah 4 • Undang seluruh stakeholders


Penyelenggaran • Gunakan komunikasi dua Draft akhhir Ranperdes
Konsultasi Publik arah dalam bentuk final
• Catat semua masukan

Langkah 5 • Gunakan sebagai konsultasi Ranperdes dalam bentuk


Pembahasan di public final yang siap untuk
BPD • Undang semua stakeholders ditanda-tangani

Peraturan Desa yang


Langkah 6 • Lakukan sosialissi sebelum sudah disahkan oleh BPD
Sosialisasi & dan sesudah pengesahan dan Kepala Desa,
Pengesahan • Undang semua stakeholders disosialisasikan kepada
Peraturan Desa masyarakat

37
CHECKLIST

Cheklist Langkah 1
Cheklist Langkah 1: Identifikasi Permasalahan dan Pemangku Kepentingan
Kegiatan Hasil

• Identifikasi permasalahan • Daftar permasalahan


• Urainan tentang penyebab timbulnya masalah
• Kelompok yang terkena dampak dari masalah

• Identifikasi pemangku kepentingan • Daftar pemangku kepentingan

• Identifkasi dampak potensial Perdes baru • Dampak positif terhadap siapa?·


Dampak negatif terhadap siapa?

Checklist Langkah 2
Cheklist Langkah 2: Identifikasi Landasan Hukum
Kegiatan Hasil

Inventarisasi peraturan perundang-undangan • Daftar peraturan perundang-undangan terkait


terkait

Kemampuan SDM dalam melaksanakan • Analisis singkat


peraturan perundang-undangan terkait

Efektifitas pelaksanaan/penegakan hukum • Analisis singkat


peraturan perundang-undangan terkait

Checklist Langkah 3
Cheklist Langkah 3: Penyusunan draft rancangan peraturan desa
Kegiatan Hasil

Proses: • Outline dan draft awal


• Susun draft Ranperda secara umum (outline) • Draft lebih rinci
• Uraikan draft Ranperda secara lebih rinci • Draft dalam bahasa hukum
• Alihkan ke dalam bahasa hukum (bila perlu) (apabila sudah dianggap perlu)
• Libatkan pakar dan stakeholdes lain

Format:
• Gunakan farmat yang baku

Substansi meliputi:
• Prinsip-prinsip terkandung dalam konsideran
• Aturan hukum terkait dalam konsideran
• Kegiatan yang diperbolehkan dan dilarang
• Ketentuan Sanksi
• Ketentuan Penutup
• Lampiran-Lampiran

38
Checklist Langkah 4
Cheklist Langkah 4: Konsultasi Publik
Kegiatan Hasil

Pastikan seluruh stakeholders dijangkau • Notulensi tentang


komentar dan masukan
Alokasikan dana, SDM, dan waktu yang memadai dari seluruh pemangku
kepentingan secara
Pastikan komunikasi dua arah: gunakan bentuk-bentuk komunikasi ringkas namun
seperti siding pleno, tatap muka, diskusi kelompok, pertemuan komprehensif
informal, dll.

Siapkan bahan-bahan yang diperlukan seperti, informasi dasar,


draft Ranperdes, informasi terkait lainnya

Persiapan:
• Pastikan semua calon perserta menerima undangan tepat waktu
• Pastikan semua calon perserta menerima bahan-bahan
(idealnya bersamaan dengan undangan)
• Tunjuk petugas khusus; narasumber, moderator, notulen

Checklist Langkah 5
Cheklist Langkah 5: Pembahasan di Badan Perwakilan Desa (BPD)
Kegiatan Hasil

Gunakan kesempatan ini untuk konsultasi • Masukan-masukan dari BPD dan publik
publik; libatkan seluruh stakeholders • Persetujuan dari BPD

Checklist Langkah 6
Cheklist Langkah 6: Sosialisasi dan Pengesahan Perdes
Kegiatan Hasil

• Pastikan sosialisasi dilakukan sebelum Perdes disahkan oleh Kepala Desa


dan sesudah pengesahan Perdes
• Siapkan Ranperdes dalam bentuk akhir
• Undang pihak-pihak yang berkepentingan

39
40
BAB Contoh Peraturan Desa

5 Buku Panduan ini dilengkapi dengan contoh Perdes yang


sudah disahkan dan diberlakukan di Desa Bentenan,
Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Contoh
Perdes yang ada dalam Buku Panduan ini dimaksudkan hanya
untuk memberi gambaran mengenai Perdes yang sudah jadi
dan diberlakukan, yang mengatur pengelolaan DPL. Perdes
dari Desa Bentenan ini berjudul Peraturan Desa Bentenan
Nomor: 3 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir
dan Laut Desa Bentenan. Dari judulnya, tampak jelas bahwa
Perdes ini cakupannya jauh lebih luas daripada hanya
sekedar mengatur pengelolaan DPL. Selain mengatur
pengelolaan DPL, Perdes ini juga mengatur Kawasan Wisata
Bahari, Jalur Transportasi Laut, Kawasan Pemanfaatan Terbatas,
dan Kawasan Perlindungan Pantai. Tentu saja dapat dibuat
satu Pedes khusus yang mengatur tentang DPL.

Para fasilitator dan motivator desa sangat tidak disarankan


untuk menggunakan contoh-contoh untuk disadur atau
dijiplak dalam langkah awal dalam menyusun Perdes di lokasi
lain. Penyusunan Perdes harus dimulai dari langkah awal
berupa indentifikasi permasalahan dan dilanjutkan dengan
menyelesaikan langkah-langkah berikutnya. Penyusunan
Perdes harus tumbuh dari kebutuhan nyata di lapangan.
Bentuk akhir Perdes merupakan hasil akhir proses panjang
dari langkah pertama sampai langkah terakhir. Sangat tidak
dapat dibernarkan untuk menyadur Perdes dari lokasi lain
hanya dengan sekedar mengadakan perubahan kecil seperti
nama-nama tempat, tanggal pengesahan, nama orang, dan
perubahan-perubahan kecil lainnya.

41
CONTOH PERATURAN DESA

PERATURAN DESA BENTENAN


NOMOR: 3 TAHUN 2002

TENTANG

PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR DAN LAUT DESA BENTENAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HUKUM TUA DESA BENTENAN

Menimbang: a. Bahwa dengan adanya isu-isu perusakan terumbu karang dan


penagkapan satwa yang dilindungi yang mengakibatkan potensi
sumberdaya pesisir dan laut untuk menjamin kehidupan
masyarakat secara berkenjutan semakin terancam, maka wilayah
pesisir dan laut yang sangat berpotensi untuk penyediaan
sumberdaya perikanan laut, dan wilayah daratan sebagai wilayah
penyanggga perlu dilindungi;
b. Bahwa untuk mengurangi abrasi pantai serta menjamin
pelestarian lingkungan hidup (darat, laut dan udara), maka setiap
orang berkewajiban menjaga dan mengawsi serta memelihara
lingkungan hidup yang dijamin oleh hukum dan undang-
undang;
c. Bahwa sumberdaya alam yang ada di Desa Bentenan potensial
dijadikan sebagai daerah tujuan wisata, maka perlu ditetapkan
sebuah kawan wisata di mana masayarakat bisa melaksanakan
usaha wisata rakyat yang ramah lingkungan untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat;
d. Bahwa dalam rangka perencanaan tata ruang Kabupaten
Minahasa, maka perlu perencanaan yang meliputi wilayah pesisir
dan laut tingkat kecamatan dan desa;
e. bahwa berdasarkan musyawarah beberapa anggota masyarakat
dan sosialisasi di Jaga-Jaga, organisasi keagamaan dan atau
organisasi sosial masyarakat sejak tahun 2000 dan pertemuan
pada tanggal 31 Maret 2002, serta dalam rngka kebijaksanaan
pemerintah dalam pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan

42
hidup, maka perlinduangan kawasan peisir dan laut desa perlu
dituangkan dalam suatu peraturan desa sebagai perwujudan
masyarakat yang sadar hukum dan lingkungan;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, b, c, d, dan e di atas,
maka perlu menetapkan Peratruan Desa Bentenan tentang
Pengelolaan Kawsan Pesisir dan Laut.

Mengingat: 1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 33


ayat (3);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, (Lembaran Negara
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3501);
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);
5.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);
6.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
7.Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Kawasan Lindung;
8.Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Nomor 2 Tahun
2000 tentang Pemerintahan Desa;
9.Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Nomor 6 Tahun
2000 tentang Peraturan Desa;
10. Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Nomor 2 Tahun
2002 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis
Masyarakat.

43
DENGAN PERSETUJUAN BADAN PERWAKILAN DESA BENTENAN,
MEMUTUSKAN

Menetapkan:
PERATURAN DESA BENTENAN TENTANG PENGELOLAAN
KAWASAN PESISIR DAN LAUT DESA BENTENAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Desa ini yang dimaksud dengan:


1. Pemerintah Desa adalah Hukum Tua dan Perangkat Desa Bentenan;
2. Badan Perwakilan Desa adalah badan yang terdiri atas pemuka-pemuka
masyarakat yang ada di desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintah Desa;
3. Masyarakat Desa adalah seluruh penduduk Desa Bentenan;
4. Nelayan adalah penduduk yang pekerjaannya sebagai pencari ikan di laut baik
yang berasal dari desa dan aau luar Desa Bentenan;
5. Pembudidaya adalah orang yang melakukan budidaya laut, baik yang berasal
dari desa dan atau luar Desa Bentenan;
6. Budidaya laut adalah kegiatan pembesaran dan atau pemeliharaan hewan dan
atau tumbuhan laut yang dilakukan di perairan laut;
7. Pengusaha adalah penduduk yang mempunyai usaha berskala menengah ke atas
seperti usaha pengkapan ikan dengan kapal motor pajeko atau sejenisnya, usaha
budidaya perikanan dan laut, usaha pariwisata, dan usaha pertanian, baik yang
berasal dari dalam desa atau luar Desa Bentenan;
8. Kelompok Pengelola Pesisir dan Laut adalah satu lembaga atau organisasi
berbasis masyarakat yang memiliki komitmen dan usaha untuk mengelola dan
melindungi sumberdaya pesisir dan laut desa secara lestari dan berkelanjutan;
9. Pemanfaatan terbatas adalah kegiatan penangkapan ikan jenis terterntu dan
budidaya dengan menggunakan peralatan yang tidak merusak lingkungan;
10. Kawasan pengelolaan pesisir dan laut adalah wilayah pesir dan laut Desa
Bentenan yang diatur dan dikelola menurut pemanfaatannya. Pengelolaan pesisir
dan laut terdiri dari Daerah Perlindungan Laut (Zona Inti dan Zona
Penyangga), Kawasan Wisata Bahari, Kawasan Perlindungan Pantai, Kawasan
Pemanfaatan Terbatas dan Jalur Transportasi Laut;

44
11. Jalur Transportsi Laut adalah sebagian wilayah perairan laut Desa Bentenan yang
ditentukan sebagai jalur transportasi laut atau jalan perahu dan atau kapal, yang
menuju ke arah laut atau merapat ke pantai. Jalur ini dibatasi oleh pelampung-
pelampung tanda batas yang ditempatkan di sepanjang jalur;
12. Daerah Perindungan Laut adalah sebagian wilayah perairan Desa Bentenan yang
disetujui oleh masyarakat untuk dilindungi dan ditutup secara permanen
terhadap berbagai kegiatan penangkapan, pengambilan dan atau pemeliharaan
biota laut, serta jalur transportsi laut;
13. Zona Inti Daerah Perlindungan Laut adalah lokasi terumbu karang yang
dilindungi dari berbagai kegiatan pemanfaatan dan aktivitas manusia lainnya,
untuk membiarkan terumbu karang dan biota laut lainnya hidup dan
berkembang-biak tanpa gangguan dari manusia;
14. Zona Penyangga Daerah Perlindungan Laut adalah lokasi terumbu karang yang
berada di sekeliling Zona Inti DPL sebagai penyangga atau pencegah terjadinya
pelanggaran di zona inti DPL;
15. Kawasan Wisata Bahari adalah sebagian wilayah paerairan Desa Bentenan yang
diarahkan pemanfaatannya untuk tujuan-tujuan wisata rakyat;
16. Sumberdaya perarian adalah semua jenis fauna dan flora yang ada di dalam
wilayah administrasi Desa Bentenan;
17. Kawasan Perlindungan Pantai adalah daerah sepanjang garis pantai Desa
Bentenan yang dilindungi dari kerusakan dan abrasi.

BAB II
RUANG LINGKUP WILAYAH PENGELOLAAN

Pasal 2

Pengelolaan kawasan pesisir dan laut Desa Bentenan meliputi seluruh wilayah
pesisir dan laut yang masuk dalam wilayah administrasi Desa Bentenan.

BAB III
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT

Pasal 3

Kawasan pesisir dan laut Desa Bentenan dibagi dalam beberapa kawasan
pengelolaan dan pemanfaatan, yaitu:
1. DaerahPerlindugn Laut (DPL)
2. Kawasan Wisata Bahari

45
3. Jalur Transportasi Laut;
4. Kawasan Pemanfaatan Terbatas;
5. Kawasan Perlindungan Pantai.

BAB IV
DAERAH PERLINDUNGAN LAUT (DPL)

Pasal 4
(1)Daerah Perlindungan Laut Desa Bentenan dilindungi secara tetap sebagai
daerah tabungan ikan dan pelindung pantai serta keanekaragaman hayati
terumbu karang;
(2) Lokasi Daerah Perlindungan Laut terdapat di daerah terumbu karang Jaga V,
terdiri dari Zona Inti dan Zona Penyangga dan ditandai dengan pelampung-
pelampung tanda pembatas.
Pasal 5

(1) Titik batas I Zona Inti berjarak 85 meter dari patokan KPL nomor 3, dan
berjarak 160 meter dari patokan KPL nomor 2;
(2) Titik batas II Zona Inti berjarak 400 meter dari patokan KPL nomor 3, dan
berjarak 450 meter dari patokan KPL nomor 2;
(3) Titik batas III Zona Inti berjarak 750 meter dari patokan KPL nomor 5, dan
berjarak 400 meter dari patokan KPL nomor 4;
(4) Titik batas IV Zona Inti berjarak 500 meter dari patokan KPL nomor 5, dan
berjarak 160 meter dari patokan KPL nomor 4.

Pasal 6

(1) Titik batas I Zona Penyangga berjarak 85 meter dari patokan KPL nomor 3, dan
berjarak 160 meter dari patokan KPL nomor 2;
(2) Titik batas II Zona Penyangga berjarak 400 meter dari patokan KPL nomor 3,
dan berjarak 450 meter dari patokan KPL nomor 2;
(3) Titik batas III Zona Penyangga berjarak 750 meter dari patokan KPL nomor 5,
dan berjarak 400 meter dari patokan KPL nomor 4;
(4) Titik batas IV Zona Penyangga berjarak 500 meter dari patokan KPL nomor 5,
dan berjarak 160 meter dari patokan KPL nomor 4.

Pasal 7
(1) Zona Inti DPL ditutup secara tetap terhadap berbagai kegiatan penangkapan
ikan dan atau budidaya laut, perusakan dan atau pengambilan karang serta biota

46
laut lainnya baik hidup maupun mati, kegiatan pariwisata, penyelaman komersial,
lalu lintas perahu dan angkuan laut lainnya;
(2) Zona Penyangga DPL berlokasi di sekeliling Zona Inti DPL dan ditutup secara
tetap terhadap berbagai kegiatan penangkapan dan pembudidayaan perikanan,
perusakan dan pengambilan karang serta biota laut lainnya baik hidup maupun
mati.
(3) Kegiatan peninjauan, monitoring, penyelaman dan atau pengambilan biota laut
untuk tujuan penelitain dan atau kunjungan studi banding dapat dilakukan di
loksi DPL, dengan ketentutan harus melapor dan mendapat izin dari Kelompok
Pengelola KPL.
BAB V
KAWASAN WISATA BAHARI

Pasal 8

(1) Kawasan Wisata Bahari Desa Bentenan adalah suatu bagian wilayah perariran
Desa Bentenan yang diarahkan pada pengembangan usaha wisata;
(2) Kawasan Wisata Bahari Desa Bentenan berloksi di Jaga V di daerah Katama.

Pasal 9

(1) Titik batas I Kawasan Wisata Bahari berjarak 170 meter dari patokan KPL
nomor 3 dan berjarak 140 meter dari patokan KPL nomor 2;
(2) Titik batas II Kawasan Wisata Bahari berjarak 300 meter dari patokan KPL
nomor 3 dan berjarak 300 meter dari patokan KPL nomor 2;
(3) Titik batas III Kawasan Wisata Bahari berjarak 470 meter dari patokan KPL
nomor 3 dan berjarak 450 meter dari patokan KPL nomor 2;
(4) Titik batas IV Kawasan Wisata Bahari berjarak 650 meter dari patokan KPL
nomor 2 dan berjarak 400 meter dari patokan KPL nomor 1;
(5) Titik batas V Kawasan Wisata Bahari berjarak 790 meter dari patokan KPL
nomor 2 dan berjarak 290 meter dari patokan KPL nomor 1;
(6) Titik batas VI Kawasan Wisata Bahari berjarak 690 meter dari patokan KPL
nomor 2 dan berjarak 70 meter dari patokan KPL nomor 1.

Pasal 10

Kegiatan atau usaha pariwisata yang dilakukan di kawasan Wisata Bahari oleh
masyarakat maupun pengusaha dari luar desa, harus melapor dan mendapat izin
dari Pemerintah Desa Bentenan serta mengikuti ketentuan dari Pemerintah Desa
Bentenan.

47
BAB VI
JALUR TRANSPORTASI LAUT

Pasal 11

(1) Jalur Transportasi Laut digunakan sebagai lokasi lalu lintas perahu atau kapal
dan sarana angkutan laut lainnya yang menuju laut dan atau berlabuh di pantai;
(2) Lokasi Jalur Transportasi Laut berada di depan Pasar Desa dan lokasi Sebelah
Batu di Jaga IV, dan di depan Jaga V Desa;
(3) Jalur Transportasi Laut ditandai dengan pelampung-pelampung tanda batas
trasnportasi.

Pasal 12

(1) Titik batas I Jalur Transportasi Laut berjarak 5 meter dari patokan KPL nomor 5
dan berjarak 460 meter dari KPL nomor 4;
(2) Titik batas II Jalur Transportasi Laut berjarak 660 meter dari patokan KPL
nomor 5 dan berjarak 680 meter dari KPL nomor 4;
(3) Titik batas III Jalur Transportasi Laut berjarak 690 meter dari patokan KPL
nomor 5 dan berjarak 630 meter dari KPL nomor 4;
(4) Titik batas IV Jalur Transportasi Laut berjarak 280 meter dari patokan KPL
nomor 5 dan berjarak 350 meter dari KPL nomor 4;
(5) Titik batas V Jalur Transportasi Laut berjarak 400 meter dari patokan KPL
nomor 5 dan berjarak 230 meter dari KPL nomor 4;
(6) Titik batas VI Jalur Transportasi Laut berjarak 780 meter dari patokan KPL
nomor 5 dan berjarak 600 meter dari KPL nomor 4;
(7) Titik batas VII Jalur Transportasi Laut berjarak 450 meter dari patokan KPL
nomor 5 dan berjarak 80 meter dari KPL nomor 4;
(8) Titik batas VIII Jalur Transportasi Laut berjarak 500 meter dari patokan KPL
nomor 2 dan berjarak 510 meter dari KPL nomor 3.

Pasal 13

(1) Lebar Jalur Transportasi Laut di depan Pasar Desa di Jaga IV sebesar 125 meter;
(2) Lebar Jalur Transportasi Laut di depan Batu Tinggi di Jaga IV sebesar 115 meter;
(3) Lebar Jalur Transportasi Laut di depan Muara Rawa di Jaga V sebesar 85 meter.

48
Pasal 14

(1) Kegiatan penangkapan ikan yang bersifat sementara atau berpindah-pindah


seperti penangkapan ikan dengan menggunakan pukat dan atau sejenisnya
dapat dilakukan dengan tidak mengganggu lalu lintas perahu yang lewat;
(2) Setiap kapal penangkap ikan (perahu pajeko) dari luar desa yang berlabuh atau
menambatkan perahu di pantai Desa Bentenan untuk tujuan parkir kapal harus
melapor kepada Pemerintah Desa dan mengikuti kententuan peraturan desa
yang berlaku.
BABVII
KAWASAN PEMANFAATANTERBATAS

Pasal 15

(1) Kawasan Pemanfaatan Terbatas Desa Bentenan dimanfaatkan untuk kegiatan


atau usaha-usaha perikanan dan budidaya laut secara terbatas;
(2) Kawasan Pemanfaatan Terbatas Desa Bentenan berlokasi di wilayah perairan
Desa Bentenan, selain atau di luar lokasi Jalur Transportasi Laut, Daerah
Perlindungan Laut, Kawasan Perlindungan dan Kawasan Wisata Bahari.

Pasal 16

(1) Kegiatan yang dapat dilakukan di Kawasan Pemanfaatan Terbatas yaitu berbagai
jenis usaha budidaya laut dan penangkapan ikan yang tidak merusak lingkungan
pesisir, olahraga air, penyelaman dan parkir perahu di sepanjang pantai;
(2) Kegiatan atau usaha perikanan dan budidaya laut yang dilakukan di Kawasan
Pemanfaatan Terbatas oleh masyarakat maupun pengusaha dari luar desa harus
mengikuti ketentuan dari Pemerintah Desa.

BABVIII
KAWASAN PERLINDUNGAN PANTAI

Pasal 17

(1) Lokasi Kawasan Perlindungan Pantai yaitu sepanjang pesisir pantai Desa
Bentenan 100 meter ke arah darat dari garis pantai dan 50 meter ke laut dari
garis pantai;
(2) Kawasan Perlindungan Pantai ditetapkan untuk melindungi daerah pesisir pantai
dari berbagai kegiatan pengrusakan yang mengancam kelestarian pesisir pantai
dan keselamatan pemukiman masyarakat yang berada di wilayah pesisir.

49
BAB VIX
KAWASAN PERLINDUNGAN PANTAI

Pasal 18

Di seluruh kawasan pesisir dan laut Desa Bentenan dilarang keras melakukan
kegiatan penangkapan ikan yang merusakkan karang yaitu dengan menggunakan
bahan beracun, obat bius dan atau bom ikan.

Pasal 19

(1) Setiap masyarakat desa dan atau masyarakat dari luar desa tidak diperlukan
malakukan aktivitas di lokasi Daerah Perlindungan Laut;
(2) Hal-hal yang dilarang di zona inti Daerah Perlindungan Laut sebagai berikut:
a. Melintasi atau menyeberangi lokasi dengan menggunakan segala jenis
angkutan laut;
b. Memancing segala jenis ikan;
c. Menangkap ikan dengan menggunakan panah;
d. Penebaran jala, pukat, soma pajeko dan sejenisnya;
e. Pengambilan atau penambangan karang baik hidup maupun mati;
f. Pengambilan kerang-kerangan atau jenis biota lainnya;
g. Melakukan budidaya laut apa saja;
h. Berjalan di atas karang;
i. Menangkap satwa laut yang dilindungi menurut undang-undang;j.
Menggunakan perahu lampu atau cahaya lainnya.
(3) Hal-hal yang dilarang di Zona Penyangga Daerah Perlindungan Laut sebagai
berikut:
a. Perahu bermotor dan atau perahu lampu melintasi atau menyeberangi lokasi;
b. Memancing segala jenis ikan;
c. Menangkap ikan dengan menggunakan panah;
d. Penebaran jala, pukat, soma pajeko dan peralatan tangkap ikan sejenisnya;
e. Pengambilan atau penambangan karang baik hidup maupun mati;
f. Pengambilan kerang-kerangan dan atau jenis biota lainnya;
g. Melakukan budidaya laut;
h. Menangkap satwa laut yang dilindungi menurut undang-unang.

Pasal 20

(1) Setiap penduduk desa dan atau luar desa dilarang merusak rambu-rambu yang
dipakai sebagai tanda-tanda batas masing-masing kawasan perlindungan dan

50
papan-papan informasi sebagai sarana penunjang upaya perlindungan.
(2) Barang siapa yang menemukan pelampung tanda batas dan atau perlengkapan
kawasan pengelolaan pesisir dan laut yang rusak, hanyut dan atau terdampar di
pantai baik di dalam maupun luar desa wajib mengembalikan kepada Kelompok
Pengelola.

Pasal 21

Hal-hal yang dilarang di Kawasan Wisata Babari sebagai berikut:


a. Melakukan kegiatan budidaya laut;
b. Pengambilan atau penambangan karang baik hidup maupun mati;
c. Mengambil kerang-kerangan dan atau jenis biota lainnya hidup atau mati;
d. Penebaran jala, pukat, soma atau sejenisnya;
e. Membuang jangkar di atas karang;
f. Berjalan dan atau menginjakkan kaki di atas karang hidup;
g. Mengambil batu, pasir atau kerikil;
h. Melakukan olah raga air Jet Ski di atas terumbu karang;
i. Membuang sampah di laut;
j. Menangkap satwa laut yang dilindungi menurut undang-undang.

Pasal 22

Hal-hal yang dilarang di Jalur Transportasi Laut sebagai berikut:


a. Melakukan budidaya laut apa saja;
b. Menempatkan perahu atau sejenisnya untuk parkir;
c. Pengambilan atau penambangan karang baik hidup maupun mati;d.
Pengangkapan ikan yang merusak.

Pasal 23

Hal-hal yang dilarang di Kawasan Perlindungan Pantai sebagai berikut:


a. Mengambil pasir di lokasi pemukiman penduduk;
b. Menebang pohon-pohon pelindung pantai;
c. Membuang sampah di pinggiran pantai, laut dan atau sungai.

51
BAB X
SANKSI TERHADAP PELANGGARAN

Pasal 24

(1) Sanksi tingkat pertama (Sanksi Tingkat I) yaitu mendapat teguran dan
pelaksanaan kerja bakti menanam kembali pohon-pohon pelindung dan
membersihkan sampah di pantai atau memperbaiki dan atau mengganti
kerusakan atau kehilangan yang dilakukan sehubungan dengan tindakan
pelanggaran dan menanda-tangani surat perjanjian untuk tidak melakukan lagi
tindakan pelanggaran;
(2) Sanksi tingkat kedua (Sanksi Tingkat II) yaitu mendapat teguran dan membayar
denda sebesar dua puluh lima ribu rupiah (Rp 25.000,00) dan atau penyitaan
hasil tangkapan serta peralatan yang digunakan saat pelanggaran dilakukan;
(3) Sanksi tingkat ketiga (Sanksi Tingkat III) yaitu membayar denda sebesar lima
puluh ribu rupiah (Rp50.000,00) dan diproses secara hukum sesuai undang-
undang yang berlaku.

Pasal 25

(1) Barang siapa yang terbukti atau diketahui atas keterangan saksi telah melangar
Pasal 18 Peraturan Desa ini yaitu dengan melakukan perusakan karang dengan
racun dan bom ikan, langsung mendapat sanksi tingkat ketiga (Sanksi Tingkat
III);serta membayar denda sebesar dua juta rupiah (Rp2.000.000,00);
(2) Barang siapa yang terbukti dan atau diketahui atas keterangan saksi melakukan
pelanggaran ayat-ayat dalam Pasal 19 dan atau 20 Peraturan Desa ini dikenakan
sanksi tingkat kedaua (Sanksi Tingkat II);
(3) Barang siapa yang karena ketidaksengajaan atau tidak terencana telah melanggar
ayat-ayat dalam Pasal 21, 22, dan atau 23 Peraturan Desa ini, dikenakan sanksi
tingkat pertama (Sanksi Tingkat I);
(4) Barang siapa yang terbukti dan atau diketahui atas keterangan saksi secara
sengaja atau secara terencana melakukan pelanggaran terhadap ayat-ayat dalam
Pasal 21, 22, dan atau 23 Peraturan Desa ini dikenakan sanksi tingkat kedua
(Sanksi Tingkat II);
(5) Barang siapa yang terbukti atau diketahui atas keterangan saksi untuk kedua kali
atau seterusnya tetap melakukan pelanggaran, baik sengaja maupun tidak
disengaja terhadap ayat-ayat dalam Pasal 21, 22, 23 dan atau 24 Peraturan
Desa ini dikenakan sanksi tingkat ketiga (Sanksi Tingkat III).

52
BAB XI
TUGAS DAN TANGGUNG-JAWAB PENGELOLAAN

Pasal 26

(1) Penanggung-jawab dan pembinaan pelaksanaan pengelolaan pesisir dan laut


Desa Bentenan adalah Pemerintah Desa Bentenan;
(2) Setiap anggota masyarakat desa berhak dan berkewajiban mengawasi tindakan-
tindakan perusakan lingkungan pesisir dan laut yang dilakukan orang per orang,
dan atau kelompok sehubungan dengan pelestarian wilayah pesisir dan laut
yang dilindungi;
(3) Pemerintah Desa, melalui Aparat Desa yang berwenang dan atau ditunjuk,
memiliki tugas dan wewenang dalam penegakan aturan dan penerapan sanksi
terhadap pelaku tindak pelanggaran dari Peraturan Desa ini;
(4) Kelompok Pengelola Pesisir dan Laut (Kelompok Pengelola Kawasan Pelestarian
Laut) diberi tugas dan wewenang sebagai pelaksana harian dalam perencanaan
kegiatan, pelaksanaan pengawasan, monitoring, kegiatan pelestarian dan
pemeliharaan tanda batas dan atau papan informasi, serta pengusahaan atau
pengelolaan dana dalam kaitan pengelolaan kawasan pesisir dan laut;
(5) Kelompok Pengelola Pesisir dan Laut dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya harus berkoordinasi dan bekerjasama dengan Pemerintah Desa
dan atau lembaga desa lainnya, serta menyampaikan laporan kegiatan dan
laporan keuangan secara lengkap dan transparan kepada masyarakat dan
Pemerintah Desa;
(6) Dalam kasus adanya tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat dan
atau kelompok tertentu dalam kawasan pesisir dan laut, Kelompok Pengelola
berhak melakukan penangkapan pelaku dan atau pelaporan kepada Pemerintah
Desa dan atau penyitaan hasil tangkapan dan atau peralatan yang digunakan
saat pelanggaran dilakukan, untuk kemudian diproses bersama dengan
Pemerintah Desa.

BAB XII
TATA CARA PENEGAKAN ATURAN DAN PENERAPAN SANKSI

Pasal 27

(1) Setiap tindakan-tindakan pelanggaran dilaporkan kepada Kelompok Pengelola


dan atau kepala jaga polisi dan atau kepala jaga setempat;
(2) Kelompok Pengelola dan atau Aparat Desa yang berwajib berwenang untuk
melakukan pemeriksaan dan penyelidikan kasus pelanggaran yang dilaporkan

53
dengan memanggil dan mendengar keterangan dari pelaku, pelapor dan satu
atau lebih saksi tindak pelanggaran dan atau korban jika ada, serta menahan
barang bukti yang ada;
(3) Pelaku pelanggaran yang terbukti bersalah dan atau mengakui kesalahan yang
diperbuat, baik sengaja maupun tidak disengaja, harus membuat surat
pernyataan dan perjanjian untuk tidak melakukan pelanggaran;
(4) Pelaku pelanggaran diberikan pengarahan oleh aparat Pemerintah Desa dan
wajib menerima sanksi dan atau membayar denda sesuai aturan yang berlaku.

BAB XIII
PENERIMAAN DAN PEMANFAATAN DANA

Pasal 28

(1) Dana yang diperoleh dari penerapan sanksi dalam kawasan pengelolaan pesisir
dan laut, yaitu uang denda dan atau uang dari hasil barang sitaan,
diperuntukkan sebagai dana pendapatkan untuk pembiayaan perawatan yang
diperlukan dalam upaya perlinduangan wilayah pesisir dan laut, dan atau sebagai
dana pendapatan desa untuk menunjang kegiatan-kegiatan dalam desa;
(2) Dana untuk pembiayaan perawatan yang diperlukan dalam upaya perlindungan
diserahkan kepada kelompok pengelola, sedangkan dana pendapatan untuk
menunjang kegiatan-kegiatan dalam desa dikelola oleh Pemerintah Desa, yaitu
oleh Aparat Desa yang berwenang dalam pengelolaan dana;
(3) Besar dana yang diperuntukkan untuk pembiayaan perawatan KPL sebesar lima
puluh persen (50%) dari uang yang diterima dari setiap kasus pelanggaran, dan
besar dana yang diperuntukan untuk kegiatan-kegiatan lain dalam desa sebesar
50 persen (50%) dari uang yang diterima dari setiap kasus pelanggaran;
(4) Setiap kegiatan usaha dari kelompok maupun usaha perorangan dalam rangka
pemanfaatan kawasan pelestarian laut yang mendatangkan hasil keuntungan
memberikan kontribusi kepada Pemerintah Desa sebesar dua puluh lima persen
(25%) dari hasil bersih yang diperoleh;
(5) Dana-dana lain yang diperoleh melalui bantuan dan partisipasi Pemerintah dan
atau organisasi lain yang tidak mengikat dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kepentingan pengelolaan wilayah perlindungan pesisir dan laut;
(6) Tata cara pemungutan dana dilaksanakn oleh Aparat Desa yang berwenang
dalam pengelolaan keuangan desa.

54
BAB XIV
PENUTUP

Pasal 29

(1) Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Desa ini, sepanjang mengenai
pelaksanaan perlindungan wilayah pesisir dan laut, akan diatur lebih lanjut
dengan keputusan desa lewat musyawarah desa;(
2) Peraturan Desa ini mulai diberlakukan sejak tanggal diundangkan agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Peraturan Desa ini dengan
menempatkannya dalam Lembaran Desa Bentenan.Disahkan di Bentenan,Pada
tanggal: 28 Oktober 2002Hukum Tua BentenanJantje GijohDiundangkan di Desa
BentenanPada tanggal: 28 Oktober 2002Sekretaris Desa,Otniel RakoLembaran
Desa Bentenan Nomor 3 Tahun 2002

Disahkan di Bentenan,
Pada tanggal: 28 Oktober 2002

Hukum Tua Bentenan

Jantje Gijoh

Diundangkan di Desa Bentenan


Pada tanggal: 28 Oktober 2002

Sekretaris Desa,

Otniel Rako

Lembaran Desa Bentenan Nomor 3 Tahun 2002

55
Daftar Pustaka

Darajati, Wahyuningsih, T. Hermawan, H. Santoso, Suwarno, Setyawati, N.


Knight, D.G. Bengen, A. Wiyana, dan A. Husein. 2004. Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Kementerian Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Jakarta.

Idris, I., M.E. Rudianto, S. Putra, R. Pasaribu, S. Hasan, A.D. Patria, A. Wiyana, J.
Patlis, A. Husen, W. Siahaan, K.S. Hidayat. 2003. Studi Kasus Konsultasi
Publik dalam Penyusunan Rancangan Undang-Undang, dalam Koleksi
Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003, Seri Reformasi Hukum, M. Knight, S.
Tighe (editor), Coastal Resources Center, University of Rhode Island,
Narraganset, Rhode Island, USA.

Tulungen, J. J., T.G. Bayer, B.R. Crawford, M. Dimpudus, M. Kasmadi, C.


Rotinsulu, A. Sukmara dan N. Tangkilisan. 2002. Panduan Pembentukan
dan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat; Seri
PSWP-BM, dalam Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003, M. Knight,
S. Tighe (editor); Coastal Resources Center, University of Rhode Island,
Narragansett, Rhode Island, USA. Cetakan ke 2, Jakarta, Indonesia,
2003.

Wiyana, A., G.H. Perdanaharja, j.m. Patlis (eds). 2005. Materi Acuan
Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu. Seri Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah
Pesisir Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Bdan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Departemen Hukum dan HAM berkerjasama dengan
Coastal Resources Management Project (USAID). Jakarta. 70 halaman.

56

Anda mungkin juga menyukai