Anda di halaman 1dari 18

A.

Latar Belakang Masalah


Fenomena perempuan bekerja sebenarnya bukanlah barang baru di
tengah masyarakat kita. Sejak zaman purba ketika manusia masih mencari
penghidupan dengan cara berburu dan meramu, seorang isteri
sesungguhnya sudah bekerja. Sementara suaminya pergi berburu, di rumah
ia bekerja menyiapkan makanan dan mengelola hasil buruan untuk
ditukarkan dengan bahan lain yang dapat dikonsumsi keluarga. Karena
sistem perekonomian yang berlaku pada masyarakat purba adalah sistem
barter, maka pekerjaan perempuan meski sepertinya masih berkutat di
sektor domestik namun sebenarnya mengandung nilai ekonomi yang
sangat tinggi. Kemudian, ketika masyarakat berkembang menjadi
masyarakat agraris hingga kemudian industri, keterlibatan perempuan pun
sangat besar. Bahkan dalam masyarakat berladang berbagai suku di dunia,
yang banyak menjaga ternak dan mengelola ladang dengan baik itu adalah
perempuan bukan laki-laki. Hal ini jelas menunjukkan bahwa keterlibatan
perempuan memang bukan baru-baru saja tetapi sudah sejak zaman dulu.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang, sebenarnya
tidak ada perempuan yang benar-benar menganggur. Biasanya para
perempuan memiliki pekerjaan untuk juga memenuhi kebutuhan rumah
tangganya entah itu mengelola sawah, membuka warung di rumah,
mengkreditkan pakaian dan lain-lain. Mungkin sebagian besar masyarakat
Indonesia masih beranggapan bahwa perempuan dengan pekerjaan-pekerja
di atas bukan termasuk kategori perempuan bekerja. Hal ini karena
perempuan bekerja identik dengan wanita karir atau wanita kantoran (yang
bekerja di kantor). Pada hal, dimanapun dan kapanpun perempuan itu
bekerja, seharusnya tetap dihargai pekerjaannya. Jadi tidak semata dengan
ukuran gaji atau waktu bekerja saja.
Anggapan ini bisa jadi juga terkait dengan arti bekerja yang
berbeda antara Indonesia dengan negara-negara di Barat yang tergolong
sebagai negara maju. Konsep bekerja menurut masyarakat di negara-
negara Barat (negara maju) biasanya sudah terpengaruh dengan ideologi

1
kapitalisme yang menganggap seseorang bekerja jika memenuhi kriteria
tertentu misalnya; adanya penghasilan tetap dan jumlah jam kerja yang
pasti. Sedangkan kebanyakan perempuan di Indonesia yang disebutkan
tadi, pekerjaan mereka belum menghasilkan penghasilan tetap dan tidak
terbatas waktu, bahkan baru dapat dilakukan hanya sebatas kapasitas
mereka.
Meski bukan fenomena baru, namun masalah perempuan bekerja
nampaknya masih terus menjadi perdebatan sampai sekarang.
Bagaimanapun, masyarakat masih memandang keluarga yang ideal adalah
suami bekerja di luar rumah dan isteri di rumah dengan mengerjakan
berbagai pekerjaan rumah. Anggapan negatif (stereotype) yang kuat di
masyarakat masih menganggap idealnya suami berperan sebagai yang
pencari nafkah, dan pemimpin yang penuh kasih; sedangkan istri
menjalankan fungsi pengasuhan anak. Hanya, seiring dengan
perkembangan zaman, tentu saja peran-peran tersebut tidak semestinya
dibakukan, terlebih kondisi ekonomi yang membuat kita tidak bisa
menutup mata bahwa kadang-kadang istripun dituntut untuk harus mampu
juga berperan sebagai pencari nafkah. Walaupun seringkali jika seorang
laki-laki atau suami ditanya maka akan muncul jawaban “Seandainya gaji
saya cukup, saya lebih suka isteri saya di rumah merawat anak-anak”
Terlepas dari pembahasan di atas, perdebatan mungkin muncul
lebih karena anggapan akan stereotype dari masyarakat bahwa akan ada
akibat yang timbul jika suami-isteri bekerja di luar rumah yaitu
“mengganggu” keharmonisan yang telah berlangsung selama ini.
Bagaimanapun, tentu saja memang akan ada dampak yang timbul jika
suami-isteri bekerja di luar rumah. Namun solusi yang diambil tidak
semestinya membebankan istri dengan dua peran sekaligus yaitu peran
mengasuh anak (nursery) dan mencari nafkah di luar rumah (provider),
yang akan lebih membawa perempuan kepada beban ganda, akan tetapi
adanya dukungan sistem yang tidak terus membawa perempuan pada
posisi yang dilematis.

2
Untuk dapat melihat definisi dan makna kerja dengan lebih jernih
lagi maka mungkin perlu dijelaskan juga tentang kerja dengan
membaginya menjadi dua bentuk kerja yaitu kerja produksi dan kerja
reproduksi. Baik kerja produksi maupun kerja reproduksi, keduanya
berperan penting dalam proses kehidupan manusia. Kerja produktif
berfungsi memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan,
papan. Kerja reproduktif adalah kerja “memproduksi manusia”, bukan
hanya sebatas masalah reproduksi biologis perempuan, hamil, melahirkan,
menyusui, namun mencakup pula pengasuhan, perawatan sehari-hari
manusia baik fisik dan mental, kesemuanya berperan penting dalam
melahirkan dan memampukan seseorang untuk “berfungsi” sebagaimana
mestinya dalam struktur sosial masyarakat. Kerja reproduktif juga kerja
yang pada prosesnya menjaga kelangsungan proses produksi, misalnya
pekerjaan rumah tangga. Tanpa ada yang melakukan pekerjaan rumah
tangga seperti memasak, atau mencuci maka tidak mungkin akan
didapatkan makanan, kenyamanan bagi anggota rumah tangga yang lain.
Sehingga dengan makanan dankenyamanan tersebut proses yang lain tidak
terganggu.Tetapi tentu saja pengertian pekerjaan reproduksi seperti ini
tidak dianggap sebagai pekerjaan oleh masyarakat dan juga pemerintah
padahal secara fisik ini jelas sebagai sebuah kerja.
Dalam sistem kapitalisme yang berlaku dewasa ini, seperti yang
sudah panjang lebar diutarakan di atas, terdapat kecenderungan kuat untuk
memisahkan kerja produksi dan reproduksi, di mana kedua pekerjaan
tersebut dilakukan dan siapa yang melakukan pekerjaan tersebut. Kerja
produksi dianggap tanggung jawab laki-laki, biasanya dikerjakan di luar
rumah. Kerja reproduksi dianggap tanggung jawab perempuan dan
biasanya dikerjakan di dalam rumah.
Seperti yang pernah diungkapkan, nampaknya hampir semua
kalangan masyarakat menyetujui bahwa perempuan mendapat kemulian
dengan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga hingga ibu rumah tangga
mendapat gelar “ratu rumah tangga”. Namun yang menjadi pertanyaan

3
kemudian adalah mengapa pekerjaan reproduksi tersebut selalu diberi
sebutan sebagai “pekerjaan mulia”. Dan mengapa “pekerjaan mulia”
tersebut sebagian besar dibebankan hanya kepada perempuan, seolah ia
adalah bagian kewajiban dari Tuhan dengan imbalan kebahagiaan di
akhirat nanti. Demikian pula sebutan “ratu” yang seharusnya berimplikasi
pada peran perempuan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan di
tingkat keluarga, pada kenyataannya, bukan perempuan yang lebih
berperan dalam pengambilan keputusan penting, melainkan laki-laki.
Norma yang berlaku dewasa ini kerja reproduksi adalah tanggung
jawab perempuan. Atas nama tradisi dan kodrat, perempuan dipandang
sewajarnya bertanggung jawab dalam arena domestik. Institusi
pendidikan, agama, media massa, mendukung pula pandangan ini. Jarang
yang mempertanyakan secara terbuka “kodrat” tersebut. Lebih jarang lagi
yang memperhitungkan nilai ekonomi pekerjaan rumah tangga.
Sayangnya, keterlibatan perempuan dalam kerja produksi tidak
mengurangi beban tanggung jawabnya di sektor reproduksi. Dengan kata
lain, tidak mengundang laki-laki untuk berkontribusi lebih besar dalam
kerja reproduksi. Kerja perempuan terutama di sektor reproduksi tidak
pernah diperhitungkan dalam data perekonomian dan statistik. Jika kerja
tersebut diperhitungkan, niscaya akan mematahkan mitos “laki-laki adalah
pencari nafkah utama” Sebenarnya di banyak tempat, terjadi “perendahan”
terhadap kerja reproduksi biologis perempuan, meskipun perempuan telah
mencurahkan begitu banyak waktu dan energi. Contohnya pernyataan
“buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi, nanti juga ke dapur” atau
“si X (perempuan) mah paling juga kawin terus ngurus anak”.
Di sektor publik sering kali sistem yang ada “tidak mendukung”
perempuan (dan laki-laki) bekerja untuk dapat pula melakukan kerja
reproduksi secara optimal sekaligus. Jam kerja panjang, ketiadaan sarana
penitipan anak di tempat kerja, dan kesulitan perempuan bekerja untuk
menyusui anaknya, adalah beberapa contoh nyata. Meskipun cuti
melahirkan telah diberlakukan secara luas, masih ada yang merasa rugi

4
memberi cuti melahirkan kepada karyawan perempuan. Diskriminasi
terselubung dilakukan guna menghindari pemberian cuti tersebut antara
lain dengan preferensi tidak tertulis mengutamakan merekrut karyawan
laki-laki atau karyawan perempuan lajang.
Situasi di sektor publik sering pula tidak ramah keluarga, baik
terhadap karyawan perempuan maupun laki-laki. Memberikan cuti
melahirkan bagi karyawan perempuan dianggap pemborosan dan
inefiesiensi. Berkomitmen tinggi terhadap anak dan keluarga dipandang
tidak kompatibel dengan dunia kerja.
Ternyata, kerja reproduksi yang sebagian besar dilakukan
perempuan berperan sangat penting guna keberlanjutan suatu bangsa dan
umat manusia pada umumnya. Perlu perbaikan sistem sosial secara
menyeluruh agar jangan sampai suatu bangsa atau lebih parah lagi umat
manusia punah, hanya karena berkeluarga dan memiliki anak menjadi
semakin tidak menarik. Sangat penting pula demokratisasi institusi
keluarga, termasuk di dalamnya peningkatan peran serta laki-laki dalam
kerja reproduksi dalam rumah tangga.
Seperti yang juga sudah disinggung di atas, berkaitan dengan
masalah perempuan bekerja produksi yaitu dengan bekerja di luar rumah
untuk mencari nafkah, pun sesungguhnya sudah lazim ditemui di berbagai
kelompok masyarakat. Sejarah menunjukan bahwa perempuan dan kerja
publik sebenarnya bukan hal baru bagi perempuan Indonesia terutama
mereka yang berada pada strata menengah ke bawah. Di pedesaan,
perempuan pada strata ini mendominasi sektor pertanian, sementara di
perkotaan sektor industri tertentu didominasi oleh perempuan. Di luar
konteks desa-kota, sektor perdagangan juga banyak melibatkan
perempuan. Data sensus penduduk tahun 1990 menunjukan bahwa sektor
pertanian adalah sektor yang terbesar dalam menyerap tenaga kerja
perempuan yaitu 49,2%, diikuti oleh sektor perdagangan 20,6%, dan
sektor industri manufaktur 14,2%.1

5
Proses Self Regulation dan Interpreneursihp pada Perempuan
Jualan di Pasar Ciputat

B. Batasan Perumusan Masalah


C. Tujuan Dan Manfaat Penelitan
D. Tinjauan Pustaka
E. Tinjauan Teoritis
a. Regulasi Diri
1. Pengertian Regulasi diri
Pengembangan perencanaaan strategi dan kegiatan belajar sangat
dipengaruhi oleh kemampuan metakognisi, pengetahuan tentang strategi
belajar, dan pemahaman mengenai konteks tempat dia akan belajar.
Semakin efektif siswa dalam mengembangkan perencanaan strategi
pengelolaan diri (personal), perilaku, dan lingkungannya maka semakin
tinggi tingkat regulasi diri (self regulation) siswa tersebut. Schunk dan
Zimmerman (dalam Robb, 1999) memperkenalkan konsep self regulation
learning. Siswa yang diasumsikan termasuk kategori self-regulated adalah
siswa yang aktif dalam proses belajarnya, baik secara metakognitif,
motivasi, maupun perilaku. Mereka menghasilkan gagasan, perasaan, dan
tindakan untuk mencapai tujuan belajarnya. Secara metakognitif mereka
bisa memiliki strategi tertentu yang efektif dalam memproses informasi.
Sedangkan motivasi berbicara tentang semangat belajar yang sifatnya
internal. Adapun perilaku, ditampilkannya adalah dalam bentuk tindakan
nyata dalam belajar.
Self regulation menurut Bandura adalah suatu kemampuan yang
dimiliki manusia berupa kemampuan berfikir dan dengan kemampuan itu
mereka memanipulasi lingkungan, sehingga terjadi perubahan lingkungan
akibat kegiatan tersebut. Menurut Bandura seseorang dapat mengatur
sebahagian dari pola tingkah laku dirinya sendiri. Secara umum self
regulated adalah tugas seseorang untuk mengubah respon-respon, seperti
mengendalikan impuls perilaku (dorongan perilaku), menahan hasrat,

6
mengontrol pikiran dan mengubah emosi (Rahmah, 2009). Maka dengan
kata lain, regulasi diri adalah suatu kemampuan yang dimili oleh individu
dalam mengontrol tingkah laku, dan memanipulasi sebuah perilaku
dengan menggunakan kemampuan pikirannya sehingga individu dapat
bereaksi terhadap lingkungannya.
Regulasi diri (self regulation) adalah kemampuan untuk mengontrol
perilaku sendiri. Regulasi diri merupakan penggunaan suatu proses yang
mengaktivasi pemikiran, perilaku dan perasaan yang terus menerus dalam
upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan Schunk &
Zimmerman (1998). Individu melakukan pengaturan diri ini dengan
mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman
terhadap perilakunya sendiri. System pengaturan diri ini berupa standar-
standar bagi tingkah laku seseorang dan kemampuan mengamati diri,
menilai diri sendiri, dan memberikan respon terhadap diri sendiri.
Regulasi diri (self regulation) merupakan dasar dari proses sosialisasi
karena berhubungan dengan seluruh domain yang ada dalam
perkembangan fisik, kognitif, social, dan emosional (Papalia & Olds,
2001). Selain itu regulasi diri (self regulation) juga merupakan
kemampuan mental serta pengendalian emosi (Papalia & Olds, 2001).
Seluruh perkembangan kognitif, fisik, serta pengendalian emosi dan
kemampuan sosialisasi yang baik, membawa seseorang untuk dapat
mengatur dirinya dengan baik (Papalia & Olds, 2001).
Selanjutnya terdapat definisi lain yang diungkapkan oleh Miller &
Brown (dalam Papalia & Olds, 2001) bahwa self regulation atau regulasi
diri sebagai kapasitas untuk merencanakan, mengarahkan, dan memonitor
prilaku fleksibel untuk mengubah keadaan. Self regulation adalah
kemampuan seseorang untuk menyesuaikan perilaku mereka agar sesuai
dengan apa yang mereka ketahui sehingga dapat diterima oleh lingkungan
sosialnya.
Definisi lain mengenai regulasi diri (self regulation) juga
dikemukakan oleh Maes & Gebhardt (dalam Boeree, 2005) yaitu suatu
urutan tindakan atau suatu proses yang mengatur tindakan dengan niat

7
untuk mencapai suatu tujuan pribadi. Regulasi diri merupakan
kemampuan mengontrol perilaku sendiri adalah salah dari sekian
penggerak utama kepribadian manusia (Bandura dalam Boeree, 2005).
Regulasi diri (self regulation) juga didefinisikan oleh Kanfer, 1990:
Karoly, 1993 Zimmerman, 2001 (dalam Porath & Bateman, 2006) sebagai
suatu proses yang memungkinkan seseorang untuk memandu aktivitasnya
dengan waktu yang lebih lama agar tercapai tujuan yang diinginkannya
dan memungkinkan juga untuk mengubah keadaannya menjadi
kebalikannya, termasuk dalam pengaturan atau pengaruh pikiran dan
perilaku.
Berdasarkan dari beberapa pengertian yang sudah di uraikan, dapat
disimpulkan bahwa regulasi diri (self regulation) adalah kemampuan
dalam mengontrol, mengatur, merencanakan, mengarahkan, dan
memonitor perilaku untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan
menggunakan strategi tertentu dan melibatkan unsur fisik, kognitif,
motivasi, emosional, dan sosial.
2. Proses Regulasi Diri (Self Regulation)
Proses self regulation dilakukan agar seseorang atau individu dapat
mencapai tujuan yang diharapkannya. Dalam mencapai suatu tujuan yang
diharapkan seseorang perlu mengetahui kemampuan fisik, kognitif, social,
pengendalian emosi yang baik sehimgga membawa seseorang kepada self
regulation yang baik. Miller & Brown (dalam Neal & Carey, 2005)
memformulasikan self regulation sebanyak tujuh tahap yaitu:
a) Receiving atau menerima informasi yang relevan, yaitu langkah
awal individu dalam menerima informasi dari berbagai sumber.
Dengan informasi-informasi tersebut, individu dapat mengetahui
karakter yang lebih khusus dari suatu masalah. Seperti
kemungkinan adanya hubungan dengan aspek lainnya.
b) Evaluating atau mengevaluasi. Setelah kita mendapatkan
informasi, langkhan berikutnya adalah menyadari seberapa besar
masalah tersebut. Dalam proses evaluasi diri, individu
menganalisis informasi dengan membandingkan suatu masalah

8
yang terdeteksi di luar diri (eksternal) dengan pendapat pribadi
(internal) yang tercipta dari pengalaman yang sebelumnya yang
serupa. Pendapat itu didasari oleh harapan yang ideal yang
diperoleh dari pengembangan individu sepanjang hidupnya yang
termasuk dalam proses pembelajaran.
c) Triggering atau membuat suatu perubahan. Sebagai akibat dari
suatu proses perbandingan dari hasil evaluasi sebelumnya, timbul
perasaan positif atau negative. Individu menghindari sikap-sikap
atau pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan informasiyng
didapat dengan norma-norma yang ada. Semua reaksi yang ada
pada tahap ini yaitu disebut juga kecenderungan kea rah
perubahan.
d) Searching atau mencari solusi. Pada tahap sebelumnya proses
evaluasi menyebabkan reaksi-reaksi emosional dan sikap. Pada
akhir proses evaluasi tersebut menunjukkan pertentangan antara
sikap individu dalam memahami masalah. pertentangan tersebut
membuat individu akhirnya menyadari beberapa jenis tindakan
atau aksi untuk mengurangi perbedaan yang terjadi. Kebutuhan
untuk mengurangi pertentangan dimulai dengan mencari jalan
keluar dari permasalahan yang dihadapi.
e) Formulating atau merancang suatu rencana, yaitu perencanaan
aspek-aspek pokok untuk meneruskan target atau tujuan seperti
soal waktu, aktivitas untuk pengembangan, tempat-tempat dan
aspek lainnya yang mampu mendukung efesien dan efektif.
f) Implementing atau menerapkan rencana, yaitu setelah semua
perencanaan telah teralisasi, baerikutnya adalah secepatnya
megarah pada aksi-aksi atau melakukan tindakan-tindakan yang
tepat yang mengarah ke tujuan dan memodifikasi sikap sesuai
dengan yang diinginkan dalam proses.
g) Assessing atau mengukur efektivitas dari rencana yang telah
dibuat. Pengukuran ini dilakukan pada tahap akhir. Pengukuran
tersebut dapat membantu dalam menentukan dan menyadari

9
apakah perencanaan yang tidak direalisasikan itu sesuai dengan
yang diharapkan atau tidak serta apakah hasil yang didapat sesuai
dengan yang diharapkan.
Berdasarkan hasil uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwasannya proses regulasi diri (self regulation) terdiri dari receiving
atau menerima, evaluating atau mengevaluasi, triggering atau membuat
suatu perubahan, searching atau mencari solusi, formulating atau
merancang suatu rencana, implementing atau menerapkan rencana,
assessing atau mengukur efektivitas dari rencana yang telah dibuat.

3. Aspek-aspek regulasi diri (self regulation)


Self-regulation merupakan fundamen dalam proses sosialisasi dan
melibatkan perkembangan fisik, kognitif, dam emosi (Papalia, 2001 :
223). Siswa dengan self-regulationpada tingkat yang tinggi akan memiliki
control yang baik dalam mencapai tujuan akademisnya.
Menurut Schunk dan Zimmerman (dalam Ropp, 1999) menyatakan
bahwa self regulation  mencakup tiga aspek :
a. Metakognisi
Metakognisi menurut Schunk & Zimmerman (dalam Ropp, 1999)
adalah kemampuan individu dalam merencanakan, mengorganisasikan
atau mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan
evaluasi dalam aktivitas belajar.
b. Motivasi
Zimmerman dan Schunk (dalam Ropp, 1999) mengatakan bahwa
motivasi merupakan pendorong (drive) yang ada pada diri individu
yang mencakup persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi otonomi
yang dimiliki dalam aktivitas belajar. motivasi merupakan fungsi dari
kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan
kompetensi yang dimiliki setiap individu.
c. Perilaku
Perilaku menurut Zimmerman dan Schunk (dalam Ropp, 1999)
merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan

10
memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang
mendukung aktivitas belajar.
Berdasarkan hasil uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi
diri (self regulation) memiliki tiga aspek yang ada di dalamnya yaitu
metakognisi, motivasi, dan perilaku. Siswa yang diasumsikan termasuk
kategori ’self-regulated’ adalah siswa yang aktif dalam proses belajarnya,
baik secara metakognitif, motivasi, maupun perilaku. Mereka
menghasilkan gagasan, perasaan, dan tindakan untuk mencapai tujuan
belajarnya. Secara metakognitif mereka bisa memiliki strategi tertentu
yang efektif dalam memproses informasi. Sedangkan motivasi berbicara
tentang semangat belajar yang sifatnya internal. Adapun perilaku
ditampilkannya adalah dalam bentuk tindakan nyata dalam belajar.

4. Faktor-faktor yamg mempengaruhi Regulasi Diri


Terdapat dua faktor yang mempengaruhi regulasi diri (self regulation)
yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Bandura (dalam Alwisol, 2007)
mengatakan bahwa, tingkah laku manusia dalam self regulation  adalah
hasil pengaruh resiprokal faktoreksternal dan internal. Faktor eksternal
dan faktor internal akan dijelaskan sebagai berikut.
a. Faktor Eksternal dalam Regulasi Diri
Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara:
1) Standar
Faktor eksternal memberikan standar untuk mengevaluasi tingkah
laku kita sendiri. Standar itu tidaklah semata-mata berasal dari daya-
daya internal saja namun juga berasal dari faktor-faktor lingkungan,
yang berinteraksi dengan factor pribadi juga turut membentuk standar
pengevaluasian individu tersebut. Anak belajar melalui orang tua dan
gurunya baik-buruk, tingkah laku yang dikehendaki dan yang tidak
dikehendaki. Melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungan yang
lebih luas, anak kemudian mengembangkan standar yang dapat ia
gunakan dalam menilai prestasi diri.
2) Penguatan (reinforcement)

11
Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk
penguatan (reinforcement). Hadiah intrinsik tidak selalu memberikan
kepuasan, manusia membutuhkan intensif yang berasal dari lingkungan
eksternal. Standar tingkah laku biasanya bekerja sama; ketika orang
dapat mencapai standar tinkah laku tertentu, perlu penguatan agar
tingkah laku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi.
b. Faktor Internal dalam Regulasi Diri
Faktor eksternal berinteraksi dengan faktor internal dalam pengaturan
diri sendiri. Bandura mengemukakan tiga bentuk pengaruh internal:
1) Observasi diri (self observation): Dilakukan berdasarkan faktor
kualitas penampilan, kuantitas penampilan, orisinalitas tingkah laku
diri, dan seterusnya. Observasi diri terhadap performa yang sudah
dilakukan. Manusia sanggup memonitor penampilannya meskipun
tidak lengkap atau akurat. Kita memilih dengan selektif sejumlah
aspek perilaku dan mengabaikan aspek lainnya yang dipertahankan
biasanya sesuai dengan konsep diri.
2) Proses penilaian (judgmental process): Proses penilaian bergantung
pada empat hal: standar pribadi, performa-performa acuan, nilai
aktivitas, dan penyempurnaan performa. Standar pribadi bersumber
dari pengamatan model yaitu orang tua atau guru, dan
menginterpretasi balikan/penguatan dari performasi diri. Setiap
performasi yang mendapatkan penguatan akan mengalami proses
kognitif ,menyusun ukuran-ukuran/norma yang sifatnya sangat
pribadi, karena ukuran itu tidak selaku sinkron dengan kenyataan.
Standar pribadi adalah proses evaluasi yang terbatas. Sebagian besar
aktivitas harus dinilai dengan membandingkan dengan ukuran
eksternal, bisa berupa norma standar perbandingan sosial,
perbandingan dengan orang lain, atau perbandingan kolektif. Dari
kebanyakkan aktivitas, kita mengevaluasi performa dengan
membandingkannya kepada standar acuan.
Di samping standar pribadi dan standar acuan, proses penilaian juga
bergantung pada keseluruhan nilai yang kita dapatkan dalam sebuah

12
aktivitas. Akhirnya, regulasi diri juga bergantung pada cara kita
mencari penyebab-penyebab tingkah laku demi menyempurnakan
performa.
3) Reaksi diri (self response): Manusia merespon positif atau negatif
perilaku mereka tergantung kepada bagaimana perilaku ini diukur
dan apa standar pribadinya. Bandura meyakini bahwa manusia
menggunakan strategi reaktif dan proaktif untuk mengatur dirinya.
Maksudnya, manusia berupaya secara reaktif untuk mereduksi
pertentangan antara pencapaian dan tujuan, dan setelah berhasil
menghilangkannya, mereka secara proaktif menetapkan tujuan baru
yang lebih tinggi.
Berdasarkan hasil uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi regulasi diri seseorang ada dua faktor, yaitu
faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari standar dan
penguatan (reinforcement), sedangkan faktor internal terdiri dari observasi
diri (self observation), proses penilaian (judgmental process), dan reaksi
diri (self response).

F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Dan Pendekatan Penelitian
2. Waktu Dan Tempat Penelitian
3. Subjek Dan Objek Penelitian
a. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini Peneliti menetapkan pada beberapa kriteria


dalam menentukan subjek penelitian dan mampu memberikan
informasi, yaitu: Objek Penelitian

Objek dari penelitian ini adalah.

13
1. Sumber Data
Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh 2. Sumber
data dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya
adalah tambahan.3 Sehingga sumber data dalam penelitian ini terdiri dari 2
(dua) sumber yang keduanya masing-masing menghasilkan data-data.
Dalam penelitian kualitatif deskriptif sumber data yang diperoleh yaitu
dari data primer dan sekunder.
a. Data primer
Data primer yaitu data yang langsung diperoleh dari para
inrforman yang ada di pada waktu peneltian dilakukan. Data
primer ini juga diperoleh saat peneliti mengamati langsung dan
wawancara kepada subjek.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud
selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat
ditemukan dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi
sumber data sekunder adalah literatur, artikel, jurnal, serta situs di
internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.4
Peneliti dapat mengumpulkan data dari sumber-sumber yang ada,
berupa data, dokumentasi, dan lain sebagainya.

2. Teknik dan Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga teknik pengumpulan
data, antara lain sebagai berikut:
a. Wawancara
Esterberg (2002) mendefinisikan wawancara sebagai berikut.
Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi

2
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi 5,
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 107.
3
Lexy Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007), Cet.ke-23, h.157.
4
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta),
2009, Cet. Ke 8, h. 137.

14
dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna
dalam suatu topik tertentu. Wawancara digunakan sebagai teknik
pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi
pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti,
tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden
yang lebih mendalam.5
Pada tahap ini peneliti akan mendeskripsikan keseluruhan
yang didapat dari hasil wawancara, melalui deskripsi naratif, dan
peneliti menggunakan wawancara tak terstruktur. Wawancara tak
terstruktur bersifat luwes, susunan pertanyaan dan susunan kata-kata
dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara,
disesuaikan dengan kebutuhan, dan kondisi saat wawancara,
termasuk karakteristik sosial-budaya informan yang dihadapi.

b. Observasi atau pengamatan


Observasi atau pengamatan merupakan susunan proses pengamatan
dan ingatan baik biologis maupun psikologis.6 Semua bentuk
penelitian psikologis, baik kualitatif maupun kuantitatif mengandung
aspek observasi didalamnya yang diarahkan pada kegiatan
memerhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan
mempertimbangkan hubungan antar aspek fenomena tersebut.7
Adapun observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengamati kegiatan pembinaan agama Islam secara langsung berupa
pastisipasi dalam aktivitas di tempat penelitian, dan dalam
pengumpulan data peneliti memilih beberapa subjek yang menjadi
kriteria dalam penelitian ini. Peneliti memilih untuk mengamati dan
berinteraksi secara langsung terhadap subjek agar memperoleh data
yang lebih sesuai.
5
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: CV
Alfabeta, 2014), Cet. Ke-6, h. 316.
6
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011), Cet. Ke-
14, h. 145.
7
E. Kristi Perwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Perilaku Manusia, (Depok: LPSP3-UI,
2011), Cet. Ke-4, h. 134.

15
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik mencari data mengenai hal-hal
atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar,
majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya.8
Peneliti mendokumentasikan kegiatan pembinaan agama Islam, serta
mencari dokumen-dokumen tertulis lain yang relevan dengan
kebutuhan penelitian.
3. Teknik Analisis Data
Dalam hal analisis data kualitatif, Bogdan menyatakan bahwa
analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan
lain, sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat diinformasikan
kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan
data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke
dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan
membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.9 Untuk
menganalisis data secara garis besar meliputi bagian-bagian sebagai
berikut:

 Reduksi data (Data Reduction), berarti merangkum, memilih


hal-hal yang pokok dari data kasar yang diperoleh di lapangan.
Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan
gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk
melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila
diperlukan. Kemudian data yang diperoleh selama penelitian
baik melalui wawancara, observasi dan dokumentasi kepada
petugas dan anak berhadapan hukum (ABH) di PSMP
Handayani ditulis dalam catatan yang sistematis.
8
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2002), edisi revisi IV, h. 236
9
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: CV
Alfabeta, 2014), Cet. Ke-6, h. 332.

16
 Penyajian Data (Data Display), Miles dan Huberman (1984)
menyatakan bahwa yang paling sering digunakan untuk
menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah teks yang
bersifat naratif. Selanjutnya disarankan, dalam melakukan
display data, selain dengan teks naratif, juga dapat berupa
grafik, matrik, network (jejaring kerja), chart.
 Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing), merupakan
langkah yang terakhir dalam analisis data. Penarikan
kesimpulan didasarkan pada reduksi data. Kesimpulan dalam
penelitian kualitatif mungkin dapat menjawah rumusan
masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga
tidak, karena masalah dan rumusan masalah dalam penelitian
kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang
setelah penelitian di lapangan.10

4. Sumber Data
a. Data Primer
b. Data Sekunder
5. Teknik Dan Pengumpulan Data
6. Teknik Analisa Data
G. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian skripsi ini peneliti mengacu pada pedoman penulisan


karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang
diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sistem penulisan
dalam penelitian ini terbagi dalam lima bab:

BAB I : PENDAHULUAN. Isi BAB I merupakan pendahuluan dari


keseluruhan BAB yang ada pada skripsi ini. BAB I terdiri dari Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan
10
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: CV
Alfabeta, 2014), Cet. Ke-6, h. 336-343.

17
Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka,
dan Sistematika Penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI.
BAB III : GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN.
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS.
BAB V : PENUTUP.

18

Anda mungkin juga menyukai