Anda di halaman 1dari 16

MENCERMATI EKSISTENSI KETERWAKILAN PEREMPAUN PADA 3

MOMENTUM PEMILU DI DPRA

Oleh:

Puja Karisma A. P. 1710103010034

Muhammad Akbar 1710103010055

M. Yusriansyah 1710103010025

W. Naung Kusumaray 1710103010028

Nanda Rizki 1710103010009

Universitas Syiah Kuala

Banda Aceh

2020

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan rahmat-
Nyalah penulis akhirnya bisa merangkai makalah ini dengan baik tepat pada waktunya. Tidak
lupa penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan
banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat dalam proses penyusunan makalah ini. Rasa
terima kasih juga hendak penulis ucapkan kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
memberikan kontribusinya baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini
bisa selesai pada waktu yang telah ditentukan. Meskipun penulis sudah mengumpulkan banyak
referensi untuk menunjang penyusunan makalah ini, namun kami menyadari bahwa di dalam
makalah yang telah penulis susun ini masih terdapat banyak kesalahan serta kekurangan.
Sehingga penulis mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca demi tersusunnya
makalah lain yang lebih lagi. Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini bisa memberikan
banyak manfaat

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................4

1.2 Objek Tulisan.......................................................................................................................5

1.3 Masalah Tulisan...................................................................................................................5

1.4 Tujuan Penulisan.................................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................6

2.1 Referensi Terkait Tema.......................................................................................................6

2.2 Bangunan Teori....................................................................................................................7

2.2.1 Politik..............................................................................................................................7

2.2.2 DPR.................................................................................................................................7

2.2.3 Partai Politik..................................................................................................................8

2.3 Alur Penulisan......................................................................................................................9

BAB III PEMBAHASAN........................................................................................................10

BAB IV PENUTUP..................................................................................................................12

4.1 Kesimpulan.........................................................................................................................12

4.2 Saran...................................................................................................................................12

Daftar Pustaka.............................................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sudut pandang terkait gender menjaadi hal yang krusial dipertimbangkan kesamaan
derajatnya demi mengelak dari terjadinya diskriminasi dalam masyarakat Aceh. Kesamaan
derajat tersebut dapat diaplikasikan demi tujuan dan sasaran tertentu yakni mencakup
peluang bagi gender perempaun dalam mengambil andil dalam ranah politik sekaligus
menjadi bagian dari tersebut secara spesifik yakni sebagai calon legislatif di bangku DPRA.
Meskipun peluang tersebut sudah terbuka luas khusus untuk gender perempuan, namun tetap
saja angka statistika gender perempuan yang mengambil andil dalam lembaga legislatif
DPRA terbilang sangat minim dan ketinggalan jauh dengan gender laki-laki. Eksistensi
gender perempuan di dalam lembaga DPRA mencakup faktor-faktor tertentu yang relevan
khususnya pada momentum pemilu tahun 2009, 2014 sertas ekaligus tahun 2019. Eksistensi
keterwakilan perempuan Aceh di lembaga DPRA ini sendiri terbilang sebagai topik
perbincangan yang sensitif menjelang pemilu DPRA.
Sudah menjadi rahsia umum dimana eksestensi perempuan di lembaga DPRA adalah
sebagai pemenuhan hak perempuan dalam bidang politik sehingga dilihat setara oleh
masyarakat dengan gender laki-laki. Berdasarkan argumentasi para ahli, mereka berpendapat
dimana keterwakilan perempuan dan laki-laki harus dinilai sehingga seimbang partisipasinya
dalam representasi politik supaya dapat menciptakan hak dan kesempatan yang adil.
Kesamaan hak tersebut didasari sebagai demokrasi yang terstruktur demi kepentingan dalam
penilaian politik. Eksistensi perempuan itu sendiri terbilang sangat penting seperti laki-laki
demi struktural politik yang terakomodasikan. Eksistensi perempuan dalam lembaga DPRA
dapat menciptakan pencegahan diskriminasi akan gender perempuan. Peluang bagi eksistensi
perempuan dalam lembaga DPRA dapat membuka peluang bagi mereka dalam hal ekonomi
serta sekaligus politik. Pemerintah pusat sempat mengeluarkan UU no. 10 tahun 2008 yang
menjadi undang-undang dalam mendasari perempuan supaya dapat megambilra andil dan
memainkan peran aktif dalam bidng politik. Meskipun UU tersebut sudah dikelaurkan,
namun tetap saja tidak dapat meningkatkan angka statistika eksistensi perempuan dalam
bidang politik khususnya lembaga DPRA.

4
Di samping itu, gender perempuan masih saja dinilai sebagai pilihan kedua atau selipan
dalam ranah politik khususnya lembaga DPRA. Hal ini terlihat dari angka statistika caleg
perempuan di Indonesia dari 2009 hingga 2019 yang tercakup hanya sebesar 17,5%. Pada
tahun 2009, 2014 serta 2019 dengan 9 orang. Berdasarkan keterangan dari para ahli politik di
Aceh, perundangan terkait 30% keterwakilan perempuan dalam persaingan kerusi DPRA
belum diadopsi oleh partai politik di Aceh dengan baik dan seksama. Hal itu dapat dilihat
secara akurat pada momentum pemilu di tahun 2009, 2014 serta 2019.

1.2 Objek Tulisan


Peneliti mengambil pemilu tahun 2009, 2014 serta 2019 sebagai objek dalam penelitian ini.

1.3 Masalah Tulisan


Setelah peneliti menguraikan pembahasan seperti di atas, maka dirumuskan lah
bentuk dari permasalahannya yakni adalah seperti berikut:

1. Bagaimanakah eksistensi keterwakilan perempaun pada tahun 2009, 2014 serta 2019
pada pemilu di DPRA?

1.4 Tujuan Penulisan


Berlandaskan dengan rumusan permaslahan yang telah dikemukan sebelumnya,
maka peneliti mewujudkan bentuk tujuan penelitian ini, yakni seperti berikut:
1. Mendapatkan informasi terkait eksistensi keterwakilan perempaun pada tahun 2009,
2014 serta 2019 pada pemilu di DPRA.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Referensi Terkait Tema
Politik ini merupakan sebuah aktifitas tanpa paksaan yang mendasari masyarakat dengan
memberi mereka hak dalam persaingan mendapatkan kekuasaan sehingga mampu menciptakan
kebijakan (McClosky, 1972). Politik mendasari partisipasi politik yang berkorelasi dengan
pengadaan sesebuah kekuasaan dalam dunia politik yang berjalan dengan landasan hukum yang
sah dan formal (Miriam Budiarjo). Partisipasi poliyik ini merupakan sebuah aktifitas individu
maupun secara massal yang mengambil andil dalam penstrukturan pemerintahan negara dengan
melalui pemilihan pimpinan negara maupun lebih kecil seperti pimpinan dalam daerah(Roth dan
Wilson, 1980). Partai politik sendiri berperan sebagai saranan dalam komunikasi politik
ssehingga mampu menyalurkan pendpat serta sekaligus aspirasi yang ditemukan demi
kesejahteraan masyarakat (Asriati, M. 2009). Faktor konkrit yang sudah menjadi rahsia umum
bagi penggiat politik yaknia adalah agama serta budaya masyarakat Aceh yang terbilang tabu
ketika melihat sosok perempuan dalam ranah politik dan kepemimpinan sehingga terkesan
seperti diskriminasi. Diskriminasi ini justru menekan mental perempuan untuk tidak mempunyai
tingkat percaya diri yang tinggi lalu tidak termotivasi untuk mengambil andil dalam persaingan
kerusi DPRA (Bunga Rampai. 2003). Berdasarkan keterangan dari para ahli politik di Aceh,
perundangan terkait 30% keterwakilan perempuan dalam persaingan kerusi DPRA belum
diadopsi oleh partai politik di Aceh dengan baik dan seksama (Djafar, M.TB. 2008). Peluang
bagi eksistensi perempuan dalam lembaga DPRA dapat membuka peluang bagi mereka dalam
hal ekonomi serta sekaligus politik sehingga kelembagaan politik tidak semata-mata diisi dengan
laki-laki yang mendaftarkan diri menajdi anggota legislatif hanya untuk ketenaran dan bukan
sebagai sebuah profesionalitas. Pemerintah pusat sempat mengeluarkan UU no. 10 tahun 2008
yang menjadi undang-undang dalam mendasari perempuan supaya dapat megambilra andil dan
memainkan peran aktif dalam bidng politik (Ismail, M. 2009). Partai politik berusaha keras
dalam membuat sosok perempuan agar dapat mengambil peran dalam persaingan kerusi DPRA
tersebut yakni dengan mendapatkan caleg perempuan yang layak. Kelayakan tersebut dinilai dari
latar belakang caleg perempun tersebut yang dinilai kuat dalam hal politik sehingga
memudahkan sosok individu tersebut untuk lolos. Sejalan dengan ketetapan 30% keterwakilan

6
perempuan, partai politik sendiri terpaksa membiarkan caleg-caleg mereka untuk bersaing hebat
mengingat ketentuan dalam perebutan kerusi DPRA adalah berdasarkan suara terbanyak dan
tidak semata-mata adanya sosok keterwakilan perempuan dari partai politik tersebut
(Pambumdi, M.Y. 2007).

2.2 Bangunan Teori


2.2.1 Politik
Politik terbilang sebagai sebuah tahapan dan wewenang dalam pekerjaan dalam konteks
kekuasaan. Banyak variabel yang tercantumkan dalam teori politik sehingga menghuungkan
antara kekuasaan dengan struktur masyarakat. Terdapat konsep serta aspek-aspek yang
diterapkan dalam teori politik sehingga berkorelasi erat dengan institusi politik. Maka dari itu,
politik dinilai sebagai sebuah sistem yang komprehensif sertas sekaligus deifinitf yang terkesan
luas sehingga tidak hanya mempunyai cakupan terkait penjelasan politik, namun juga esensi dari
politik itu sendiri. Banyak sistem dalam dunia perpolitikan yang telah diciptakan oleh para ahli
politik sehingga mampu mencapai kehidupan berpolitik yang bersifat demokratis. Terkait dunia
perpolitikan, para ahli juga menciptakan sebuah konsep terkait feminisme yang mendasari
kepada hukum dan perundangan sehingga mmberdayakan peran perempuan didalam dunia
politik. Hal lain dari feminisme yang tercakup dalam teori politik, justru ada juga seperti
sosialisme, liberalisme dan lain-lainnya. Teori politik ini sendiri merupakan suatu uraian dari
situasi politik. Politik sendiri mempunyai batasan, yakni tujuan, langkah serta persepsi situasi
politik. Di samping itu, politikm sendiri memfokuskan pada aspek seperti masyarakat, lembaga,
negara, pemerintahan, sosial dan lain-lainnya yang berkaitan.

2.2.2 DPR
Pada hakikatnya, legislator yang berperan penting sebagai bagian dari DPR atau dikenali
dengan Dewan Perwakilan Rakyat justru mmikul tanggungjawab kerja yang besar namun tidak
diketahui oleh banyak orang. Seperti yang diketahui media tidak mampu memaparkan informasi
yang akurat terkait DPR sehingga tidak dapat bagi masyarakat untukstas pengantar demokrasi
yang berlandaskan pada argumentasi dan disertai aspirasi. Masyarakat umumnya tidak
mengenali secara mendetail terkait DPR ini sehingga keberadaan legislatif di dalam DPR
terkesan tidak transparan. Kenyataannya, lembawa perwakilan tersebut beserta anggota legislatif
yang berperan penting di dalamnya tersebut memikul suara dan aspirasi masyarakat dan

7
mewakili aspirasi terseebut agar tersampaikan ke pihak atasan agar kepentingan masyarakat
terpenuhi. DPR ini berdiri sebagai sebuah lembaga negara indonesia dengan kewajiban
menggerakkan sistem pemerintahan negara dengan tupoksi kerja yang telah disesuaikan. DPR
juga memainkan peran penting agar tidak terjadi penyelewengan birokrasi negara dalam
pelaksanannya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dimana DPR berdiri sebagai sebuah
lembaga formal yang bertanggungjawab menjadi sebagai penyalur kepentingan masyarakat yang
berkaitan erat dengan pemerintahan. DPR ini sendiri terbilang tinggi kedudukannya yang
sehingga dapat dibilang sejajar dengan pemerintahan negara itu sendiri. DPR sendiri bertugas
dalam pembenukan UU yang didasari oleh presiden sendiri. Selain itu, DPR juga memegang
kekuasaan dalam persetujuan perundangan dari presiden dan segala keterkaitan dengan undang-
undang.

2.2.3 Partai Politik


Partai politik merupakan gabungan pihak-pihak dengan tujuan dan kepentingan yang
sejalur dalam menjalankan tujuan yang sama. Partai politik secara umumnya, merupakan
kelompok yang berisikan anggota-anggota yang mempunyai pola pikir yang berbeda namun
searah demi terealisasinya sasaran mereka dalam dunia politik khususnya. Anggota-anggota di
dalam sesebuah partai politik dapat dikatakan sebagai orang-orang yang sudah terstruktur
sasarannya terkait pemerintahan yang dimana keinginan mereka adalah mendapatkan kekuasaan
dalam memegang kuasa pimpinan oleh partai yang dibawahi dengan keuntungan yang pasti dari
kekuasaan tersebut sehingga memicu mereka untuk mengambil andil dalam peran perpolitikan.
Parta politik sendiri befokus pada masyarakat di wilayah mereka dengan menggunakan aktivis di
dalam partai politik tersebut untuk merangkul masyarakat lainnya untuk menjadi pendukung
mereka dan mengalahkan rival yakni partai politik lainnya dengan keinginan menuntuk
kekuasaan juga yang pastinya mempnyai pandangan yang berbeda sesama kelompok partai
politik.

Terdapat tahapan dalam perkembangan sesebuah partai politik, yakni faksionalisasi,


polarisasi, perluasan serta sekaligus pelembagaan. Partai politik ini sendiri terdiri dari dua jenis
yang berbeda, yakni partai massa serta partai kader. Partai massa ini mencakup dnegan hal
rekrutmen keanggotaan yang bertujuan menyebarluaskan nama dan kekuasaan mengingat
kuantitas menjadi kunci utama dalam kemenangan sesebuah partai politik itu sendri. Dengan

8
kuantitas aktivis yang banyak sebagai pendukung partai politik tersebut, maka dukungan dalam
bentuk keuangan akan lebih terjamin. Partai politik sendiri berperan sebagai saranan dalam
komunikasi politik ssehingga mampu menyalurkan pendpat serta sekaligus aspirasi yang
ditemukan demi kesejahteraan masyarakat. Terlepas dari itu, partai politik juga berperan penting
sebagai sarana dalam sosialisasi politik yang diketahui sebagai sebuah tahapan dalam
pemerolehan sikap serta orientasi dalam perpolitikan. Sehingga, partai politik juga memegang
tanggungjawab sebagi sarana dalam rekrutmen politik dengan mengumpulkan da mendapatkan
aktivis-aktivis hebat untuk bergabung demi kegiataan dalam dunia politik. Maka dari itu, partai
politik akan ammpu melakukan pemerluasan partisipasinya dalam dunia politik. Tidak lupa juga
peran krusial partai politik lainnya, yakni sebagai sarana dalam pengaturan konflik dimana partai
politik bertanggungjawab dalam melakukan pengawasan dan penanggulangan terkait demokrasi
dan perdebatan yang terjadi dalam wilayah tersebut khsusunya dalam dunia politik.

2.3 Alur Penulisan


Alur penulisan penelitian ini menjelaskan terkait tahapan dalam penelitian ini dalam
pelaksanaan analisanya tentang eksistensi perwakilan perempuan pada tahun 2009,2014, serta
2019 pada pemilu DPRA. Maka dari itu peneliti merumuskaaln diagram alur pulisan tersebut
dengan mencantumkan persiapan sehingga hasil dalam penelitian tersebut.

Mulai

Perumusan Masalah

Pengumpulan Data

Analisis Hasil

Kesimpulan

Selesai

9
BAB III

PEMBAHASAN
Pemerintah pusat sempat mengeluarkan UU no. 10 tahun 2008 yang menjadi undang-
undang dalam mendasari perempuan supaya dapat megambilra andil dan memainkan
peran aktif dalam bidng politik. Meskipun UU tersebut sudah dikelaurkan, namun tetap
saja tidak dapat meningkatkan angka statistika eksistensi perempuan dalam bidang politik
khususnya lembaga DPRA. Gender perempuan masih saja dinilai sebagai pilihan kedua
atau selipan dalam ranah politik khususnya lembaga DPRA. Hal ini terlihat dari angka
statistika caleg perempuan di Indonesia dari 2009 hingga 2019 yang tercakup hanya
sebesar 17,5%. Mendasari minimnya keterwakilan perempuan dapat dilihat dari berbagai
faktor khususnya di Aceh ini sendiri dalam pelaksanaan pemilu DPRA. Faktor konkrit
yang sudah menjadi rahsia umum bagi penggiat politik yaknia adalah agama serta budaya
masyarakat Aceh yang terbilang tabu ketika melihat sosok perempuan dalam ranah politik
dan kepemimpinan sehingga terkesan seperti diskriminasi. Diskriminasi ini justru
menekan mental perempuan untuk tidak mempunyai tingkat percaya diri yang tinggi lalu
tidak termotivasi untuk mengambil andil dalam persaingan kerusi DPRA. Secara
umumnya, partai politik sendiri memegang erat suatu faktor yang menyebabkan
minimnya keterwakilan perempuan di pemilu DPRA, yakni adalah kurangnya
pemahaman terkait aturan yang telah ditetapkan terkait pemberlakuan 30% keterwakilan
perempuan di pemilu.
Berdasarkan keterangan dari para ahli politik di Aceh, perundangan terkait 30%
keterwakilan perempuan dalam persaingan kerusi DPRA belum diadopsi oleh partai
politik di Aceh dengan baik dan seksama. Hal itu dapat dilihat secara akurat pada
momentum pemilu di tahun 2009, 2014 serta 2019. Hasil pileg DPRA pada tahun 2009
menununjukkan peningkatan angka caleg perempuan yang drastis yang menjadi berita
baik bagi banyak pihak namun disisi lainnya membuat para caleg perempaun diakui
sebagai korban persaingan yang ketat di ranah politik khususnya terkait lembaga DPRA.
Pemilu pada tahun 2009 berjalan dengan didasari oleh UU No. 10 tahun 2008 yang
mengatur tentang penyelenggaran pemilu untuk dapat memasukkan minimal 30%
keterwakilan perempuan dalam pengambilan kerusi politik. Kebijakan ini bertujuan agar
dapat meningkatkan angka statistik caleg perempuan namun di sisi yang lain, masih saja
tidak dibudidayakan UU tersebut dikalangan partai politik di Aceh dalam perebutan

10
kerusi di lembaga DPRA. Sosok laki-laki masih menjadi yang dominan dalam perebutan
kerusi DPRA oleh partai politik di Aceh dengan mengesampingkan aturan dan
perundangan yang telah ditetapkan negara. Tidak hanya itu saja, beberapa partai politik
lainnya juga berusaha keras dalam membuat sosok perempuan agar dapat mengambil
peran dalam persaingan kerusi DPRA tersebut yakni dengan mendapatkan caleg
perempuan yang layak. Kelayakan tersebut dinilai dari latar belakang caleg perempun
tersebut yang dinilai kuat dalam hal politik sehingga memudahkan sosok individu
tersebut untuk lolos. Sejalan dengan ketetapan 30% keterwakilan perempuan, partai
politik sendiri terpaksa membiarkan caleg-caleg mereka untuk bersaing hebat mengingat
ketentuan dalam perebutan kerusi DPRA adalah berdasarkan suara terbanyak dan tidak
semata-mata adanya sosok keterwakilan perempuan dari partai politik tersebut. Dengan
persaingan begini, caleg perempuan akan terpinggirkan sehingga memperkecilkan
kemungkinannya untuk lolos mendasari para caleg laki-laki yang menggunakan 1001 cara
demi lolos meskipun itu kotor. Meskipun demikian, pada tahun 2009, keterwakilan
perempuan justru tidak memprihatinkan angka statistikanya mengingat nominalnya yakni
101 orang.
Hasil pileg DPRA pada tahun 2014 menyatakanj angka kegagalan perempuan caleg
yang tinggi angkanya sehingga terbukti bahwasanya dari 81 kerusi yang tersedia, hanya
12 orang perempuan yang lolos dan sukses mendapatkan kurs tersebut. Pada pemilu
DPRA tahun 2014, terdapat lebih dari 400 caleg perempuan yang gagal dalam menjadi
bagian dari lembaga DPRA. Hasil dari pemilu tersebut dipaparkan di Gedung Utama
DPRA, dalam rapat pleno. Partai-partai yang berhasil meloskan anggota nya menjadi
bagian dari lembaga DPRA adalah seperti Golkar, PNA, PA, PAN, Gerindra serta
Nasdem. Hal ini sangat bertolak belakang dengan tuntutan oleh pasal 55 UU Nomor 8
tahun 2012 dimana sebuah partai hendaklah memasuukkan setidaknya 30% keterwakilan
perempuan. Hasil pileg DPRA pada tahun 2019 masih terhitung sangat kurang mengingat
hambatan yang dihadapi caleg perempuan tersebut di dalam partai mereka sendiri dengan
aspek-aspek tertentu seperti koordinasi partai dengan sang caleg sehingga peran aktif
partai dalam memberi dukungan. Eksistensi perempuan yang minim pada tahun 2019 ini
juga dinilai tidak transparanzn mengingat praktik politik uang yang terjadi namun tidak
dapat dibongkar kasusnya dengan keterlibatan oknum-oknum aparat yang menutup gerak
gerik aparat polisi dalam menangani permasalahan tersebut. Terlepas dari itu, banyak
organisasi politik yang berpendapat bahwasanya gender perempuan dinilai tidak layak
dan sesuai dalam rangka menjadi pimpinan dalam aceh yang didasari dengan paham
11
agama dan budaya orang Aceh yang kental dan terbilang tabu bagi perempuan mengambil
andil dalam hal kepemimpinan.

12
BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dibahas di bagian pembahsan, maka peneliti
menarik kesimpulan bahwasanya caleg perempuan di Aceh terbilang sangat minim
angkanya. Gender perempuan masih saja dinilai sebagai pilihan kedua atau selipan dalam
ranah politik khususnya lembaga DPRA. Hal ini terlihat dari angka statistika caleg
perempuan di Indonesia dari 2009 hingga 2019 yang tercakup hanya sebesar 17,5%.
Mendasari minimnya keterwakilan perempuan dapat dilihat dari berbagai faktor
khususnya di Aceh ini sendiri dalam pelaksanaan pemilu DPRA. Faktor konkrit yang
sudah menjadi rahsia umum bagi penggiat politik yaknia adalah agama serta budaya
masyarakat Aceh yang terbilang tabu ketika melihat sosok perempuan dalam ranah
politik dan kepemimpinan sehingga terkesan seperti diskriminasi. Berdasarkan bukti
konkrit yang didapatkan dan diperoleh dari statistika pemilu tahun 2009, 2014 serta 2019,
caleg perempuan terbilang sangat minim.

Pada hakekatnya, esistensi perempuan dalam lembaga DPRA dapat menciptakan


pencegahan diskriminasi akan gender perempuan dan membuka pola pikir masyarakat
Aceh yang lebih luas dan modern sehingga tidak terkesan tertinggal dan kolot. Peluang
bagi eksistensi perempuan dalam lembaga DPRA dapat membuka peluang bagi mereka
dalam hal ekonomi serta sekaligus politik sehingga kelembagaan politik tidak semata-
mata diisi dengan laki-laki yang mendaftarkan diri menajdi anggota legislatif hanya
untuk ketenaran dan bukan sebagai sebuah profesionalitas. Pemerintah pusat sempat
mengeluarkan UU no. 10 tahun 2008 yang menjadi undang-undang dalam mendasari
perempuan supaya dapat megambilra andil dan memainkan peran aktif dalam bidng
politik. UU ini sendiri tidak diterapkan dengan baik oleh partai politik di Aceh yang
menjurus kepada angka keterwakilan perempuan di pemilu DPRA yang minim dan
memperihatinkan.

13
4.2 Saran
Peneliti menyarankan bagi penggiat politik agar dapat meningkatkan angka
statistika keterwakilan perempuan dalam pemilu DPRA dengan membuka ruang lebar
bagi gender perempuan untuk dapat mengambil peran aktif dalam dunia politik sehingga
memperkuatkan pemahaman mereka dan menutup pandangan masyarakat Aceh terkai
diskriminasi gender tersebut dari segi budaya masyarakat Aceh. Selain itu, parta politik
yang ada di Aceh dapat mentaati aturan yang telah ditetapkan dalam pemilu supaya
keterwakilan perempuan dapat dimaksimalkan. Partai politik di Aceh sendiri harus
memperoleh sosok perempuan yang layak dalam partai politik mereka dengan mendasari
visi dan misi partai politik mereka sehingga dapat menciptakan sosok legislatif yang
profesional dan tidak semata-mata untuk terlihat hebat dimata khalayak masyarakat Aceh
itu sendiri. Tidak semua caleg berperilaku konyol dengan mendasari alasan demikian
yakni ketenaran,ada juga persentase caleg yang melibatkan diri dalam politik demi
memperbaiki dan membangun sesebuah partai politik sehingga dapat mningkatkan
kredibilitasnya dan rata-rata caleg dengan pemikiran tersebut adalah perempuan.

14
Daftar Pustaka

Asriati, M. (2009). Konstruksi Realitas Para Calon Legislator pada Partai Politik Lokal di Aceh.

Skripsi. Medan : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ. Sumatera Utara.

Budiardjo Mirian. (1998). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Bunga Rampai. (2003). Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarustamaan Gender dalam Program

Pembangunan Nasional.

Djafar, M.TB. (2008). Pilkada dan Demokrasi Konsosiasional di Aceh. Kajian Politik dan

Masalah Pembangunan. 04, 01, 195-217.

Gratton, K. (2011). Pendapat Perempuan tentang Perempuan dalam Dunia Politik Pada Era

Reformasi dan Masa Depan di Kota Malang. Skripsi. Malang. Universitas

Muhammadiyah Malang.

Ismail, M. (2009). Legislatif perempuan pasca pemilihan umum 2009 (tantangan dan peluang di

aceh). Bahan diskusi pada Workshop “Legislatif Perempuan dan Jaringan Perempuan di

Aceh”, dilaksanakan oleh MISPI bekerjasama dengan the Asia Foundation.

Jafar, M. (2009). Perkembangan dan Prospek Partai Politik Lokal di Propinsi Nanggroe Aceh

Darussalam. Tesis. Semarang.Universitas Diponegoro.

Kukuh S. Wibowo. (2019). KPU: Keterwakilan Perempuan di DPR 2019 Tertinggi Pasca-

reformasi. Tempo.co

Pambumdi, M.Y. (2007). Perempuan dan Politik Studi tentang aksesibilitas Perempuan Menjadi

Anggota Legislatif di Kabupaten Sampang. Skripsi. Surabaya : Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Univ. Airlangga.

15
Sali Susiana. (2014). Penurunan Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu 2014. Info Singkat:

Kesejahteraan Sosial.

Sari, A. (2010). Persepsi Masyarakat Terhadap Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan di

Legislatif.

16

Anda mungkin juga menyukai