Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan postpartum adalah perdarahan atau hilangnya darah sebanyak


lebih dari 500cc yang terjadi setelah anak lahir baik sebelum, selama, atau
sesudah kelahiran plasenta. Menurut waktu kejadiannya, perdarahan postpartum
sendiri dapat dibagi atas perdarahan postpartum primer yang terjadi dalam 24 jam
setelah bayi lahir, dan perdarahan postpartum sekunder yang terjadi lebih dari 24
jam sampai dengan 6 minggu setalah kelahiran bayi.
Insidensi perdarahan postpartum pada negara maju sekitar 5% dari
persalinan, sedangkan pada Negara berkembang bisa mencapai 28% dari
persalinan dan menjadi masalah utama dalam kematian ibu. Penyebabnya 90%
dari atonia uteri, 7% robekan jalin lahir, sisanya dikarenakan retensio plasenta dan
gangguan pembekuan darah. Di Indonesia diperkirakan ada 14 juta kasus
perdarahan dalam kehamilan. Setiap tahunnya paling sedikit 128.000 perempuan
mengalami perdarahan sampai meninggal. Perdarahan pasca persalinan terutama
perdarahan postpartum primer merupakan perdarahan yang paling banyak
menyebabkan kematian ibu. Perdarahan postpartum primer yaitu perdarahan pasca
persalinan yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran.
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir ½ jam atau
lebih setelah kelahiran bayi. Biasanya setelah janin lahir, beberapa menit
kemudian mulailah proses pelepasan plasenta disertai sedikit perdarahan (kira-kira
100 – 200 cc)(1.2). Merupakan penyulit pada 2 % dari semua kelahiran hidup
dengan angka kematian hampir mencapai 10% di daerah pedesaan(4). Diperkirakan
insidensi dari perlengketan abnormalitas sekitar 1 dari 2000 hingga 1 dari 7000
persalinan. Plasenta akreta meliputi 80% dari keseluruhan perlengketan abnormal,
plasenta inkreta 15 %, dan plasenta perkreta 5 %.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Retensio plasenta
1.1 Definisi
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir ½ jam atau
lebih setelah kelahiran bayi. Biasanya setelah janin lahir, beberapa menit
kemudian mulailah proses pelepasan plasenta disertai sedikit perdarahan
(kira-kira 100 – 200 cc). Bila plasenta sudah lepas dan turun ke bagian bawah
rahim, maka uterus akan berkontraksi (his pengeluaran plasenta) untuk
mengeluarkan plasenta. (1.2)
1.2 Insidensi
Retensio plasenta adalah penyebab signifikan dari kematian maternal dan
angka kesakitan di seluruh negara berkembang. Kasus ini merupakan penyulit
pada 2 % dari semua kelahiran hidup dengan angka kematian hampir
mencapai 10% di daerah pedesaan.(4) Menurut studi lain, insidensi dari
retensio plasenta berkisar antara 1-2 % dari kelahiran hidup.
Diperkirakan insidensi dari perlengketan abnormalitas sekitar 1 dari 2000
hingga 1 dari 7000 persalinan. Plasenta akreta meliputi 80% dari keseluruhan
perlengketan abnormal, plasenta inkreta 15 %, dan plasenta perkreta 5 %.
Angka ini meningkat tajam dalam dua dekade terakhir, sejalan dengan angka
seksio cesarean.(6)
1.3 Anatomi
Plasenta berbentuk bundar atau oval; ukuran diameter 15-20 cm, tebal 2-3
cm, berat 500-600 gram. Biasanya plasenta atau uri akan berbentuk lengkap
pada kehamilan kira-kira 16 minggu; dimana ruang amnion telah mengisi
seluruh rongga rahim. Letak plasenta yang normal umumnya pada corpus
uteri bagian depan atau belakang agak kearah fundus uteri. (1) Plasenta normal
menanamkan diri sampai ke batas atas lapisan otot rahim. (8)
Plasenta terdiri atas tiga bagian yaitu:(1)

2
1. Bagian janin (fetal portion). Bagian janin terdiri dari korion
frondosum dan vili.
Vili dari uri yang matang terdiri atas :
 Vili korialis
 Ruang-ruang interviler. Darah ibu yang berada dalam ruang
interviler berasal dari arteri spiralis yang berada di desidua
basalis. Pada sistole, darah dipompa dengan tekanan 70-80 mmHg
kedalam ruang interviler sampai lempeng korionik (chorionic
plate) pangkal dari kotiledon-kotiledon. Darah tersebut
membanjiri vili korialis dan kembali perlahan ke vena di desidua
dengan tekanan 8 mmHg.
 Pada bagian permukaan janin uri diliputi oleh amnion yang licin,
dibawah lapisan amnion ini berjalan cabang-cabang pembuluh
darah tali pusat. Tali pusat akan berinsersi pada uri bagian
permukaan janin.
2. Bagian maternal (maternal portion). Terdiri atas desidua kompakta
yang terbentuk dari beberapa lobus dan kotiledon (15-20 buah).
Desidua basalis pada uri yang matang disebut lempeng korionik
(basal) dimana sirkulasi utero-plasental berjalan keruang-ruang
intervili melalui tali pusat.
3. Tali pusat, merentang dari pusat janin ke uri bagian permukaan janin.
Panjangnya rata-rata 50-55 cm, sebesar jari (diameter 1- 2.5 cm),
strukturnya terdiri atas 2 arteri umbilikalis dan 1 vena umbilikalis
serta jelly wharton.

3
Gambar: Struktur plasenta
Supaya janin dapat tumbuh dengan sempurna, dibutuhkan penyaluran
darah dari ibu ke janin dan pembuangan limbah metabolisme ke sirkulasi ibu.
Berikut merupakan fungsi plasenta, yaitu: (1,7)
 Nutrisasi : alat pemberi makanan pada janin yang berasal dari sekitar
100-150 arteri spiralis maternal yang berlokasi pada lempeng basal.
 Respirasi : yakni alat penyalur zat asam dan pembuangan CO2
 Ekskresi : yakni alat pengeluaran sampah metabolisme
 Produksi : yakni alat yang menghasilkan hormon
 Imunisasi : yakni alat penyalur antibodi ke janin
 Pertahanan (sawar) : penyaring obat dan kuman yang bisa melewati
plasenta
1.4 Mekanisme Kala III
Kala III persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan
lahirnya plasenta dan selaput ketuban. Lama kala tiga pada persalinan normal
ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Segera setelah bayi lahir, tinggi
fundus uteri dan konsistensinya hendaknya dipastikan. Selama uterus tetap
kencang dan tidak ada perdarahan yang luar biasa, menunggu dengan
waspada sampai plasenta terlepas biasa dilakukan. Jangan lakukan massage;
tangan hanya diletakkan di atas fundus untuk memastikan bahwa organ
tersebut tidak menjadi atonik dan terisi darah dan menggelembung di
belakang plasenta yang sudah terlepas (1,2,3).
Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu : (4)

4
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas dari
plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat
plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan
pemisahannya dari dinding uterus (decidua) dan lepas.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur ke arah
vagina.
Pemisahan plasenta amat dipermudah oleh sifat struktur desidua
spongiosa yang longgar. Ketika pemisahan berlangsung, terbentuk hematoma
di antara plasenta yang sedang terpisah dan desidua yang tersisa (hematoma
retroplasenta)
Jika plasenta tidak lahir spontan, maka lakukan Brandt-Andrews manuver (11)
 Setelah bayi lahir, klem tali pusat mendekati vulva. Palpasi uterus
dengan hati-hati tanpa di massage untuk menilai kontraksi uterus.
 Setelah muncul tanda pelepasan plasenta, pegang klem dekat vulva
dengan satu tangan, dan jari tangan lainnya pada abdomen, dan tekan
antara fundus dan simfisis untuk mengangkat uterus. Jika plasenta
telah terlepas, tali pusat akan meluncur ke arah vagina.
Berikut adalah tanda-tanda pelepasan dari plasenta:(3.11)
- Uterus menjadi globular, dan biasanya lebih kencang. Tanda ini
terlihat paling awal.
- Sering ada pancaran darah mendadak.
- Tali pusat keluar lebih panjang dari vagina ± 3 cm, yang
menunjukkan bahwa plasenta telah turun.
Tanda-tanda ini kadang-kadang terlihat dalam waktu satu menit
setelah bayi lahir dan biasanya dalam 5 menit. (3)
 Setelah fundus terangkat, lakukan traksi lembut pada tali pusat, dan
lahirkan plasenta dari vagina.

5
Gambar: Brandt-Andrews maneuver (11)
Manuver ini diulangi beberapa kali sampai plasenta mencapai introitus.
Saat plasenta melewati introitus, penekanan pada uterus dihentikan. Plasenta
kemudian secara perlahan dikeluarkan dari introitus. Tindakan hati-hati
diperlukan untuk mencegah membran supaya tidak terputus dan tertinggal.
Jika membran mulai robek, pegang robekan dengan klem dan tarik perlahan.
Permukaan maternal plasenta harus diperiksa secara hati-hati untuk
memastikan bahwa tidak ada fragmen plasenta tertinggal di uterus. (2,3)
Setelah lahirnya plasenta, hal ini umum dilakukan (walaupun tidak
diaplikasikan pada seluruh kasus) untuk memberikan oksitosin. Sebelumnya,
diberikan 5-10 IU IV setelah 5 menit untuk mengurangi perdarahan. Kini,
lebih sering diberikan 20 IU oksitosin dalam 1000 cc larutan IV 125-250 cc
perjam. (11)
1.5 Etiologi
Etiologi retensio plasenta tidak diketahui dengan pasti(8) Beberapa
penyebab retensio plasenta adalah : (1,10,12)
1. Fungsional
a. His kurang kuat (penyebab terpenting). Plasenta sudah lepas tetapi
belum keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan
perdarahan yang banyak. Atau karena adanya lingkaran konstriksi
pada bagian bawah rahim (ostium uteri) akibat kesalahan
penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar
(plasenta inkarserata). (1,10,12)

6
b. Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba),
bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis); dan
ukurannya (plasenta yang sangat kecil).(10) Plasenta yang sukar
lepas karena penyebab ini disebut plasenta adhesiva. (8) Plasenta
adhesiva ialah jika terjadi implantasi yang kuat dari jonjot korion
plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme perpisahan
fisiologis.(13)
2. Patologi-anatomi
Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan
tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya dibagi
menjadi: (1,2,10)
1. Plasenta akreta: vili korialis berimplantasi menembus desidua
basalis dan Nitabuch layer. Pada jenis ini plasenta melekat
langsung pada miometrium.
2. Plasenta inkreta: vili korialis sampai menembus miometrium,
tapi tidak menembus serosa uterus.
3. Plasenta perkreta: vili korialis sampai menembus serosa atau
perimetrium
Plasenta normal berimplantasi sampai batas atas lapisan
miometrium. Pada plasenta akreta vili korialis berimplantasi lebih
dalam ke dinding uterus. Bila vili korialis sampai masuk kedalam
miometrium, disebut plasenta inkreta. Bila vili korialis menembus
lapisan otot dan mencapai serosa atau menembusnya, dinamakan
dengan plasenta perkreta.
Plasenta akreta dapat bersifat komplet bila seluruh
permukaannya melekat erat ke dinding uterus, atau parsial, bila
hanya beberapa bagian permukaannya saja yang berhubungan
lebih erat dapipada biasanya dengan dinding uterus. Plasenta
akreta yang komplet, plasenta inkreta, dan perkreta jarang terjadi(8)

1.6 Faktor risiko

7
Retensio plasenta lebih berisiko dialami oleh ibu dengan beberapa faktor
diantaranya adalah Perlengketan plasenta yang abnormal terjadi apabila
pembentukan desidua terganggu. Keadaan-keadaan tersebut mencakup
implantasi di segmen bawah rahim (plasenta previa), di atas jaringan parut SC
atau insisi uterus lainnya, atau setelah kuretase uterus dan multiparitas,
kelahiran preterm, Hamil saat berusia di atas 30 tahun. Melahirkan di bawah
usia kehamilan 34 minggu (kelahiran prematur). Mengalami proses persalinan
kala 1 atau kala 2 yang terlalu lama. Persalinan dengan janin mati dalam
kandungan. Kesalahan manajemen kala III persalinan, seperti : manipulasi
dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta dapat
menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak
tepat waktunya juga dapat menyebabkan serviks kontraksi (pembentukan
constriction ring) dan menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).
(1,2,4,11)

1.7 Patofisiologi
Penyebab pasti tertundanya pelepasan setelah waktu 30 menit tidak selalu
jelas, tetapi tampaknya cukup sering disebabkan oleh kontraksi uterus yang
(3)
tidak adekuat. Penyebab dari disfungsi kontraksi ini belum diketahui pasti.
Kecuali pada fibroid uterus, dimana sumber distensi uterus tidak dapat
dihilangkan dengan kontraksi uterus, maka kontraksi uterus yang tidak
adekuat muncul. Namun, uterus tidak harus mengalami distensi selama kala
III hingga menyebabkan kontraksi yang tidak adekuat. Distensi sebelum
kelahiran bayi, seperti pada kehamilan ganda dan polihidramnion, juga
mempengaruhi kemampuan rahim untuk berkontraksi secara efisien setelah
kelahiran bayi, dan dengan demikian keduanya menjadi faktor risiko lain
untuk perdarahan postpartum karena atonia. (15)
Walaupun sangat jarang, plasenta dapat melekat erat ke tempat implantasi,
baik karena penetrasi berlebihan dari trofoblas maupun desidua basalis yang
sedikit (tipis) atau tidak ada sama sekali dan kelainan perkembangan lapisan
fibrinoid (lapisan Nitabuch) secara parsial atau total, sehingga tidak terdapat
garis pemisah fisiologis melalui lapisan spongiosa desidua. Akibatnya, satu

8
atau lebih kotiledon melekat erat ke desidua basalis yang cacat atau bahkan
ke miometrium. Kasus perlengketan plasenta ini dapat dilihat pada trimester
pertama, yang mengindikasikan bahwa proses patologinya mungkin muncul
pada saat implantasi dan bukan setelah masa gestasional (3,6,8,)
Patofisiologi retensio plasenta ini juga bisa berarti plasenta telah terpisah
akan tetapi masih tertinggal akibat ketegangan tali plasenta atau leher rahim
yang tertutup. Faktor ini dapat muncul akibat kesalahan penanganan kala III
persalinan dan manipulasi yang berlebihan. (5) Pemijatan dan penekanan secara
terus-menerus terhadap uterus yang sudah berkontraksi dapat mengganggu
mekanisme fisiologis pelepasan plasenta sehingga pemisahan plasenta tidak
sempurna dan pengeluaran darah meningkat.(3)
1.8 Diagnosis
Diagnosis retensio plasenta ditegakkan atas dasar lamanya plasenta lahir
setelah kelahiran bayi. Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada
pancaran darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya
semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah
berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang.
Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang
diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian
bawah rahim atau atas vagina. (1,2,3,11)
Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan
inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang
sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya,
dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala tinggi.
Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan dan mengklovasi
uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat
Untuk mengetahui plasenta sudah lepas dari tempatnya dapat dipakai
beberapa perasat, yaitu (2,16):
 Perasat Kustner : tangan kanan meregangkan tali pusat, tangan kiri
menekan daerah diatas simfisis. Bila tali pusat masuk kembali kedalam
vagina, berarti tali pusat belum lepas.

9
 Perasat Strassman : tangan kanan meregangkan tali pusat, tangan kiri
mengetok fundus uterus. Bila terasa pada tali pusat yang diregangkan
berarti tali pusat belum terlepas.
 Perasat Klein : pasien disuruh mengedan, tali pusat tampak turun ke
bawah. Bila pengedanannya berhenti dan tali pusat masuk kembali ke
dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus.

Pemeriksaan pervaginam
Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis
servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus. Pada
pemeriksaan plasenta yang lahir menunjukkan bahwa ada bagian tidak ada
atau tertinggal, dan pada eksplorasi secara manual terdapat kesulitan dalam
pelepasan plasenta atau ditemukan sisa plasenta.(6,11)
Tabel: Identifikasi jenis retensio plasenta dan gambaran klinisnya

1.9 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan darah untuk menilai peningkatan alfa fetoprotein.
Peningkatan alfa fetoprotein berhubungan dengan plasenta akreta.(11)

10
2. USG, diagnosis plasenta akreta melalui pemeriksaan USG menjadi
lebih mudah bila implantasi plasenta berada di SBU bagian depan.
Lapisan miometrium dibagian basal plasenta terlihat menipis atau
menghilang. Pada plasenta perkreta vena-vena subplasenta terlihat
berada di bagian dinding kandung kemih. (2)
3. MRI, yang lebih baru adalah pemakaian magnetic resonance imaging
(MRI) untuk mendiagnosis plasenta akreta. Diagnosis lebih mudah
ditegakkan jika tidak ada pendataran antara plasenta atau bagian sisa
plasenta dengan miometrium pada perdarahan postpartum. (6)
1.10 Penatalaksanaan
Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak
akan menimbulkan perdarahan. Bila terjadi banyak perdarahan atau bila
pada persalinan-persalinan yang lalu ada riwayat perdarahan postpartum,
maka tak boleh menunggu, sebaiknya plasenta langsung dikeluarkan dengan
tangan (manual plasenta). Juga kalau perdarahan sudah lebih dari 500 cc
atau satu nierbekken, sebaiknya plasenta langsung dikeluarkan secara
manual dan diberikan uterotonika, meskipun kala III belum lewat setengah
jam. Plasenta dapat juga tidak lahir karena kandung kemih atau rektum
penuh, karena itu keduanya harus dikosongkan. (1,2,9)
Tindakan yang dapat dikerjakan pada retensio plasenta adalah:(1,8,11,12)
1. Manual plasenta
Manual plasenta adalah tindakan invasif dan, kadang memerlukan
anestesia. Manual plasenta harus dilakukan sesuai indikasi dan oleh
operator berpengalaman. Indikasi manual plasenta meliputi: retensio
plasenta dan perdarahan banyak pada kala III yang tidak dapat
dihentikan dengan uterotonika dan masase, suspek ruptur uterus, dan
retensi sisa plasenta. (3,9,11)
Langkah-langkah dalam tindakan manual plasenta:
 Lakukan bila plasenta tidak lahir setelah 30 menit bayi lahir dan
telah disertai manajeman aktif kala III.

11
 Dan atau tidak lengkap keluarnya plasenta dan perdarahan
berlanjut.
 Lakukan persetujuan tindakan medis (informed consent).
 Berikan sedatif diazepam 10 mg IM/IV.
 Antibiotika dosis tunggal (profilaksis):
- Ampisilin 2 g IV + metronidazol 500 mg IV, ATAU
- Cefazolin 1 g IV + metronidazol 500 mg IV
 Cuci tangan dan pasang sarung tangan panjang steril.
 Jepit tali pusat dengan klem dan tegangkan sejajar dengan lantai.
 Masukkan tangan dalam posisi obstetri dengan menelusuri bagian
bawah tali pusat seperti gambar berikut:

 Tangan sebelah dalam menyusuri tali pusat hingga masuk ke dalam


kavum uteri, sedangkan tangan di luar menahan fundus uteri, untuk
mencegah inversio uteri.

12
 Menggunakan lateral jari tangan, disusuri dan dicari pinggir
perlekatan
(insersi) plasenta.
 Tangan obstetri dibuka menjadi seperti memberi salam, lalu jari-jari
dirapatkan.
 Tentukan tempat implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang
paling bawah.
 Gerakkan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke arah
kranial hingga seluruh permukaan plasenta dilepaskan.
 Jika plasenta tidak dapat dilepaskan dari permukaan uterus,
kemungkinan plasenta akreta. Siapkan laparotomi untuk histerektomi
supravaginal.
 Pegang plasenta dan keluarkan tangan bersama plasenta.
 Pindahkan tangan luar ke suprasimfisis untuk menahan uterus saat
plasenta dikeluarkan.
 Eksplorasi untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih
melekat pada dinding uterus.
 Periksa plasenta lengkap atau tidak, bila tidak lengkap, lakukan
eksplorasi ke dalam kavum uteri.

13
Gambar: manual plasenta (3)
A: Satu tangan menangkap fundus dan tangan lainnya dimasukkan ke
dalam rongga uterus dan jari-jari disapu dari sisi ke sisi saat
plasenta mulai terlepas
B: Ketika plasenta terlepas, genggam dan keluarkan.
2. Kuretase
Seringkali pelepasan sebagian plasenta dapat dilakukan dengan
manual plasenta dan kuretase digunakan untuk mengeluarkan sebanyak
mungkin jaringan yang tersisa. Kuretase mungkin diperlukan jika
perdarahan berlanjut atau pengeluaran manual tidak lengkap. (4,10)
3. Tindakan bedah
Jika faktor risiko dan gambaran prenatal sangat mendukung
diagnosis perlengketan plasenta, Cesarean hysterectomy umumnya di
rencanakan, terutama pada pasien yang tidak berharap untuk
mempertahankan kehamilan. Jika plasenta akreta ditemukan setelah
melahirkan bayi, plasenta sesegera mungkin dikeluarkan untuk
mengosongkan cavum uteri. Walaupun dalam banyak kasus pengeluaran
plasenta akan menimbulkan perdarahan massif yang akan berakhir
dengan histerktomi. Pada kasus plasenta akreta komplet, tindakan terbaik
(8,10)
ialah histerektomi. Jika perlengketan tidak terdiagnosis sebelum
melahirkan dan perdarahan postpartum terjadi saat manual plasenta,
beberapa tindakan dapat menjadi pilihan, tergantung keinginan pasien
dan keadaan cerviks. Jika tidak ada kemungkinan untuk meneruskan

14
persalinan atau hemodinamik tidak stabil, histerektomi harus dilakukan.
Disisi lain, beberapa usaha dapat dilakukan untuk mempertahankan
uterus dengan tindakan bedah (ligasi arteri hipogastrika) atau secara
radiologik (teknik embolisasi dari arteri uterina). (15)
Dalam kasus plasenta perkreta, darah akan terus mengalir melalui
daerah invasi ketika sebagian plasenta dilepaskan karena tidak adanya
ligasi fisiologis miometrium yang biasanya akan membendung aliran
darah. Jika kasus ini ditemukan saat operasi caesar maka hemostasis
dapat dicapai melalui jahitan pada miometrium, atau melalui ligasi arteri
uterina maupun arteri iliaka interna. Namun, histerektomi pun biasanya
diperlukan. (4)
1.11 Komplikasi
Plasenta yang terlalu melekat, walaupun jarang dijumpai, memiliki
makna klinis yang cukup penting karena morbiditas dan, kadang - kadang
mortalitas yang timbulkannya. Komplikasinya meliputi : (3,11)
a. Perforasi uterus
b. Infeksi
c. Inversio uteri
d. Syok (hipovolemik)
e. Perdarahan postpartum
f. Subinvolution
g. Histerektomi
1.12 Pencegahan
Pencegahan resiko retensio plasenta adalah dengan cara mempercepat
proses separasi dan melahirkan plasenta dengan memberikan uterotonika
segera setelah bayi lahir (oxytosin 10 IU), dan melakukan penegangan tali
pusat terkendali. Usaha ini disebut juga penatalaksanaan aktif kala III
(1,2,3,9,11)
.
Manajemen aktif kala III yaitu :
1. Beritahukan kepada ibu bahwa penolong akan menyuntikkan
oksitosin untuk membantu uterus berkontraksi baik.

15
2. Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, berikan suntikan
oksitosin 10 unit IM di sepertiga paha atas bagian distal lateral
(lakukan aspirasi sebelum menyuntikkan oksitosin)
Jika tidak ada oksitosin:
 Rangsang puting payudara ibu atau minta ibu menyusui
untuk menghasilkan oksitosin alamiah.
 Beri ergometrin 0,2 mg IM. Namun tidak boleh diberikan
pada pasien preeklampsia, eklampsia, dan hipertensi karena
dapat memicu terjadi penyakit serebrovaskular
3. Dengan menggunakan klem, 2 menit setelah bayi lahir, jepit tali
pusat pada sekitar 3 cm dari pusat (umbilikus) bayi (kecuali
pada asfiksia neonatus, lakukan sesegera mungkin). Dari sisi
luar klem penjepit, dorong isi tali pusat ke arah distal (ibu) dan
lakukan penjepitan kedua pada 2 cm distal dari klem pertama
4. Potong dan ikat tali pusat.
 Dengan satu tangan, angkat tali pusat yang telah dijepit
kemudian gunting tali pusat di antara 2 klem tersebut (sambil
lindungi perut bayi).
 Ikat tali pusat dengan benang DTT/steril pada satu sisi
kemudian lingkarkan kembali benang ke sisi berlawanan dan
lakukan ikatan kedua menggunakan simpul kunci.
 Lepaskan klem dan masukkan dalam larutan klorin 0,5%.
5. Tempatkan bayi untuk melakukan kontak kulit ibu ke kulit bayi.
Letakkan bayi dengan posisi tengkurap di dada ibu. Luruskan
bahu bayi sehingga bayi menempel dengan baik di dinding
dada-perut ibu. Usahakan kepala bayi berada di antara payudara
ibu dengan posisi lebih rendah dari puting payudara ibu.
6. Selimuti ibu dan bayi dengan kain hangat dan kering dan pasang
topi pada kepala bayi
7. Pindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari
vulva

16
8. Letakkan satu tangan di atas kain yang ada di perut ibu, tepat di
tepi atas simfisis dan tegangkan tali pusat dan klem dengan
tangan yang lain.
9. Setelah uterus berkontraksi, tegangkan tali pusat ke arah bawah
sambil tangan yang lain mendorong uterus ke arah dorso-kranial
secara hati-hati, seperti gambar berikut, untuk mencegah
terjadinya inversio uteri.
 Jika uterus tidak segera berkontraksi, minta ibu, suami atau
anggota keluarga untuk menstimulasi puting susu.
 Jika plasenta tidak lahir setelah 30-40 detik, hentikan
penegangan tali pusat dan tunggu hingga timbul kontraksi
berikutnya dan ulangi prosedur di atas.
10. Lakukan penegangan dan dorongan dorso-kranial hingga
plasenta terlepas, lalu minta ibu meneran sambil menarik tali
pusat dengan arah sejajar lantai dan kemudian ke arah atas,
mengikuti poros jalan lahir dengan tetap melakukan tekanan
dorso-kranial, seperti gambar berikut.

Gambar: Melakukan peregangan tali pusat terkendali


 Jika tali pusat bertambah panjang, pindahkan klem hingga
berjarak sekitar 5-10 cm dari vulva dan lahirkan plasenta
 Jika plasenta tidak lepas setelah 15 menit menegangkan tali
pusat:
- Beri dosis ulangan oksitosin 10 unitIM

17
- Lakukan kateterisasi (aseptik) jika kandung kemih penuh
- Minta keluarga untuk menyiapkan rujukan
- Ulangi penegangan tali pusat 15 menit berikutnya
- Segera rujuk jika plasenta tidak lahir dalam 30 menit
setelah bayi lahir
- Bila terjadi perdarahan, lakukan plasenta manual.
11. Saat plasenta terlihat di introitus vagina, lanjutkan kelahiran
plasenta dengan menggunakan kedua tangan.
 Jika selaput ketuban robek, pakai sarung tangan DTT atau
steril untuk melakukan eksplorasi sisa selaput kemudian
gunakan jari jari tangan atau klem DTT atau steril untuk
mengeluarkan bagian selaput yang tertinggal.
12. Segera setelah plasenta dan selaput ketuban lahir, lakukan
masase uterus dengan meletakkan telapak tangan di fundus dan
lakukan masase dengan gerakan melingkar secara lembut hingga
uterus berkontraksi (fundus teraba keras).
 Lakukan tindakan yang diperlukan jika uterus tidak
berkontraksi setelah 15 detik melakukan rangsangan taktil/
masase.
13. Periksa kedua sisi plasenta baik yang menempel ke ibu maupun
janin dan pastikan bahwa selaputnya lengkap dan utuh
1.13 Prognosis
Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan
sebelumnya serta efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang
tepat sangat penting.
2. Perdarahan pasca-salin
2.1 Definisi
Perdarahan pasca-salin (PPS) secara umum didefinisikan sebagai
kehilangan darah dari saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan
pervaginam atau >1000 ml setelah melahirkan secara seksio sesarea.
Perdarahan pasca-salin dapat bersifat minor (500-1000 ml) atau pun mayor

18
(>1000 ml). Perdarahan mayor dapat dibagi menjadi sedang (1000-2000 ml)
atau berat (>2000 ml). (1,2,3,17,18).
2.2 Etiologi
Perdarahan pasca-salin dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu kelemahan
tonus uterus untuk menghentikan perdarahan dari bekas insersi plasenta
(tone), robekan jalan lahir dari perineum, vagina, sampai uterus (trauma), sisa
plasenta atau bekuan darah yang menghalangi kontraksi uterus yang adekuat
(tissue), dan gangguan faktor pembekuan darah (thrombin). (1,2,3,17.18).

2.3 Klasifikasi
Perdarahan pasca-salin diklasifikan menjadi PPS primer (primary post
partum haemorrhage) dan PPS sekunder (secondary post partum
haemorrhage). Perdarahan pasca-salin primer adalah perdarahan yang
terjadi dalam 24 jam pertama pasca-salin, sedangkan PPS sekunder
merupakan perdarahan yang terjadi setelah periode 24 jam tersebut (1,3,14,17).
2.4 Diagnosis
Beberapa teori telah menyatakan bahwa pengukuran kehilangan darah
saat persalinan bertujuan untuk memastikan diagnosis PPS pada saat yang
tepat dan memperbaiki luaran. Meskipun demikian, belum ada studi yang
secara langsung dapat menjawab pertanyaan penelitian tersebut (1,3,17).
Perkiraan kehilangan darah saat persalinan bersifat subyektif dan
umumnya tidak akurat. Penelitian telah menunjukkan bahwa tenaga
kesehatan peresional secara konsisten meremehkan kehilangan darah yang
sebenarnya. Beberapa penelitian menyarankan penggunaan 10%
penurunan nilai hematokrit untuk menentukan PPS, tetapi perubahan ini
tergantung pada waktu pemeriksaan dan jumlah resusitasi cairan yang
diberikan.(1,3,17).
Tabel: Manifestasi Klinis Perdarahan Pasca-Salin (17,18)

19
2.5 Penatalaksanaan
Bila PPS terjadi, harus ditentukan dulu kausa perdarahan, kemudian
penatalaksanaannya dilakukan secara simultan, meliputi perbaikan tonus
uterus, evakuasi jaringan sisa, dan penjahitan luka terbuka disertai dengan
persiapan koreksi faktor pembekuan. Tahapan penatalaksanaan PSS
berikut ini dapat disingkat dengan istilah HAEMOSTASIS (17)
Bila terjadi atonia uterus, lakukan perbaikan pada tonus uterus. Bila
kausa perdarahan berasal dari tissue, lakukan evakuasi jaringan sisa
plasenta. Lakukan penjahitan luka terbuka bila terjadi trauma dan koreksi
faktor pembekuan bila terdapat gangguan pada thrombin (17)
Penatalaksanaan dilakukan dengan prinsip “HAEMOSTASIS”, yaitu: (17)
1. Ask for HELP
Segera meminta pertolongan atau dirujuk ke rumah sakit bila
persalinan di bidan/PKM. Kehadiran dokter obstetri dan ginekologi,
bidan, ahli anestesi, dan hematologis menjadi sangat penting.
Pendekatan multidisipliner dapat mengoptimalkan monitoring dan
pemberian cairan. Monitoring elektrolit dan parameter koagulasi
adalah data yang penting untuk penentuan tahap tindakan berikutnya.
2. Assess (vital parameter, blood loss) dan Resuscitate
Penting sekali segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat
mungkin dan menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik

20
overestimate jumlah darah yang hilang dan bersikap proaktif daripada
underestimate dan bersikap menunggu/pasif.
Nilai tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah, dan bila fasilitas
memungkinkan, saturasi oksigen harus dimonitor. Saat memasang
jalur infus dengan abocath 14G-16G, harus segera diambil sampel
darah untuk memeriksa hemoglobin, profil pembekuan darah,
elektrolit, penentuan golongan darah, serta crossmatch (RIMOT =
Resusitasi, Infus 2 jalur, Monitoring keadaan umum, nadi dan tekanan
darah, Oksigen, dan Team approach). Diberikan cairan kristaloid dan
koloid secara cepat sambil menunggu hasil crossmatch.
3. Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood, Ecbolics
(Oxytocin, Ergometrin or Syntometrine bolus IV/ IM
Sementara resusitasi sedang berlangsung, dilakukan upaya
menentukan etiologi PPS. Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan
bebas di abdomen, bila ada risiko trauma (bekas seksio sesarea, partus
buatan yang sulit) atau bila kondisi pasien lebih buruk daripada
jumlah darah yang keluar. Harus dicek ulang kelengkapan plasenta
dan selaput plasenta yang telah berhasil dikeluarkan. Bila perdarahan
terjadi akibat morbidly adherent placentae saat seksio sesarea dapat
diupayakan haemostatic sutures, ligasi arteri hipogastrika dan
embolisasi arteri uterina. Morbidly adherent placentae sering terjadi
pada kasus plasenta previa pada bekas seksio sesarea
Bila retensio plasenta/sisa plasenta terjadi setelah persalinan
pervaginam, dapat digunakan tamponade uterus sementara menunggu
kesiapan operasi/laparotomi.
4. Massage the uterus
Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus segera
ditangani dengan masase uterus dan pemberian obat-obatan
uterotonika. Bila uterus tetap lembek harus dilakukan kompresi
bimanual interna dengan menggunakan kepalan tangan di dalam untuk
menekan forniks anterior sehingga terdorong ke atas dan telapak

21
tangan di luar melakukan penekanan pada fundus belakang sehingga
uterus terkompresi.
5. Oxytocin infusion/ prostaglandins – IV/ per rectal/ IM/
intramyometrial
Dapat dilakukan pemberian oksitosin 40 unit dalam 500 cc
normal salin dengan kecepatan 125 cc/jam. Hindari kelebihan cairan
karena dapat menyebabkan edema pulmoner hingga edema otak yang
pada akhimya dapat menyebabkan kejang karena hiponatremia. Hal
ini timbul karena efek antidiuretic hormone (ADH) - like effect dan
oksitosin; sehingga monitoring ketat masukan dan keluaran cairan
sangat esensial dalam pemberian oksitosin dalam jumlah besar.
Pemberian ergometrin sebagai lini kedua dari oksitosin dapat
diberikan secara intramuskuler atau intravena. Dosis awal 0,2 mg
(secara perlahan), dosis lanjutan 0,2 mg setelah 15 menit bila masih
diperlukan. Pemberian dapat diulang setiap 2-4 jam bila masih
diperlukan. Dosis maksimal adalah 1 mg atau 5 dosis per hari.
Kontraindikasi pada pemberian ergometrin yaitu preeklampsia,
vitiumcordis, dan hipertensi Bila PPS masih tidak berhasil diatasi,
dapat diberikan misoprostol per rektal 800-1000ug.
Pada perdarahan masif perlu diberikan transfusi darah, bahkan
juga diperlukan pemberian fresh frozen plasma (FFP) untuk
menggantikan faktor pembekuan yang turut hilang. Direkomendasikan
pemberian 1 liter FFP (15 mL/kg) setiap 6 unit darah. Pertahankan
trombosit di atas 50.000, bila perlu diberikan transfusi trombosit.
Kriopresipitat direkomendasikan bila terjadi DIC yang ditandai
dengan kadar fibrinogen <1 gr/dl (10 gr/L).
6. Shift to theatre – exclude retained products and trauma/ bimanual
compression (konservatif; non-pembedahan) Bila perdarahan
masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien ke ruang operasi.
Pastikan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya sisa plasenta atau
selaput ketuban. Bila diduga ada sisa jaringan, segera lakukan

22
tindakan kuretase. Kompresi bimanual dapat dilakukan selama ibu
dibawa ke ruang operasi
7. Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif; non-
pembedahan)
Bila perdarahan masih berlangsung, pikirkan kemungkinan
adanya koagulopati yang menyertai atonia yang refrakter. Tamponade
uterus dapat membantu mengurangi perdarahan. Tindakan ini juga
dapat memberi kesempatan koreksi faktor pembekuan. Dapat
dilakukan tamponade test dengan menggunakan Tube Sengstaken
yang mempunyai nilai prediksi positif 87% untuk menilai
keberhasilan penanganan PPS. Bila pemasangan tube tersebut mampu
menghentikan perdarahan berarti pasien tidak memerlukan tindakan
bedah lebih lanjut. Akan tetapi, bila setelah pemasangan tube,
perdarahan masih tetap masif, maka pasien harus menjalani tindakan
bedah.
Pemasangan tamponade uterus dengan menggunakan ballon
relatif mudah dilaksanakan dan hanya memerlukan waktu beberapa
menit. Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan dan mencegah
koagulopati karena perdarahan masif serta kebutuhan tindakan bedah.
Hal ini perlu dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan terapi
medis.
Pemasangan tamponade uterus dapat menggunakan Bakri SOS
baloon dan tampon balon kondom kateter. Biasanya dimasukkan 300-
400 cc cairan untuk mencapai tekanan yang cukup adekuat sehingga
perdarahan berhenti. Balon tamponade Bakri dilengkapi alat untuk
membaca tekanan intrauterin sehingga dapat diupayakan mencapai
tekanan mendekati tekanan sistolik untuk menghentikan perdarahan.
Segera libatkan tambahan tenaga dokter spesialis kebidanan dan
hematologis sambil menyiapkan ruang ICU.

23
8. Apply compression sutures – B-Lynch/ modified (pembedahan
konservatif)
Dalam menentukan keputusan, harus selalu dipertimbangkan
antara mempertahankan hidup dan keinginan mempertahankan
fertilitas. Sebelum mencoba setiap prosedur bedah konservatif, harus
dinilai ulang keadaan pasien berdasarkan perkiraan jumlah darah yang
keluar, perdarahan yang masih berlangsung, keadaan hemodinamik,
dan paritasnya.
Keputusan untuk melakukan laparotomi harus cepat setelah
melakukan informed consent terhadap segala kemungkinan tindakan
yang akan dilakukan di ruang operasi. Penting sekali kerja sama yang
baik dengan ahli anestesi untuk menilai kemampuan pasien bertahan
lebih lanjut pada keadaan perdarahan setelah upaya konservatif gagal.
Apabila tindakan B-Lynch tidak berhasil, dipertimbangkan untuk
dilakukan histerektomi.
Ikatan kompresi yang dinamakan Ikatan B-Lynch (B-Lynch
suture) pertama kali diperkenalkan oleh Christopher B-Lynch. Benang
yang dapat dipakai adalah kromik catgut no.2, Vicryl 0 (Ethicon),
chromic catgut 1 dan PDS 0 tanpa adanya komplikasi. Akan tetapi,
perlu diingat bahwa tindakan B-Lynch ini harus didahului tes
tamponade yaitu upaya menilai efektifitas tindakan B- Lynch dengan
cara kompresi bimanual uterus secara langsung di meja operasi.
9. Systematic pelvic devascularization – uterine/ ovarian/ quadruple/
internal iliac
(pembedahan konservatif) Ligasi a. uterina dan ligasi a. Hipogastrika.
10. Interventional radiologis, if appropriate, uterine artery
embolization
(pembedahan konservatif)
11. Subtotal/ total abdominal hysterectomy (non-konservatif)

24
3. Penilaian Klinik derajat syok
Tabel II.3. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok
Volume Tekanan Darah Tanda dan
Derajat Syok
Kehilangan Darah (sistolik) Gejala
500-1.000 mL Palpitasi,
Normal Terkompensasi
(10-15%) takikardia, pusing
1000-1500 mL (15- Penurunan ringan (80- Lemah, takikardia,
Ringan
25%) 100 mm Hg) berkeringat
1500-2000 mL (25- Penurunan sedang (70- Gelisah, pucat,
Sedang
35%) 80 mm Hg) oliguria
2000-3000 mL (35- Penurunan tajam (50- Pingsan, hipoksia,
Berat
50%) 70 mm Hg) anuria

Grading Syok Hipovolemik

25
26
BAB III
ILUSTRASI KASUS

3.1 Identitas pasien

Nama : Ny NG Nama suami : Tn J


Umur : 32 tahun Umur : 38 tahun
Pendidikan : SD Pendidikan : SLTP
Agama : Islam Agama : Islam
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Petani
Alamat : Jl, m.sholeh busilam Alamat : Jl, m.sholeh busilam
baru baru
No MR : 413765

3.2 Anamnesis
Seorang pasien masuk bangsal kebidanan RSUD Kota Dumai pada
tanggal 02 oktober 2018, jam 17:30 Wib,pindahan dari ICU RSUD kota
Dumai.
Keluhan utama:
Plasenta tidak lahir ± 1 jam setelah bayi lahir disertai dengan perdarahan
pada jalan lahir.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien post partum (P5A0H5). HPHT : 16/12/2017. Cukup bulan (39
minggu). Masuk ke IGD RSUD kota Dumai (00:40 wib, 01 oktober 2018)
dengan keluhan plasenta tidak lahir ± 1 jam setelah lahirnya bayi. perdarahan
dari jalan lahir (+), mengalir. Pasien melahirkan di klinik bidan Juliana di
basilam baru pada pukul 23:12 wib, lahir bayi dengan jenis kelamin laki-laki,
berat badan lahir 3500 gram. Bayi lahir spontan. ruptur perineum (-) ,
episiotomi (-).
Pasien telah mendapatkan injeksi oksitosin 1 ampul secara IM (23:14
wib), lalu mendapat tambahan oksitosin 1 ampul secara IM (23:29 wib) dan
telah dicoba pengeluran plasenta oleh bidan penolong tetapi tidak berhasil,
plasenta tidak lahir >30 menit, akhirnya pasien diputuskan untuk dirujuk. di
pasang infus RL.

27
Pasien tiba di IGD pukul (00:40 wib) Dilakukan manual plasenta, manual
plasenta berhasil dilakukan pukul 00:58 wib, dengan kesan plasenta tidak
lengkap. Ruptur (+).
Riwayat hamil muda
Mual-mual dan muntah dari awal kehamilan hingga usia kehamilan 3
bulan, tidak menganggu aktivitas, perdarahan (-).
Riwayat hamil tua
Pusing-pusing, mual dan muntah (-), bengkak pada kaki (-), perdarahan (-)
Antenatal care
 1 kali pada trimester pertama, dengan bidan
 1 kali pada trimester ke dua, dengan bidan
 3 kali pada trimester ketiga, dengan bidan.
Riwayat makan obat
Konsumsi multivitamin selama kehamilan
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat keluhan yang sama (disangkal), riwayat hepatitis (disangkal)
hipertensi selalama kehamilan (disangkal), DM (disangkal), riwayat alergi dan
asma (disangkal).
Riwayat penyakit keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang pernah mengalami keluhan sama seperti
pasien saat ini. Riwayat penyakit hipertensi (+) ibu pasien , penyakit jantung,
ginjal, diabetes mellitus, dan asma dalam keluarga disangkal.
Riwayat mestruasi
Menstruasi 6-7 hari, rutin setiap bulan, 1-2x ganti pembalut, nyeri perut
selama menstruasi (-), menarche usia 15 tahun.
Riwayat perkawinan
Menikah 1 kali, pada usia ± 19 tahun, lamanya pernikahan 11 tahun.
Riwayat kehamilan/abortus/persalinan
Partitas 5, Abortus 0, Hidup 5

Tahun lahir Ditolong Jenis kelamin Berat lahir Keadaan saat ini
2008 Bidan Laki-laki 5200 gram Hidup
28
2009 Bidan Perempuan 3500 gram Hidup
2014 Rsud Laki-laki 4200 gram Hidup
2016 Bidan Perempuan 3400 gram Hidup
2018 Bidan Laki-laki 3500 gram Hidup

Riwayat kontrasepsi
Pasien tidak pernah menggunakan kontrasepsi
3.3 Pemeriksaan fisik

- Keadaan umum: tampak sakit - Suhu: 36,0°C


sedang - Tinggi badan: 150 cm
- Kesadaran: kompos mentis - Berat badan: 49 kg
- Tekanan darah: 100/60 mmHg - IMT: 21,7
- Nadi : 110x/menit - Status gizi: Normoweight
- Napas: 20x/menit
- Kepala : Normocephal
- Konjungtiva: Anemis (+/+)
- Pupil: Isokor
- Leher: Tidak teraba pembesaran KGB
- Thoraks: Suara napas Vesikular +/+, simetris
- Abdomen: Soepel, Bising usus (+)
- Ekstremitas: edema -/-, akral hangat, CRT: <2 detik
3.4 Status obstetrik
- Inspeksi
 Abdomen : striae gravidarum (+), linea alba (+), bekas operasi (-),
datar.
 Vulva: tampak bercak darah
- Palpasi : TFU 2 jari dibawah pusat, nyeri tekan perut bawah
- VT: Ø 1-2 cm

29
3.5 Pemeriksaan penunjang
Laboratorium 01/10/2018
Hematologi Imuno Serologi Faal Hepar KGD
Darah lengkap HBsAG :(-) SGOT: 17 GDR: 223 mg/dl
Golongan darah : AB HIV/AIDS: non SGPT: 8
Hb: 6,2 gr/dl reaktif
Leukosit: 25,900 mm³
Trombosit: 183,000mm³
Eritrosit: 2,150,000mm³
HT: 17%
Hemostatis Faal ginjal
Masa perdarahan : 3’ Ureum: 21
Masa pembekuan : 4’ Kreatinin:1,1
Ultrasonografi 02/10/2018

Gambar: USG abdomen (2 oktober 2018)


Uterus: tampak sisa jaringan plasenta berukuran ± 60,2x52,6x44,7 mm
Kesan : plasenta rest
3.6 Diagnosis
 Syok hipovolemik grade II ec PPH ec Retensio Plasenta pada P5
Post Partum spontan.
 Post manual plasenta + placenta rest + anemia ec perdarahan
3.7 Terapi
Terapi awal saat di IGD
IFVD 2 line (00:40) : RL guyur 2 kolf
RL guyur lanjut Hes 20 gtt/i
Pasien apnue (00:50): bagging > inj diazepam IV 2 amp
Manual plasenta (00:58): berhasil, kesan kurang lengkap, rupture (+)
HL(+)
Gastrul (misoprostol) 2 tab (rectal) (01:00 wib)
Inj syntosin 2 amp (01:05)
Inj metergin 2 amp (01:05)

30
Inj cefotaxime 1 gr/12 jam IV (01:10 wib)
Inj ketorolac 30mg/8jam IV (02:25 wib)
3.8 Prognosis
Dubia ad bonam

31
3.9 Follow-up

Tanggal / Hari SOAP


01 oktober 2018/ S: Plasenta tidak lahir ± 1 jam setelah bayi lahir,
senin
dengan perdarahan jalan lahir (+) merembes. Pasien partus
IGD
pukul 23:12
O: TD: 60/~ mmHg
Nadi: tidak teraba
Napas: 46x/i
Suhu: 36,0°C
SpO2: 100%

 Hb: 6,2 gr/dl


 Leukosit: 25,900 mm³
 Trombosit: 183,000mm³
 Eritrosit: 2,150,000mm³

A: Syok hipovolemik grade IV ec PPH ec Retensio Plasenta


pada P5 Post Partum spontan.

P: IFVD 2 line (00:40) : RL guyur 2 kolf


RL guyur lanjut Hes 20 gtt/i
Pasien apnue (00:50): bagging > inj diazepam IV 2 amp
Manual plasenta (00:58): berhasil, kesan kurang lengkap,
rupture (+) HL(+)
Gastrul (misoprostol) 2 tab (rectal) (01:00 wib)
Inj syntosin 2 amp (01:05)
Inj metergin 2 amp (01:05)
Inj cefotaxime 1 gr/12 jam IV (01:10 wib)
Inj ketorolac 30mg/8jam IV (02:25 wib)
Pindah ICU

32
01 oktober 2018/ S: nyeri perut bagian bawah berkurang, perdarahan (+), lemas,
selasa ASI (-), BAB (-) . BAK (-), penurunan nafsu makan.
ICU
O: TD: 80/40mmHg
Nadi: 101x/i
Napas: 20x/i
Suhu: 36,4°C
Konjungtiva anemis (+), tampak pucat.
A: Syok hipovolemik grade II ec Retensio Plasenta pada
P5 Post Partum spontan + post manual plasenta +
anemia sedang ec perdarahan
P: IFVD D5 30 gtt/i
Inj cefotaxime 1 gr/12 jam
Metronidazole 1 gr/ 12 jam
Gastrul 2x1 tab
Nonemi 1x1 tab
Paracetamol 3x1 tab
Rencana tranfusi 4 kolf
Rencana USG
Acc pindah ruangan Kebidanan

2 oktober 2018 S: nyeri perut bagian bawah, perdarahan (+), BAB (-), BAK
(+), ASI (+). Pasien menolak kuretase

O: TD: 90/50 mmHg


Nadi: 80x/i
Napas: 18x/i
Suhu: 36,3°C
Konjungtiva anemis (+)
TFU : 2 Jari dibawah pusat
USG abdomen
Uterus: tampak sisa jaringan plasenta berukuran ±
60,2x52,6x44,7 mm
Kesan : plasenta rest
 Hb: 7,2 gr/dl
 Leukosit: 29,600 mm³
 Trombosit: 133,000mm³
 Eritrosit: 2,440,000mm³

33
 HT: 19%

A:Plasenta rest (H2) + anemia sedang

P: IFVD RL : D5 30gtt/i
Post tranfusi 2 kolf
Cefixim 2x1
Nonemi 1x1
Paracetamol 3x1 tab
Analtram 2x1
3 oktober 2018 S: nyeri perut bagian bawah (sedikit), perdarahan (+) bercak,
BAB (-), BAK (+), ASI (+).

O: TD: 100/60 mmHg


Nadi: 110x/i
Napas: 18x/i
Suhu: 36,5°C
Konjungtiva anemis (+)
TFU: 2 jari dibawah pusat

 Hb: 6,8 gr/dl ( post kolf ke 3 )


 Leukosit: 11,300 mm³
 Trombosit: 131,000mm³
 Eritrosit: 2,330,000mm³
 HT: 19%
A: plasenta rest (H3) + anemia sedang

P: IFVD RL 20gtt/i
Paracetamol 3x1
Nonemi 1x1
Gastrul 2x1
Analtram 2x1
Cefixime 2x1
4 oktober 2018 S: nyeri perut bagianm bawah berkurang, perdarahan (+)
flek, BAB (-), BAK (+), ASI (+).

O: TD: 110/80 mmHg


Nadi: 88x/i
Napas: 20x/i
Suhu: 36,0°C

34
Konjungtiva anemis (-)
TFU : 2 jari bawah pusat

 Hb: 8,9 gr/dl


 Leukosit: 14,600 mm³
 Trombosit: 176,000mm³
 Eritrosit: 2,950,000mm³
 HT: 25%

A: Plasenta rest (H4) + Anemia ringan

P: Paracetamol tab 3x1


Nonemi 1x1
Gastrul 2x1
Analtram 2x1
Cefixime 2x1
Lactamor 2x1

35
5 oktober 2018 S: nyeri perut sudah tidak ada, perdarahan (+) flek, BAB (+),
BAK (+), ASI (+). Pasien menolak kuretase

O: TD: 120/80mmHg
Nadi: 80x/i
Napas: 20x/i
Suhu: 36,2°C
Konjungtiva anemis (-)
TFU : 2 Jari bawah pusat

 Hb: 9,4 gr/dl


 Leukosit: 18,100 mm³
 Trombosit: 185,000mm³
 Eritrosit: 3,080,000mm³
 HT: 26%
A: plasenta rest (H5)

P: Paracetamol tab 3x1


Nonemi 1x1
Gastrul 2x1
Analtram 2x1
Cefixime 2x1
Lactamor 2x1
PBJ kontrol ulang ke poli KB tgl 10 oktober 2018

36
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien post partum P5A0H5 di diagnosis dengan retensio plasenta, karena


plasenta tidak lahir ± 1 jam setelah bayi lahir. Walaupun telah mendapatkan
penanganan aktif kala III oleh bidan penolong. Sesuai dengan literatur bahwa
diagnosis retensio plasenta ditegakkan bila keadaan dimana plasenta belum lahir
½ jam atau lebih setelah kelahiran bayi (1,2,3)
Faktor risiko terjadinya retensio pada pasien ini dimungkinkan karena
Perlengketan plasenta yang abnormal, dan manajemen aktif kala III yang kurang
tepat. Seperti pada literatur bahwa retensio plasenta lebih berisiko dialami oleh
ibu dengan beberapa faktor diantaranya adalah Perlengketan plasenta yang
abnormal.(1,2) .
Pasien dicurigai mengalami perdarahan pasca-salin primer, pasien mengalami
perdarahan karena adanya plasenta yang tidak lahir 1 jam setelah lahirnya bayi.
sesuai dengan literatur dikatakan bahwa. Perdarahan pasca-salin primer adalah
perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca-salin (1,3,17). PPS dapat
disebabkan karena 4 faktor yaitu kelemahan tonus uterus untuk menghentikan
perdarahan dari bekas insersi plasenta (tone), robekan jalan lahir dari perineum,
vagina, sampai uterus (trauma), sisa plasenta atau bekuan darah yang
menghalangi kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan gangguan faktor
pembekuan darah (thrombin)(1,2,3,17.18).
pada pasien ini dicurigai mengalami perdarahan yang masif, ditandai dengan
penurunan tekanan darah (60/~ mmhg), penurunan Hb (6,2g/dl) dan HT (17%)
dan tampak pucat, lemah dan konjungtiva anemis. Hal ini sesuai dengan literatur
bahwa perkiraan kehilangan darah dapat di nilai selain dari penilaian langsung
(subjektif) dapat juga dengan pemeriksaan fisik. Perkiraan kehilangan darah 15-
25% atau 1000-1500 cc dapat ditandai dengan menurunnya tekanan darah sistolik
antara 80-100 mmhg. Selain itu dari pemeriksaan penunjang, ditemukan
penurunan Hb dan HT, 10% dibawah normal. Ditambah dengan temuan seperti
konjungtiva anemis dan tampak lemah (1,3,17,18).

37
Pada pasien ini dilakukan manual plasenta sebagai tindakan penanganan
retensio plasenta. Sesuai dengan literatur bahwa Manual plasenta harus dilakukan
sesuai indikasi dan oleh operator berpengalaman. Indikasi manual plasenta
meliputi: retensio plasenta dan perdarahan banyak pada kala III yang tidak dapat
dihentikan dengan uterotonika dan masase, suspek ruptur uterus, dan retensi sisa
plasenta(1,8,11,12). Pasien ini juga diterapi dengan pemberian uterotonik yaitu
oksitosin, metilertometrin dan misoprostol, dimana ini sesuai dengan literatur
bahwa upaya untuk menghentikan perdarahan dan involusi uterus dapat diberikan
uterotonik(17)
Setelah manual plasenta berhasil didapatkan kesan plasenta tidak lengkap,
selanjutnya pasien di lakukan pemeriksaan penunjang USG, didapatkan hasil,
tampak sisa tampak sisa jaringan plasenta berukurang ± 60,2x52,6x44,7 mm
Kesan : plasenta rest. Sebagai tindak lanjut untuk mengevakuasi sisa jaringan
adalah dengan dilatasi-kuretase(4,10). Tidak dilakukan pada pasien ini karena pasien
menolak dan ingin konsumsi obat saja.

38
BAB V
KESIMPULAN

Pasien pada kasus ini disiagnosis dengan P5A0H5 Post Partum Spontan +
Perdarahan pasca salin ec Retensio Plasenta + Post manual plasenta + placenta
rest + anemia sedang dianosis ditegakkan setelah mengumpulkan bukti-bukti yang
mendukung diagnonis yang diperoleh dari anamnesis pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penujang.
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir ½ jam atau
lebih setelah kelahiran bayi. Biasanya setelah janin lahir, beberapa menit
kemudian mulailah proses pelepasan plasenta disertai sedikit perdarahan (kira-kira
100 – 200 cc). Faktor risiko yang mempengaruhi dapat karena fungsional dan
kelainan patologi anatomi. Diagnosis retensio plasenta ditegakkan atas dasar
lamanya plasenta lahir setelah kelahiran bayi.
Perdarahan pasca-salin (PPS) secara umum didefinisikan sebagai kehilangan
darah dari saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan pervaginam. Perdarahan
pasca-salin dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu (tone), (trauma), (tissue), dan
(thrombin). diklasifikan menjadi PPS primer (primary post partum haemorrhage)
dan PPS sekunder (secondary post partum haemorrhage). Perdarahan pasca-salin
primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca-salin,
sedangkan PPS sekunder merupakan perdarahan yang terjadi setelah periode 24
jam tersebut.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Mochtar R. Sinopsis Obstetri Jilid I Edisi 2 . Jakarta: EGC; 1998.


2. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat Cetakan Ketiga. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo; 2010.
3. Cunningham, F.G. et all, 2014, Williams Obstetrics, 24st ed, McGraw-Hill
Companies
4. Weeks AD. The Retained Placenta. USA: National Center for
Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine from
African Health Sciences Makerere Medical School; 2001 diakses pada 30
agustus 2018. [Availanbe on] :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2704447/
5. Memon SR, Talpur NN, Korejo RK. Rawal Medical Journal Volume 36
Number 4 : Outcome of Patients Presenting With Retained Placenta .
Pakistan: Departemen of Obstetrics and Ginecology; 2011. diakses pada 30
agustus 2018. [Availanbe on] :
www.scopemed.org/fulltextpdf.php?mno=12733
6. DeCherney AH, Nathan L. Curren. Obstetric & Gynecologic Diagnosis &
Treatment, Ninth Edition: Postpartum Hemorrhage & Abnormal
Puerperium: Retained Placenta Tissue. California: The McGraw-Hill
Companies, Inc; 2003. 28:323-327.
7. Hill M. Placental Development. UNSW Embryology; 2013. diakses pada 30
agustus 2018. Availanbe on :
http://php.med.unsw.edu.au/embryology/index.php?
title=Placenta_Development
8. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. Obstetri Patologi
Ilmu Kesehatan Reproduksi Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004.
9. KEMENKES. Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan
dasar dan rujukan. Edisi pertama 2013.
10. Hanifa W. Ilmu Bedah Kebidanan Edisi Pertama Cetakan Ketujuh. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo; 2007.

40
11. Pernoll ML. Benson & Pernonoll’s Handbook of Obstetrics & Gynecology
Tenth Edition. New York: McGraw-Hill; 2001. 6:173-177; 11:341-342.
12. Heller L. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri (Emergencies in
Gynecology and Obstetrics). Jakarta: EGC; 1997.
13. Rohani, Sasmita R, Marisah. Asuhan Kebidanan Pada Masa Persalinan .
Jakarta: Salemba Medika; 2011.
14. B-Lynch C. A Textbook of Postpartum Hemorrhage A Comprehensive
Guide to Evaluation, Management and Surgical Intervention : Placental
Abnormalities. Singapore: Sapiens Publishing; 2006. 8:66-68, 10:90-91,
24:203-207, 31:296-297.
15. Mayo Clinic. Placenta Accreta. Mayo Foundation for Medical Education
and Research (MFMER);
16. Siswosudarmo R dan Emilia O. Obstetri fisiologi. Pustaka Cendana Press.
2008
17. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Himpunan Kedokteran
Feto Maternal. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran.
Perdarahan Pasca-Salin
18. John R Smith. 2018. Postpartum Hemorrhage. Diakses pada 1 september
2018. Available on: https://emedicine.medscape.com/article/275038-
overview#a5
,

41

Anda mungkin juga menyukai