Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

P3(+1)A0 Partus maturus 37 – 38 minggu dengan Syok hipovolemik


e.c perdarahan post partum e.c atonia uteri dan robekan jalan
lahir + Anemia

DISUSUN OLEH :

Faradila Niaoctaviani
1102015071

PEMBIMBING :
dr. Ronny, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ” P3(+1)A0 Partus maturus 37 – 38
minggu dengan Syok hipovolemik e.c perdarahan post partum e.c atonia uteri dan
robekan jalan lahir + Anemia”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi RS Kab. Bekasi.
Penulis mengucapkan terima kasih dr. Ronny, SpOG selaku pembimbing
yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan laporan
kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Bekasi, 05 Maret 2020

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Perdarahan postpartum primer (PPP) adalah bentuk perdarahan obstetri


yang paling umum dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu
di seluruh dunia. Di negara maju terdapat tren peningkatan PPP yang belum
sepenuhnya dijelaskan oleh risiko yang berubah. Pendarahan kebidanan (yang
meliputi pendarahan antepartum) bertanggung jawab atas 12 (11%) kematian ibu
di Australia pada 2008-2012 (rasio kematian ibu 0,8 per 100.000)1.
Di Indonesia, sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit,
sehingga sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post
partum terlambat sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan
umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya mortalitas tinggi. (unpad).
Di Indonesia selama tahun 2012 – 2013, perdarahan post partum masih menjadi
penyebab terbesar kematian ibu di indonesia diikuti dengan hipertensi dalam
kehamilan dan infeksi2.
Perdarahan post partum yang masif dapat menyebabkan syok. Syok adalah
suatu sindroma akut yang timbul karena disfungsi kardiovaskular dan
ketidakmampuan sistem sirkulasi memberi oksigen dan nutrien untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme organ vital. Syok menyebabkan perfusi jaringan tidak
adekuat/hipoksia selular, metabolisme selular abnormal, dan kerusakan
homeostatis mikrosirkulasi3.
Dalam laporan kasus ini akan dibahas lebih lanjut mengenai definisi,
epidemiologi, patofisiologi, klasifikasi, etiologi, faktor risiko, diagnosis,
komplikasi, cara pencegahan, tatalaksana, dan prognosis dari perdarahan
postpartum.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

American College of Obstetricians dan Gynecologists mendefinisikan


perdarahan postpartum awal sebagai setidaknya 1.000 mL kehilangan darah total
atau kehilangan darah bertepatan dengan tanda dan gejala hipovolemia dalam
waktu 24 jam setelah pengeluaran janin atau saat intrapartum. Pendarahan
postpartum primer dapat terjadi sebelum mengeluarkan plasenta hingga 24 jam
setelah melahirkan janin dan plasenta4. Pendapat lain mengatakan, Perdarahan
postpartum atau perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan 500cc atau lebih
dari jalan lahir pada persalinan spontan pervaginaam setelah kala III selesai
(setelah plasenta lahir) atau 1000cc pada persalinan sectio caesarea atau yang
berpotensi mengganggu hemodinamik ibu. Perdarahan postpartum merupakan
perdarahan masif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan jalan
lahir, dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu.
Perdarahan postpartum bukan diagnosis dan harus dicari penyebabnya, seperti
atonia uteri, trauma pada jalan lahir, sisa plasenta, atau gangguan pembekuan
darah. Keadaan postpartum dikatakan aman jika kesadaran, tanda-tanda vital,
kontraksi uterus baik dan tidak ada perdarahan5,6,7.

2.2 Epidemiologi

Sekitar 140.000 wanita di dunia meninggal akibat perdarahan postpartum


setiap tahunnya, yaitu 1 kematian setiap 4 menit. (Lippincott Williams).
Perdarahan postpartum diperkirakan merupakan 25% penyebab dari kematian ibu
hamil di seluruh dunia8. Berdasarkan insidensinya, angka kejadian perdarahan
postpartum setelah persalinan pervaginam adalah 5-8 % dan 6% setelah persalinan
dengan sectio caesarea. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum
perdarahan yang berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada
wanita hamil dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.

4
50-60% perdarahan postpartum disebabkan oleh atonia uteri, 16-17% disebabkan
oleh retensio plasenta, 23-24% disebabkan oleh sisa plasenta, 4-5% disebabkan
oleh laserasi jalan lahir, dan 0,5-0,8% disebabkan oleh gangguan pembekuan
darah.

Perdarahan postpartum berhubungan dengan peningkatan angka kematian


di Negara berkembang. Di negara kurang berkembang, penyebab utama dari
kematian maternal adalah kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya
layanan transfusi, dan kurangnya layanan operasi. Selain itu, mayoritas persalinan
tidak terjadi di rumah sakit sehingga jika terjadi perdarahan, ibu akan terlambat
mendapatkan pertolongan. Keadaan ibu saat tiba di rumah sakit umumnya sudah
memburuk dan akhirnya berujung pada kematian. Kematian ibu 45% terjadi pada
24 jam pertama setelah bayi lahir, 68-73% dalam satu minggu setelah bayi lahir,
dan 82- 88% dalam dua minggu setelah bayi lahir 9.

2.4 Fisiologis Penghentian Perdarahan Pasca Persalianan

Setelah bayi lahir, his pada uterus tetap memiliki amplitudo yang sama, hanya
frekuensinya yang berkurang. Akibat adanya his inilah uterus akan mengecil
sehingga terjadi pemisahan plasenta dengan endometrium ibu yang menyebabkan
arteri spiralis mengalami robekan7,10. Proses hemostasis pada pembuluh darah
tersebut terjadi secara utama oleh kontraksi myometrium yang menyebabkan
kompresi seluruh pembuluh- pembuluh darah tersebut 7,11. Setelah kontraksi,
kemudian dilanjutkan dengan proses pembekuan darah oleh faktor-faktor
pembekuan darah dan penutupan dari lumen pembuluh darah tersebut.7,11,12

2.3 Klasifikasi

Berdasarkan saat terjadinya perdarahan, perdarahan postpartum dapat


dibedakan menjadi perdarahan postpartum primer dan perdarahan postpartum
sekunder. Perdarahan postpartum primer terjadi dalam 24 jam pertama pasca
persalinan dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir
dan sisa sebagian plasenta. Perdarahan postpartum sekunder terjadi setelah 24 jam

5
pasca persalinan dan biasanya disebabkan oleh sisa plasenta.

Perdarahan postpartum primer paling sering disebabkan oleh atonia uteri.


Dapat juga disebabkan oleh adanya sisa plasenta, trauma pada jalan lahir (uterus,
serviks, vagina, atau hasil episiotomi), dan inversio uteri. Namun, jika perdarahan
<500cc, tetapi telah menyebabkan syok hipovolemia, maka akan tetap
dikategorikan sebagai perdarahan postpartum primer6.

2.4 Faktor Predisposisi dan Etiologi

Faktor risiko untuk perdarahan postpartum dapat dibagi menjadi 3, yaitu


faktor risiko prenatal, saat persalinan pervaginam, dan setelah sectio caesarea.
Faktor risiko prenatal adalah perdarahan sebelum persalinan, solusio plasenta,
plasenta previa, kehamilan ganda, preeklampsia, chorioamnionitis, hidramnion,
kematian janin dalam kandungan, anemia (dengan Hb <5,8), multiparitas, mioma
dalam kehamilan, gangguan faktor pembekuan darah, riwayat perdarahan
sebelumnya, dan obesitas. Faktor risiko saat persalinan pervaginam adalah kala III
yang memanjang, episiotomi, distosia, laserasi jaringan lunak, induksi atau
augmentasi persalinan dengan oksitosin, persalinan dengan bantuan alat (forceps
atau vakum), sisa plasenta, dan bayi besar (lebih dari 4000gram). Faktor risiko
perdarahan setelah sectio caesarea adalah insisi uterus klasik, amnionitis,
preeklampsia, persalinan abnormal, anestesia umum, partus preterm, dan partus
postterm. Volume darah ibu yang minimal, terutama pada ibu berat badan kurang,
preeklamsia berat/eklamsia, sepsis, atau gagal ginjal juga merupakan faktor risiko
dari perdarahan postpartum.

6
Tabel 1. Faktor Resiko Perdarahan Post Partum

7
Penyebab paling sering perdarahan post partum dikenal sebagai empat T.
Lebih dari 1 penyebab juga dapat ditemukan1.

Tabel 2. Etiologi Perdarahan Post Partum

Penyebab

Tone/ tonus (70%) Atonia uteri

Trauma (20%) - Laserasi dari serviks, vagina, dan uterus

- Ruptur uteri atau inversio uteri

- Trauma pada organ selain organ reproduksi (c/.


rupture hepar subscapular)

Tissue / Jaringan (10%) - Retensio/ sisa plasenta (kotiledon / lobus


suksenturiata), membrane atau klot bekuan darah,
abnormal plasenta

Trombin - Faktor koagulasi abnormal

Tone / tonus

Terjadinya atonia uteri ini disebabkan karena serabut miometrium yang


mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta
tidak berkontraksi. Sekitar (75-80%) perdarahan yang terjadi pada masa nifas
diakibatkan atonia uteri. Beberapa penelitian menjelaskan mengenai faktor risiko
atonia uteri meliputi overdistensi uterus (kehamilan ganda, polihidramnion,
makrosomia janin), induksi persalinan, persalinan lama, usia ibu, paritas,
preeklamsi, dan kala dua memanjang13.

Multiparitas dapat menyebabkan timbulnya jaringan fibrosis pada otot


rahim sehingga kontraksi rahim tidak akan sebaik sebelumnya dan pada akhirnya
dapat menyebabkan terjadinya atonia uteri. Persalinan yang lama dapat

8
menyebabkan inersia uteri, dimana rahim tidak lagi berkontraksi. Plasenta previa,
keadaan dimana plasenta terletak pada segmen bawah rahim, dapat menyebabkan
segmen bawah rahim tidak dapat berkontraksi dengan cukup baik untuk
menghentikan pendarahan. Pada abrupsio plasenta, uterus Couvelaire tidak dapat
berkontraksi dan dapat juga terjadi koagulasi dan produk- produk degradasi fibrin
yang menghambat kontraksi Rahim7,12. Jika fundus uteri masih setinggi pusat atau
lebih, kontraksi tidak bagus, ada perdarahan yang banyak, harus dicurigai
terjadinya atonia uteri. Dalam penghitungan penggantian darah, harus dipikirkan
adanya 500-1000cc darah yang terperangkap di dalam rahim. Pada keadaan
tertentu, atonia uteri dapat menyebabkan terjadinya inversio uteri6.

Trauma

Trauma jalan lahir dapat terjadi karena episiotomi yang melebar, robekan
spontan pada perineum, vagina, dan serviks, serta ruptura uteri, trauma karena
forceps atau ekstraksi vakum, dan memimpin persalinan sebelum pembukaan
lengkap. Faktor risiko untuk trauma jalan lahir adalah persalinan pervaginam
operatif, malpresentasi, makrosomia, episiotomi, persalinan terlalu cepat,
penggunaan cervical cerclage, insisi Duhrssen, dan distosia bahu.

Laserasi dan hematoma akibat trauma kelahiran dapat menyebabkan


kehilangan darah yang signifikan yang dapat dikurangi dengan hemostasis dan
perbaikan tepat waktu. Episiotomi meningkatkan risiko kehilangan darah dan
robekan sfingter anal; prosedur ini harus dihindari kecuali persalinan mendesak
diperlukan dan perineum dianggap sebagai faktor pembatas (ann evensen).
Laserasi dinding vagina sering dijumpai pada persalinan pervaginam operatif,
tetapi hal ini terjadi secara spontan, khususnya jika tangan janin bersamaan
dengan kepala. Laserasi dapat terjadi pada saat manipulasi pada distosia bahu.
Trauma vagina letak rendah terjadi baik secara spontan maupun karena
episiotomi. Ruptur uteri lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat sectio
sesarea sebelumnya. Uterus yang pernah menjalani sectio caesaria memiliki risiko
terjadinya ruptur pada kehamilan berikutnya10,14.

9
Inversio uteri juga merupakan penyebab perdarahan post partum pada
maternal. Inversio uteri merupaan keadaan dimana fundus uteri masuk ke kavum
uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan. Peristiwa ini jarang sekali
ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar.
Menurut penyebabnya inversio uteri yang tersering adalah kesalahan dalam
memimpin kala III, yaitu menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali pusat
pada plasenta yang belum terlepas dari inersinya 10. Inversi uterus jarang terjadi,
hanya terjadi pada 0,04% dari persalinan, dan merupakan penyebab potensial
perdarahan postpartum. Kontribusi dari kondisi lain seperti implantasi funda
plasenta, tekanan fundus, dan traksi tali pusat yang tidak tepat masih belum jelas.
Inversio uteri biasanya muncul sebagai massa abu-abu kebiruan yang menonjol
dari vagina. Pasien dengan inversi uterus mungkin memiliki tanda-tanda syok
tanpa kehilangan banyak darah4.

Ruptur uterus dapat menyebabkan perdarahan intrapartum dan postpartum.


Meskipun jarang terjadi pada rahim yang tidak rusak, ruptur uterus yang
signifikan secara klinis terjadi pada 0,8% kelahiran vagina setelah persalinan sesar
melalui insisi uterus transversal yang rendah. Induksi dan augmentasi
meningkatkan risiko ruptur uteri, terutama untuk pasien dengan persalinan sesar
sebelumnya4.

Tissue / Jaringan

Perlu dibedakan antara retensio plasenta dengan sisa plasenta (rest


placenta). Dimana retensio plasenta adalah plasenta yang belum lahir seluruhnya
dalam setengah jam (30 menit) setelah janin lahir 5,10. Sedangkan sisa plasenta
merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam uterus yang dapat menimbulkan
perdarahan post partum primer atau perdarahan post partum sekunder. Sewaktu
suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat
berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan.
Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus berkontraksi
tetapi tinggi fundus tidak berkurang4. Hal ini dikarenakan adhesi yang kuat antara

10
plasenta dan uterus. Ada beberapa jenis perlekatan plasenta, yaitu plasenta akreta,
plasenta inkreta, dan plasenta perkreta. Plasenta akreta adalah keadaan dimana
implantasi plasenta hingga desidua basalis (menempel pada permukaan
miometrium). Plasenta inkreta adalah keadaan dimana implantasi plasenta
menembus miometrium (masuk ke dalam miometrium). Plasenta perkreta adalah
bila vili korialis sampai melewati miometrium hingga lapisan perimetrium
(menembus sampai serosa). Plasenta akreta atau kelainan insersio plasenta
merupakan penyebab 35- 38% dilakukannya histerektomi peripartum. Faktor
risikonya adalah plasenta previa, bekas sectio caesarea, riwayat kuret berulang,
dan multiparitas, dan kehamilan usia lanjut (usia ibu diatas 35 tahun). Jika
plasenta belum terlepas sama sekali, maka tidak akan ada perdarahan. Jika
sebagian sudah terlepas maka akan timbul perdarahan7,10.

Trombin

Abnormalitas koagulasi dapat menyebabkan perdarahan atau akibatnya.


Abnormalitas ini harus dicurigai pada pasien yang belum menanggapi tindakan
biasa untuk mengobati perdarahan postpartum atau yang keluar dari tempat
tusukan. Abnormalitas koagulasi juga harus dicurigai jika darah tidak
menggumpal dalam wadah samping tempat tidur atau tabung koleksi laboratorium
red-top (tanpa aditif) dalam waktu lima hingga 10 menit. Abnormalitas koagulasi
mungkin merupakan cacat bawaan atau didapat4.

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala gejala yang akan timbul pada perdarahan paska persalinan yaitu:

1. Perdarahan per vaginam


2. Konsistensi Rahim lunak
3. Fundus uteri naik ( Jika pengaliran darah keluar terhalang oleh bekuan
darah atau selaput janin )
4. Tanda – tanda syok

11
Tabel 3. Perbedaan perdarahan atonis dengan robekan jalan lahir15

Perdarahan atonia uteri Robekan jalan lahir

- Kontraksi uterus lemah - Kontraksi terus kuat


- Darah berwarna merah tua - Darah berwarna merah muda
karena berasal dari vena karena berasal dari arteri
- Biasanya timbul setelah
persalinan operatif

Tabel 4. Perbedaan perdarahan retensio plasenta dan sisa plasenta7

Perdarahan Retensio Plasenta Perdarahan Sisa Plasenta

- Plasenta belum lahir setelah - Plasenta atau selaput tidak


bayi 30 menit lahir lengkap
- Perdarahan segera - Perdarahan segera
- Uterus berkontraksi dan keras - Fundus uteri belum turun
- Fundus uteri belum turun

Tabel 5. Perbedaan perdarahan inversion uteri dengan rupture uteri7

Inversio uteri Ruptur uteri

- Uterus tidak teraba - Perdarahan segera (vagina /


- Lumen vagina terisi massa intra abdomen)
- Nyeri perut hebat

12
2.6 Diagnosis

Anamnesis

Pada hasil anamnesis dengan pasien, dapat ditemukan adanya perdarahan


setelah melahirkan yang jika dihitung jumlahnya lebih dari 500cc. Selain itu,
pasien juga dapat mengeluhkan rasa lemas, limbung, berkeringat dingin, pucat,
dan menggigil. Faktor-faktor risiko dari perdarahan postpartum juga dapat
ditanyakan pada pasien.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan perdarahan postpartum dapat


diawali dengan menilai tanda-tanda vital pasien, seperti nadi, laju nafas, tekanan
darah, suhu. Perlu diperhatikan adanya takikardia, hiperpnea, dan hipotensi.
Selain itu, juga perlu diperhatikan ada tidaknya tanda-tanda syok, seperti pucat,
akral dingin, nadi cepat, dan tekanan darah yang rendah. Untuk pemeriksaan
obstetrik, perlu diperhatikan kontraksi, letak, dan konsistensi uterus. Perlu
dilakukan pemeriksaan dalam untuk menilai adanya perdarahan, melihat keutuhan
plasenta, tali pusat, dan robekan di daerah vagina.

Pemeriksaan Penunjang

Onset perdarahan postpartum biasanya sangat cepat, dengan diagnosis dan


penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium
atau radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang paling penting
adalah untuk menilai Hb darah. Tetap dilakukan pemeriksaan darah rutin, namun
yang menjadi poin penting adalah Hb, terutama jika Hb kurang dari 8 gr/dL.
Selain itu, juga diperlukan pemeriksaan golongan darah untuk keperluan transfusi
darah jika nantinya diperlukan. Pemeriksaan waktu perdarahan dan waktu
pembekuan darah juga diperlukan untuk menyingkirkan adanya penyebab
gangguan pembekuan darah.

13
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan radiologi, yaitu USG.
Pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya gumpalan darah dan
retensi sisa plasenta. USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk
mendeteksi pasien dengan risiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi
terjadinya perdarahan postpartum, seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG
dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta
akreta dan variannya14.

2.7 Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya perdarahan postpartum, harus dilakukan tindakan


pencegahan pada keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan postpartum, seperti atonia uteri, trauma jalan lahir, gangguan
pembekuan darah, dan sisa plasenta. Untuk mencegah atonia uteri, dapat
dilakukan manajemen aktif kala III dan pemberian misoprostol 2-3 tablet peroral
setelah bayi lahir6. Manajemen aktif kala III terdiri dari pemberian agen
uterotonik, penegangan tali pusat terkendali, penjepitan tali pusat dini, dan
pemijatan uterus setelah kelahiran plasenta. Selain penjepitan tali pusat dini,
pemotongan tali pusat juga harus dilakukan dengan cepat dan tepat8,14.

Masase fundus uteri dilakukan dengan tujuan untuk membantu menimbulkan


kontraksi pada rahim. WHO tidak merekomendasikan pemijatan uterus sebagai
tindakan pencegahan perdarahan postpartum pada wanita yang sudah
mendapatkan oksitosin profilaktif, namun penilaian tonus uterus pada kondisi
postpartum sangat direkomendasikan. Bukti mengenai peran pemijatan uterus
terhadap pencegahan perdarahan postpartum bila agen uterotonik tidak diberikan
ataupun agen uterotonik selain oksitosin diberikan masih kurang, walaupun
terdapat satu studi kecil yang melaporkan pemijatan uterus berkelanjutan
terasosiasi dengan pengurangan dalam penggunaan obat uterotonik.

Rangsang puting dilakukan untuk merangsang keluarnya oksitosin secara alami


untuk membantu timbulnya kontraksi rahim untuk mencegah perdarahan
postpartum. Jika rangsang puting tidak memberikan hasil yang diharapkan, dapat

14
dibantu dengan pemberian uterotonika. Oksitosin 10 unit yang diberikan secara
intravena atau intramuskular adalah uterotonik yang direkomendasikan oleh WHO
dan FIGO karena efek yang sangat cepat, efek samping yang minimal, dan dapat
digunakan oleh semua wanita. Ergometrin 0,2 mg intramuskular, kombinasi
oksitosin- ergometrin (5 unit oksitosin dan 0,5mg ergometrin intramuskular), atau
misoprostol (600 gram peroral) adalah agen uterotonik alternatif apabila oksitosin
tidak tersedia.8,

Peregangan tali pusat terkendali direkomendasikan untuk dilakukan hanya bila


terdapat tenaga kesehatan yang berkompeten melakukannya. Jika dilakukan oleh
tenaga yang berkompeten dan memberikan sedikit keuntungan berupa penurunan
perdarahan dengan rata-rata 11ml dan mempercepat kala III persalinan dengan
waktu rata-rata 6 menit. Peregangan tali pusat terkendala hanya dilakukan pada
saat ada kontraksi. Peregangan tali pusat terkendali ini diawali dengan cara
meletakkan satu tangan di korpus uteri, tepat diatas simfisis pubis. Selama
kontraksi, lakukan gerakan mendorong ke arah dorsokranial ibu untuk mencegah
inversi uteri. Tangan yang lain memegang tali pusat 5-6 cm di depan vulva. Jaga
tahanan ringan pada tali pusat dan tunggu ada kontraksi kuat (2-3 menit). Selama
kontraksi lakukan tarikan terkendali pada tali pusat yang terus menerus dalam
tegangan yang sama dengan tangan ke uterus. Jika sedang tidak kontraksi, jangan
lakukan tarikan namun tangan tetap di uterus. Ulangi setiap ada kontraksi sampai
plasenta terlepas. Begitu plasenta lepas, keluarkan dengan gerakan tangan
mendekati plasenta. Keluarkan dengan gerakan ke atas dan ke bawah sesuai
dengan jalan lahir. Kedua tangan memegang plasenta dan secara perlahan
memutar plasenta searah jarum jam, keluarkan selaput ketuban. Setelah plasenta
dan selaput ketuban keluar, massage uterus agar berkontraksi. Bila plasenta belum
lahir dalam waktu 15 menit, berikan oksitosin 10 unit intramuskular8,10,14.

15
Gambar 1. Peregangan Tali pusat Terkendali

Jika peregangan tali pusat terkendali plasenta belum berhasil dan masih ada
perdarahan. Dapat dilakukan pengeluaran plasenta secara manual. Manual
plasenta diawali dengan memasukkan tangan menyusuri tali pusat. Lakukan
gerakan menyusur di antara plasenta dan uterus untuk melepas plasenta. Tahan
fundus sewaktu melepas plasenta. Jika sudah berhasil, keluarkan tangan dari
uterus.

Gambar 2. Manual Plasenta

16
2.8 Tata Laksana

Tatalaksana umum disini adalah tatalaksana awal yang dapat dilakukan pada
kejadian perdarahan postpastum dengan penyebab apapun. Tatalaksana awalnya
adalah:
- Pemberian oksigen
- Pemasangan infus intravena dan pemberian cairan
- Pengawasan tanda-tanda vital, volume urin
- Pemeriksaan kondisi abdomen: kontraksi uterus, nyeri tekan, parut luka,
dan tinggi fundus uteri
- Pemeriksaan jalan lahir dan area perineum untuk melihat perdarahan dan
laserasi
- Periksa kelengkapan plasenta dan selaput ketuban
- Cek kadar Hb, golongan darah
- Tentukan penyebab perdarahan dan lakukan tatalaksana lanjutan sesuai
penyebabnya

Non medikamentosa

Rongga rahim harus kosong dari jaringan untuk kontraksi uterus yang efektif.
Langkah-langkah klinis dan mekanik awal meliputi1:

- Pijat fundus uterus untuk merangsang kontraksi


- Menilai kebutuhan kompresi bimanual
- Periksa plasenta dan membran sudah lengkap
- Bersihkan gumpalan darah pada rahim
- Masukkan kateter untuk mempertahankan kandung kemih kosong

Bila PPS terjadi, harus ditentukan dulu kausa perdarahan, kemudian


penatalaksanaannya dilakukan secara simultan, meliputi perbaikan tonus uterus,
evakuasi jaringan sisa, dan penjahitan luka terbuka disertai dengan persiapan
koreksi faktor pembekuan. Tahapan penatalaksanaan PSS berikut ini dapat
disingkat dengan istilah HAEMOSTASIS16.

17
- ASK for HELP

Segera meminta pertolongan atau dirujuk ke rumah sakit bila persalinan di


bidan/PKM. Kehadiran ahli obstetri, bidan, ahli anestesi, dan hematologis menjadi
sangat penting.Pendekatan multidisipliner dapat mengoptimalkan monitoring dan
pemberian cairan. Monitoring elektrolit dan parameter koagulasi adalah data yang
penting untuk penentuan tahap tindakan berikutnya16.

- Assess (vital parameter, blood loss) and Resuscitate

Selain obat-obatan yang membantu kontraksi rahim, dapat dilakukan

tindakan untuk membantu mengganti cairan yang hilang, yaitu dengan pemberian
infus intravena dengan kanul berukuran besar (16 atau 18) dan pemberian cairan
kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer Lactate atau Ringer Acetate) sesuai dengan
kondisi pasien. Resusitasi cairan sebelum darah tersedia harus dilakukan sesegera
mungkin dengan infus kristaloid dan koloid sampai 3,5L (2L kristaloid dan atau
1-2L koloid)17. Prinsip utama yang harus dipikirkan dalam resusitasi cairan
kristaloid adalah hanya 20% dari jumlah cairan yang akan tetap bertahan dalam
intravascular dalam 1 jam setelah pemberian sehingga volume kristaloid yang
harus diberikan sekitar tiga kali lipat dari jumlah volume estimasi perdarahan7.

Tabel 6. Estimasi kehilangan darah

18
Tabel 7. Resusitasi cairan berdasarkan kelas syok

Nilai tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan,
saturasi oksigen harus dimonitor. Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G-
16G, harus segera diambil spesimen darah untuk memeriksa hemoglobin, profil
pembekuan darah, elektrolit, penentuan golongan darah, serta crossmatch
(RIMOT = Resusitasi, Infus 2 jalur, Monitoring keadaan umum, nadi dan tekanan
darah, Oksigen, dan Team approach). Diberikan cairan kristaloid dan koloid
secara cepat sambil menunggu hasil crossmatch16.

Pada perdarahan masif perlu diberikan transfusi darah, bahkan juga


diperlukan pemberian fresh frozen plasma (FFP) untuk menggantikan faktor
pembekuan yang turut hilang. Direkomendasikan pemberian 1 liter FFP (15
mL/kg) setiap 6 unit darah. Pertahankan trombosit di atas 50.000, bila perlu
diberikan transfusi trombosit. Kriopresipitat direkomendasikan bila terjadi DIC
yang ditandai dengan kadar fibrinogen <1 gr/dl (10 gr/L). Transfusi darah perlu

19
diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan akan melebihi
2000cc atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda- tanda syok walaupun telah
dilakukan resusitasi cepat. Terdapat kontroversi mengenai kadar hematokrit atau
hemoglobin dimana transfusi darah harus diberikan, namun menurut konsensus
yang ada transfusi darah direkomendasikan pada wanita yang mengalami
perdarahan secara akut dengan hematokrit dibawah 25% dan tidak diberikan pada
wanita anemia sedang dengan kondisi klinis yang stabil 7. Gambaran klinis
merupakan indikasi utama untuk menentukan perlu-tidaknya transfusi darah dan
tidak perlu membuang waktu untuk menunggu hasil laboratorium7,17.Whole blood
yang kompatibel merupakan produk yang ideal utnuk penanganan hypovolemia
akibat perdarahan masif yang akut karena dengan whole blood tidak hanya
mengembalikan hipovolemia tetapi juga faktor koagulasi (terutama fibrinogen)7.
Pedoman transfuse darah dari British Committee for Standards in Haematology
dari penanganan perdarahan masif, antara lain hemoglobin > 8 g/dL, trombosit >

75x103/L, prothrombin time (PT) < 1,5 x mean kontrol, activated prothrombin

time (aPTT) < 1,5 x mean kontrol, dan fibrinogen > 150 mg/dL. (19) PRC
(packed red cells) digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika
terdapat indikasi. Tujuan transfusi adalah memasukkan 2-4 unit PRC untuk
menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume
sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus.
Masalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100cc normal saline pada
masing- masing unit.

- Establish Aetiology,Ensure Availability of Blood,Ecbolics(Oxytocin, Ergometrin


or Syntometrine bolus IV/ IM

Sementara resusitasi sedang berlangsung, dilakukan upaya menentukan


etiologi PPS. Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan bebas di abdomen, bila ada
risiko trauma (bekas seksio sesarea, partus buatan yang sulit) atau bila kondisi

20
pasien lebih buruk daripada jumlah darah yang keluar. Harus dicek ulang
kelengkapan plasenta dan selaput plasenta yang telah berhasil dikeluarkan. Bila
perdarahan terjadi akibat morbidly adherent placentae saat seksio sesarea dapat
diupayakan haemostatic sutures, ligasi arteri hipogastrika dan embolisasi arteri
uterina. Morbidly adherent placentae sering terjadi pada kasus plasenta previa
pada bekas seksio sesarea. Bila hal ini sudah diketahui sebelumnya, dr. Sarah P.
Brown dan Queen Charlotte Hospital (Labour ward course) menyarankan untuk
tidak berupaya melahirkan plasenta, tetapi ditinggalkan intrauterin dan kemudian
dilanjutkan dengan pemberian metotreksat seperti pada kasus kehamilan
abdominal. Bila retensio plasenta/sisa plasenta terjadi setelah persalinan
pervaginam, dapat digunakan tamponade uterus sementara menunggu kesiapan
operasi/laparotomy16. Evakuasi rahim dilakukan jika setelah eksplorasi rahim
ditemukan adanya hasil konsepsi yang tertinggal. Hasil konsepsi yang tertinggal
dibersihkan, dikeluarkan dari rahim. Jika plasenta masih utuh tertinggal di dalam
rahim 30 menit setelah bayi lahir, dapat dikeluarkan dengan cara manual plasenta.
Jika hanya sebagian plasenta atau selaput ketuban yang tertinggal, dapat
dibersihkan dengan cara pembersihan manual digital atau dengan kuretase.

- Massage the uterus

Masase uterus sebagai terapi yaitu memijat uterus secara manual melalui
abdomen dan dipertahankan sampai perdarahan berhenti atau uterus berkontraksi
dengan adekuat. Masase awal uterus dan keluarnya bekuan darah tidak termasuk
ke dalam terapi masase uterus. Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta
lahir harus segera ditangani dengan masase uterus dan pemberian obat-obatan
uterotonika. Bila uterus tetap lembek harus dilakukan kompresi bimanual interna
dengan menggunakan kepalan tangan di dalam untuk menekan forniks anterior
sehingga terdorong ke atas dan telapak tangan di luar melakukan penekanan pada
fundus belakang sehingga uterus terkompresi. 16

Kompresi rahim bimanual dapat dilakukan setelah menyingkirkan


kemungkinan plasenta tidak lengkap dan trauma pada jalan lahir. Kompresi

21
bimanual dilakukan dengan cara mengkompresi rahim di antara kedua tangan
untuk mengendalikan perdarahan dan merangsang kontraksi pada rahim.
Kompresi bimanual dibagi menjadi kompresi bimanual internal dan eksternal.
Untuk melakukan kompresi bimanual internal, satu tangan di dalam rahim dan
tangan lainnya berada di luar, di abdomen dan menekan fundus ke arah tangan
yang di dalam. Jari-jari tangan yang berada di dalam menekan forniks anterior.
Jika telah ditekan dengan baik, seluruh kepalan tangan dapat masuk karena
kelenturan vagina. Tekanan pada uterus dengan kedua tangan memberikan
tekanan langsung pada pembuluh darah dalam dinding uterus dan merangsang
miometrium untuk berkontraksi. Untuk melakukan kompresi bimanual eksternal,
satu tangan diletakkan di abdomen, di depan uterus, tepat di atas simfisis pubis.
Tangan yang lain memegang dinding abdomen (dibelakang korpus uteri) dan
diusahakan untuk memegang bagian belakang uterus seluas mungkin. Lakukan
gerakan saling merapatkan kedua tangan untuk melakukan kompresi pembuluh
darah di dinding uterus dengan cara menekan uterus diantara kedua tangan. Hal
ini dapat membantu uterus untuk berkontraksi dan menekan pembuluh darah
uterus5.

Gambar 3. Kompresi bimanual

22
Kompresi aorta abdominalis merupakan alternatif dari kompresi bimanual
eksternal dan internal. Kompresi aorta abdominalis harus dilakukan dengan teknik
yang benar agar aorta benar-benar tertutup untuk sementara waktu sehingga
perdarahan dapat dikurangi. Tekan aorta abdominalis di atas uterus dengan kuat
dan dapat dibantu dengan tangan kiri selama 5-7 menit. Lepaskan tekanan
sementara selama 30-60 detik sehingga bagian lainnya tidak terlalu banyak
kekurangan darah. Tekanan aorta abdominalis untuk mengurangi perdarahan
bersifat sementara.

Gambar 4. Kompresi Aorta Abdominalis

- Oxytocininfusion/prostaglandins–IV/perrectal/IM/intramyometrial

Dapat dilakukan pemberian oksitosin 40 unit dalam 500 cc normal salin dengan
kecepatan 125 cc/jam. Hindari kelebihan cairan karena dapat menyebabkan edema
pulmoner hingga edema otak yang pada akhimya dapat menyebabkan kejang
karena hiponatremia. Hal ini timbul karena efek antidiuretic hormone (ADH) -
like effect dan oksitosin; sehingga monitoring ketat masukan dan keluaran cairan
sangat esensial dalam pemberian oksitosin dalam jumlah besar.

23
Tabel 8. Dosis dan cara pemberian oksitosin

Pemberian ergometrin sebagai lini kedua dari oksitosin dapat diberikan


secara intramuskuler atau intravena. Dosis awal 0,2 mg (secara perlahan), dosis
lanjutan 0,2 mg setelah 15 menit bila masih diperlukan. Pemberian dapat diulang
setiap 2-4 jam bila masih diperlukan. Dosis maksimal adalah 1 mg atau 5 dosis
per hari. Kontraindikasi pada pemberian ergometrin yaitu preeklampsia,
vitiumcordis, dan hipertensi. Bila PPS masih tidak berhasil diatasi, dapat
diberikan misoprostol per rektal 800-1000ug.

- Shif tto theatre–excluderetained productsand trauma/bimanual compression


(konservatif; non-pembedahan)

Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien ke ruang
operasi. Pastikan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya sisa plasenta atau
selaput ketuban. Bila diduga ada sisa jaringan, segera lakukan tindakan kuretase.
Kompresi bimanual dapat dilakukan selama ibu dibawa ke ruang operasi16.

24
- Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif;non-pembedahan)

Bila perdarahan masih berlangsung, pikirkan kemungkinan adanya


koagulopati yang menyertai atonia yang refrakter. Tamponade uterus dapat
membantu mengurangi perdarahan. Tindakan ini juga dapat memberi kesempatan
koreksi faktor pembekuan. Dapat dilakukan tamponade test dengan menggunakan
Tube Sengstaken yang mempunyai nilai prediksi positif 87% untuk menilai
keberhasilan penanganan PPS. Bila pemasangan tube tersebut mampu
menghentikan perdarahan berarti pasien tidak memerlukan tindakan bedah lebih
lanjut. Akan tetapi, bila setelah pemasangan tube, perdarahan masih tetap masif,
maka pasien harus menjalani tindakan bedah.

Pemasangan tamponade uterus dengan menggunakan baloon relatif mudah


dilaksanakan dan hanya memerlukan waktu beberapa menit. Tindakan ini dapat
menghentikan perdarahan dan mencegah koagulopati karena perdarahan masif
serta kebutuhan tindakan bedah. Hal ini perlu dilakukan pada pasien yang tidak
membaik dengan terapi medis16.

Pada keadaan tertentu, masih diperlukan pemasangan tampon kasa di


rahim. Tampon biasanya dibiarkan di dalam rahim selama 12 jam. Jika setelah itu
kontraksi tetap tidak terjadi, maka histerektomi harus dilakukan. Keadaan pasien
kemungkinan besar sudah berada dalam kondisi yang serius dan keputusan untuk
operasi sulit dibuat, namun harus dilakukan sesegera mungkin, jangan sampai
terlambat melakukan penanganan. Pada kasus perdarahan yang berkelanjutan,
adanya gangguan pembekuan darah harus disingkirkan.

Dapat juga digunakan kondom sebagai pengganti tampon kasa. Kondom


diikat pada kateter, dimasukkan ke dalam cavum uteri, dan diisi cairan fisiologis
sebanyak 250-500ml atau sesuai kebutuhan. Lakukan observasi perdarahan dan
stop pengisian cairan setelah perdarahan berkurang. Untuk menjaga agar kondom
tetap di dalam vagina, dapat digunakan tampon kasa gulung. Bila perdarahan
berlanjut, tampon kasa akan basah dan darah keluar dari introitus vagina.
Kontraktilitas uterus dijaga dengan pemberian drip oksitosin paling tidak sampai

25
dengan 6 jam kemudian. Diberikan antibiotika tripel, Amoxicillin, Metronidazole
dan Gentamycin. Kondom kateter dilepas 24 – 48 jam kemudian, pada kasus
dengan perdarahan berat kondom dapat dipertahankan lebih lama.

- Apply compression sutures–B-Lynch/modified(pembedahankonservatif)

Tindakan pembedahan (laparotomi) merupakan pilihan tindakan yang


dapat dilakukan apabila pemberian agen uterotonika dengan atau tanpa balloon
tamponade tidak dapat menghentikan perdarahan. Tindakan pembedahan
konservatif meliputi B-Lynch suture dan ligasi arteri (arteri uterine atau arteri
iliaka interna), sedangkan tindakan non-konservatif adalah histerektomi. Tindakan
pembedahan konservatif adalah tindakan pembedahan yang mempertahankan
uterus, sedangkan tindakan pembedahan non-konservatif adalah tindakan
pembedahan yang tidak mempertahankan uterus7.

B-lynch suture dikenal juga dengan Brace Suture adalah metode untuk
mengikat rahim dengan tujuan untuk menghentikan perdarahan, tanpa harus
mengangkat rahim. Cara ini dipilih bila tes dengan manual kompresi berhasil
menghentikan perdarahan. Sebelum melakukan B-lynch suture, pastikan tidak ada
sisa plasenta atau selaput ketuban. Bentuk jahitan jelujur dimulai dari segmen
bawah rahim (uterus anterior) menuju corpus daerah anterior lalu fundal,
kemudian menuju corpus posterior sampai sejajar jahitan awal, jahitan dilanjutkan
ke samping atau ke sisi uterus yang lain, lalu menuju corpus posterior menuju
fundal sampai mencapai corpus anterior dan berakhir pada segmen bawah rahim
sejajar jahitan awal. Batas jahitan dari kedua tepi uterus adalah 3-4 cm dari sisi
kanan dan kiri. Jahitan vertikal dua atau lebih untuk meningkatkan kekuatan
tekanan, sedangkan penjahitan horizontal lebih ditujukan untuk mengontrol
perdarahan dari plasental bed pada kasus plasenta previa. Untuk mencegah risiko
trauma pada kandung kencing atau traktus urinarius, kandung kemih disisihkan

26
sehingga berada di bawah jahitan dan jahitan 2cm medial dari batas lateral uterus.
Kompresi uterus menggunakan benang mudah dilakukan, lebih singkat, dan
efektif daripada histerektomi. B-lynch suture tidak menggangu kesuburan dan
kehamilan selanjutnya.

Gambar 5. Jahitan B-Lynch

- Systematic pelvic devascularization – uterine/ ovarian/ quadruple/ internal iliac


(pembedahan konservatif)

Ligasi arteri uterina asendens bertujuan untuk menurunkan aliran darah


uterus. Arteri uterina berada di perbatasan antara serviks dan segmen bawah
rahim. Jahit sedekat mungkin dengan uterus karena ureter berada 1 cm dari uterus.
Lakukan pada kedua sisi lateral. Jika mengenai arteri, segera jepit dan ikat sampai
perdarahan berhenti. Lakukan pula pengikatan arteri utero-ovarika, yaitu dengan
melakukan pengikatan pada 1 jari atau 2 cm lateral bawah pangkal ligamentum
suspensorium ovarii kiri dan kanan agar upaya hemostasis berlangsung efektif,
lakukan pada kedua sisi. Berikan antibiotik profilaksis dan analgetik. Evaluasi
keberhasilan ligasi arteri uterina asendens adalah dengan menilai perdarahan,
bukan menilai kontraksi. Komplikasi yang dapat terjadi adalah cedera pembuluh
darah (vasa uterina) atau ureter18.

27
Gambar 6. Ligasi Arteri Uterina

Ligasi arteri iliaka interna dilakukan untuk pasien yang masih ingin
memiliki anak, seperti pada ligasi arteri uterina. Ligasi dilakukan dengan
identifikasi bifurkasio arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya
harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter.
Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi
arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan
dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absorbable dilakukan dua
ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna.
Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum
dan sesudah ligasi risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat
menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.

- Interventional radiologis, if appropriate, uterine artery embolization


(pembedahan konservatif)

- Subtotal/ total abdominal hysterectomy (non – konservatif)

Histerektomi merupakan pilihan terakhir untuk perdarahan postpartum.

Histerektomi dilakukan jika perdarahan postpartum masif tidak dapat diatasi

28
dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa ibu. Indikasi utama adalah plasenta
akreta, inkreta dan perkreta, atonia uteri, ruptura uteri, hematoma ligamentum
latum, robekan serviks luas setelah tindakan forseps, dan koriomanionitis.
Sebaiknya serviks dipotong dibawah arteri uterina. Histerektomi dapat dilakukan
lebih dini jika hemodinamik dan keadaan pasien tidak stabil atau jika ada
perdarahan yang tidak terkendali. Histerektomi peripartum berbeda dibandingkan
dengan histerektomi pada keadaan tidak hamil karena terjadi perubahan anatomi
sebagai pengaruh dari kehamilan dimana pada organ terjadi peningkatan
vaskularisasi. Total histerektomi lebih disukai dari subtotal histerektomi,
meskipun pilihan tersebut tergantung situasi klinik mana yang lebih cepat, lebih
efektif untuk mengatasi perdarahan sehingga mengurangi morbiditas serta
mortalitas. Subtotal histerektomi tidak terlalu efektif dalam mengontrol
perdarahan dari segmen bawah rahim, serviks atau forniks.

Dalam manajemen PPS akibat atonia uteri, beberapa obat yang biasanya diberikan
diantaranya uterotonika injeksi (oksitosin, ergometrin, kombinasi oksitosin dan
ergometrin dosis tetap), misoprostol (bentuk tablet yang digunakan via oral,
sublingual dan rektal), asam traneksamat injeksi, serta injeksi rekombinan faktor
VIIa. Khususnya oksitosin dan ergometrin, telah disetujui dosis yang
direkomendasikan oleh WHO.

Rekomendasi di bawah ini dapat pula digunakan untuk kasus PPS karena atonia
uterus setelah seksio sesarea. Rekomendasi tersebut dibuat terutama berdasarkan
data terhadap persalinan pervaginam, sedangkan data spesifik mengenai PPS
setelah seksio sesarea jarang ditemukan dan tidak dievaluasi secara terpisah dari
data persalinan pervaginam 16.

Uterotonika Pilihan untuk Manajemen PPS karena Atonia Uteri

Ringkasan bukti

Dari bukti-bukti yang ada telah diprediksi kemungkinan-kemungkinan untuk


pencegahan PPS. Beberapa telaah sistematis telah membandingkan efek oksitosin

29
dengan ergometrin, kombinasi oksitosin dan ergometrinserta prostaglandin.
Terdapat sebuah uji kontrol teracak samar membandingkan oksitosin dengan
ergometrin pada 600 perempuan setelah publikasi ulasan sistematis dan guidelines
WHO16.

Oksitosin vs Ergometrin

Sebuah percobaan dalam ulasan sistematis mengemukakan keluaran penting dari


kehilangan darah >1000 ml dan kebutuhan untuk transfusi darah. Tidak terdapat
perbedaan bermakna yang ditemukan pada penggunaan uterotonika tambahan,
dimana 35 dari 557 pasien yang diberikan oksitosin dan 46 dari 651 pasien yang
menerima ergometrin menerima transfusi darah. Kejadian efek samping lebih
rendah secara bermakna pada pasien yang menerima oksitosin dibandingkan
dengan ergometrin yaitu kejadian muntah.

Kombinasi Oksitosin-ergometrin Dosis Tetap vs Oksitosin

Berdasarkan kehilangan darah >1000 ml, didapatkan hasil kehilangan darah yang
berkurang pada kelompok yang diberikan kombinasi oksitosin (5 IU) dan
ergometrin. Pada 4 studi yang melaporkan kejadian efek samping, dicatat adanya
insidens peningkatan tekanan darah diastolik yang lebih tinggi pada kelompok
yang menerima kombinasi oksitosin-ergometrin

Penggunaan Misoprostol dalam Manajemen PPS pada Perempuan yang


Menerima Profilaksis Oksitosin pada Kala III Persalinan

Empat percobaan menilai perbandingan penggunaan misoprostol sebagai terapi


tambahan sesudah manajemen aktif kala III dengan penggunaan oksitosin saja.
Studi terakhir yang belum dipublikasikan oleh WHO melibatkan 1400 perempuan
di Argentina, Mesir, Afrika Selatan, Thailand dan Vietnam. Pada tiga percobaan,
misoprostol 600 ug diberikan secara oral atau sublingual, sedangkan pada satu
percobaan, diberikan misoprostol 1000 ug secara oral, sublingual atau per rektal.
Penambahan misoprostol pada pasien yang sudah menerima oksitosin pada kala
III tidak ada keuntungan bermakna.

30
Penatalaksanaan spesifik menurut Panduan Praktik Klinis RSUP Dr. Hasam
Sadikin Bandung

- Atonia uteri
1. Masase uterus
2. Pemberian oksitosin 10 unit dalam RL 500 cc tetesan cepat (dapat
diberikan sampai 3 L dengan tetesan 40 tetes/menit) dan ergometrin IV/IM
0,2 mg (dapat diulang 1x setelah 15 menit dan bila masih diperlukan dapat
diberikan 2 – 4 jam IM/IV sampai maksimal 1 mg atau 5 dosis) atau
misoprostol 600 mikrogram 3 tablet per rektal/ per oral (dapat diulang 400
mikrogram tiap 2 – 4 jam sampai maksimal 1200 mikrogram atau 3 dosis).
3. Bila pendarahan berhenti lanjutkan dosis oksitosin atau misoprostol bila
tidak lakukan kompresi bimanual atau pemasangan tampon balon
4. Jika kontraksi buruk, lakukan laparotomy (ligasi a. uterine atau
hipogastrik, B- lynche suture, jika tidak histerektomi)

- Laserasi Jalan Lahir


Segera lakukan penjahitan laserasi

- Rupture Uteri
Stabilisasi keadaan umum dan segera lakukan laparotomy. Rencana
histerorafi atau histerektomi

- Inversio Uteri
Reposisi manual setelah syok teratasi. Jika plasenta belum lepas sebaiknya
jangan dilepas dulu sebelum uterus di reposisi karena akan terjadi
perdarahan banyak. Setelah reposisi berhasil, berikan drip oksitosin,
pemasangan tampon Rahim dilakukan agar tidak terjadi inversion lagi.
Jika reposisi manual tidak berhasil, lakukan reposisi operatif

- Retensio Plasenta
Lakukan pelepasan plasenta secara manual. Jika plasenta sulit dilepaskan,
pikirkan kemungkinan plasenta akreta. Terapi terbaik plasenta akreta
komplit adalah histerektomi

31
- Sisa Plasenta
Dilakukan kuretase dengan pemberian ureterotonika dan transfuse darah
bila diperlukan. Jika terjadi pada masa nifas, berikan ureterotonika,
antibiotic spectrum luas dan kuretase. Jika kuretase tidak berhasil, lakukan
histerektomi
- Gangguan koagulopati
Rawat bersama Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Koreksi faktor
pembekuan dengan transfuse FFP, kriopresipitat, trombosit dan PRC,
kontrol DIC dengan heparin.

Bagan 1. Algoritma Tata Laksana Perdarahan Post Partum

32
2.9 Komplikasi

1) Sindrom Sheehan – perdarahan banyak kadang-kadang diikuti dengan sindrom


Sheehan, yaitu: kegagalan laktasi, amenore, atrofi payudara, rontok rambut
pubis dan aksila, superinvolusi uterus, hipotiroidi, dan insufisiensi korteks
adrenal.
2) Diabetes insipidus – perdarahan banyak pascapersalinan dapat mengakibatkan
diabetes insipidus tanpa disertai defisiensi hipofisis anterior.
3) Syok Hemoragik

2.10 Prognosis

Prognosis umumnya dubia ad bonam, tergantung dari jumlah perdarahan dan


kecepatan penatalaksanaan yang dilakukan.

33
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. B
Usia : 25 tahun
Pendidikan : D3
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Kristen
Golongan Darah :O
Alamat : Duren Jaya
No. CM : 177562
Tanggal Masuk : 26 Februari 2020

B. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 26 Februari 2020 pukul
08.30 WIB

Keluhan Utama :
Keluar darah dari jalan lahir sampai 3 jam setelah melahirkan bayi

Keluhan Tambahan :
Lemas

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien Ny. B P3A0 datang ke RSUD Kabupaten Bekasi rujukan dari
Bidan dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir setelah melahirkan. Pasien
tampak lemas, dan beberapa kali tidak kooperatif saat dianamnesis. Pasien
melahirkan secara spontan di klinik pada pukul 05.00. Plasenta lahir dibantu bidan

34
dengan manual plasenta. Saat sampai di RSUD Kab. Bekasi dilakukan
pemeriksaan kontraksi uterus. Tinggi fundus uterus setinggi pusat dan kontraksi
lemah. Kemudian dilakukan eksplorasi pada jalan lahir dan perdarahan berwarna
merah beserta stosel yang keluar mencapai 1 baskom / + 600 cc. Pada saat
dilakukan eksplorasi tidak terdapat jaringan atau sisa plasenta dan pembukaan
seujung jari. Terdapat sebagian robekan jalan lahir yang belum di jahit. Sebelum
persalinan pasien di induksi oleh bidan klinik tempat ia melahirkan.
Keluhan yang dirasakan pasien adalah lemas dan mengantuk. Pasien tidak
merasakan mual, muntah maupun demam. Pasien tidak memiliki riwayat
hipertensi, DM, penyakit jantung, tiroid dan penyakit lainnya pada saat hamil.
Pada saat kehamilan pasien sempat kontrol 1 kali ke bidan saat usia kehamilan 8
bulan dan tidak ada kendala apapun saat kehamilan.

Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat perdarahan post partum dan perlengketan plasenta pada
kehamilan sebelumnya disangkal. Riwayat kuretase dan keguguran disangkal.
Hipertensi, Diabetes, jantung, paru, asma, alergi disangkal. Anak pertama pasien
meninggal didalam kehamilan saat usia 9 bulan dan dilahirkan dengan persalinan
normal.

Riwayat penyakit keluarga :


Hipertensi, Diabetes Melitus, jantung, paru, asma, alergi disangkal.

Riwayat menstruasi :
o Haid pertama : usia 13 Tahun
o Siklus Haid : Teratur setiap 1 bulan sekali
o Lama Haid : 5 - 7 hari

Riwayat pernikahan :
Pasien menikah pada usia 21 tahun, menikah hanya sekali dan sudah 4 tahun.

35
Riwayat KB :
Memakai KB suntik 3 bulan selama 1 tahun.

Riwayat Obstetri:
Paritas : P3(+1) A0 AH: 2
HPHT : Lupa
HPL : Lupa

Riwayat Persalinan:

No Tahun Tempat Usia Jenis Penolong Penyuli Jenis BB Anak


Partus Partus Kehamilan Persalina t Kelamin Lahir Sekarang
n
1 2017 Rumah + 9 bulan Spontan Bidan - Perempua 4500 Mati
n gr
2 2018 Rumah 10 bulan Spontan Bidan - Laki - 2700 Hidup
Laki gr
3 2020 Klinik + 9 bulan Spontan Bidan - Laki - Hidup
Laki

Catatan penting selama asuhan antenatal :


Hanya melakukan ANC 1 kali

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 70 / palpasi
Nadi : 143 x/menit teraba kuat
Suhu : 36,1 oC
Pernafasan : 24x x/menit
Saturasi : 99% terpasang nasal canul dengan oksigen 4 lpm

36
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Wajah : Pucat, lidah pucat
Paru : SN Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Jantung : BJ I – II normal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Pembesaran perut yang simetris, bising usus (+)
Ekstremitas : Pucat, CRT <2", Edema (-)

2. Status Obstetrikus
a. Pemeriksaan luar
TFU : Setinggi pusat (+ 20 cm)
Leopold I - IV : Tidak dilakukan
Kontraksi : lemah
b. Inspekulo : Tidak dilakukan
c. Pemeriksaan dalam :
V/V : T.A.K
Porsio : Tebal, Lunak
Pembukaan : 1 cm
Robekan jalan lahir : (+)

3. Pemeriksaan Laboratorium
Lab 26/02/2020
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
· Hb 6,9 (L) 12 – 16 g/dL
· Hct 23 (L) 35 – 50 %
· Eritrosit 3,23 (L) 3,8 – 5,8 juta/µL
· Leukosit 25.200 (L) 3500 – 10000/ µL
· Trombosit 291.000 150000 – 400000/ µL

Golongan Darah O rhesus (+)

Anti HIV Non reaktif

Anti HbsAg Non Reaktif

37
D. Diagnosis Kerja
P3(+1)A0 Partus maturus 37 – 38 minggu dengan Syok hipovolemik e.c perdarahan
post partum e.c atonia uteri dan robekan jalan lahir + Anemia

E. Rencana Tatalaksana
Non medikamentosa
- Tirah baring
- O2 4 LPM dengan Nasal Kanul
- NaCl 0,9% Loading 500 cc
- Masase Uterus
- Monitor tanda – tanda vital
Medikamentosa
- 2 amp Oksitosin + 1 amp Metergin dalam 500 cc RL drip 20 tpm
- Misoprostol 400 mcg x 3 pro rec
- Transfusi PRC 750 cc
- Ceftriaxone 3 x 1 gr
- Paracetamol 3 x 500 mg p.o
- SF 2x 1 tab

F. Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Sanactionam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam

38
G. Follow Up
Ruang VK
Tanggal Follow Up
26/02/2020 S/ Pasien mengeluhkan lemas
08.35 O/ Kesadaran : Composmentis
TD : 70 / palpasi
Nadi : 140 x/menit
RR : 25 x/menit
Suhu : 36,1 ⁰C
Perdarahan : masih aktif
TFU: Setingi pusat, kontraksi uterus lemah
Vulvovagina: Robekan jalan lahir (+)
A/ P3A0 Partus maturus 37 – 38 minggu dengan
perdarahan post partum e.c atonia uteri dan robekan
jalan lahir + Anemia
P/ O2 4 LPM dengan Nasal Kanul
NaCl 0,9% Loading 500 cc
Eksplorasi jalan lahir : Stosel (+) Jaringan (-)
Jahit robekan jalan lahir
Massage uterus
2 amp Oksitosin + 1 amp Metergin dalam 500 cc
RL drip 20 tpm
Misoprostol 400 mcg pro rec
Monitor tanda - tanda vital
26/02/2020 S/ Pasien mengeluhkan lemas
09.30 O/ Kesadaran : Composmentis
TD : 110/67
Nadi : 112 x/menit
RR : 25 x/menit
Suhu : 36,1 ⁰C
Perdarahan : masih aktif
TFU: Dibawah pusat, kontraksi uterus baik
A/ P3A0 Partus maturus 37 – 38 minggu dengan
perdarahan post partum e.c atonia uteri dan robekan
jalan lahir + Anemia
P/ Massage uterus
O2 4 LPM dengan Nasal Kanul
Infus RL 20 tpm
Ceftriaxone 1 x 1 gr drip
Paracetamol 1 x 500 mg p.o
SF 1 x 1 tab
Monitor tanda - tanda vital

26/02/2020 S/ Pasien mengeluhkan lemas


13.20 O/ Kesadaran : Composmentis
TD : 100/68 mmHg

39
Nadi : 112 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,1 ⁰C
TFU: Dibawah pusat, kontraksi uterus baik
A/ P3A0 Partus maturus 37 – 38 minggu dengan
perdarahan post partum e.c atonia uteri dan robekan
jalan lahir + Anemia
P/ Transfusi PRC 1 labu 20 tpm
Infus NaCl 20 tpm
Monitor tanda - tanda vital

26/02/2020 S/ Pasien mengeluhkan lemas


19.30 O/ Kesadaran : Composmentis
TD : 97/61 mmHg
Nadi : 122 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,1 ⁰C
TFU: Dibawah pusat 2 jari, kontraksi uterus baik
Inspeksi perdarahan = + 20 cc
A/ P3A0 Partus maturus 37 – 38 minggu dengan
perdarahan post partum e.c atonia uteri dan robekan
jalan lahir + Anemia
P/ Infus NaCl 20 tpm
Transfusi PRC 1 labu 20 tpm

26/02/2020 S/ Pasien mengeluhkan lemas


21.30 O/ Kesadaran : Composmentis
TD : 100/60 mmHg
Nadi : 112 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5 ⁰C
TFU: Dibawah pusat 2 jari, kontraksi uterus baik
Inspeksi perdarahan = + 20 cc
A/ P3A0 Partus maturus 37 – 38 minggu dengan
perdarahan post partum e.c atonia uteri dan robekan
jalan lahir + Anemia
P/ Infus RL 20 tpm
Ceftriaxone 1 x 1 gr drip
Paracetamol 1 x 500 mg p.o
Ruang Camelia
Tanggal Follow Up
27/02/2020 S/ Pindahan dari VK pukul 23.00
Pasien mengeluhkan lemas
08.00
O/ Kesadaran : Composmentis

40
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 85 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6 ⁰C
TFU: Dibawah pusat 2 jari, kontraksi uterus baik
Inspeksi perdarahan = + 50 cc
A/ P3A0 Partus maturus 37 – 38 minggu dengan
perdarahan post partum e.c atonia uteri dan robekan
jalan lahir + Anemia
P/ O2 4 LPM dengan Nasal Kanul
NaCl 0,9% 20 tpm
Ceftriaxone 1 x 1 gr drip
Paracetamol 1 x 500 mg p.o
Monitor tanda - tanda vital
27/02/2020 S/ Pasien mengeluhkan lemas berkurang, nyeri jalan
13.00 lahir berkurang
O/ Kesadaran : Composmentis
TD : 100/74 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,1 ⁰C
Lochia Rubra (+) Perdarahan (N)
Luka Perineum (+)
TFU: Dibawah pusat 2 jari, kontraksi uterus baik
Hb Post Transfusi 2 labu : 7 g/dl
A/ P3A0 Partus maturus 37 – 38 minggu dengan
perdarahan post partum e.c atonia uteri dan robekan
jalan lahir + Anemia
P/ Infus RL + 1 amp Syntocinon 20 tpm
Monitor tanda - tanda vital
27/02/2020 S/ Pasien mengeluhkan lemas berkurang, nyeri jalan
15.00 lahir berkurang
O/ Kesadaran : Composmentis
TD : 110/80 mmHg
Nadi : 120 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5 ⁰C
Lochia Rubra (+) Perdarahan (N)
Luka Perineum (+)
TFU: Dibawah pusat 2 jari, kontraksi uterus baik
Hb Post Transfusi 2 labu : 7 g/dl
A/ P3A0 Partus maturus 37 – 38 minggu dengan
perdarahan post partum e.c atonia uteri dan robekan
jalan lahir + Anemia
P/ Infus NaCl 0.9% 20 tpm
Transfusi PRC 1 labu 20 tpm

41
Monitor tanda - tanda vital
28/02/2020 S/ Pasien mengeluhkan lemas berkurang, nyeri jalan
08.00 lahir berkurang Post Transfusi 4 labu
O/ Kesadaran : Composmentis
TD : 100/74 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,1 ⁰C
Lochia Rubra (+) Perdarahan (N)
Luka Perineum (+)
TFU: Dibawah pusat 2 jari, kontraksi uterus baik
Hb Post Transfusi 2 labu : 7 g/dl
Hb Post Transfusi 4 labu belum diambil
A/ P3A0 Partus maturus 37 – 38 minggu dengan
perdarahan post partum e.c atonia uteri dan robekan
jalan lahir + Anemia
P/ NaCl 0,9% 20 tpm
Monitor tanda - tanda vital
Acc Rawat Jalan

BAB IV

ANALISIS KASUS

Pasien Ny. B 25 tahun, didiagnosis dengan P3A0 Partus maturus 37 – 38


minggu dengan Syok hipovolemik e.c perdarahan post partum e.c atonia uteri dan
robekan jalan lahir + Anemia karena ditemukan beberapa gejala dan tanda klinis.

42
Perdarahan post partum didefinisikan sebagai perdarahan 500cc atau lebih dari
jalan lahir pada persalinan spontan pervaginaam setelah kala III selesai (setelah
plasenta lahir) atau 1000cc pada persalinan sectio caesarea atau yang berpotensi
mengganggu hemodinamik ibu. Perdarahan postpartum bukan diagnosis dan harus
dicari penyebabnya, seperti atonia uteri, trauma pada jalan lahir, sisa plasenta,
atau gangguan pembekuan darah.
Pada pasien ini terjadi perdarahan aktif + 600 cc setelah melahirkan bayi
dan plasenta. Sesuai dengan definisi perdarahan post partum, perdarahan ini
mengganggu hemodinamik pasien sehingga terjadinya penurunan tekanan darah,
peningkatan frekuensi napas dan nadi pasien. Setelah di observasi penyebabnya,
terjadi atonia uteri pada pasien karena ditemukannya kontraksi uterus yang lemah
dan subinvolusi uterus. Atonia uterus disebabkan karena serabut miometrium
yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi
plasenta tidak berkontraksi. Kemungkinan faktor resiko terjadinya atonia uteri
pada pasien akibat induksi persalinan dan resiko multiparitas. Pada induksi
persalinan terjadi kontraksi yang lebih kuat sehingga terjadinya kelelahan otot
pada saat pasca salin. Begitu pula pada multiparitas, pada multiparitas dapat
menyebabkan timbulnya jaringan fibrosis pada otot rahim sehingga kontraksi
rahim tidak akan sebaik sebelumnya dan pada akhirnya dapat menyebabkan
terjadinya atonia uteri.
Selain atonia uteri, terdapat robekan jalan lahir pada vulva vagina yang
belum dijahit. Hal ini juga bisa menjadikan salah satu penyebab terjadinya
perdarahan post partum. Pada pasien ini dapat dilakukan pencegahan agar tidak
terjadi perdarahan post partum yaitu dengan manajemen aktif kala tiga melalui
peregangan tali pusat terkendali dan manual plasenta agar tidak ada retensio
plasenta. Pada pasien ini sudah dilakukan keduanya dan plasenta lengkap telah
lahir sehingga diagnosis retensio plasenta dan sisa plasenta bisa disingkirkan.
Pasien dilakukan pemeriksaan darah laboratorium untuk menyingkirkan diagnosis
lainnya yaitu gangguan koagulopati.
Tata lalaksana awal yang diberikan yaitu resusitasi cairan untuk
memperbaiki keadaan umum dan hemodinamik pasien. Bila dilihat dari gejalanya

43
pasien mengalami syok kelas III yaitu adanya penurunan tekanan darah,
peningkatan frekuensi nadi, frekuensi nafas, ekskremitas pucat dan keadaan
pasien yang lemas dan mengantuk. Saat dihitung kemungkinan darah yang keluar
di RS yaitu + 600 cc. Cairan yang keluar ini belum termasuk akumulasi darah
yang keluar sejak pasien melahirkan pukul 05.00. Menurut gejala syok kelas III
total darah yang keluar mencapai 30% dari total darah didalam tubuh + 1300 –
1800 cc. Hal ini harus ditatalaksana menggunakan rumus penggantian cairan 3:1.
Dengan demikian, cairan yang masuk seharusnya 3900 cc cairan kristaloid yang
setara dendan 7 – 8 kolf cairan kristaloid ditambah dengan transfusi darah. Pada
pasien ini ditatalaksana dengan cairan loading 500 cc 2 line. Tidak sesuai dengan
penatalaksanaan syok, namun hemodinamik pasien post loading sudah membaik.
Tata laksana lain yang dilakukan selanjutnya yaitu menentukan etiologi,
karena etiologi telah dilakukan yaitu atonia uteri maka dilakukan masase uterus.
Masase uterus sebagai terapi yaitu memijat uterus secara manual melalui abdomen
dan dipertahankan sampai perdarahan berhenti atau uterus berkontraksi dengan
adekuat. Masase awal uterus dan keluarnya bekuan darah tidak termasuk ke dalam
terapi masase uterus. Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus
segera ditangani dengan masase uterus dan pemberian obat-obatan uterotonika.
Bila uterus tetap lembek harus dilakukan kompresi bimanual interna atau eksterna.
Namun kompresi bimanual tidak dilakukan pada pasien karena setelah di lakukan
masase dan pemberian obat – obatan uterotonika keadaan umum pasien membaik
dan perdarahan sudah berkurang. Karena saat pasien datang terdapat beberapa
laserasi jalan lahir pada vulva vagina yang belum dijahit maka dilakukan
penjahitan luka untuk menghentikan perdarahan.
Obat – obatan uterotonika yang diberikan yaitu oksitosin dan ergometrin.
Oksitosin merupakan obat uterotonika lini pertama yang diberikan pada
perdarahan antepartum. Dosis yang diberikan yaitu 2 ampul atau setara dengan 20
unit. Menurut rekomendasi oksitosin untuk perdarahan post partum seharusnya
diberikan 30 – 40 unit dalam cairan 500cc. Dosis yang diberikan pada pasien
dibawah rekomendasi karena sebelum persalinan pasien sudah di induksi dengan
oksitosin. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya intoksikasi dari oksitosin.

44
Selain itu, pada pasien diberikan kombinasi oksitosin dan ergometrin sesuai
Panduan Praktik Klinis RSUP Dr. Hasam Sadikin Bandung. Menurut penelitian
pemberian oksitosin dan ergometrin dapat mengurangi kehilangan darah yang
lebih baik daripada terapi oksitosin tunggal. Pasien juga diberikan misoprostol per
rectal 400 mcg. Misoprostol merupakan analog sintetik dari prostaglandin E1
alamiah. Agen ini diserap secara cepat melalui peroral dengan bioavailabilitas
melebihi 80%. Pemberian misoprostol terbukti aman, ekonomis, dan efektif
menurunkan insiden perdarahan postpartum. Bila PPS masih tidak berhasil
diatasi, dapat diberikan misoprostol per rektal 800-1000ug. Namun pada
penelitian terkini, penambahan misoprostol pada pasien yang sudah menerima
oksitosin pada kala III tidak ada keuntungan bermakna. Pasien juga diberikan
antibiotic sebagai profilaksis adanya infeksi. Antibiotik yang biasanya diberikan
sebagai profilaksis maupun terapi pada infeksi dapat diberikan antibiotik spectrum
luas dan bakteri anaerob seperti ceftriaxone dan metronidazole

Prognosis pada pasien ini dubia ad bonam karena dalam follow up


selanjutnya paska tata laksana awal keadaan umum pasien baik, kontraksi uterus
baik dan perdarahan sudah berkurang. Pasien di transfuse 4 kantong darah PRC
untuk memperbaiki kadar hemoglobin pasien agar tidak terjadi komplikasi
lainnya.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

45
 Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian ibu tertinggi di
Indonesia
 Diagnosa secara dini dan pencegahan terjadinya perdarahan post partum yang
baik membantu penatalaksanaan secara dini sehingga dapat mengurangi angka
mortalitas.
 Apabila terjadi perdarahan post partum lakukan tatalaksana sesuai pedoman
“HAEMOSTASIS”
 Apabila keadaan umum dan perdarahan cepat diatasi akan menghasilkan
prognosis yang baik bagi ibu

5.2 Saran

 Pada kasus Perdarahan post partum diperlukan observasi tanda vital ibu secara
ketat
 Jika terjadi perdarahan post partum harus dilakukan penanganan sesegera
mungkin. Bila perlu harus melakukan rujukan ke Rumah Sakit yang memiliki
fasilitas yang lengkap seperti ruang operasi dan tranfusi darah.
 Sebagai tenaga kesehatan harus bisa mendiagnosis dan juga menangani
kegawatdaruratan perdarahan post partum

DAFTAR PUSTAKA
1. Network SMaNC. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline.
Primary postpartum haemorrhage. Queensland: Queensland Government;
2019
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia.

46
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2016
3. Gemayangsura, Susianti, Rodiani. P2A0 Post Partum Hemorrhagic Post
Partum Et Causa Inversio Uteri, Syok Hemoragik dan Anemia Berat.
Lampung : J AgromedUnila; 2017
4. Evensen, A., Anderson, J. M., Fontaine, P. Postpartum Hemorrhage:
Prevention and Treatment. American Academy of Family Physicians.
5. Wiknjosastro H, editor. Ilmu Bedah Kebidanan. 1st ed. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2018.
6. Tanto C, editor. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media
Aesculapius; 2014.
7. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC. Williams Obstetrics
and Gynecologic. 23rd. San Fransisco: The McGraw-Hill Companies;
2010
8. World Health Organization. WHO recommendations for the prevention
and treatment of post partum hemorrhage Geneva (Switzerland): WHO;
2012.
9. DeCherney AH, Nathan L. Current Obstretric & Gynecologic Diagnosis &
Tretment. 9th ed. New York City: McGraw-Hill; 2003.
10. Saifuddin AB, editor. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2014.
11. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard I. Obstetrics and Gynecology.
10th ed.: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
12. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL. Obstetrics: Normal and Problem
Pregnancies. 5th ed.: Elsevier; 2007.
13. Julizar, M., Effendi, J. S., Sukandar, H. Analisis Faktor Resiko Atonia
Uteri. Bandung; 2019
14. Fakultas Kedokteran UNPAD. Obstetri Fisiologi. Ilmu Kesehatan
Produksi. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2017.50p.
15. Fakultas Kedokteran UNPAD. Obstetri Patologi. Ilmu Kesehatan
Produksi. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2017.
16. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Perdarahan Pasca-Salin. Jakarta; 2016
17. Institute of Obstetricians and Gynaecologists, Royal College of Physicians
of Ireland and Directorate of Strategy and Clinical Programmes Health
Service Executive. Clinical Practice Guideline: Prevention and
Management of Primary Postpartum Haemorrhage. 2012.
18. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, World Health Organization.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan. 1st ed. Jakarta: WHO; 2013.

47

Anda mungkin juga menyukai