Anda di halaman 1dari 15

Peran DXA Bone Density Scans Untuk Diagnosis Dan Pengobatan

Osteoporosis

Glen M Blake, Ignac Fogelman


Department of Nuclear Medicine, Guy’s Hospital, St Thomas Street, London SE1 9RT, UK
Email: glen.blake@kcl.ac.uk

ABSTRAK
Dual energy x ray absorptiometry (DXA) scans untuk mengukur kepadatan mineral
tulang/bone mineral density (BMD) di tulang belakang dan pinggul memiliki peran penting
dalam mengevaluasi individu yang berisiko terkena osteoporosis, dan dalam membantu
dokter memberi tahu pasien tentang penggunaan yang benar dari terapi anti-fraktur.
Dibandingkan dengan teknik alternatif densitometri tulang, pemeriksaan DXA pinggul dan
tulang belakang memiliki sejumlah keunggulan diantaranya adalah hasil BMD dapat
diinterpretasikan menggunakan T-score definisi osteoporosis dari World Health
Organization, dimana terbukti untuk memprediksi risiko fraktur, dan efektivitasnya untuk
mempertimbangkan penggunaan terapi antifraktur, serta kemampuan untuk memantau
respons terhadap pengobatan. Review ini membahas bukti keuntungan dan aspek klinis
lainnya dari DXA scanning, serta perannya dalam algoritma WHO terbaru untuk perawatan
pasien berdasarkan risiko fraktur individual pasien.

PENDAHULUAN
Osteoporosis secara luas dikenal sebagai masalah kesehatan masyarakat yang penting
karena morbiditas, mortalitas, dan biayanya yang signifikan terkait dengan komplikasinya —
yaitu, fraktur pinggul, tulang belakang, lengan bawah, dan lokasi tulang lainnya. 1 Kejadian
patah tulang paling tinggi terdapat di antara wanita lansia kulit putih, dimana satu dari dua
wanita menderita patah tulang dikarenakan osteoporosis selama hidup mereka. 2 Setiap tahun
di Inggris diperkirakan 260.000 patah tulang terkait osteoporosis terjadi di antara wanita
berusia 50 tahun ke atas, dimana lebih dari 70.000 diantaranya merupakan kasus patah tulang
pinggul.3, 4 Perhatian sering berfokus pada patah tulang pinggul, karena dapat menimbulkan
morbiditas dan biaya medis terbesar untuk layanan kesehatan. 5 Namun, patah tulang di
tempat lain juga menimbulkan morbiditas dan biaya yang signifikan, 6 dimana baik patah
tulang pinggul maupun tulang belakang dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian, serta
peningkatan ketergantungan pada layanan kesehatan untuk kegiatan dasar kehidupan sehari-
hari. Pada tahun 2000, total biaya tahunan National Health Service untuk perawatan patah
tulang osteoporosis diperkirakan berjumlah £1,5 miliar (€2,4 miliar, $3 miliar). 5, 9 Pada tahun
2020 diprediksi bahwa penduduk Inggris berusia di atas 85 tahun tahun akan berlipat ganda
dari 1,2 juta menjadi 2,1 juta, sehingga pencegahan patah tulang menjadi sangat penting.
Meskipun selama bertahun-tahun ada kesadaran akan morbiditas dan mortalitas yang
terkait dengan fraktur akibat kerapuhan tulang, namun pencapaian yang nyata sampai saat ini
hanya kemampuan untuk mendiagnosis osteoporosis sebelum fraktur terjadi dan
pengembangan perawatan yang efektif. Pengukuran kepadatan mineral tulang/bone mineral
density (BMD) memainkan peran penting dalam kedua pencapaian ini. Sampai pertengahan
1980-an pengukuran kepadatan tulang digunakan terutama untuk penelitian, namun itu hanya
dengan pengenalan dual-energy x ray absorptiometry (DXA) scanners pada tahun 1987
dimana pemeriksaan tersebut dimasukan ke praktik klinis rutin. 11 Pencapaian lebih lanjut
termasuk publikasi pertama yang menunjukan bahwa pengobatan bisphosphonate mencegah
pengeroposan tulang,12 publikasi World Health Organization melaporkan bahwa pada wanita
kulit putih pascamenopause mengalami osteoporosis jika BMD T-score pada tulang
belakang, pinggul atau lengan bawah dengan skor -2,5 atau kurang, 13,14 serta Fracture
Intervention Trial mengkonfirmasikan bahwa pengobatan bisphosphonate dapat mencegah
terjadinya fraktur.15 Sejak saat itu sejumlah besar penelitian telah memberikan bukti
efektivitas bisphosphonate (BPs),16-20 selective oestrogen receptor modulators (SERM),21
recombinant human parathyroid hormone (PTH)22 dan strontium ranelate23-25 terhadap
pencegahan fraktur akibat kerapuhan tulang.

PERAN KLINIS PENGUKURAN KEPADATAN TULANG


Saat ini, pengukuran BMD memiliki peran penting dalam menilai pasien yang
berisiko osteoporosis dan dalam penggunaan pengobatan antifracture yang tepat. 14, 26, 27 Secara
umum metode pengujian yang sering digunakan adalah dengan menggunakan DXA scans
pada kerangka sentral untuk mengukur BMD tulang belakang dan pinggul. Pemeriksaan
DXA sentral memiliki tiga peran utama, yaitu diagnosis osteoporosis, penilaian risiko patah
tulang pasien, dan pemantauan respons terhadap pengobatan. Alasan penggunaan DXA
sentral lebih dipilih adalah: fakta bahwa BMD pinggul merupakan pengukuran yang paling
dapat diandalkan untuk memprediksi risiko fraktur panggul 28-30; penggunaannya untuk
memantau perawatan tulang belakang31, 32; dan dari kesepakatan bahwa pengukuran BMD
tulang belakang serta pinggul pada wanita kulit putih pascamenopause dapat dievaluasi
menggunakan WHO T-score definitions untuk menilai osteoporosis dan osteopenia (tabel 1) .
14, 26, 27

Tabel 1. Definisi osteoporosis dan osteopenia oleh World Health Organization yang digunakan untuk
menginterpretasikan hasil dual-energy x ray absorptiometry (DXA) scan dari tulang belakang, pinggul
dan lengan pada wanita postmenopause dengan kulit putuh

Terminologi T-score
Normal T ≥ -1,0
Ostepenia -2,5 < T < -1,0
Osteoporosis T ≤ -2,5
Established osteoporosis T ≤ -2,5 dan terdapat satu atau lebih fraktur akibat kerapuhan

T-score dinilai dengan menghitung perbedaan antara BMD yang diukur pasien dan
BMD rata-rata pada orang dewasa muda yang sehat, sesuai jenis kelamin dan kelompok etnis,
dan dinyatakan denggan perbedaan relatif terhadap standar deviasi (SD) populasi dewasa
muda:
BMD yang terukur−rerata BMD orang dewasamuda
T-score =
SD populasi dewasa muda
Keuntungan penting lain dari DXA diantaranya waktu pemindaian yang singkat,
persiapan pasien sebelum pemindaian yang mudah, dosis radiasi rendah dan presisi
pengukuran yang baik. Keuntungan tersebut serta keuntungan lainnya dari DXA sentral
dirangkum dalam kotak 1 dan dibahas lebih lanjut di bawah ini.

Kotak 1: Keuntungan dari DXA sentral


 Disepakati bahwa hasil kepadatan mineral tulang dapat diinterpretasikan menggunakan
T-score WHO
 Kemampuannya yang terbukti untuk memprediksi risiko fraktur
 Dasar algoritma WHO baru untuk memprediksi risiko fraktur
 Terbukti efektif untuk penargetan pengobatan anti-fraktur
 Presisi bagus
 Efektif dalam memonitor respons terhadap pengobatan
 Akurasi dapat diterima
 Kalibrasi yang stabil
 Prosedur pengendalian kualitas instrumen yang efektif
 Waktu scan singkat
 Persiapan pasien cepat
 Dosis radiasi rendah
 Ketersediaan referensi rentang nilai yang reliabel

Selain sistem DXA pusat untuk mengukur tulang belakang dan pinggul, berbagai jenis
pengukuran densitometri tulang lainnya juga tersedia. 11, 33 Hal ini termasuk pengukuran
quantitative computed tomography (QCT) tulang belakang dan pinggul,34, 35 sistem peripheral
DXA (pDXA) untuk mengukur lengan, tumit atau tangan, 36 dan alat quantitative ultrasound
(QUS) untuk pengukuran tumit dan lokasi periferal lainnya. 37 Pada prinsipnya, perangkat
pDXA dan QUS menawarkan metode yang cepat, murah dan nyaman untuk menilai status
kerangka tulang yang membuatnya lebih baik untuk digunakan secara luas. Namun dalam
praktiknya, jenis-jenis pengukuran alternatif ini berkorelasi buruk dengan DXA pusat, dengan
koefisien korelasi dalam kisaran r = 0,5 hingga 0,65.38 Kurangnya kesepakatan terkait DXA
pusat telah terbukti menjadi penghalang untuk tercapainya konsensus penggunaan metode-
metode lain ini.38, 39

TEKNIK MANA YANG MERUPAKAN PENGUKURAN TERBAIK?


Dengan pilihan beberapa jenis pengukuran, bagaimana kita memutuskan teknik mana
yang paling efektif? Dasar untuk penggunaan klinis pengukuran BMD adalah kemampuannya
untuk memprediksi risiko patah tulang, serta merupakan cara yang paling dapat diandalkan
untuk mengevaluasi dan membandingkan teknik lain melalui studi prospektif dari fraktur
insiden.28 Gambar 1 menggambarkan bagaimana data dari studi mengenai fraktur dianalisis
untuk menilai hubungan antara BMD dan risiko patah tulang. Ketika nilai BMD awal
digunakan untuk membagi pasien ke dalam kuartil, terdapat hubungan negatif antara risiko
patah tulang dan BMD. Untuk menggambarkan hubungan ini, pengukuran BMD pertama
dikonversi ke Z-scores. Z-scores mirip dengan T-scores kecuali dimana T-scores
membandingkan BMD pasien dengan rata-rata orang dewasa muda, Z-scores
membandingkannya dengan rata-rata BMD yang diharapkan untuk pasien (misalnya, untuk
subjek normal sehat yang dicocokan dengan usia, jenis kelamin dan suku):
BMD yang terukur−rerata BMD dengan usia yang telah dicocokan
Z-score =
SD populasi dengan usia yang telah dicocokan
Data dari studi fraktur dilengkapi dengsn model gradient-of-risk di mana risiko
fraktur meningkat secara eksponensial terhadap penurunan Z-scores dengan gradien β
(gambar 1, inset). Hasil biasanya dinyatakan dalam relative risk (RR), yang didefinisikan
sebagai peningkatan risiko fraktur untuk setiap unit penurunan skor-Z.

Gambar 1. Insiden risiko fraktur pinggul dikarenakan kuartil kepadatan mineral tulang/ bone mineral
density (BMD) untuk BMD leher femoral. Data diambil dari follow-up dari Study of Osteoporotic
Fractures (SOF) selama 2 tahun.41 Diagram inset: data dari studi fraktur dilengkapi dengan model
gradient-of-risk, di mana risiko fraktur bervariasi secara eksponensial dengan Z-score dengan gradien
β. Hasil dinyatakan dalam risiko relatif (RR), peningkatan risiko fraktur untuk setiap unit penurunan Z-
score. Nilai RR didapatkan dari β menggunakan fungsi eksponensial (RR = exp(β)). Selain itu,
gradient-of-risk didapatkan dengan mengambil logaritma natural RR (β = ln (RR)).
Semakin besar nilai RR (atau setara, semakin curam gradient-of-risk pada gambar 1),
semakin efektif suatu teknik dalam membedakan antara pasien yang akan menderita patah
tulang di masa depan dan mereka yang tidak. Untuk memahami alasannya, anggap saja
sekelompok besar subjek dipilih secara acak dari populasi umum. Untuk kelompok seperti
itu, distribusi nilai Z-score mendekati kurva Gaussian (gambar 2A). Distribusi nilai Z- score
pada kelompok pasien yang diprediksi akan mengalami fraktur akibat osteoporosis
didapatkan dengan mengalikan kurva Gaussian yang mewakili populasi umum dengan kurva
gradient-of-risk yang ditunjukkan pada inset gambar 1. Ketika hal ini dilakukan distribusi
nilai Z-score untuk populasi fraktur didapatkan dari kurva Gaussian kedua dengan SD yang
sama dengan yang pertama, tetapi dengan puncaknya diimbangi (offset) ke kiri dengan
jumlah ∆Z sama dengan gradient-of-risk β (atau setara dengan logaritma natural dari relative
risk) [∆Z = β = ln(RR)] (gambar 2A) .40
Untuk memahami pentingnya memilih suatu teknik dengan nilai RR yang tinggi,
pertimbangkan untuk memilih beberapa nilai Z-score acak pada gambar 2A sebagai ambang
batas untuk membuat keputusan tentang perawatan pasien (misalnya, mungkin nilai Z-score
setara dengan T-score -2,5). Area di bawah dua kurva dapat dievaluasi untuk menemukan
persentase pasien pada populasi fraktur dan populasi umum dengan hasil Z-score di bawah
ambang batas yang dipilih. Karena ambang batasnya bervariasi dan dua persentase tersebut
diplot terhadap satu sama lain, kami memperoleh kurva receiver operating characteristic
(ROC) (gambar 2B) di mana persentase true positives (pasien yang akan menderita fraktur di
masa depan dan diidentifikasi dengan benar akan beresiko) diplot terhadap persentase false
positives (pasien yang diidentifikasi berisiko fraktur tetapi tidak pernah mengalami fraktur).
Gambar 2B sangat fundamental untuk memahami nilai klinis dari semua jenis pengukuran
kepadatan tulang yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengobati pasien yang berisiko
fraktur. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai RR dari sebuah teknik pengukuran,
semakin banyak dokter yang berhasil mengidentifikasi dan merawat pasien yang berisiko
mengalami fraktur.

Gambar 2. (A) Distribusi nilai Z-score dalam populasi fraktur dibandingkan dengan populasi umum
yang dicocokan dengan usia. Kurva untuk populasi umum adalah kurva berbentuk lonceng yang
didistribusikan secara simetris di diantara puncaknya pada Z = 0. Kurva yang sesuai untuk populasi
pasien yang akan menderita fraktur akibat osteoporosis adalah kurva berbentuk lonceng yang serupa
yang diimbangi oleh populasi umum oleh perbedaan Z-score ∆Z = ln(RR), di mana RR = risiko relatif.
Tabel inset mencantumkan nilai RR dan ∆Z. (B) Plot kurva receiver operating characteristic (ROC)
yang didapatkan dengan mengevaluasi area di bawah dua kurva berbentuk lonceng yang ditunjukkan
dalam gambar 2A hingga ambang batas Z-score yang dipilih secara acak dan memplot kedua area
tersebut satu sama lain untuk nilai yang berbeda dari risiko relatif (RR). Kurva ROC menunjukkan
persentase kasus fraktur yang terdapat di bawah ambang batas kepadatan mineral tulang/bone
mineral density (BMD) (area yang diarsir di bawah kurva populasi fraktur pada gambar 2A) diplot
terhadap persentase subjek dalam populasi umum yang berada di bawah ambang yang sama (area
yang diarsir di bawah kurva populasi umum dalam gambar 2A). Oleh karena itu hal tersebut
menunjukkan fraksi true positive (pasien yang mengalami fraktur dan diidentifikasi dengan benar
sebagai kelompok berisiko) terhadap fraksi false positive (pasien yang diidentifikasi berisiko tetapi
tidak pernah mengalami fraktur). Semakin besar nilai RR semakin besar pemisahan antara dua kurva
pada Gambar 2A dan semakin efektif pengukuran BMD dalam membedakan pasien yang akan
mengalami fraktur. Sebagai contoh, jika pasien dalam kuartil terendah BMD diidentifikasi untuk
pengobatan, maka untuk nilai RR 1,5, 2,0, 2,5 dan 3,0 kelompok ini akan mencakup masing-masing
39%, 51%, 60% dan 66%, dari semua pasien yang akan menderita fraktur.

DATA DARI PENELITIAN TERKAIT FRAKTUR


Salah satu keuntungan klinis penting dari DXA sentral dibandingkan dengan jenis
pengukuran kepadatan tulang lainnya adalah kemampuannya untuk mengidentifikasi pasien
yang berisiko fraktur telah dinilai dan dibuktikan dalam sejumlah besar studi epidemiologi.
Di antara penelitian yang paling informatif adalah Study of Osteoporotic Fractures (SOF),
sebuah studi yang dilakukan di Amerika Serikat terhadap 9.704 wanita kulit putih berusia 65
tahun ke atas yang memiliki ukuran dasar BMD pinggul, tulang belakang, lengan dan tumit
ketika studi dimulai pada akhir tahun 1980-an.29 Studi SOF yang baru-baru ini diterbitkan
dengan lama pengamatan (follow-up) 10 tahun mengkonfirmasi hubungan antara BMD dan
risiko fraktur dengan reliabilitas statistik yang tinggi terhadap banyak jenis fraktur; data
menunjukkan bahwa prediksi risiko fraktur pinggul dari pengukuran BMD pinggul memiliki
nilai RR terbesar dan merupakan jenis pemeriksaan DXA yang paling efektif (gambar 3).29
Studi terbaru lainnya tentang hubungan antara fraktur pinggul dengan BMD pinggul
berdasarkan pada meta-analisis dari 12 studi fraktur yang berbeda dari Kanada, Eropa, Jepang
dan Australia menemukan nilai RR yang serupa dengan studi SOF pada pria dan wanita.30
Gambar 3. Nilai risiko relatif (RR) (didefinisikan sebagai peningkatan risiko fraktur untuk penurunan 1
SD kepadatan mineral tulang/bone mineral density (BMD)) untuk fraktur di lokasi tulang yang berbeda
(pergelangan tangan, pinggul, tulang belakang, dan fraktur apa pun) untuk pengukuran BMD yang
dilakukan di empat lokasi berbeda (lengan bawah, tumit, tulang belakang, dan leher femoralis).
Diagram batang kesalahan menunjukkan interval kepercayaan 95%. Data diambil dari follow-up studi
Study of Osteoporotic Fractures (SOF) selama 10 tahun. Dalam data SOF nilai RR terbesar adalah
nilai prediksi risiko fraktur pinggul dari pengukuran BMD pinggul (RR = 2,4 ). Dari kurva ROC yang
ditunjukkan pada gambar 2B ini menunjukkan bahwa pengukuran DXA scan yang paling efektif
secara klinis adalah dengan menggunakan BMD pinggul untuk memprediksi risiko fraktur pinggul.

Salah satu kekuatan dari studi SOF adalah banyaknya jumlah kasus fraktur yang
tercatat. Untuk membuat perbandingan yang bermakna antara teknik densitometri tulang
yang berbeda, penting untuk melakukan penelitian besar yang mencakup beberapa ratus
kasus fraktur untuk mencapai kekuatan statistik yang memadai. Hal ini digambarkan pada
gambar 4, yang menunjukkan nilai RR dari sejumlah studi dengan interval kepercayaan 95%
dan jumlah fraktur pinggul yang dimasukkan dalam penelitian. Sebagai studi SOF telah
berkembang, hasil studi tersebut secara konsisten mengkonfirmasi kemampuan pengukuran
BMD pinggul untuk memprediksi risiko fraktur pinggul dengan nilai RR sekitar 2,5, tetapi
kesalahan statistik telah menurun seiring jumlah fraktur meningkat dari waktu ke waktu,
hingga studi analisis 10 tahun terakhir didasarkan pada lebih dari 650 fraktur pinggul
(gambar 4).29, 41, 42
Hal lain juga ditunjukkan dalam gambar 4 yaitu hasil dari studi prospektif pertama
dari QCT dan risiko fraktur. Studi Osteoporotic Fractures in Men (MrOS) meemasukkan
5.995 pria kulit putih berusia 65 tahun ke atas dari enam pusat di AS. Seperti halnya DXA
scans, 3.357 pria memiliki QCT scan tulang belakang dan pinggul. Hasil pertama didasarkan
pada 36 kasus fraktur panggul yang dicatat setelah difollow-up dengan periode rata-rata 4,4
tahun menunjukkan nilai RR BMD leher femoralis yang sebanding yang diukur dengan QCT
atau DXA (gambar 4). Namun, karena sejumlah kecil kasus fraktur yang tercatat sejauh ini
memiliki kesalahan statistik masih terlalu besar untuk membuat perbandingan yang
bermakna antara QCT dan DXA.

Gambar 4. Nilai risiko relatif (RR) (didefinisikan sebagai peningkatan risiko fraktur untuk penurunan 1
SD dalam kepadatan mineral tulang (BMD)) untuk fraktur pinggul untuk: (1) pengukuran dual-energi x
ray absorptiometry (DXA) pengukuran (Study of Osteoporotic Fractures (SOF) 2 tahun,41 5 tahun
studi,42 dan 10 tahun studi29); (2) quantitative computed tomography (QCT) dan pengukuran BMD
DXA pinggul (Osteoporotic Fractures in Men Study (MrOS) 43); (3) pengukuran water based
quantitative ultrasound (QUS) tumit (studi 2 tahun SOF, 44 studi EPIDOS,45 studi 5 tahun SOF,42 dan
meta-analisis Woodhouse46); dan (4) pengukuran dry QUS tumit (studi Amsterdam, 47 studi EPIC,48
studi NORA49 dan studi SOF50). Diagram batang kesalahan menunjukkan interval kepercayaan 95%.
Garis putus-putus vertikal pada RR = 1.0 menunjukkan angka di mana tidak ada diskriminasi fraktur.
Jumlah di samping setiap titik data menunjukkan jumlah fraktur pinggul dalam penelitian ini. Grafik
tersebut menggambarkan pentingnya memiliki sejumlah besar pasien fraktur untuk mengurangi
diagram batang kesalahan dan membuat perbandingan yang bermakna antara teknik densitometri
tulang yang berbeda.

Data lain yang diplot pada gambar 4 adalah hasil dari alat QUS untuk tumit berbasis
42, 44-46
air maupun kering47-50 untuk memprediksi risiko fraktur pinggul. Meskipun secara luas
diyakini sama efektifnya dengan DXA sentral dalam memprediksi risiko fraktur pinggul,
perlu dicatat bahwa studi QUS yang lebih banyak dikutip didasarkan pada jumlah kasus
fraktur yang relatif kecil,44, 45-48 sementara hasil yang diperoleh dengan jumlah kasus fraktur
yang lebih besar sering ditemukan hasil yang kurang bermanfaat.42, 46-50

PENARGETAN YANG TEPAT UNTUK PENGOBATAN ANTI FRAKTUR


Keuntungan lain dari DXA sentral adalah kemampuannya yang telah terbukti untuk
mengidentifikasi pasien yang akan merespons terhadap terapi obat-obatan untuk mencegah
fraktur akibat osteoporosis. Tabel 2 mencantumkan uji klinis pokok yang terbukti mencegah
fraktur belakang dan/atau non-vertebral.15-24 Perlu dicatat bahwa semua uji coba yang
terdaftar memasukkan pasien berdasarkan kriteria inklusi studi yaitu terdapat DXA scan T-
score tulang belakang atau pinggul yang menunjukkan osteoporosis atau osteopenia berat.
Dalam sejumlah uji coba tersebut, analisis data menunjukkan bahwa pengobatan hanya
efektif pada subjek dengan T-score pinggul atau tulang belakang -2,5 atau kurang.16, 18, 19, 24
Temuan ini telah menciptakan masalah dalam memilih pasien untuk pengobatan yang
diperiksa menggunakan teknik lain dibandingkan DXA sentral karena kurangnya hubungan
antara teknik lain dengan bukti bahwa pasien yang dipilih menggunakan teknik lain akan
berespon terhadap pengobatan.51

Tabel 2. Penelitian pencegahan fraktur yang menggunakan pasien DXA sentral

Kelas agen Nama obat Nama Ambang batas T-score untuk memasukan
penelitian pasien*
Bisphosphonate Alendronat FIT 115 T-score leher femoralis < -1,5 ┼
e FIT 216 T-score leher femoralis < -1,5
VERT NA17 T-score tulang belakang <2 ┼
Risedronate HIP18 T-score leher femoralis <3,2 ╪
BONE19 T-score tulang belakang dalam rentang -2
Ibandronate hingga -5 ┼
HORIZON20 T-score leher femoralis < -2,5 ┼
Zoledronate
Selective MORE21 T-score tulang belakang atau leher
estrogen Raloxifene femoralis <1,8 ┼
receptor Neer study22
modulator
SOTI23
Parathyroid TROPOS24 T-score tulang belakang atau leher
hormone PTH (1-34) femoralis <-1 ┼

Strontium Strontium T-score tulang belakang <1,9 ┼


ranelate T-score leher femoralis <-2,2

BONE, penelitian fraktur vertebra Oral Ibandronate Osteoporosis di North America dan Europe; FIT,
Fracture Intervention Trial; HIP, Risedronate Hip Study; HORIZON, HORIZON Pivotal Fracture Trial;
MORE, Multiple Outcomes of Raloxifene Evaluation; SOTI, Spinal Osteoporosis Therapeutic
Intervention; TROPOS, Treatment of Peripheral Osteoporosis; VERT NA, penelitian Vertebral
Efficacy with Risedronate Therapy (North America)
*Ambang batas T-score adalah yang dihitung menggunakan referensi rentang NHANES III untuk
BMD pinggul dan referensi rentang Hologic untuk BMD tulang belakang. 52

Kriteria inklusi penelitian juga memasukan fraktur vertebra umum.

Kriteria inklusi penelitian juga memasukan factor resiko klinis.

KETERSEDIAAN RENTANG REFERENSI YANG DAPAT DIANDALKAN


Selama 10 tahun terakhir interpretasi DXA scans telah digunakan oleh WHO T-score
definition untuk osteoporosis (tabel 1). Namun, perlu diperhatikan dalam pemilihan data
referensi untuk perhitungan nilai T-score jika hasil pemindaian harus diinterpretasikan
reliabilitasnya. Untuk hasil yang konsistensi, banyak pedoman tentang perawatan pasien
merekomendasikan penggunaan database rujukan Third National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES III) untuk derifasi T-score di pinggul.52 Rekomendasi ini
dibuat setelah publikasi penelitian yang membandingkan hasil T-score tulang belakang dan
pinggul yang diperoleh pada dua merek utama DXA scanner (GELunar dan Hologic) dan
dihitung menggunakan rentang referensi alat tersebut.53 Meskipun ditemukan kesamaan hasil
untuk T-score tulang belakang yang diukur pada system dua merek tersebut, sebuah
perbedaan sistematis satu unit T-score ditemukan pada T-score leher femoralis. Perbedaan ini
direkonsiliasi oleh kedua produsen dimana mereka setuju untuk mengadopsi rentang referensi
pinggul yang berasal dari studi NHANES,54 yang didasarkan pada pengukuran lebih dari
14.000 pria dan wanita yang dipilih secara acak dari seluruh Amerika Serikat. Sayangnya
tidak ada waktu yang cukup dalam penelitian NHANES untuk mengukur BMD tulang
belakang seperti pada penelitian pinggul, sehingga hasil DXA tulang belakang biasanya
ditafsirkan menggunakan data referensi masing-masing alat.
Perbandingan rentang referensi dari alat yang berbeda untuk lokasi pengukuran yang
sama dapat menunjukkan perbedaan besar dalam plot rata-rata T-score terhadap usia karena
faktor-faktor diantaranya populasi yang tidak sesuai, konvensi yang berbeda untuk
memperoleh kurva referensi dari data, dan jumlah subjek yang tidak mencukupi untuk
reliabilitas statistik.55 Adopsi range referensi BMD pinggul oleh semua produsen DXA dari
NHANES dengan populasi besar yang dipilih secara acak merupakan hal penting dalam
memberikan kepercayaan dalam interpretasi hasil pemindaian.

INTERPRETASI T-SCORE MENGGUNAKAN KRITERIA WHO


Seperti yang telah dijelaskan di atas, salah satu keuntungan dari DXA sentral adalah
konsensusnya yang tersebar luas bahwa pengukuran BMD tulang belakang, pinggul dan
lengan harus diinterpretasikan menggunakan WHO T-score definition untuk osteoporosis
(tabel 1). Definisi WHO tidak boleh digunakan untuk menginterpretasikan pengukuran QCT
atau QUS, atau hasil pDXA di lokasi lebih dari radius 33 %. 56 Alasan mengapa hal ini sangat
penting dapat dipahami dari gambar 5. Ketika referensi range untuk berbagai jenis
pengukuran kepadatan tulang diplot sebagai grafik dari rata-rata T-score terhadap usia, kurva
yang diperoleh sangat berbeda untuk teknik yang berbeda. Sebagai contoh, kurva untuk QCT
tulang belakang menurun relatif cepat dengan usia dan melewati ambang batas WHO T =
-2,5 pada usia 60 (gambar 5). Hal ini berarti bahwa jika kita menginterpretasikan
pengukuran QCT menggunakan kriteria WHO kita akan menemukan bahwa 50% dari wanita
60 tahun memiliki osteoporosis. Sebaliknya, untuk beberapa jenis alat pDXA dan QUS tumit
kurva menurun relatif lambat dengan usia sehingga pasien perlu mencapai usia 100 sebelum
50% dari mereka ditemukan memiliki osteoporosis. Untuk tulang belakang, leher femoralis
dan pengukuran DXA radius 33%, ketiga kurva menurun relatif sama dengan usia, melewati
ambang T = -2,5 pada usia 75.

Gambar 5. Penurunan terkait usia dalam rata-rata T-score di berbagai lokasi kepadatan mineral
tulang untuk subjek perempuan kulit putih yang sehat. Data dual-energi x ray absorptiometry (DXA)
diambil dari studi NHANES.52, 54 Data normatif DXA untuk PA tulang belakang (L1-L4) dan lengan
bawah (daerah lengan bawah total) diperoleh dari referensi rentang Hologis. Data tumit untuk
perangkat GE-Lunar PIXI pDXA. Spinal quantitative computed tomography (QCT) adalah yang
digunakan oleh sistem referensi Analisis Gambar.

Jelas bahwa jika perawatan tidak diambil dalam menerapkan kriteria WHO dengan
tepat maka kasus-kasus osteoporosis dapat secara serius under diagnosed atau over
diagnosed tergantung pada teknik pengukuran.38 Pada prinsipnya, teknik densitometri tulang
selain DXA sentral dapat menggunakan ambang batas spesifik masing-masing alat yang
sesuai untuk mengidentifikasi kelompok pasien dengan hasil tinggi yang tidak beresiko
menderita osteoporosis, dan kelompok kedua dengan hasil rendah yang dapat diobati tanpa
pengujian lebih lanjut.55 Pasien dengan hasil intermediate dapat dirujuk untuk pemeriksaan
DXA sentral untuk hasil definitif. Namun, penggunaan klinis dari algoritma triage ini
membutuhkan ketersediaan informasi yang memadai tentang ambang batas spesifik masing-
masing alat.

ALGORITMA RISIKO FRAKTUR WHO TERBARU


Pandangan tentang cara terbaik menggunakan hasil DXA scans untuk memberikan
rekomendasi kepada pasien tentang penggunaan pengobatan anti-fraktur terus berkembang.2,
57-59
Sebagaimana ditekankan di atas, nilai klinis pemeriksaan BMD terletak pada informasi
yang diberikan tentang risiko fraktur. Keterbatasan penting dari penggunaan T-score WHO
untuk membuat keputusan tentang pengobatan adalah usia dan BMD merupakan faktor
penting dalam menentukan risiko pasien mengalami fraktur dalam 5 atau 10 tahun ke depan. 2,
58, 60
Untuk setiap T-score pinggul, risiko patah tulang pada pria dan wanita antara usia 45 dan
85 tahun sangat bervariasi tergantung sesuai dengan usia.60 Pendekatan baru penggunaan
pemindaian BMD untuk keputusan dilakukannya perawatan telah diusulkan berdasarkan pada
kamungkinan dalam 10 tahun pasien terjadi fraktur akibat osteoporosis.2, 58 Hal ini memiliki
sejumlah keuntungan, diantaranya: penargetan pengobatan osteoporosis sesuai dengan risiko
fraktur pasien2; penggabungan faktor-faktor risiko tambahan seperti riwayat fraktur
sebelumnya untuk menyempurnakan algoritma perkiraan risiko fraktur 58; dan penggunaan
kriteria ekonomi kesehatan untuk menetapkan ambang batas intervensi berdasarkan pada
biaya perawatan, tabungan untuk layanan kesehatan, dan kontribusi pencegahan fraktur
terhadap kualitas hidup pasien.57
Nilai penggunaan informasi dari tambahan faktor risiko yang memberikan informasi
independen tentang risiko fraktur di atas yang diberikan oleh usia dan BMD dapat dipahami
dengan merujuk pada kurva ROC yang ditunjukkan pada gambar 2B. Dengan semua jenis
pengukuran kepadatan tulang, pasien fraktur dan non-fraktur memiliki distribusi BMD yang
tumpang tindih (gambar 2A), yang mengarah ke kurva ROC (gambar 2B), di mana pada
ambang T-score yang diberikan hanya sejumlah tertentu dari kasus fraktur di masa depan
diidentifikasi untuk perawatan dengan kerugian juga harus merawat sejumlah besar pasien
yang tidak fraktur. Seperti yang dijelaskan di atas, yang terbaik yang dapat dilakukan dengan
densitometri tulang saja adalah memilih lokasi pengukuran BMD dengan nilai RR tertinggi
yang akan mengoptimalkan kurva ROC. Namun, dengan menggabungkan data BMD dengan
usia dan faktor-faktor risiko lain yang dipilih dengan tepat (kotak 2), kurva ROC dapat lebih
ditingkatkan sehingga perawatan lebih tepat sasaran pada pasien dengan risiko tertinggi.
Algoritma risiko fraktur WHO terbaru didasarkan pada serangkaian meta-analisis data
dari 12 studi fraktur independen dari Amerika Utara, Eropa, Asia dan Australia. 61-66 Informasi
DXA scan yang diperlukan adalah BMD leher femoralis. Karena kebutuhan untuk membuat
parameter yang benar ke dalam model statistik, termasuk berbagai faktor risiko yang saling
ketergantungan, terdapat persyaratan khusus dimana informasi BMD disediakan oleh DXA
scan pinggul. Ketergantungan pada informasi BMD dari suatu lokasi kerangka tunggal
menimbulkan pertanyaan apakah prediksi risiko fraktur dapat ditingkatkan dengan
menggabungkan pengukuran BMD dari lebih dari satu lokasi. Sebuah data meta-analisis
BMD leher dan tulang belakang wanita menunjukkan bahwa penggunaan T-score terendah
tidak meningkatkan kurva ROC.67 Temuan ini mungkin mengejutkan, tetapi analisis
matematika mempunyai alasan: meskipun pengukuran BMD pinggul dan tulang belakang
berkorelasi cukup buruk (r = 0,5 hingga 0,65), bahkan tingkat korelasi ini terlalu tinggi untuk
lokasi BMD kedua memberikan informasi tambahan yang signifikan tentang risiko patah
tulang. Poin lebih lanjut yang mengikuti dari algoritma risiko fraktur WHO adalah bahwa
tidak semua pasien perlu memerlukan DXA scan.69 Untuk beberapa penggunaan terkait usia,
riwayat fraktur dan faktor-faktor risiko lain yang tercantum dalam kotak 2 cukup untuk
menempatkan mereka dalam kelompok risiko tinggi yang memerlukan perawatan anti-
fraktur, atau kelompok risiko rendah dimana terdapat kemungkinan kecil akan terjadi fraktur.
Dengan demikian, di masa depan pendekatan triase dapat diadopsi untuk BMD scan di mana
algoritma risiko fraktur digunakan untuk memilih pasien yang memerlukan pemeriksaan
DXA di mana informasi BMD cenderung memberikan kontribusi yang signifikan bagi
mereka.
Kotak 2. Faktor resiko klinis yang dimasukan ke dalam algoritma fraktur WHO
 Usia
 Indeks massa tubuh yang rendah
 Riwayat fraktur sebelumnya setelah usia 50 tahun
 Riwayat fraktur panggul dari orang tua
 Kebiasaan merokok saat ini
 Penggunaan kortikosteroid sistemik saat ini atau sebelumnya
 Asupan alkohol >2 unit setiap hari
 Artritis reumatoid

Keuntungan lain dari pendekatan WHO yang baru adalah bahwa dimungkinkan
ambang risiko fraktur untuk intervensi ditetapkan berdasarkan kriteria ekonomi yang dapat
disesuaikan untuk praktik klinis di berbagai negara.70, 71 Serangkaian analisis ekonomi
kesehatan telah meneliti alasan untuk pencegahan fraktur dan efektivitas biaya berbagai
perawatan osteoporosis.72–76 Analisis ini menunjukkan bahwa, dengan mempertimbangkan
semua jenis fraktur, ambang biaya efektif untuk intervensi sesuai dengan nilai-nilai T-score
antara -2 dan -3 pada rentang usia 50 hingga 80 tahun.57, 58

PANDUAN PADA PENGOBATAN OSTEOPOROSIS


National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) sedang dalam proses
mengembangkan pedoman klinis untuk penilaian risiko fraktur dan pencegahan fraktur akibat
osteoporosis pada individu dengan risiko tinggi, yang akan menetapkan standar perawatan
untuk orang dengan risiko atau beresiko osteoporosis.77 Belum ada tanggal yang ditetapkan
untuk publikasi pedoman osteoporosis, tetapi sebagai bagian dari perkembangannya dua set
teknologi penilaian yang masing-masing dengan pencegahan primer dan sekunder dari fraktur
osteoporosis sedang dalam persiapan 78, 79 dan versi draft penilaian tersebut baru-baru ini
(Maret 2007) dikeluarkan sebagai dokumen konsultasi penilaian.80, 81
Dokumen konsultasi baru tentang pencegahan sekunder memperbarui penilaian
teknologi sebelumnya yang diterbitkan pada tahun 2005.82 Berdasarkan biaya obat dan meta-
analisis khasiat antifraktur, agen yang direkomendasikan untuk memulai pengobatan adalah
alendronate generik.81 Alendronate direkomendasikan untuk pencegahan sekunder dari
fraktur akibat kerapuhan terkait osteoporotik pada wanita pascamenopause yang memiliki T-
score -2,5 SD atau lebih rendah dikonfirmasi oleh DXA scan. Untuk wanita berusia 75 tahun
atau yang lebih tua dokter dapat memilih untuk memulai pengobatan tanpa perlu DXA scan.
Perawatan lainnya (etidronate, risedronate, raloxifene, strontium ranelate dan teriparatide)
tidak dianjurkan untuk memulai pengobatan karena relatif lebih mahal atau dianggap kurang
efektif dibandingkan alendronate generik. Wanita yang saat ini menerima pengobatan dengan
menggunakan salah satu dari obat-obatan di atas tetapi yang tidak memenuhi kriteria baru
untuk terapi memiliki pilihan untuk melanjutkan pengobatan sampai mereka dan dokter
mereka memperbolehkan untuk berhenti. Tidak ada rekomendasi yang dibuat tentang
penggunaan pengobatan alternatif pada wanita dengan kontraindikasi atau intoleransi
terhadap alendronate, dan kemungkinan saran tentang masalah ini akan diserahkan kepada
publikasi pedoman klinis.
Dokumen konsultasi tentang pencegahan primer membatasi perawatan pada wanita
berusia 70 tahun dan lebih tua dengan setidaknya satu faktor risiko klinis yang menunjukkan
BMD rendah dan T-score -2,5 atau di bawahnya.80 Seorang wanita berusia 75 tahun atau
lebih dapat diobati tanpa perlu dilakukan DXA scan jika ia memiliki dua atau lebih faktor
risiko klinis. Faktor-faktor risiko klinis untuk pencegahan primer yaitu: riwayat fraktur
pinggul dari keluarga; indeks massa tubuh/body mass index rendah (BMI <22 kg/m2);
menopause dini yang tidak diobati; asupan alcohol ≥ 4 unit per hari; atau kondisi medis apa
pun yang terkait dengan BMD rendah seperti anoreksia atau penyakit kolik. Seperti
rekomendasi untuk pencegahan sekunder, pilihan obat dibatasi untuk alendronate generik.
Namun, dokter dapat terus mengobati wanita yang saat ini menerima perawatan lainnya, atau
yang tidak memenuhi kriteria baru untuk memulai terapi.
Penilaian teknologi NICE jauh lebih restriktif daripada analisis ekonomi yang
diterbitkan oleh kelompok studi WHO,57, 58, 70-76 terutama untuk pencegahan primer. Perbedaan
tersebut mungkin tidak mengejutkan mengingat banyak asumsi berbeda yang terlibat dalam
model ekonomi semacam itu. Pada saat ini pedoman NICE masih digunakan untuk konsultasi
dan rekomendasi akhir dapat berubah dari informasi yang disebutkan di atas.

PEMANTAUAN RESPON TERHADAP PERAWATAN


Memverifikasi respons terhadap pengobatan menggunakan follow-up DXA scans
secara luas diyakini memiliki peran yang bermanfaat dalam mendorong pasien untuk terus
minum obat mereka, dan juga dalam mengidentifikasi non-responden yang mungkin
mendapat manfaat dari rejimen pengobatan yang berbeda. DXA sentral memiliki sejumlah
keunggulan sebagai teknik untuk memantau respons pasien, dimana salah satu yang paling
penting adalah ketepatan pengukuran BMD yang baik (kotak 1). Ketepatan biasanya
dinyatakan dalam coefficient of variation (CV) yang biasanya sekitar 1–1,5% untuk tulang
belakang dan total BMD pinggul serta 2–2,5% untuk BMD leher femoral.83 DXA scanner
memiliki presisi jangka panjang yang baik karena kalibrasinya sangat stabil dan terdapat
prosedur kontrol kualitas instrumen yang efektif yang disediakan oleh pabrikan untuk
mendeteksi penggunaan jangka panjang (kotak 1). Persyaratan kedua untuk pemantauan
pasien yang efektif adalah lokasi pengukuran yang menunjukkan respons besar terhadap
pengobatan. Lokasi BMD terbaik untuk pengukuran follow-up adalah tulang belakang karena
perubahan perawatan biasanya terbesar dan kesalahan presisi sama atau lebih baik
dibandingkan di lokasi lain.84, 85 Namun demikian, sensitivitasnya terbatas, hal ini berarti
penggunaan DXA scanning untuk pemantauan pasien lebih kontroversial daripada
penggunaannya untuk diagnosis dan pengobatan osteoporosis. Ketika digunakan untuk tujuan
ini, follow-up scan hanya boleh dilakukan setiap 1 hingga 2 tahun dan tidak lebih.

KESIMPULAN
Sebagai teknik untuk melakukan densitometri tulang, pemeriksaan DXA pinggul dan
tulang belakang memiliki sejumlah keunggulan klinis yang penting termasuk
kompatibilitasnya dengan WHO T-score definition untuk osteoporosis, efektivitasnya yang
terbukti dalam memprediksi risiko fraktur, efektivitasnya yang terbukti untuk penargetan
perawatan anti-fraktur, efektivitasnya untuk memantau respons pasien terhadap pengobatan,
dan kompatibilitasnya dengan algoritma risiko fraktur WHO yang baru. Keuntungan lain
termasuk kalibrasi stabil untuk DXA scanner pinggul dan tulang belakang, presisi
pengukuran yang baik, dan ketersediaan rentang referensi yang reliabel. Penggunaan klinis
masa depan mereka akan ditentukan oleh pedoman NICE dan oleh pendekatan baru
berdasarkan perawatan pasien pada individu dengan risiko fraktur. Kemungkinan di masa
depan pemeriksaan BMD pinggul akan dilakukan untuk membuat keputusan tentang
pengobatan dan pemeriksaan BMD tulang belakang untuk tujuan pemantauan pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai