Osteoporosis
ABSTRAK
Dual energy x ray absorptiometry (DXA) scans untuk mengukur kepadatan mineral
tulang/bone mineral density (BMD) di tulang belakang dan pinggul memiliki peran penting
dalam mengevaluasi individu yang berisiko terkena osteoporosis, dan dalam membantu
dokter memberi tahu pasien tentang penggunaan yang benar dari terapi anti-fraktur.
Dibandingkan dengan teknik alternatif densitometri tulang, pemeriksaan DXA pinggul dan
tulang belakang memiliki sejumlah keunggulan diantaranya adalah hasil BMD dapat
diinterpretasikan menggunakan T-score definisi osteoporosis dari World Health
Organization, dimana terbukti untuk memprediksi risiko fraktur, dan efektivitasnya untuk
mempertimbangkan penggunaan terapi antifraktur, serta kemampuan untuk memantau
respons terhadap pengobatan. Review ini membahas bukti keuntungan dan aspek klinis
lainnya dari DXA scanning, serta perannya dalam algoritma WHO terbaru untuk perawatan
pasien berdasarkan risiko fraktur individual pasien.
PENDAHULUAN
Osteoporosis secara luas dikenal sebagai masalah kesehatan masyarakat yang penting
karena morbiditas, mortalitas, dan biayanya yang signifikan terkait dengan komplikasinya —
yaitu, fraktur pinggul, tulang belakang, lengan bawah, dan lokasi tulang lainnya. 1 Kejadian
patah tulang paling tinggi terdapat di antara wanita lansia kulit putih, dimana satu dari dua
wanita menderita patah tulang dikarenakan osteoporosis selama hidup mereka. 2 Setiap tahun
di Inggris diperkirakan 260.000 patah tulang terkait osteoporosis terjadi di antara wanita
berusia 50 tahun ke atas, dimana lebih dari 70.000 diantaranya merupakan kasus patah tulang
pinggul.3, 4 Perhatian sering berfokus pada patah tulang pinggul, karena dapat menimbulkan
morbiditas dan biaya medis terbesar untuk layanan kesehatan. 5 Namun, patah tulang di
tempat lain juga menimbulkan morbiditas dan biaya yang signifikan, 6 dimana baik patah
tulang pinggul maupun tulang belakang dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian, serta
peningkatan ketergantungan pada layanan kesehatan untuk kegiatan dasar kehidupan sehari-
hari. Pada tahun 2000, total biaya tahunan National Health Service untuk perawatan patah
tulang osteoporosis diperkirakan berjumlah £1,5 miliar (€2,4 miliar, $3 miliar). 5, 9 Pada tahun
2020 diprediksi bahwa penduduk Inggris berusia di atas 85 tahun tahun akan berlipat ganda
dari 1,2 juta menjadi 2,1 juta, sehingga pencegahan patah tulang menjadi sangat penting.
Meskipun selama bertahun-tahun ada kesadaran akan morbiditas dan mortalitas yang
terkait dengan fraktur akibat kerapuhan tulang, namun pencapaian yang nyata sampai saat ini
hanya kemampuan untuk mendiagnosis osteoporosis sebelum fraktur terjadi dan
pengembangan perawatan yang efektif. Pengukuran kepadatan mineral tulang/bone mineral
density (BMD) memainkan peran penting dalam kedua pencapaian ini. Sampai pertengahan
1980-an pengukuran kepadatan tulang digunakan terutama untuk penelitian, namun itu hanya
dengan pengenalan dual-energy x ray absorptiometry (DXA) scanners pada tahun 1987
dimana pemeriksaan tersebut dimasukan ke praktik klinis rutin. 11 Pencapaian lebih lanjut
termasuk publikasi pertama yang menunjukan bahwa pengobatan bisphosphonate mencegah
pengeroposan tulang,12 publikasi World Health Organization melaporkan bahwa pada wanita
kulit putih pascamenopause mengalami osteoporosis jika BMD T-score pada tulang
belakang, pinggul atau lengan bawah dengan skor -2,5 atau kurang, 13,14 serta Fracture
Intervention Trial mengkonfirmasikan bahwa pengobatan bisphosphonate dapat mencegah
terjadinya fraktur.15 Sejak saat itu sejumlah besar penelitian telah memberikan bukti
efektivitas bisphosphonate (BPs),16-20 selective oestrogen receptor modulators (SERM),21
recombinant human parathyroid hormone (PTH)22 dan strontium ranelate23-25 terhadap
pencegahan fraktur akibat kerapuhan tulang.
Tabel 1. Definisi osteoporosis dan osteopenia oleh World Health Organization yang digunakan untuk
menginterpretasikan hasil dual-energy x ray absorptiometry (DXA) scan dari tulang belakang, pinggul
dan lengan pada wanita postmenopause dengan kulit putuh
Terminologi T-score
Normal T ≥ -1,0
Ostepenia -2,5 < T < -1,0
Osteoporosis T ≤ -2,5
Established osteoporosis T ≤ -2,5 dan terdapat satu atau lebih fraktur akibat kerapuhan
T-score dinilai dengan menghitung perbedaan antara BMD yang diukur pasien dan
BMD rata-rata pada orang dewasa muda yang sehat, sesuai jenis kelamin dan kelompok etnis,
dan dinyatakan denggan perbedaan relatif terhadap standar deviasi (SD) populasi dewasa
muda:
BMD yang terukur−rerata BMD orang dewasamuda
T-score =
SD populasi dewasa muda
Keuntungan penting lain dari DXA diantaranya waktu pemindaian yang singkat,
persiapan pasien sebelum pemindaian yang mudah, dosis radiasi rendah dan presisi
pengukuran yang baik. Keuntungan tersebut serta keuntungan lainnya dari DXA sentral
dirangkum dalam kotak 1 dan dibahas lebih lanjut di bawah ini.
Selain sistem DXA pusat untuk mengukur tulang belakang dan pinggul, berbagai jenis
pengukuran densitometri tulang lainnya juga tersedia. 11, 33 Hal ini termasuk pengukuran
quantitative computed tomography (QCT) tulang belakang dan pinggul,34, 35 sistem peripheral
DXA (pDXA) untuk mengukur lengan, tumit atau tangan, 36 dan alat quantitative ultrasound
(QUS) untuk pengukuran tumit dan lokasi periferal lainnya. 37 Pada prinsipnya, perangkat
pDXA dan QUS menawarkan metode yang cepat, murah dan nyaman untuk menilai status
kerangka tulang yang membuatnya lebih baik untuk digunakan secara luas. Namun dalam
praktiknya, jenis-jenis pengukuran alternatif ini berkorelasi buruk dengan DXA pusat, dengan
koefisien korelasi dalam kisaran r = 0,5 hingga 0,65.38 Kurangnya kesepakatan terkait DXA
pusat telah terbukti menjadi penghalang untuk tercapainya konsensus penggunaan metode-
metode lain ini.38, 39
Gambar 1. Insiden risiko fraktur pinggul dikarenakan kuartil kepadatan mineral tulang/ bone mineral
density (BMD) untuk BMD leher femoral. Data diambil dari follow-up dari Study of Osteoporotic
Fractures (SOF) selama 2 tahun.41 Diagram inset: data dari studi fraktur dilengkapi dengan model
gradient-of-risk, di mana risiko fraktur bervariasi secara eksponensial dengan Z-score dengan gradien
β. Hasil dinyatakan dalam risiko relatif (RR), peningkatan risiko fraktur untuk setiap unit penurunan Z-
score. Nilai RR didapatkan dari β menggunakan fungsi eksponensial (RR = exp(β)). Selain itu,
gradient-of-risk didapatkan dengan mengambil logaritma natural RR (β = ln (RR)).
Semakin besar nilai RR (atau setara, semakin curam gradient-of-risk pada gambar 1),
semakin efektif suatu teknik dalam membedakan antara pasien yang akan menderita patah
tulang di masa depan dan mereka yang tidak. Untuk memahami alasannya, anggap saja
sekelompok besar subjek dipilih secara acak dari populasi umum. Untuk kelompok seperti
itu, distribusi nilai Z-score mendekati kurva Gaussian (gambar 2A). Distribusi nilai Z- score
pada kelompok pasien yang diprediksi akan mengalami fraktur akibat osteoporosis
didapatkan dengan mengalikan kurva Gaussian yang mewakili populasi umum dengan kurva
gradient-of-risk yang ditunjukkan pada inset gambar 1. Ketika hal ini dilakukan distribusi
nilai Z-score untuk populasi fraktur didapatkan dari kurva Gaussian kedua dengan SD yang
sama dengan yang pertama, tetapi dengan puncaknya diimbangi (offset) ke kiri dengan
jumlah ∆Z sama dengan gradient-of-risk β (atau setara dengan logaritma natural dari relative
risk) [∆Z = β = ln(RR)] (gambar 2A) .40
Untuk memahami pentingnya memilih suatu teknik dengan nilai RR yang tinggi,
pertimbangkan untuk memilih beberapa nilai Z-score acak pada gambar 2A sebagai ambang
batas untuk membuat keputusan tentang perawatan pasien (misalnya, mungkin nilai Z-score
setara dengan T-score -2,5). Area di bawah dua kurva dapat dievaluasi untuk menemukan
persentase pasien pada populasi fraktur dan populasi umum dengan hasil Z-score di bawah
ambang batas yang dipilih. Karena ambang batasnya bervariasi dan dua persentase tersebut
diplot terhadap satu sama lain, kami memperoleh kurva receiver operating characteristic
(ROC) (gambar 2B) di mana persentase true positives (pasien yang akan menderita fraktur di
masa depan dan diidentifikasi dengan benar akan beresiko) diplot terhadap persentase false
positives (pasien yang diidentifikasi berisiko fraktur tetapi tidak pernah mengalami fraktur).
Gambar 2B sangat fundamental untuk memahami nilai klinis dari semua jenis pengukuran
kepadatan tulang yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengobati pasien yang berisiko
fraktur. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai RR dari sebuah teknik pengukuran,
semakin banyak dokter yang berhasil mengidentifikasi dan merawat pasien yang berisiko
mengalami fraktur.
Gambar 2. (A) Distribusi nilai Z-score dalam populasi fraktur dibandingkan dengan populasi umum
yang dicocokan dengan usia. Kurva untuk populasi umum adalah kurva berbentuk lonceng yang
didistribusikan secara simetris di diantara puncaknya pada Z = 0. Kurva yang sesuai untuk populasi
pasien yang akan menderita fraktur akibat osteoporosis adalah kurva berbentuk lonceng yang serupa
yang diimbangi oleh populasi umum oleh perbedaan Z-score ∆Z = ln(RR), di mana RR = risiko relatif.
Tabel inset mencantumkan nilai RR dan ∆Z. (B) Plot kurva receiver operating characteristic (ROC)
yang didapatkan dengan mengevaluasi area di bawah dua kurva berbentuk lonceng yang ditunjukkan
dalam gambar 2A hingga ambang batas Z-score yang dipilih secara acak dan memplot kedua area
tersebut satu sama lain untuk nilai yang berbeda dari risiko relatif (RR). Kurva ROC menunjukkan
persentase kasus fraktur yang terdapat di bawah ambang batas kepadatan mineral tulang/bone
mineral density (BMD) (area yang diarsir di bawah kurva populasi fraktur pada gambar 2A) diplot
terhadap persentase subjek dalam populasi umum yang berada di bawah ambang yang sama (area
yang diarsir di bawah kurva populasi umum dalam gambar 2A). Oleh karena itu hal tersebut
menunjukkan fraksi true positive (pasien yang mengalami fraktur dan diidentifikasi dengan benar
sebagai kelompok berisiko) terhadap fraksi false positive (pasien yang diidentifikasi berisiko tetapi
tidak pernah mengalami fraktur). Semakin besar nilai RR semakin besar pemisahan antara dua kurva
pada Gambar 2A dan semakin efektif pengukuran BMD dalam membedakan pasien yang akan
mengalami fraktur. Sebagai contoh, jika pasien dalam kuartil terendah BMD diidentifikasi untuk
pengobatan, maka untuk nilai RR 1,5, 2,0, 2,5 dan 3,0 kelompok ini akan mencakup masing-masing
39%, 51%, 60% dan 66%, dari semua pasien yang akan menderita fraktur.
Salah satu kekuatan dari studi SOF adalah banyaknya jumlah kasus fraktur yang
tercatat. Untuk membuat perbandingan yang bermakna antara teknik densitometri tulang
yang berbeda, penting untuk melakukan penelitian besar yang mencakup beberapa ratus
kasus fraktur untuk mencapai kekuatan statistik yang memadai. Hal ini digambarkan pada
gambar 4, yang menunjukkan nilai RR dari sejumlah studi dengan interval kepercayaan 95%
dan jumlah fraktur pinggul yang dimasukkan dalam penelitian. Sebagai studi SOF telah
berkembang, hasil studi tersebut secara konsisten mengkonfirmasi kemampuan pengukuran
BMD pinggul untuk memprediksi risiko fraktur pinggul dengan nilai RR sekitar 2,5, tetapi
kesalahan statistik telah menurun seiring jumlah fraktur meningkat dari waktu ke waktu,
hingga studi analisis 10 tahun terakhir didasarkan pada lebih dari 650 fraktur pinggul
(gambar 4).29, 41, 42
Hal lain juga ditunjukkan dalam gambar 4 yaitu hasil dari studi prospektif pertama
dari QCT dan risiko fraktur. Studi Osteoporotic Fractures in Men (MrOS) meemasukkan
5.995 pria kulit putih berusia 65 tahun ke atas dari enam pusat di AS. Seperti halnya DXA
scans, 3.357 pria memiliki QCT scan tulang belakang dan pinggul. Hasil pertama didasarkan
pada 36 kasus fraktur panggul yang dicatat setelah difollow-up dengan periode rata-rata 4,4
tahun menunjukkan nilai RR BMD leher femoralis yang sebanding yang diukur dengan QCT
atau DXA (gambar 4). Namun, karena sejumlah kecil kasus fraktur yang tercatat sejauh ini
memiliki kesalahan statistik masih terlalu besar untuk membuat perbandingan yang
bermakna antara QCT dan DXA.
Gambar 4. Nilai risiko relatif (RR) (didefinisikan sebagai peningkatan risiko fraktur untuk penurunan 1
SD dalam kepadatan mineral tulang (BMD)) untuk fraktur pinggul untuk: (1) pengukuran dual-energi x
ray absorptiometry (DXA) pengukuran (Study of Osteoporotic Fractures (SOF) 2 tahun,41 5 tahun
studi,42 dan 10 tahun studi29); (2) quantitative computed tomography (QCT) dan pengukuran BMD
DXA pinggul (Osteoporotic Fractures in Men Study (MrOS) 43); (3) pengukuran water based
quantitative ultrasound (QUS) tumit (studi 2 tahun SOF, 44 studi EPIDOS,45 studi 5 tahun SOF,42 dan
meta-analisis Woodhouse46); dan (4) pengukuran dry QUS tumit (studi Amsterdam, 47 studi EPIC,48
studi NORA49 dan studi SOF50). Diagram batang kesalahan menunjukkan interval kepercayaan 95%.
Garis putus-putus vertikal pada RR = 1.0 menunjukkan angka di mana tidak ada diskriminasi fraktur.
Jumlah di samping setiap titik data menunjukkan jumlah fraktur pinggul dalam penelitian ini. Grafik
tersebut menggambarkan pentingnya memiliki sejumlah besar pasien fraktur untuk mengurangi
diagram batang kesalahan dan membuat perbandingan yang bermakna antara teknik densitometri
tulang yang berbeda.
Data lain yang diplot pada gambar 4 adalah hasil dari alat QUS untuk tumit berbasis
42, 44-46
air maupun kering47-50 untuk memprediksi risiko fraktur pinggul. Meskipun secara luas
diyakini sama efektifnya dengan DXA sentral dalam memprediksi risiko fraktur pinggul,
perlu dicatat bahwa studi QUS yang lebih banyak dikutip didasarkan pada jumlah kasus
fraktur yang relatif kecil,44, 45-48 sementara hasil yang diperoleh dengan jumlah kasus fraktur
yang lebih besar sering ditemukan hasil yang kurang bermanfaat.42, 46-50
Kelas agen Nama obat Nama Ambang batas T-score untuk memasukan
penelitian pasien*
Bisphosphonate Alendronat FIT 115 T-score leher femoralis < -1,5 ┼
e FIT 216 T-score leher femoralis < -1,5
VERT NA17 T-score tulang belakang <2 ┼
Risedronate HIP18 T-score leher femoralis <3,2 ╪
BONE19 T-score tulang belakang dalam rentang -2
Ibandronate hingga -5 ┼
HORIZON20 T-score leher femoralis < -2,5 ┼
Zoledronate
Selective MORE21 T-score tulang belakang atau leher
estrogen Raloxifene femoralis <1,8 ┼
receptor Neer study22
modulator
SOTI23
Parathyroid TROPOS24 T-score tulang belakang atau leher
hormone PTH (1-34) femoralis <-1 ┼
BONE, penelitian fraktur vertebra Oral Ibandronate Osteoporosis di North America dan Europe; FIT,
Fracture Intervention Trial; HIP, Risedronate Hip Study; HORIZON, HORIZON Pivotal Fracture Trial;
MORE, Multiple Outcomes of Raloxifene Evaluation; SOTI, Spinal Osteoporosis Therapeutic
Intervention; TROPOS, Treatment of Peripheral Osteoporosis; VERT NA, penelitian Vertebral
Efficacy with Risedronate Therapy (North America)
*Ambang batas T-score adalah yang dihitung menggunakan referensi rentang NHANES III untuk
BMD pinggul dan referensi rentang Hologic untuk BMD tulang belakang. 52
┼
Kriteria inklusi penelitian juga memasukan fraktur vertebra umum.
╪
Kriteria inklusi penelitian juga memasukan factor resiko klinis.
Gambar 5. Penurunan terkait usia dalam rata-rata T-score di berbagai lokasi kepadatan mineral
tulang untuk subjek perempuan kulit putih yang sehat. Data dual-energi x ray absorptiometry (DXA)
diambil dari studi NHANES.52, 54 Data normatif DXA untuk PA tulang belakang (L1-L4) dan lengan
bawah (daerah lengan bawah total) diperoleh dari referensi rentang Hologis. Data tumit untuk
perangkat GE-Lunar PIXI pDXA. Spinal quantitative computed tomography (QCT) adalah yang
digunakan oleh sistem referensi Analisis Gambar.
Jelas bahwa jika perawatan tidak diambil dalam menerapkan kriteria WHO dengan
tepat maka kasus-kasus osteoporosis dapat secara serius under diagnosed atau over
diagnosed tergantung pada teknik pengukuran.38 Pada prinsipnya, teknik densitometri tulang
selain DXA sentral dapat menggunakan ambang batas spesifik masing-masing alat yang
sesuai untuk mengidentifikasi kelompok pasien dengan hasil tinggi yang tidak beresiko
menderita osteoporosis, dan kelompok kedua dengan hasil rendah yang dapat diobati tanpa
pengujian lebih lanjut.55 Pasien dengan hasil intermediate dapat dirujuk untuk pemeriksaan
DXA sentral untuk hasil definitif. Namun, penggunaan klinis dari algoritma triage ini
membutuhkan ketersediaan informasi yang memadai tentang ambang batas spesifik masing-
masing alat.
Keuntungan lain dari pendekatan WHO yang baru adalah bahwa dimungkinkan
ambang risiko fraktur untuk intervensi ditetapkan berdasarkan kriteria ekonomi yang dapat
disesuaikan untuk praktik klinis di berbagai negara.70, 71 Serangkaian analisis ekonomi
kesehatan telah meneliti alasan untuk pencegahan fraktur dan efektivitas biaya berbagai
perawatan osteoporosis.72–76 Analisis ini menunjukkan bahwa, dengan mempertimbangkan
semua jenis fraktur, ambang biaya efektif untuk intervensi sesuai dengan nilai-nilai T-score
antara -2 dan -3 pada rentang usia 50 hingga 80 tahun.57, 58
KESIMPULAN
Sebagai teknik untuk melakukan densitometri tulang, pemeriksaan DXA pinggul dan
tulang belakang memiliki sejumlah keunggulan klinis yang penting termasuk
kompatibilitasnya dengan WHO T-score definition untuk osteoporosis, efektivitasnya yang
terbukti dalam memprediksi risiko fraktur, efektivitasnya yang terbukti untuk penargetan
perawatan anti-fraktur, efektivitasnya untuk memantau respons pasien terhadap pengobatan,
dan kompatibilitasnya dengan algoritma risiko fraktur WHO yang baru. Keuntungan lain
termasuk kalibrasi stabil untuk DXA scanner pinggul dan tulang belakang, presisi
pengukuran yang baik, dan ketersediaan rentang referensi yang reliabel. Penggunaan klinis
masa depan mereka akan ditentukan oleh pedoman NICE dan oleh pendekatan baru
berdasarkan perawatan pasien pada individu dengan risiko fraktur. Kemungkinan di masa
depan pemeriksaan BMD pinggul akan dilakukan untuk membuat keputusan tentang
pengobatan dan pemeriksaan BMD tulang belakang untuk tujuan pemantauan pengobatan.