Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

DERMATOSIS ERITROSKUAMOSA

Disusun oleh:

Chika Rusliana 030.14.038

Pembimbing:

dr. Hj. Nurhasanah, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 23 SEPTEMBER – 25 OKTOBER 2019


KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas referat dengan
judul “Eritroskuamonsa”.

Referat ini dibuat untuk memenuhi tugas di Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Kulit dan Kelamin di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti dan Rumah Sakit
Umum Daerah Karawang. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Hj. Nurhasanah, Sp.KK selaku dokter pembimbing yang telah
memberikan saran dan koreksi dalam penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak


kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran diharapkan dari semua pihak
untuk menyempurnakan referat ini. Demikian yang penulis dapat sampaikan,
semoga referat ini dapat bermanfaat.

Karawang, Oktober 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................. i


Daftar Isi ......................................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan .......................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 2
2.1 Definisi.................................................................................................................. 2
2.2 Klasifikasi ............................................................................................................. 2
2.2.1 Psoriasis ......................................................................................................... 2
2.2.2 Para Psoriasis ............................................................................................... 16
2.2.3 Pitiriasis Rosea ............................................................................................. 19
2.2.4 Dermatitis Seboroik ..................................................................................... 23
2.2.5 Eritoderma.................................................................................................... 27
Bab III : Kesimpulan ..................................................................................................... 33
Daftar Pustaka ............................................................................................................... 39

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatosis eritoskuamosa merupakan penyakit kulit yang terutama


ditandai dengan adanya eritema dan skuama. Penyakit yang termasuk didalamnya
adalah psoriasis, parapsoriasis, pitiriasis rosea, eritroderma, dermatitis seboroik,
lupus eritematous, dan dermatofitosis, namun dermatofitosis tidak akan dibahas
pada referat ini karena telah termasuk kedalam klasifikasi mikosis.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dermatosis eritoskuamosa merupakan penyakit kulit yang terutama
ditandai dengan adanya eritema dan skuama. Eritema merupakan kelainan pada
kulit berupa kemerahan yang disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah kapiler
yang bersifat reversibel. Skuama adalah lapisan dari stratum korneum yang
terlepas dari kulit.1

2.2 Klasifikasi
Penyakit yang termasuk didalamnya adalah psoriasis, parapsoriasis,
pitiriasis rosea, eritroderma, dermatitis seboroik, lupus eritematous, dan
dermatofitosis.1

2.2.1 Psoriasis

A. Definisi
Psoriasis adalah penyakit inflamasi yang dimediasi secara imunologis
yang ditandai dengan peradangan kulit kronik dengan dasar genetik yang kuat dan
hyperplasia epidermal, dan peningkatan risiko artritis yang menyakitkan dan
destruktif serta morbiditas kardiovaskular. Umumnya lesi berupa plak eritematosa
berskuama berlapis berwarna putih keperakan dengan batas tegas. Letaknya dapat
terlokalisir atau hampir seluruh tubuh.1,2
B. Epidemiologi
Psoriasis terdapat diseluruh dunia dengan prevalensi usia bervariasi di
setiap wilayah. Prevalensi anak anak berkisar dari 0% sampai dengan 2.1 %.
Sedangkan pada dewasa 0.98% sampai dengan 8%. Psoriasis dapat timbul pada
usia berapa pun, tetapi jarang terjadi sebelum usia 10 tahun. Lebih banyak muncul
antara usia 15 dan 30 tahun. Di Indonesia pencatatan pernah dilakukan oleh
sepuluh RS besar dengan angka prevalensi pada tahun 1996, 1997, dan 1998
berturut-turut 0,62%, 0,59%, dan 0,92%. Peranan genetik tercatat pada kembar
monozigot 65- 72% sedangkan pada kembar dizigot 15-30%. Pasien dengan
psoriasis terus mengalami peningkatan jumlah kunjungan ke layanan kesehatan di
banyak daerah di Indonesia. Remisi dialami oleh 17-55% kasus.1,2,3
C. Faktor Pencetus
Faktor lingkungan sangat berpengaruh pada pasien dengan predisposisi
genetik. Beberapa faktor pencetus kimiawi, mekanik, dan termal akan memicu
psoriasis melalui mekanisme Koebner yaitu peristiwa munculnya lesi psoriasis
setelah terjadi trauma maupun mikrotrauma pada kulit pasien psoriasis., misalnya
garukan, aberasi superfisial, reaksi fototoksik, atau pembedahan. Ketegangan

2
emosional dapat menjadi pencetus yang mungkin diperantarai mekanisme
neuroimunologis. Beberapa macam obat misalnya beta-bloker, angiotensin-
converting enzyme inhibitors, antimalaria, litium, nonsteroid antinflamasi,
gembfibrosil dan beberapa antibiotik. Peristiwa hipersensitivitas terhadap obat
akan mengaktivasi sel T.
Bakteri, virus, dan jamur juga dapat mencetuskan psoriasis. Endotoksin
bakteri, berperan sebagai superantigen mengakibatkan aktivasi sel limfosit T,
makrofag, sel langerhans dan keratinosit.Superantigen streptokokus dapat memicu
ekspresi antigen limfosit kulit yang berperan dalam migrasi sel limfosit T
bermigrasi ke kulit. Kegemukan, obesitas, diabetes mellitus maupun sindroma
metabolik dapat memperparah kondisi psoriasis.1,2

D. Etiopatogenesis
Hanseler dan Christopher membagi psoriasis menjadi 2 tipe yaitu tipe 1
(onset sebelum 40 tahun) dan tipe 2 (onset setelah 40 tahun). Tipe 1 diketahui erat
kaitannya dengan faktor genetik dan berasosiasi dengan HLA-CW6, HLA-DR7
HLA-B13, dan HLA-BW57 dengan fenotip yang lebih parah dibandingkan
dengan psoriasis tipe 2 yang kaitan familialnya lebih rendah. Pasien dengan
psoriasis artritis yang mengalami psoriasis tipe 1 mempunyai riwayat psoriasis
pada keluarganya 60% sedangkan pada psoriasis tipe 2 hanya 30%. Sampai saat
ini tidak ada pengertian yang kuat mengenai patogenesis psoriasis.
Mekanisme peradangan kulit psoriasis cukup kompleks, melibatkan
berbagai sitokin, kemokin, maupun faktor pertumbuhan yang mengakibatkan
gangguan regulasi keratinosit, sel-sel radang, dan pembuluh darah, sehinga lesi
tampak menebal dan beskuama tebal berlapis. Aktivasi sel T dalam pembuluh
limfe sel makrofag penangkap antigen (antigen persenting cell/APC) melalui
major histocompatibility complex (MHC) mempresentasikan antigen dan diikat ke
sel T naïf melalui reseptor sel T dan ligan serta reseptor tambahan yang dikenal
dengan kostimulasi. Setelah sel T teraktivasi sel ini berproliferasi menjadi sel T
efektor dan memori kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dan bermigrasi ke kulit.

Pada lesi plak dijumpai sel Th1 CD4+, sel T sitoksik 1/TC1CD8+, IFN-Y,
TNF-α, dan IL-12 dalam darah. IL-23 adalah sitokin dihasilkan sel dendrit, juga
merupakan bagian dari IL-12. Sitokin IL-17A. IL-17 F, IL-22,IL-21 dan TNF-α
adalah mediator turunan Th-17. Telah dibuktikan IL-17A mampu meningkatkan
ekspresi keratin 17 yang merupakan karakteristik psoriasis.

Dalam peristiwa interaksi imunologi tersebut rentetan mediator


menentukan gambaran klinis antara lain: Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor (GMCSF), EGF, IL-1, IL-6, IL-8 IL-12, IL-17, IL-23, dan
TNF-a. Akibat efek mediator terjadi perubahan fisiologis kulit normal dimana

3
keratinosit akan berproliferasi lebih cepat, normal terjadi dalam 311 jam, menjadi
36 jam dan produksi harian keratinosit 28 kali lebih banyak dari pada epidermis
normal. Pembuluh darah menjadi berdilatasi, berkelok-kelok, angiogenesis dan
hipermeabilitas vakular diperankan oleh Vascular Endothelial Growth Factor
(VEGF) dan Vascular Permaebility Factor (VPE) yang dikeluarkan oleh
keratinosit.1-4

E. Gambaran Klinis
Gambaran klasik berupa plak eritematosa diliputi skuama putih disertai titik-
titik perdarahan bila skuama dilepas, berukuran dari seujung jarum sampai dengan
plakat, umumnya simetris. Dapat menyerang kulit, kuku, mukosa dan sendi, tetapi
tidak mengganggu rambut. Eritema yang muncul bervariasi dari yang sangat cerah
(hot psoriasis) biasanya diikuti gatal, sampai merah pucat (cold psoriasis).
Psoriasis cenderung simetris, namun unilateral dapat terjadi. Diagnosis psoriasis
tidak sulit untuk bentuk lesi spesifik, tetapi gambaran khas ini dapat berubah
setelah diobati. Perubahan lesi psoriasis secara klinis maupun histopatologik
membuat diagnosis yang tepat sulit ditegakkan. Penentuan diagnostik psoriasis
sangat diperlukan karena pengobatannya tidak sama dengan penyakit inflamasi
lain, misalnya eksema dengan pengobatan kortikosteroid tetapi psoriasis dengan
terapi ini akan berbahaya.
Pada lidah dapat dijumpai plak putih berkonfigurasi mirip peta yang
disebut lidah geografik. Fenotip psoriasis dapat berubah-ubah, spektrum penyakit
pada pasien yang sama dapat menetap atau berubah, dari asimtomatik sampai
dengan generalisata (eritroderma).

Stadium akut sering dijumpai pada orang muda, tetapi dapat berjalan kronik
residif. Keparahan memiliki gambaran klinik dan proses evolusi yang
beragam.1,2,5

 Psoriasis plakat
Kira-kira 90% pasien mengalami psoriasis vulgaris, dan biasanya
disebut psoriasis plakat kronik. Lesi ini biasanya dimulai dengan makula
eritematosa berukuran kurang dari 1 cm atau papul yang melebar ke arah
pinggir dan beberapa lesi bergabung menjadi satu, berdiameter satu
sampai beberapa sentimeter. Lingkaran putih pucat mengelilingi lesi
psoriasis plakat yang dikenal dengan Woronoff's ring.
Dengan proses pelebaran lesi yang berjalan bertahap maka bentuk
lesi dapat beragam seperti bentuk utama kurva linier (psoriasis girata), lesi
mirip cincin (psoriasis anular), dan papul berskuama pada mulut folikel
pilosebaseus hiperkeratotik tebal berdiameter 2-5 cm disebut plak rupioid,
sedangkan plak hiperkeratotik tebal berbentuk cembung menyerupai kulit

4
tiram disebut plak ostraseus. Umumnya dijumpai di skalp, siku, lutut,
punggung, lumbal dan retroaurikuler. Hampir 70% pasien mengeluh gatal,
rasa terbakar atau nyeri, terutama bila kulit kepala terserang. Uji Auspitz
tidak spesifik untuk psoriasis karena uji positif dapat dijumpai pada
dermatitis seboroik atau dermatitis kronis lainnya.

Gambar 1. Psoriasis plak kronis terletak di lokasi tertentu2


 Psoriasis inversa
Psoriasis inversa ditandai dengan letak lesi di intertriginosa,
lembab dan eritematosa. Bentuknya agak berbeda dengan psoriasis plakat
karena nyaris tidak berskuama, merah, mengkilap, berbatas tegas, sering
kali mirip dengan infeksi jamur. Lesi dijumpai di daerah aksila, fosa
antekubital, poplitea, lipat inguinal, inframamae, dan perineum.

5
Gambar 2. Psoriasis Inversa2
 Psoriasis gutata
Guttate (eruptif) psoriasis ditandai erupsi papula kecil (0,5-1,5 cm)
di tubuh bagian atas dan ekstremitas proksimal. Jenis ini khas pada dewasa
muda. Bentuk spesifik yang dijumpai adalah lesi papul eruptif berukuran 1
-10 mm berwarna merah salmon, menyebar diskret secara sentripetal
terutama di badan, dapat mengenai ekstremitas dan kepala. Infeksi
Streptokokus ß hemolitikus (faringitis, laringitis, atau tonsillitis) sering
mengawali psoriasis gutata pada pasien dengan predisposisi genetik.

Gambar 3. Guttate psoriasis, melibatkan paha, tangan, dan punggung hingga


menjadi psorias plak kronis.2

 Psoriasis pustulosa

6
Merupakan manifestasi psoriasis, dapat pula merupakan
komplikasi lesi akibat putus obat kortikosteroid sistemik, infeksi, ataupun
pengobatan topikal bersifat iritasi. Perempuan lebih sering mengalami
psoriasis pustulosa 9:1, dekade 4-5 dan sebagian besar perokok (95%).
a. Psoriasis pustulosa von Zumbusch
Disebut juga psoriasis pustulosa generalisata (PPG). Terjadi
bila pustul yang muncul sangat parah dan menyerang seluruh tubuh,
sering diikuti dengan gejala konstitusi. Keadaan ini bersifat
sistemik dan mengancam jiwa. Tampak kulit yang merah, nyeri,
meradang dengan pustul milier tersebar di atasnya. Pustul terletak
nonfolikuler, putih kekuningan, terasa nyeri, dengan dasar
eritematosa. Pustul dapat bergabung membentuk lake of pustules,
bila mengering dan krusta lepas meninggalkan lapisan merah
terang. Pustul tersebut bersifat steril sehingga tidak tepat diobati
dengan antibiotik.

Gambar 4. Psoriasis pustular von Zumbusch2


b. Psoriasis pustulosa lokalisata
Psoriasis pada palmoplantar menyerang daerah hipotenar
dan tenar, sedangkan pada daerah plantar mengenai sisi dalam
telapak kaki atau dengan sisi tumit. Perjalanan lesi kronis residif di
mulai dengan vesikel bening, vesikopustul, pustul yang parah dan
makulopapular kering cokelat. Bentuk kronik disebut
akrodermatitis kontinua supurativa dari Hallopeau, ditandai dengan
pustul yang muncul pada ujung jari tangan dan kaki, bila
mengering menjadi skuama yang meninggalkan lapisan merah
kalau skuama dilepas. Destruksi lempeng kuku dan osteolisis
falangs distal sering terjadi. Bentuk psoriasis pustulosa
palmoplantar mempunyai patogenesis berbeda dengan psoriasis

7
dan dianggap lebih merupakan komorbiditas dibandingkan dengan
bentuk psoriasis.
c. Psoriasis pustular eksantematik
Cenderung terjadi setelah infeksi virus dan terdiri dari
pustula luas dengan psoriasis plak menyeluruh. Namun, tidak
seperti von Zumbusch, tidak ada gejala konstitusional, dan
gangguan ini cenderung tidak kambuh. Ada tumpang tindih antara
bentuk psoriasis pustular dan pustulosis eksantematosa generalisata
umum, sejenis erupsi obat.
d. Psoriasis pustular annular
Varian yang jarang ditemukan dari psoriasis pustular.
Biasanya dalam bentuk annular atau melingkar. Lesi muncul pada
awal psoriasis pustular dengan kecenderungan menyebar dan
membentuk cincin yang membesar, atau dapat berkembang selama
perjalanan psoriasis pustular umum. Ciri khasnya adalah pustula
pada eritema seperti cincin. Biasanya tidak ada riwayat psoriasis
pribadi atau keluarga.
 Eritroderma psoriasis
Keadaan ini dapat muncul secara bertahap atau akut dalam
perjalanan psoriasis plakat, dapat pula merupakan serangan pertama,
bahkan pada anak. Meskipun semua gejala psoriasis ada, eritema adalah
fitur yang paling menonjol, dan skuama berbeda, tidak tebal, adheren,
putih, namun skuama hanya superfisial. Kulit psoriasis seringkali
hipohidrotik karena penyumbatan saluran keringat, dan ada risiko
hipertermia pada iklim hangat.
Bentuk yang lebih akut sebagai peristiwa vasodilatasi generalisata
mendadak. Pasien dengan psoriasis eritrodermik kehilangan panas
berlebihan karena vasodilatasi umum, dan ini dapat menyebabkan
hipotermia. Pasien mungkin menggigil dalam upaya untuk menaikkan
suhu tubuh mereka. Keadaan ini dapat dicetuskan antara lain oleh infeksi,
tar, obat atau putus obat kortikosteroid sistemik. Edema ekstremitas bawah
dapat terjadi sekunder akibat vasodilatasi dan hilangnya protein dari
pembuluh darah ke jaringan. Kegawatdaruratan dapat terjadi disebabkan
terganggunya suhu tubuh, gagal jantung, kegagalan fungsi hati dan ginjal.
Bentuk psoriasis pustulosa generalisata dapat kembali ke bentuk
psoriasis eritroderma. Keduanya membutuhkan pengobatan segera
menenangkan keadaan akut serta nenurunkan peradangan sistemik,
sehingga tidak mengancam jiwa.

8
Gambar 5. Psoriasis eritroderma2
 Psoriasis kuku
Keterlibatan kuku hampir dijumpai pada semua jenis psoriasis
meliputi 40-50% kasus, keterlibatan kuku meningkat seiring durasi dan
ekstensi penyakit. Kuku jari tangan berpeluang lebih sering terkena
dibandingkan dengan jari kaki. Lesi beragam, terbanyak yaitu 65% kasus
merupakan sumur-sumur dangkal (pits). Bentuk lainnya ialah kuku
berwarna kekuning-kuningan disebut yellowish discoloration atau oil spots,
kuku yang terlepas dari dasarnya (onikolisis), hiperkeratosis subungual
merupakan penebelan kuku dengan hiperkeratotik, abnormalitas lempeng
kuku berupa sumur-sumur kuku yang dalam dapat membentuk jembatan-
jambatan mengakibatkan kuku hancur (crumbling) dan splinter
haemorrhage.

Gambar 6. Onikolisis distal, bercak tetes minyak (kiri). Pitting nail (kanan)2
 Psoriasis artritis
Psoriasis ini sebanyak 30% kasus. Psoriasis tidak selalu dijumpai
pada pemeriksaan kulit, tetapi seringkali pasien datang pertama kali untuk

9
keluhan sendi atralgia non spesifik dengan gejala kekakuan sendi pagi hari,
nyeri sendi persisten, atau nyeri sendi fluktuatif bila psoriasis kambuh.
Keluhan pada sendi kecil maupun besar, bila mengenai distal
interfalangeal maka umumnya pasien juga mengalami psoriasis kuku. Bila
keluhan ini terjadi sebaiknya pasien segera dirujuk untuk penanganan yang
lebih komprehensif untuk mengurangi komplikasi.

F. Diagnosis Banding1

Diagnosis Diagnosis Banding


Plakat Dermatitis numularis, neurodermatitis,
tinea korporis, liken planus, LE,
parapsoriasis, Cell T Cutaneous
Lymphoma (CTCL)
Fleksural Dermatitis seboroik, dermatitis popok,
tinea kruris, kandidiosis
Gutata Pitiriasis rosea, dermatitis numurlaris,
erupsi obat, parapsoriasis
Eritroderma Dermatitis atopik, dermatitis seboroik,
Dermatitis Kontak Alergi (DKA),
erupsi obat, pitiriasis rosea,
fotosensitivitas CTCL, limfoma kutis
Kuku Tinea ungium, kandidosis, traumatik
onikolisis, liken planus
Skalp Dermatitis seboroik, tinea kapitis,
eritroderma, LE, karsinoma Bowen
Palmoplantar Dermatitis tangan, DKA, tinea, skabies,
limfoma kutis
PPG Impetigo herpetiformis, pustular
dermatosis subkorneal, erupsi obat
pustulosa, akrodermatitis enteropatika
(anak)
Tabel 1. Diagnosis Banding Psoriasis1

F. Histopatologik

Pada pemeriksaan histopatologis psoriasis plakat yang matur dijumpai


tanda spesifik berupa penebalan (akantosis) dengan elongasi seragam dan
penipisan epidermis di atas papila dermis. Masa sel epidermis meningkat 3-5 kali
dan masih banyak dijumpai mitosis di atas lapisan basal. Ujung rete ridge
berbentuk gada yang sering bertaut dengan rete ridge sekitarnya. Tampak

10
hiperkeratosis dan parakeratosis dengan penipisan atau menghilangnya stratum
granulosum. Pembuluh darah di papila dermis yang membengkak tampak
memanjang, melebar dan berkelok-kelok. Pada lesi awal di dermis bagian atas
tepat di bawah epidermis tampak pembuluh darah dermis yang jumlahnya lebih
banyak daripada kulit normal. Infiltrat sel radang limfosit, makrofag, sel dendrit
dan sel mast terdapat sekitar pembuluh darah. Pada psoriasis yang matang
dijumpai limfosit tidak saja pada dermis tetapi juga epidermis.

Gambaran spesifik psoriasis adalah migrasi sel radang


granulositneutrofilik dari ujung kapiler dermal mencapai lapisan parakeratosis
stratum korneum yang disebut mikroabses Munro atau pada stratum spinosum
yang disebut Spongioform Pustules of Kogoj.1,2

G. Komplikasi

Angka morbiditas dan mortalitas yang meningkat akibat gangguan


kardiovaskuler terutama pada pasien psoriasis berat dan lama. Risiko infark
miokard terutama terjadi pada pasien psoriasis usia muda dalam jangka waktu
panjang. Pasien psoriasis juga mempunyai peningkatan risiko limfoma malignum.
Gangguan emosional yang diikuti masalah depresi sehubungan dengan
manifestasi klinis berdampak terhadap menurunnya harga diri, penolakan sosial,
merasa malu, masalah seksual, dan gangguan kemampuan profesional. Semuanya
diperberat dengan rasa gatal dan nyeri, dan keadaan ini menyebabkan penurunan
kualitas hidup pasien.

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien eritroderma adalah hipotermia


dan hipoalbuminemia sekunder terhadap pengelupasan kulit yang berlebihan juga
dapat terjadi gagal jantung dan pneumonia. Sebanyak 10-17% pasien dengan
psoriasis pustulosa generalisata (PPG) menderita artralgia, mialgia dan lesi
mukosa.1

H. Pengobatan1,2,5

Banyak pasien dengan psoriasis mencari evaluasi dan perawatan awal dari
penyedia perawatan primer mereka. Pengakuan psoriasis, serta komorbiditas
medis dan kejiwaan yang terkait, akan memfasilitasi diagnosis tepat waktu dan
manajemen yang tepat dengan terapi topikal yang efektif dan aman dan intervensi
medis dan psikologis yang diperlukan.

Pengobatan yang tepat dapat dimulai tergantung pada tingkat keparahan


penyakit,. Untuk penyakit ringan hingga sedang, pengobatan lini pertama berupa
terapi topikal termasuk kortikosteroid, analog vitamin D3, dan produk kombinasi.
Perawatan topikal ini dan dapat dimulai dan diresepkan dengan aman oleh dokter

11
perawatan primer. Pasien dengan gejala yang lebih parah dan refrakter mungkin
memerlukan evaluasi lebih lanjut oleh dokter kulit untuk terapi sistemik.

Jenis pengobatan psoriasis yang tersedia bekerja menekan gejala penyakit.


Tujuan pengobatan adalah menurunkan keparahan penyakit sehingga pasien dapat
beraktivitas dalam pekerjaan, kehidupan sosial dan sejahtera untuk tetap dalam
kondisi kualitas hidup yang baik, tidak memperpendek masa hidupnya karena
efek samping obat. Sampai saat ini pengobatan psoriasis tetap hanya bersifat
remitif, kekambuhan yang boleh dikatakan hampir selalu ada mengakibatkan
pemakaian obat dapat berlangsung seumur hidup. Menjaga kualitas hidup pasien
dengan efek samping yang rendah menjadi seni pengobatan psoriasis yang akan
terus berkembang.

Penetapan keparahan psoriasis penting dilakukan untuk menentukan


pengobatan. Pengukuran keparahan psoriasis yang biasa dilakukan dilapangan
antara lain: luas permukaan badan (LPB), Psoriasis Area severity Index (PASI),
Dermatology Life Quality Index (DLQI). Dinyatakan psoriasis dengan keparahan
ringan bila BSA kurang dari 3%, bila BSA lebih dari 10 % dinyatakan psoriasis
berat. Selain pengobatan topikal, tersedia pula pengobatan sistemik bahkan terapi
biologik yang lebih mengarah ke sasaran patofisiologi psoriasis. Namun
pemilihan pengobatan tidak mudah karena ada faktor lain yang memengaruhi
yaitu lokasi lesi, umur, aktivitas, waktu, dan kesehatan pasien secara umum.1
Tidak
Apakah psoriasis ringan (<3%)? (semua)
Apakah pasien menjadi tidak berdaya
karena psoriasis? Terapi topikal
Apakah psoriasis mempunyai akibat buruk
yang bermakna atas kualitas hidupnya?

Ya (satu diantaranya)
Tidak
(semua)
Apakah fototerapi kontraindikasi? Fototerapi
Apakah lesi resisten terhadap fototerapi? Terapi sistemik
Apakah ada psoriasis arthritis?

Ya (satu diantaranya)

Terapi sistemik

Gambar 7. Algoritma Tatalaksana Psoriasis1

12
Pada kelainan kulit yang terbatas, pengobatan topikal menjadi pilihan
dengan atau tanpa penambahan terapi sistemik untuk artritis. Dapat ditambah
dengan fototerapi atau sistemik, termasuk pengobatan biologik bila masih ada lesi
yang tersisa. Selain untuk kelainan yang minimal pengobatan ini juga dipakai
untuk mengontrol psoriasis yang kambuh.1,2,5,6

 Kortikosteroid topikal
Bekerja sebagai antinflamasi, antiproliferasi, dan vasokonstriktor.
Banyak dipakai dalam pengobatan psoriasis secara tunggal atau kombinasi.
Terapi ini efektif, relatif cepat, ditoleransi dengan baik, mudah digunakan,
dan tidak terlalu mahal dibandingkan terapi alternatif lainnya. Berdasarkan
keparahan dan letak lesi, dapat digunakan berbagai kelas kekuatan
kortikosteroid topikal (menurut Stoughton-Cornell) yang merespons
mekanisme vasokonstriktor pembuluh darah kulit. Obat tersedia dalam
vehikulum beragam, misalnya krim, salan solusio, bahkan bedak, gel,
spray, dan foam.
Bila dalam 4-6 minggu lesi tidak membaik, pengobatan sebaiknya
dihentikan, diganti dengan terapi jenis lain, sedangkan kortikosteroid
superpoten hanya diperbolehkan 2 minggu.
Pemakaian secara oklusi hanya diperkenankan untuk daerah
telapak tangan dan kaki. Psoriasis di daerah siku, lutut, telapak tangan
berespons lambat dengan kortikosteorid, sebaliknya lesi pada daerah
fleksural atau daerah dengan kulit yang relatif tipis, misalnya kelopak
mata dan genital, berefek baik terhadap kortikosteroid
Efek samping cukup banyak, seperti penipisan kulit, atrofik, striae,
telangiekrasis, erupsi akneiformis, rosasea, dermatitis kontak, perioral
dematitis, absorbsi sistemik yang dapat menimbulkan supresi aksis
hipothalamus pituitari.
 Kalsipotriol/Kalsipotrien
Kalsipotriol adalah analog vitamin D yang mampu mengobati
psoriasis ringan sampai sedang. Mekanisme kerja adalah antiproliferasi
keratinosit, menghambat proliferasi sel, dan meningkatkan diferensiasi
juga menghambat produksi sitokin yang berasal dari keratinosit maupun
limfosit. Kalsipotriol merupakan pilihan utama atau kedua pengobatan
topikal.
Walaupun tidak seefektif kortikosteroid superpoten, namun obat ini
tidak memiliki efek samping yang mengancam seperti kortikosteroid.
Dermatitis kontak iritan merupakan efek samping terbanyak yang dijumpai,
pemakaian 100gr seminggu dapat meningkatkan kadar kalsium darah.
Kalsipotrien tersedia dalam bentuk krim, salap sekali sehari atau solusio

13
yang dipakai dua kali sehari. Respons terapi terlihat lambat bahkan
awalnya terlihat lesi menjadi merah. Penyembuhan baru tampak setelah
pemakaian obat 53,5 hari (berkisar 14-78 hari). Reaksi iritasi berupa gatal
dan rasa terbakar dapat mengawali keberhasilan terapi, tetapi ada pula
yang tetap teriritasi dalam pemakaian ulangan. Lesi dapat menghilang
sempurna, eritema dapat pula bertahan.
Vitamin D lebih efektif dibandingkan dengan emolien ataupun tar
untuk meredakan gejala psoriasis, namun setara dengan kortikosteroid
poten. Kortikosteroid poten sedikit lebih efektif dibandingkan dengan
vitamin D untuk pengobatan psoriasis kulit kepala. Obat topikal paling
efektif adalah kortikosteroid superpoten yang mempunyai efek samping
yang harus menjadi perhatian ketat.
Vitamin D dan kortikosteroid poten mempunyai efektivitas
terhadap psoriasis yang sangat baik bila dibandingkan dengan vitamin D
tunggal atau kortikosteroid.
 Retinoid topikal
Acetylenic retinoid adalah asam vitamin A dan sintetik añalog
dengan reseptor B dan Y. Retinoid meregulasi transkripsi gen dengan
berikatan RAR-RXR heterodimer, berikatan langsung elemen respons
asam retinoat pada sisi promoter gen aktivasi. Tazaroten menormalkan
proliferasi dan diferensiasi kerinosit serta menurunkan jumlah sel radang.
Tazaroten telah disetujui FDA sebagai pengobatan psoriasis.
Reaksi iritasi (dermatitis tazaroten), juga dapat mengakibatkan
reaksi fototoksik. Tazarotene 0.1% lebih efektif dibandingkan dengan 0.05%
dalam meredakan skuama dan infiltrat psoriasis.
 Ter dan antralin
Ter berasal dari destilasi destruktif bahan organik, misalnya kayu,
batubara, dan fosil ikan. Contoh ter kayu, ialah minyak cemara, birch,
beech (nothofagus) dan cade (juniperus oxycedarus) tidak bersifat
fotosensitasi namun lebih alergenik dari ter batu bara. Ter batu bara (coal
tar) dihasilkan dari produk sampingan destilasi destruksi batu bara yang
mengandung benzen, toluen, xylene, kresol, antrasen, dan pitch. Pada kulit
normal, salap coal tar 5% mengakibatkan hiperplasia sementara, yang
diikuti dengan reduksi sebesar 20% ketebalan epidermis dalam 40 hari.
Bila tar dilarutkan dalam alkohol, disebut likuor, karbonis deterjen yang
berbentuk lebih estetis namun efektivitas lebih rendah dibandingkan
dengan ter batubara kasar (crude coal tar). Tar dapat dikombinasi dengan
ultraviolet B (UVB) yang dikenal dengan regimen Goeckerman. Ter untuk
psoriasis ringan sampai sedang, namun pemakaiannya mengakibatkan

14
kulit lengket, mengotori pakaian, berbau, kontak iritan, terasa terbakar dan
dapat terjadi fotosenstifitas.
Antralin (ditranol) mempunyai efek antimitotik dan menghambat
enzim proliferasi. Dapat dipakai sebagai kombinasi dengan fototerapi yang
dikenal dengan formulasi Ingram. Biasanya dimulai dengan antralin
konsentrasi terendah 0.05% sekali sehari kemudian ditingkatkan sampai
menjadi 1% dengan kontak singkat (15-30 menit) setiap hari. Obat ini
mampu membersihkan lesi psoriasis. Efek samping yang dijumpai adalah
iritasi dan memberikan noda pada bahan-bahan tenun.

Fototerapi yang dikenal ultraviolet A (UVA) dan ultraviolet B(UVB).


Fototerapi memiliki kemampuan menginduksi apoptosis, imunosupresan,
mengubah profil sitokin dan mekanisme lainnya. Diketahui efek biologik UVB
terbesar pada kisaran 311-313 nm. Dalam berbagai uji coba penyinaran 3-5 kali
seminggu memiliki hasil yang efektif. Bila dibandingkan dengan UVB spektrum
luas, UVB spektrum sempit dosis suberitemogenik nampaknya lebih efektif.
Psoriasis sedang sampai berat dapat diobati dengan UVB, kombinasi dengan ter
meningkatkan efektivitas terapi. Efek samping cepat berupa sunburn, eritema,
vesikulasi dan kuit kering. Efek jangka panjang berupa penuaan kulit dan
keganasan kulit yang masih sulit dibuktikan. Kombinasi UVB dengan ter dan
antralin, memiliki masa remisi berlangsung lama. Pemakaian UVB spektrum
sempit lebih banyak dipilih karena lebih aman dibandingkan dengan PUVA
(psoralen dan UVA) yang dihubungkan dengan karsinoma sel skuamosa,
karsinoma sel basal dan melanoma malignan pada kulit. Peningkatan keganasan
kulit karena UVB spektrum sempit sampai saat ini belum bisa ditetapkan dan
masih dalam penelitian.

Pengobatan sistemik biasanya dipakai pada psoriasis berat termasuk psoriasis


plakat luas eritroderma atau psoriasis pustulosa generalisata atau psoriasis artritis.

 Metotreksat sangat efektif untuk psoriasis maupun psoriasis artritis.


Mekanisme kerjanya kompetisi antagonis enzim dehidrofolat reduktase
yang mampu mengkatalisis asam folat menjadi berbagai kofaktor yang
diperlukan beragam reaksi biokimia termasuk sintesis DNA sehingga
dapat menekan proliferasi limfosit dan produksi sitokin, oleh karena itu
bersifat imunosupresif. Metabolit obat ini dieksresikan oleh merupakan
indikasi untuk ginjal, karena bersifat teratogenik. Oleh karena itu, tidak
boleh diberikan pada ibu hamil. Dosis pemakaian untuk dewasa dimulai
dengan dosis rendah 7.5-15mg setiap minggu, dengan pemantauan ketat
pemeriksaan fisik dan penunjang.

15
 Asitretin merupakan derivat vitamin A yang sangat teratogenik, efek
terhadap peningkatan trigliserida dan mengganggu fungsi hati. Dosis
berkisar 0.5-1 mg /kgBB/hari. Siklosporin adalah penghambat enzim
kalsineurin sehingga tidak terbentuk gen interleukin-2 dan inflamasi
lainnya. Dosis rendah: 2.5mg/kgBB/hari dipakai sebagai terapi awa
dengan dosis maksimum 4mg/kgBB/hari. Respons makin baik bila dosis
lebih tinggi. Hipertensi dan toksik ginjal adalah efek samping yang harus
diperhatikan.

Agen biologik bekerja dengan menghambat biomolekuler yang berperan


dalam tahapan patogenesis psoriasis. Terdapat tiga tipe obat yang beredar di
pasaran, yaitu recombinant human cytokine, fusi protein, dan monoklonal
antibody. Perkembangan agen biologik ini sangat pesat dan yang dikenal adalah
alefacept, efalizumab, infliximab, dan ustekinumab. Efek samping yang harus
diperhatikan adalah infeksi karena pada kasus yang berat atau yang tidak berhasil
agen ini bersfat imunosupresif.

Perhatian khusus selama kehamilan. Obat-obatan seperti metotreksat dan


retinoid oral harus dihindari karena metotreksat fetotoksik dan dapat menginduksi
abortus, dan retinoid adalah teratotoksin yang kuat. Jika pengobatan diperlukan,
emolien dan agen topikal lainnya merupakan lini pertama, seringkali juga diterapi
dengan fototerapi ultraviolet B. Banyak agen topikal, seperti steroid dan
kalsipotrien adalah kategori C kehamilan, maka penggunaannya harus hati-hati.

2.2.2 Para Psoriasis

A. Definisi
Parapsoriasis merupakan penyakit kulit yang belum diketahui
penyebabnya, pada umumnya tanpa keluhan, kelainan kulit terutama terdiri atas
eritema dan skuama, berkembang perlahan dan perjalanan kronik1,2

B. Epidemiologi
Diagnosis parapsoriasis jarang dibuat karena kriteria diagnosis masih
kontroversial.1

C. Klasifikasi
Dalam kepustakaan, terdapat bermacam-macam klasifikasi dan tidak
terdapat kesesuaian tentang nomenklatur. Pada umumnya parapsoriasis dibagi
menjadi tiga bagian, yakni Parapsoriasis gutata, Parapsoriasis variegata, dan
Parapsoriasis en plaques1,7
D. Patogenesis

16
Pemahaman lengkap tentang patogenesis parapsoriasis akan berkembang
dengan pemahaman tentang patogenesis dari kedua dermatitis kronis dan mikosis
fungoides (MF), karena parapsoriasis tampaknya menjembatani gangguan ini. Sel
T yang memediasi sebagian besar penyakit kulit inflamasi adalah milik jaringan
limfoid terkait-kulit (skin-associated lymphoid tissue/SALT). Sel T ini
mengekspresikan antigen terkait limfosit kulit dan jalur antara kulit dan domain
T-sel kelenjar getah bening perifer melalui sistem limfatik dan aliran darah. MF
adalah neoplasma sel T SALT. Perdagangan sel tumor MF telah terdeteksi bahkan
pada pasien dengan stadium sangat awal dimana lesi konsisten secara klinis
dengan LPP. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa setidaknya dalam beberapa
kasus LPP adalah proliferasi monoklonal dari sel T SALT. LPP dapat dianggap
sebagai ujung yang jinak secara klinis dari spektrum penyakit MF.2,8

E. Gejala Klinis1,2,7
1. Parapsoriasis gutata
terdapat pada dewasa muda terutama laki-laki. Ruam terdiri atas
papul miliar-lentikular, eritema dan skuama, dapat hemoragik, kadang-
kadang berkonfluensi, dan umumnya simetris. Sembuh spontan tanpa
meninggalkan sikatriks. Tempat predileksi pada badan, lengan atas dan
tungkai atas, tidak terdapat pada kulit kepala, wajah, dan tangan. Biasanya
kronik, tetapi dapat akut dan disebut parapsoriasis gutata akut (penyakit
Mucha-Habermann). Jika sembuh meninggalkan sikatriks seperti variola
karena itu dinamakan pula parapsoriasis varioliformis akuta atau pitiriasis
likenoides et varioliformis.

2. Parapsoriasis variegata

Kelainan terdapat pada badan, bahu, dan tungkai, bentuknya


seperti kulit zebra, terdiri atas skuama dan eritema yang bergaris-garis

3. Parapsoriasis en plaque

Umumnya pada usia pertengahan, dapat terus-menerus atau


mengalami remisi, lebih sering pada laki-laki. Tempat predileksi pada
badan dan ekstremitas. Kelainan kulit berupa bercak eritematosa,
permukaan datar, bulat atau lonjong, dengan sedikit skuama, berwarna
merah muda, cokelat atau agak kuning. Sering berkembang menjadi
mikosis fungoides.

Terbagi menjadi parapsoriasis plak besar (large plaque


parapsoriasis/LPP) dan parapsoriasis plak kecil (small plaque
parapsoriasis/SPP). LPP lesi berupa bercak oval atau tidak beraturan atau

17
plak sangat tipis yang asimtomatik atau agak pruritik. Biasanya berbatas
tegas. Ukurannya bervariasi, tetapi sebagian besar lesi lebih besar dari 5
cm, bahkan lebih dari 10 cm. Ukuran lesi stabil dan dapat meningkat
jumlahnya secara bertahap. Terutama di "bathing trunk" dan daerah
fleksor. SPP, disebut juga dermatitis superfisial kronis, tampak secara khas
sebagai bercak diskrit bulat atau oval atau plak yang sangat tipis, terutama
pada tubuh. Ukuran lesi berdiameter kurang dari 5 cm. Tidak
menunjukkan gejala dan ditutupi dengan skuama yang halus dan adherent.

Gambar8. Parapsoriasis en plaque2

F. Histopatologi

1. Parapsoriasis gutata
Terdapat sedikit infiltrat limfohistiositik di sekitar pembuluh darah
superfisial, hiperplasia epidermal ringan, dan sedikit spongiosis setempat.
2. Parapsoriasis variegata
Epidermis tampak menipis disertai parakeratosis setempat. Pada
dermis terdapat infiltrat menyerupai pita terutama terdiri atas limfosit.
3. Parapsoriasis en plaque
Gambaran klinis tak khas, mirip dermatitis kronik

G. Diagnosis Banding

Sebagai diagnosis banding ialah pitiriasis rosea dan psoriasis. Ruam pada
pitiriasis rosea juga terdiri atas eritema dan skuama, tetapi perjalanannya tidak
menahun seperti pada parapsoriasis. Perbedaan lain ialah pada pitiriasis rosea
susunan ruam sejajar dengan lipatan kulit dan kosta.

Psoriasis berbeda dengan parapsoriasis, dimana skuama pada psoriasis


tebal, kasar, berlapis-lapis, dan terdapat fenomena tetasan lilin dan Auspitz. Selain
itu, gambaran histopatologiknya berbeda.1

H. Tata Laksana

18
Hasil pengobatan kurang memuaskan. Penyakit dapat membaik dengan
penyinaran ultraviolet atau kortikosteroid topikal seperti yang digunakan pada
pengobatan psoriasis, meskipun hasilnya bersifat sementara dan sering kambuh.
Dalam kepustakaan banyak sekali obat yang dicobakan, di antaranya kalsiferol,
preparatter, obat antimalaria, derivat sulfon, obat sitostatik, dan vitamin E.
Pengobatan parapsoriasis gutata akuta dengan eritromisin (40 mg/kg berat badan)
dengan hasil baik juga dengan tetrasiklin. Keduanya mempunyai efek
menghambat kemotaksis neutrofil.1

Pasien pada awalnya harus diperiksa setiap 3 hingga 6 bulan dan


selanjutnya setiap tahun untuk memastikan bahwa karakter prosesnya stabil. LPP
membutuhkan terapi yang lebih agresif: kortikosteroid topikal potensi tinggi
dengan fototerapi seperti broadband UVB, UVB pita sempit, ultraviolet A (UVA)
dosis rendah 1 atau psoralen dan UVA (PUVA).2,8

2.2.3 Pitiriasis Rosea

A. Definisi
Pitiriasis rosea ialah erupsi kulit akut yang sembuh sendiri, dimulai dengan
sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian disusul oleh
lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan, dan tungkai atas yang tersusun sesuai
dengan lipatan kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu 3-8 minggu.1

B. Epidemiologi

Didapati pada semua umur terutama 15-40 tahun, jarang pada usia kurang
dari 2 tahun dan lebih dari 65 tahun. Ratio perempuan dan laki-laki adalah 1,5:11

C. Etiologi
Belum diketahui, tetapi berdasarkan gambaran klinis dan epidemiologis
diduga akibat infeksi. Diduga pitiriasis rosea berhubungan dengan reaktivasi
Human Herpes Virus (HHV)-7 dan HHV-61,9
Erupsi menyerupai pitiriasis rosea dapat terjadi setelah pemberian obat,
misalnya bismut, arsenik, barbiturat, metoksipromazin, kaptopril, klonidin,
interferon, ketotifen, ergotamin, metronidazol, inhibitor tirosin kinase; dan agen
biologik, misalnya adalimumab. Walaupun beberapa erupsi obat dapat
menyerupai pitiriasis rosea, tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa
pitiriasis rosea dapat disebabkan oleh obat. Terdapat pula laporan erupsi
menyerupai pitiriasis rosea yang timbul setelah vaksinasi difteri, cacar,
pneumokokus, virus Hepatitis B, BCG, dan virus influenza1

19
D. Gejala Klinis

Gejala konstitusi umumnya tidak ada. Pada sebagian kecil pasien dapat
terjadi gejala menyerupai flu termasuk malaise, nyeri kepala, nausea, hilang nafsu
makan, demam dan artralgia. Sebagian penderita mengeluh gatal ringan.

Patch herald klasik pertama muncul sebagai plak tipis, oval hingga bulat
yang biasanya berwarna merah muda, eritematosa, atau, lebih jarang,
hiperpigmentasi. Seringkali memiliki pusat yang sedikit terdepresi dan skuama
yang halus pada pinggiran lesi. Ini paling sering terjadi pada badan (50%) diikuti
oleh ekstremitas dan leher. Lokasi atipikal seperti kaki dorsal, wajah, kulit kepala,
dan genitalia telah dilaporkan. Lesi ini membesar selama beberapa hari biasanya
mencapai diameter lebih besar dari 3 cm dengan kisaran 2 hingga 10 cm.

Gambar 9. Double Herald Patch2

Erupsi sekunder dimulai beberapa jam hingga 3 bulan setelah timbulnya patch
herald. Erupsi sekunder dikarakteristikkan dengan makula, papula, dan plak 0,5 -
1,5 cm multipel, papula, dan plak, sering berwarna merah muda terang dengan
skuama dan menyerupai patch herald dalam bentuk kecil. Biasanya ditemukan
bilateral dan simetris pada tubuh dan ekstremitas proksimal, dapat meluas ke
ekstremitas distal, telapak tangan dan kaki. Dalam deskripsi klasik, lesi sejajar
dengan sumbu panjangnya sejajar dengan garis cleavage yang memberikan
distribusi "Pohon Natal" di dada bagian atas dan belakang. Erupsi sekunder ini
biasanya terjadi setiap beberapa hari selama 2 minggu.2

20
Gambar 10. Pitiriasis rosea, menunjukkan plak primer khas dan papulovesikel
sekunder. Perhatikan distribusi pohon natal.2

Gambar 11. Diagram skematik dari plak primer herald patch dan distribusi tipikal
dari plak sekunder dalam pola pohon natal2

Selain bentuk eritroskuamosa, pitiriasis rosea dapat juga berbentuk urtika,


vesikel dan papul, yang lebih sering terdapat pada anak-anak. Lesi oral jarang
terjadi. Lesi akan sembuh bersamaan dengan penyembuhan lesi kulit.

21
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Pitiriasis Rosea9

E. Diagnosis Banding1,9
1. Tinea korporis: pada pitiriasis rosea, gatal tidak begitu berat dengan
skuama halus, sedangkan pada tinea korporis kasar. Pada tinea sediaan
KOH akan positif. Cari lesi inisial yang masih ada. Jika telah tidak ada,
dapat ditanyakan kepada penderita tentang lesi inisial. Sering lesi inisial
tersebut tidak seluruhnya eritematosa lagi, tetapi bentuknya masih tampak
oval dan di tengahnya terlihat hipopigmentasi.
2. Sifilis sekunder: pada sifilis sekunder terdapat rewet chancre dan tidak
terdapat riwayat herald patch, keterlibatan telapak tangan dan kaki,
pembesaran kelenjar getah bening, kondilomata lata, dan tes serologik
sifilis positif.
3. Dermatitis numularis plak : biasanya berbentuk sirkular, bukan oval
(pitiriasis rosea). Lesi lebih banyak di tungkai bawah atau punggung
tangan, tempat yang jarang ditemukan pada pitiriasis rosea.
4. Psoriasis gutata: pada psoriasis gutata biasanya berukuran lebih kecil dan
tidak tersusun sesuai lipatan kulit, selain itu skuamanya tebal.
5. Pityriasis lichenoides kronik: pada pityriasis lichenoides kronik penyakit
berlangsung lebih lama, lesi lebih kecil, skuama lebih tebal, tidak terdapat
herald patch, dan lebih sering terjadi pada ekstremitas.
6. Dermatitis seboroik: pada dematitis seboroik tidak ditemukan herald patch,
lesi berkembang perlahan, paling banyak di badan bagian atas, leher, dan
skalp, warna lebih gelap, skuama lebih tebal dan berminyak. Kelainan
akan menetap bila tidak diobati.
7. Erupsi obat menyerupai pitiriasis rosea: sering memberi gambaran atipikal.
Lesi biasanya lebih besar, selanjutnya terjadi hiperpigmentasi dan berubah
menjadi dermatitis. Perlu ditanyakan riwayat penggunaan obat.
F. Tatalaksana
Pengobatan bersifat simtomatik, untuk gatalnya dapat diberikan sedativa,
sedangkan sebagai obat topikal dapat diberikan bedak asam salisilat yang
dibubuhi mentol 1%. Bila terdapat gejala menyerupai flu dan/atau kelainan kulit
luas, dapat diberikan asiklovir 5 x 800 mg per hari selama 1 minggu. Pengobatan
ini dapat mempercepat penyembuhan.1,9
Pada kelainan kulit luas dapat diberikan terapi sinar UVB. UVB dapat
mempercepat penyem- buhan karena menghambat fungsi sel Langerhans sebagai
penyaji antigen. Pemberian harus hati- hati karena UVB meningkatkan risiko
terjadi hiperpigmentasi pasca-inflamasi.1

G. Prognosis

22
Prognosis baik karena penyakit sembuh spontan, biasanya dalam waktu 3-
8 minggu. Beberapa kasus menetap sampai 3 bulan. Dapat terjadi hipo atau
hiperpigmentasi pascainflamasi sementara yang biasanya hilang tanpa bekas.
Pitiriasis rosea jarang kambuh, tetapi dapat terjadi kekambuhan pada 2% kasus.1

2.2.4 Dermatitis Seboroik

A. Definisi

Dermatitis seboroik (DS) adalah kelainan kulit papuloskuamosa. dengan


predileksi di daerah kaya kelenjar sebasea, skalp, wajah dan badan. Dermatitis ini
dikaitkan dengan malasesia, terjadi gangguan imunologis mengikuti kelembaban
lingkungan, perubahan cuaca, ataupun trauma, dengan penyebaran lesi dimulai
dari derajat ringan, misalnya ketombe sampai dengan bentuk eritroderma.1,2

B. Epidemiologi

Lesi banyak ditemui pada kelompok remaja, dengan ketombe sebagai bentuk
yang lebih sering dijumpai. Umumnya diawali sejak usia pubertas, dan memuncak
pada umur 40 tahun. DS biasanya muncul kronis dan sering kambuh pada remaja
dan dewasa muda ketika aktivitas kelenjar sebasea meningkat dari efek hormonal.
DS juga dapat mempengaruhi bayi usia 2 minggu dengan kejadian puncak pada
usia 3 bulan, yang disebut dermatitis seboroik infantile (DSI). Prevalensi
keseluruhan populasi umum DS adalah antara 2,35% dan 11,30%,. Dominasi laki-
laki diamati pada semua usia tanpa kecenderungan ras. DS sering dipengaruhi
oleh dampak musim dimana lebih banyak pada iklim dingin dan kering, dan
berkurang dengan paparan sinar matahari. Pada kelompok HIV, angka kejadian
dermatitis seboroik lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Sebanyak 36%
pasien HIV mengalami dermatitis seboroik.1,2

C. Etiopatogenesis

Peranan kelenjar sebasea dalam patogenesis DS masih diperdebatkan,


sebab pada remaja dengan kulit berminyak yang mengalami dermatitis seboroik,
menunjukkan sekresi sebum yang normal pada laki-laki dan menurun pada
perempuan. Dengan demikian penyakit ini lebih tepat disebut sebagai dermatitis
di daerah sebasea.

DS dapat merupakan tanda awal infeksi HIV. Dermatitis seboroik sering


ditemukan pada pasien HIV/AIDS, transplantasi organ, malignansi pankreatitis
alkoholik kronik,hepatitis C, dan parkinson. Terapi levodopa kadang memperbaiki
dermatitis ini. Kelainan ini sering juga dijumpai pada pasien dengan gangguan
paralisis saraf. Obat-obatan yang memicu DS antara lain: buspiron, klorpromazin,

23
simetidine, etionamid gold, griseofulvin, haloperidol, interferon alfa, itium,
metoksalen, metildopa, fluorourasil, fenotiazine, psoralen

Meningkatnya lapisan sebum pada kulit, kualitas sebum, respons


imunologis terhadap Pityrosporum, degradasi sebum dapat mengiritasi kulit
sehingga terjadi mekanisme eksema. Jumlah ragi Malassezia meningkat di
epidermis yang terkelupas pada ketombe ataupun DS. Diduga hal ini terjadi akibat
lingkungan yang mendukung. Telah banyak bukti yang mengaitkan DS dengan
Malassezia. Pasien dengan ketombe menunjukkan peningkatan titer antibodi
terhadap Malassezia serta mengalami perubahan imunitas selular.1,2

D. Gambaran Klinis

Lokasi yang terkena seringkali di daerah kulit kepala berambut, wajah (alis, lipat
nasolabial, side bun), telinga dan liang teling, bagian atas-tengah dada dan
punggung, lipat gluteus, inguinal, genital, ketiak. Sangat jarang menjadi luas.
Pada usia lanjut dapat dijumpai bentuk yang ringan, sedangkan pada bayi dapat
terlihat lesi berupa kerak kulit kepala (cradle cap).

Gejala DS kronis, persisten, dan berulang. Dapat ditemukan skuama


kuning berminyak, eksematosa ringan, kadang disertai rasa gatal. Ketombe
merupakan tanda awal manifestasi DS. Lesi kulit kepala dan wajah yang merah,
mengelupas, dan berminyak mudah diamati, terutama pada lipatan nasolabial, alis,
kelopak mata atas, dahi, daerah postaurikular, liang telinga dan daun telinga,
umumnya distribusi simetris. Dapat dijumpai kemerahan perifolikular yang pada
tahap lanjut menjadi plak eritematosa berkonfluensi, dapat membentuk rangkaian
plak di sepanjang batas rambut frontal dan disebut sebagai korona seboroika. DS
dapat muncul di tempat lain, seperti oksiput dan leher. Jika lesi di area sternum,
punggung atas, dan umbilicus, lesi dapat terlihat petaloid atau arkuata dengan
skuama merah muda halus. Sebaliknya, daerah intertriginosa, termasuk daerah
inguinal dan aksila, menunjukkan skuama yang lebih kecil.

Keparahan DS bervariasi dari eritema ringan dan pruritus hingga skuama


berat, berminyak, tebal dengan rasa terbakar atau kesemutan. Beberapa pasien
mungkin mengalami Pityrosporum folliculitis dan blepharitis. Pityrosporum
folikulitis bermanifestasi sebagai erupsi papulopustular difus dengan eritema
perifer pada batang tubuh dan lebih banyak muncul pada pasien imunokompromis.
Seboroik blepharitis muncul sebagai jenis blepharitis anterior, menyebabkan
pengelupasan dan skuama pada kelopak mata.

24
Gambar 12. Dermatitis Seboroik. Gambaran cradle cap (kiri). Tampak
keterlibatan nasolabial (kanan)2

Pada fase kronis dapat dijumpai kerontokan rambut. Lesi dapat juga
dijumpai pada daerah retroaurikular. Bila terjadi di liang telinga, lesi berupa otitis
eksterna atau di kelopak mata sebagai blefaritis. Bentuk varian di tubuh yang
dapat dijumpai pitiriasifrom (mirip pitiriasis rosea) atau anular. Pada keadaan
parah DS dapat berkembang menjadi eritroderma.

Secara karakteristik, DSI memiliki fitur yang relatif berbeda dengan DS


pada usia yang lebih tua. Erupsi kulit nonpruritik umumnya mempengaruhi area
frontal atau vertex (atau kedua area) kulit kepala dan area tengah wajah dengan
skuama kering, tebal, melekat, dan mengelupas, dan dapat disertai dengan ruam
eritematosa pada lipatan intertriginous tubuh dan ekstremitas. Keterlibatan
ekstensif kulit kepala, yang biasa disebut "cradle cap," adalah salah satu
penampilan khas yang diamati dalam DSI. DSI biasanya sembuh secara spontan
dalam 6 sampai 12 bulan pertama kehidupan.2,10

Penyakit Leiner menggambarkan bayi dengan eritroderma deskuamatif,


rambut jarang, sering buang air besar, dan kegagalan untuk berkembang,
kemudian dilaporkan pasien dengan gambaran klinis serupa menderita DS
generalisata.

E. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan morfologi khas lesi dengan skuama


kuning berminyak di area predileksi.1

F. Diagnosis Banding

25
Diagnosis banding utama SD dan ketombe meliputi psoriasis, dermatitis
atopik, tinea capitis, rosasea, dan systemic lupus erythematous (SLE)10

Tabel 3. Diagnosis Banding Dermatitis Seboroik10

G. Tata Laksana

Pengobatan tidak menyembuhkan secara permanen sehingga terapi


dilakukan berulang saat gejala timbul. Tatalaksana yang dilakukan antara lain:1

1. Sampo yang mengandung obat Malassezia, misalnya: selenium sulfida,


zinc pirithione, ketokonazol, berbagai sampo yang anti mengandung ter
dan solusio terbinafine 1%.

2. Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi jumlah sebum


pada kulit dapat dilakukan dengan mencuci wajah berulang dengan sabun
lunak. Pertumbuhan jamur dapat dikurangi dengan krim imidazol dan
turunannya, bahan antimikotik di daerah lipatan bila ada gejala.

3. Skuama dapat diperlunak dengan krim yang mengandung asam salisilat


atau sulfur

26
4. Pengobatan simtomatik dengan kortikosteroid topikal potensi sedang,
immunosupresan topikal (takrolimus dan pimekrolimus) terutama untuk
daerah wajah sebagai pengganti kortikosteroid topikal.

5. Metronidazol talkasitol, benzoil peroksida dan salep litium suksinat 5%

6. Pada kasus yang tidak membaik dengan terapi konvensional dapat


digunakan terapi sinar ultraviolet-B (UVB) atau pemberian itrakonazole
100mg/hari per oral selama topikal, siklopiroksolamin, 21 hari.

7. Bila tidak membaik dengan semua modalitas terapi, pada DS yang luas
dapat diberikan prednisolon 30 mg/hari untuk respons cepat.

Tabel 4. Tatalaksana Dermatitis Seboroik10

2.2.5 Eritoderma

A. Definisi

Eritroderma ialah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema


universalis (90%-100%), biasanya disertai skuama. Bila eritemanya antara 50%-

27
90% dinamai preeritroderma. Pada definisi tersebut yang mutlak harus ada ialah
eritema, sedangkan skuama tidak selalu terdapat, misalnya pada eritroderma
karena alergi obat sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama, baru kemudian
pada stadium penyembuhan timbul skuama. Pada eritroderma yang kronik,
eritema tidak begitu jelas, karena bercampur dengan hiperpigmentasi.

B. Epidemiologi
Seperti telah disebutkan jumlah pasien eritroderma makin bertambah.
Penyebab utama ialah psoriasis yang meluas. Hal tersebut seiring dengan
meningkatnya insidens psoriasis. Biasanya banyak pada usia enam puluh tahun.
Lebih banyak ditemukan pada pria.11

C. Patofisiologi

Patofisiologi eritroderma belum jelas, yang dapat diketahui ialah akibat


suatu agen dalam tubuh, maka tubuh bereaksi berupa pelebaran pembuluh darah
kapiler (eritema) yang universal Kemungkinan pelbagai sitokin berperan. Eritema
berarti terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke kulit
meningkat sehingga kehilangan panas bertambah, akibatnya pasien merasa dingin
dan menggigil.

Pada eritroderma kronis dapat terjadi gagal jantung. Juga dapat terjadi
hipotermia akibat peningkatan perfusi kulit. Penguapan cairan yang makin
meningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Bila suhu badan meningkat, kehilangan
panas juga meningkat. Pengaturan suhu terganggu. Kehilangan panas
menyebabkan hipermetabolisme kompensatoar dan peningkatan laju metabolisme
basal.

Kehilangan cairan oleh transpirasi meningkat sebanding dengan laju


metabolisme basal. Kehilangan skuama dapat mencapai 9 gram/m2 permukaan
kulit atau lebih per hari sehingga menyebabkan kehilangan protein.
Hipoproteinemia dengan berkurangnya albumin dan peningkatan relatif globulin
terutama globulin gama merupakan kelainan yang khas. Edema sering terjadi,
kemungkinan disebabkan oleh pergeseran cairan ke ruang ekstravaskuler.

Eritroderma akut dan kronis dapat mengganggu mitosis rambut dan kuku,
berupa kerontokan rambut difus dan kehilangan kuku. Pada eritroderma yang
telah berlangsung berbulan-bulan dapat terjadi perburukan keadaan umum

D. Gejala Klinis Dan Diagnosis

I. Eritroderma akibat alergi obat sistemik

28
Untuk menentukannya diperlukan anamnesis yang teliti. Pengertian
alergi obat secara sistemik ini ialah masuknya obat ke dalam tubuh dengan
berbagai cara, misalnya melalui mulut, hidung, rektum dan vagina, serta
dengan cara suntikan/infus. Selain itu alergi dapat pula terjadi karena obat
mata, obat kumur, tapal gigi dan melalui kulit sebagai obat luar.

Waktu mulai masuknya obat ke dalam tubuh hingga timbul penyakit


bervariasi dapat segera sampai 2 minggu. Bila ada obat lebih dari satu yang
masuk ke dalam tubuh yang diduga sebagai penyebabnya ialah obat yang
paling sering menimbulkan alergi. Gambaran klinisnya berupa eritema
universal dan skuama akan timbul di stadium penyembuhan.

II. Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit

Pada penyakit tersebut yang sering terjadi ialah akibat psoriasis dapat pula
karena dermatitis seboroik pada bayi (penyakit Leiner), oleh karena itu, kedua
penyakit tersebut yang akan dijelaskan.

1. Eritroderma karena psoriasis (psoriasis eritrodermik)

Psoriasis dapat menjadi eritroderma yang disebabkan oleh


penyakitnya sendiri atau karena pengobatan yang terlalu kuat, misalnya
pengobatan topikal dengan ter dengan konsentrasi yang terlalu tinggi. Pada
anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah pernah menderita psoriasis.
Penyakit tersebut bersifat menahun dan residif, kelainan kulit berupa
skuama yang berlapis-lapis dan kasar di atas kulit yang eritematosa dan
sirkumskrip.

Umumnya didapati eritema yang tidak merata. Pada tempat


predileksi psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan
agak meninggi daripada di sekitarnya dan skuama di tempat itu lebih tebal.
Kuku juga perlu dilihat, dicari apakah ada pitting nail berupa lekukan
miliar, tanda ini hanya menyokong dan tidak patognomonis untuk
psoriasis. Jika ragu-ragu, pada tempat yang meninggi tersebut dilakukan
biopsi untuk pemeriksaan histopatologik. Kadang-kadang biopsi harus
dilakukan beberapa kali. Sebagian para pasien tidak menunjukkan
kelainan semacam itu, jadi yang terlihat hanya eritema yang universal dan
skuama. Pada pasien demikian baru diketahui bahwa penyebabnya
psoriasis setelah diberi terapi dengan kortikosteroid. Pada saat
eritrodermanya mengurang, maka mulailah tampak tanda-tanda psoriasis.

29
Gambar 13. Psoriatik eritroderma11

2. Penyakit Leiner

Disebut juga eritroderma deskuamativum. Belum diketahui pasti,


tetapi umumnya penyakit ini disebabkan oleh dermatitis seboroik yang
meluas, hampir selalu terdapat kelainan yang khas untuk dermatitis
seboroik. Usia penderita antara 4 minggu sampai 20 minggu. Keadaan
umumnya baik, biasanya tanpa keluhan. Kelainan kulit berupa eritema
universal disertai skuama yang kasar.

IlI Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan

Berbagai penyakit atau kelainan organ dalam dapat menyebabkan


kelainan kulit berupa eritroderma. Jadi setiap kasus eritroderma yang tidak
termasuk golongan I dan II harus dicari penyebabnya, yang berarti harus
diperiksa secara menyeluruh (termasuk pemeriksaan laboratorium dan
sinar-X toraks), apakah ada penyakit pada organ dalam dan harus dicari
pula, apakah ada infeksi pada organ dalam dan infeksi fokal. Ada kalanya
terdapat leukositosis namun tidak ditemukan penyebabnya, jadi terdapat
infeksi bakterial tersembunyi (occult infection) yang perlu diobati.
Termasuk di dalam golongan ini ialah sindrom Sézary yang akan
dibicarakan berikut ini.

30
Ada pasien-pasien eritroderma yang meskipun telah dicari
kausanya belum juga dapat ditemukan. Mereka hendaknya diobservasi
kemungkinan kelak akan menjadi limfoma.

Sindrom Sézary termasuk limfoma, ada yang berpendapat


merupakan stadium dini mikosis fungoides. Penyebabnya belum diketahui,
diduga berhubungan dengan infeksi virus HTLV-V dan dimasukkan ke
dalam CTCL (Cutaneous T-Cell Lymphoma). Menyerang orang dewasa,
mulainya penyakit pada laki-laki rata-rata berumur 64 tahun, sedangkan
pada perempuan 53 tahun.

Sindrom ini ditandai dengan eritema berwarna merah membara


yang universal disertai skuama dan rasa sangat gatal. Selain itu, terdapat
pula infiltrat pada kulit dan edema. Pada sepertiga hingga setengah para
pasien didapati splenomegali, limfadenopati superfisial, alopesia,
hiperpigmentasi, hiperkeratosis palmaris dan plantaris, serta kuku yang
distrofik.

Pada pemeriksaan laboratorium sebagian besar kasus menunjukkan


leukositosis (rata-rata 20.000/mm), 19% dengan eosinofilia dan
limfositosis. Selain itu, terdapat pula limfosit atipik yang disebut sel
Sézary. Sel ini besarnya 10-20 um, mempunyai sifat yang khas, inti
homogen, lobular dan tak teratur. Selain terdapat dalam darah, sel tersebut
juga terdapat dalam kelenjar getah bening dan kulit. Biopsi pada kulit juga
memberi kelainan yang agak khas, yakni terdapat infiltrat pada dermis
bagian atas dan terdapatnya sel Sézary

Disebut sindrom Sézary, jika jumlah sel Sézary yang beredar


1000/mm3 atau lebih atau melebihi 10% sel-sel yang beredar. Bila jumlah
sel tersebut di bawah 1000/mm3 dinamai sindrom pre-Sézary.1,11

E. Tatalaksana
a. Nonmedikamentosa

Pada eritroderma golongan I, obat yang diduga sebagai penyebab harus segera
dihentikan.

b. Medikamentosa

Umumnya pengobatan eritroderma adalah kortikosteroid. Pada golongan I,


yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis prednison 4 x 10 mg.
Penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari - beberapa minggu.

31
Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan
kortikosteroid. Dosis mula prednison 4x 10-15 mg sehari. Jika setelab beberapa
hari tidak tampak perbaikan dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak perbaikan,
dosis diturunkan perlahan-lahan. Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan
dengan ter pada psoriasis maka obat tersebut harus dihentikan.

Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati dengan asetretin (lihat


pengobatan sistemik psoriasis). Lama penyembuhan golongan II ini bervariasi
beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak secepat seperti golongan I.
Pada pengobatan dengan kortikosteroid jangka lama, yakni jika melebihi 1 bulan
lebih baik digunakan metilprednisolon daripada prednison dengan dosis ekuivalen
karena efeknya lebih sedikit.

Pengobatan penyakit Leiner dengan kortikosteroid memberi hasil yang


baik. Dosis prednison 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrom Sézary pengobatannya
terdiri atas kortikosteroid (prednison 30 mg sehari) atau metilprednisolon
ekuivalen dengan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil dengan dosis 2-6 mg
sehari.

Pada eritroderma kronis diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya
skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula diolesi
emolien untuk mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema, misalnya
dengan salap lanolin 10% atau krim urea 10%.

F. Prognosis

Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara


sistemik, prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat
dibandingkan dengan golongan yang lain.

Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan


kortikosteroid hanya mengurangi gejala dan pasien akan mengalami
ketergantungan kortikosteroid (corticosteroid dependence).

Sindrom sezary umumnya prognosisnya buruk. Pasien laki-laki akan


meninggal setelah 5 tahun dan pasien peremuan akan meninggal setelah 10 tahun.
Kematian disebabkan oleh infeksi atau berkembang menjadi mikosis fungoides

32
2.2.6 Lupus Eritematosus
A. Definisi

Lupus eritematosus (LE) disebut juga butterfly lupus erythematosus, discoid


erythema, malar rash, merupakan penyakit autoimun yang melibatkan jaringan
konektif dan pembuluh darah. LE memiliki manifestasi klinis yang sangat
bervariasi, yaitu kelainan kulit saja (LE Kutan) hingga keterlibatan sistemik (LE
sistemik/LES). LE Kutan merupakan manifestasi kulit yang dapat terjadi pada 72-
85% pasien LES dan 20-28% pasien LES didahului dengan lesi pada kulit. Rasio
antara perempuan dan laki-laki adalah 9:1.1

B. Etiopatogenesis

Hingga saat ini penyebab dan patomekanisme LE Kutan belum diketahui


secara pasti, tetapi berhubungan erat dengan patogenesis LES. Faktor pejamu
(suseptibilitas, hormonal dan faktor lingkungan menyebabkan hilangnya self
tolerance dan menginduksi proses autoimun Hal ini diikuti aktivasi dan ekspansi
sistem imun sehingga mencetuskan penyimpangan imunologik yang berdampak
pada beberapa organ dan tampilan klinis penyakit. Beberapa penelitian ban
memfokuskan pada peran sinyal interferon alfa (IFN-a) dalam patogenesis LE.

Selain predisposisi genetik, pajanan faktor lingkungan, misalnya ultraviolet


(UV), infeksi virus, obat, dan rokok mempunyai peran besar dalam perkembangan
penyakit LE. Radiasi UV mempunyai peran paling penting dalam fase induksi
penyakit LE Kutan. UVB menyebabkan apoptosis keratinosit dan autoantigen
Ro/SS-A, La SS-B, serta calreticulin, berpindah dari lokasi normal di dalam
keratinosit ke permukaan sel. UVB juga menginduksi dan meningkatkan ekspresi
beberapa kemokin sehingga mengaktifkan sel T autoreaktif dan IFN-a, sel dendrit
yang mempunyai peran utama dalam patogenesis LE.

C. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis keterlibatan kulit pada LE sangat sering ditemukan dan
sangat bervariasi. Klasifikasi Gilliam (1982) yang sering digunakan dan mudah
diterapkan pada kelainan kulit LE yang sangat bervariasi. Gilliam membagi
berdasarkan gambaran karakteristik histopatologis, LE Kutan spesifik dan LE
Kutan non-spesifik.

Sangat penting membedakan kedua subtipe LE Kutan spesifik, karena


keterlibatan kulit mencerminkan aktivitas penyakit LES. LE Kutan akut
mencerminkan keparahan LES, sedangkan LE Kutan Kronik biasanya
menunjukkan tidak adanya kelainan sistemik.

Klasifikasi Lupus Kutan Eritematosus berdasarkan Gilliam:

33
Tabel 5. Klasifikasi Kutaneus LE13

a. Lupus Eritematosus Kutan Akut

LE kutan akut lokalisata ditemukan di wajah berupa lesi malar atau


butterfly rash gambaran khas berupa lesi eritematosa yang simetris dan konfluens,
serta edema pada area malar dan melintasi hidung. Biasanya dimulai dengan
makula atau papul pada wajah kemudian konfluens dan hiperkeratotik. Terkadang
dapat meluas ke dahi, dagu dan leher. Jarang mengenai lipatan nasolabial.

LE Kutan akut generalisata merupakan perluasan lesi makulopapular atau


erupsi eksantematosa yang biasanya mengenai ekstremitas atas dan tangan sisi
ekstensor dan jarang melibatkan sendi. LE Kutan akut dicetuskan dan dapat
eksaserbasi akibat pajanan radiasi UV. Lesi dapat bertahan dalam durasi yang
bervariasi hingga menetap untuk jangka panjang bergantung pada aktivitas
penyakit. Pigmentasi postinflamasi seringkali ditemukan. Tidak ditemukan
jaringan parut kecuali bila terjadi infeksi bakteri sekunder.

34
Gambar 14. Butterfly rash pada LE kutan akut2

b. Lupus Eritematosus Kutan Subakut

Gambaran klinis berupa makula atau papul eritematosa yang berkembang


menjadi lesi papuloskuamosa atau plak anular hiperkeratotik. Lesi sangat
fotosensitif.dan ditemukan pada area yang mudah terpajan UV, yaitu punggung
atas, bahu, lengan sisi ekstensor, area leher, dan jarang sekali di wajah. Bila
mengenai wajah, biasanya pada sisi lateral. Lesi biasanya menetap lebih lama
dibandingkan lesi pada LE Kutan akut dan meninggalkan makula pigmentasi
dalam waktu cukup lama.Lesi LE Kutan subakut mengalami resolusi tanpa
meninggalkan jaringan parut/skar.

Gambar 15. LE Kutan Subakut13

35
c. Lupus Eritematosus Kutan Kronik

Lesi diskoid klasik merupakan bentuk yang paling sering ditemukan,


dimulai makula merah-keunguan, papul atau plak kecil yang secara cepat
berkembang menjadi permukaan yang hiperkeratotik Lesi diskoid awal berupa
plak eritematosa dengan bentuk menyerupai uang logam yang berbatas tegas,
ditutupi skuama yang lekat dan menutupi folikel rambut. Bentuk khas lesi diskoid
adalah plak eritema yang meluas dengan area hiperpigmentasi di bagian perifer,
meninggalkan skar atrofik pada bagian sentral, telangiektasis, dan hipopigmentasi
Pada area rambut dapat menyebabkan alopesia dengan skar sehingga
menyebabkan deformitas dan sering memengaruhi kualitas hidup pasien.
Keterlibatan folikel berupa keratotic plug merupakan gambaran yang dominan.
LE Kutan kronik mempunyai predileksi pada wajah, skalp, telinga, area leher V
dan sisi ekstensor ekstremitas. Bila lesi diskoid meluas sampai ke bawah bagian
leher maka digolongkan dalam LE Kutan kronik generalisata.

Gambar 16. Lesi discoid pada LE kutan kronis2

D. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa autoantibodi mempunyai hubungan erat dengan LE, sehingga pada


LE Kutan akut sering ditemukan titer tinggi ANA, anti-dsDNA, anti-Sm, dan
hipokomplementemia. Penanda pada LE Kutan subakut adalah autoantibodi anti-
Ro/SS-A (70-90%) dan anti-La/SS-B (30-50%). ANA dapat ditemukan pada 60-
80% dan faktor rheumatoid pada sepertiga pasien LE Kutan subakut. Pada LE
Kutan kronik dapat ditemukan titer ANA yang rendah (30-40%). Hanya 5%
pasien DLE ditemukan titer ANA tinggi.

Pada pemeriksaan histopatologi LE Kutan spesifik dapat ditemukan


hiperkeratotik, atrofi epidermal degenerasi mencair sel basal, penebalan membran

36
DEJ, edema pada dermis, deposit musin, serta infiltrat sel mononuklear yang
dominan tersebar di perivaskular dan sekitar adneksa kulit. Pada pemeriksaan
imunofluoresens langsung pada kulit yang tampak normal pasien LES dapat
dilihat pita terdiri atas deposit granular immunoglobulin G, M atau A dan
komplemen C3 pada taut epidermal-dermal yang disebut lupus band. Hal ini dapat
dilihat pada 90-100% pasien LES.1

E. Diagnosis Klinis

Diagnosis klinis LE kutan bergantung subtipe manifestasi klinis kulit yang


timbul. Pada lesi kulit yang tidak khas dibutuhkan pemeriksaan laboratorium dan
histopatologis.

F. Tata Laksana
LE dapat dikelola tetapi sejauh ini tidak dapat sembuh. Menghindari faktor
pemicu adalah yang paling penting, seperti penghentian merokok dan
menghindari paparan sinar matahari dan penggunaan tabir surya setiap hari sangat
penting dalam mencegah perluasan dan eksaserbasi penyakit sehingga pasien
perlu diberikan edukasi mengenai hal tersebu. Pengobatan lini pertama adalah
perlindungan terhadap sinar matahari dan terapi lokal dengan kortikosteroid atau
inhibitor kalsineurin. Evaluasi kemungkinan keterlibatan sistemik. Pada lesi yang
sedikit atau lokalisata, pemberian kortikosteroid topikal potensi sedang-tinggi
dapat bermanfaat. Terkadang dapat diberikan suntikan kortikosteroid intralesi.
Kortikosteroid sistemik, antimalaria, retinoid dan imunosupresan diberikan pada
LE Kutan yang luas atau tidak respons terhadap terapi topikal. Perlu perhatian
pada efek samping akibat penggunaan terapi sistemik jangka panjang. Misalnya
retinopati akibat penggunaan antimalaria.1,13

G. Prognosis

LE Kutan akut sangat erat hubungannya dengan LES, sehingga prognosis


sangat bergantung pada aktivitas dan derajat keparahanLES. Pada pasien dengan
LE Kutan subakut 15% berkembang menjadi LES, termasuk nefritis lupus.
Dibutuhkan pemantauan jangka panjang pada pasien LE Kutan subakut untuk
penemuan dini risiko progresivitas keterlibatan sistemik.1

Kebanyakan pasien dengan lesi diskoid yang tidak diterapi dapat berkembang
menjadi skar yang secara progresif melebar dan alopesia skar. Hal ini sangat
mengganggu secara psikososial dan menurunkan kualitas hidup pasien. Jarang
sekali lesi dapat resolusi spontan. Pada penghentian terapi, lesi non-aktif dapat
mengalami eksaserbasi.

37
BAB III
KESIMPULAN

Dermatosis eritoskuamosa merupakan penyakit kulit yang terutama


ditandai dengan adanya eritema dan skuama. Penyakit yang termasuk didalamnya
adalah psoriasis, parapsoriasis, pitiriasis rosea, eritroderma, dermatitis seboroik,
lupus eritematous, dan dermatofitosis.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W,ed. Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin. Jakarta : Badan Penerbit FK UI, 2017.
2. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ,
et al. Fitzpatrick;s Dermatology, 9th Edition. New York:Mc Graw
Hill,2019
3. Parisi R, Symmons DPM, Griffiths CEM, Ashcroft DM. Global
Epidemiology of Psoriasis: A Systematic Review of Incidence and
Prevalence.J Invest Dermatol. 2013;133:377-85
4. Lynde CW, Poulin Y, Vender R, Bourcier M, Khalil S. Toward noe
undertanding of psoriasis pathogenesis. J Am Acad Dermatol.2014;1-10
5. Whan B. Kim, Dana Jerome, Jensen Yeung. Diagnosis and management of
psoriasis. Can Fam Physician. 2017; 63(4): 278–285.
6. Bachelez H, van de Kerkhof PC, Strohal R, et al. Tofacitinib versus
etanercept or placebo in moderate-tosevere chronic plaque psoriasis: a
phase 3 randomised non-inferiority trial. Lancet. 2015;386(9993):552-561.
7. Bahareh AN, Fatemi NF, Mohammad F, Najmeh B. Large plaque
parapsoriasis in a child: A rare entity in pediatric oncology.
IJMPO.2019;40:157-9
8. Aydogan K. et al. Efficacy of low-dose ultraviolet a-1 phototherapy for
parapsoriasis/early-stage mycosis fungoides. Photochem.2014;90:873–877
9. Mahajan K, Relhan V, Relhan AK, Garg VK. Pityriasis Rosea: An Update
on Etiopathogenesis and Management of Difficult Aspects. Indian J
Dermatol. 2016;61(4):375–384.
10. Borda LJ, Wikramanayake TC. Seborrheic Dermatitis and Dandruff: A
Comprehensive Review. J Clin Investig Dermatol.2015;3:10.
11. Hulmani M, Nandakishore B, Bhat MR, Sukumar D, Martis J, Kamath G,
Srinath MK. Clinico-etiological study of 30 erythroderma cases from
tertiary center in South India. Indian Dermatol Online J. 2014;5:25–29
12. César A, Cruz M, Mota A, Azevedo F. Erythroderma. A clinical and
etiological study of 103 patients. J Dermatol Case Rep. 2016;10:1–9.
13. Carina G, Filippa N.Cutaneous lupus erythematosus: An update. IDOJ.
2014;5:7-13

39

Anda mungkin juga menyukai