Anda di halaman 1dari 19

1

PENANGANAN AIRWAY

Tujuan
 Mengenali tanda gangguan jalan napas yang mengancam nyawa
 Menjelaskan teknik manual untuk menjaga jalan napas dan ventilasi dengan
sungkup
 Menjelaskan penggunaan alat bantu tambahan untuk mempertahankan jalan
napas dengan baik
 Menjelaskan persiapan untuk intubasi endotrakea, termasuk mengenali penyulit
yang mungkin terjadi saat akan dilakukan intubasi
 Menjelaskan metode alternatif untuk mempertahankan jalan napas jika tidak
dapat dilakukan intubasi endotrakeal

Studi Kasus
Seorang laki-laki, berumur 40 tahun, dengan obesitas tiba di unit gawat darurat dengan
distress pernapasan berat. Frekuensi pernapasan pasien adalah 40 x/menit, pulse
oximetry pasien adalah 88% dengan menggunakan oksigenasi tambahan dengan aliran
udara yang tinggi, dan pasien menggunakan secara aktif otot bantu pernapasan
tambahan. Pasien mulai mengalami gangguan kesadaran.
- Apakah sebaiknya dilakukan intubasi pada pasien?
- Apakah masalah penanganan jalan napas yang harus diantisipasi?
- Perlukah memanggil bantuan tambahan?

I. PENDAHULUAN
Fokus bagian ini adalah dalam memastikan jalan napas terbuka dan memberikan
bantuan pertukaran gas pada bagian A dari rangkaian urutan resusitasi ABC.
Selain itu, juga bertujuan untuk menjaga stabilitas kardiovaskular dan mencegah
aspirasi cairan lambung selama penanganan jalan napas. Intubasi endotrakea
terkadang perlu dilakukan. Mempertahankan dan menjaga patensi jalan napas dari
hasil intubasi sebelumnya sangat penting untuk dilakukan walaupun terkadang
hal ini sulit untuk dilakukan. Petugas kesehatan harus memiliki skill dalam
2

melakukan bantuan jalan napas secara manual dan mempertahankan proses


oksigenasi dan ventilasi yang sangat penting ini. Alat bantu napas seperti intubasi
orotrakea atau nasotrakea, krikotiroidotomi, atau trakeostomi dapat digunakan
untuk memperluas kemampuan memberikan respon primer, walaupun tidak
dijadikan pengganti cara manual.

II. PENILAIAN
Penilaian patensi jalan napas dan usaha bernapas spontan merupakan langkah
pertama yang sangat penting. Klinisi harus melihat, mendengar, dan merasakan
(look, listen, dan feel) ada atau tidaknya gerakan udara di rongga dada.
 Amati tingkat kesadaran pasien dan tentukan apakah terjadi apnea. Jika tidak
tampak adanya usaha bernapas dan tidak ada alat bantu napas tambahan yang
dapat segera digunakan, lakukan bantuan manual dan berikan ventilasi selama
dilakukan persiapan pemberian alat bantu napas tambahan.
 Lakukan identifikasi trauma jalan napas atau kondisi lain (contohnya fraktur
vertebra servikalis) yang mungkin berpengaruh terhadap penilaian dan manipulasi
jalan napas yang dilakukan ; dapat dilihat di penjelasan di bawah ini.
 Amati ekspansi rongga dada. Ventilasi mungkin dapat dilakukan dengan gerakan
rongga dada yang minimal, namun adanya aktivitas otot bantu napas tambahan
dan gerakan rongga dada yang berlebihan tidak memastikan bahwa volume tidal
telah adekuat.
 Amati adanya retraksi suprasternal, supraklavikula, atau interkosta; perubahan
posisi laring dari rongga dada selama inspirasi (adanya penarikan dari trakea);
pernapasan cuping hidung. Keadaan-keadaan ini biasanya ditemukan pada distress
pernapasan dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas.
 Lakukan auskultasi pada leher dan seluruh lapangan rongga dada untuk
mendengarkan suara pernapasan. Obstruksi jalan napas komplit lebih sering
terjadi dengan tampilan adanya gerakan rongga dada namun tidak terdengar
adanya suara pernapasan. Obstruksi jalan napas inkomplit diakibatkan adanya
jaringan lunak, cairan, atau benda asing yang menyumbat jalan napas
berhubungan dengan suara napas seperti snoring, stridor, gurgling, atau suara
napas tambahan yang berbunyi.
3

 Penilaian refleks pertahananan jalan napas (seperti batuk dan muntah), walaupun
tidak berhubungan dengan obstruksi, merupakan salah satu bagian penilaian awal
airway. Namun, stimulasi yang terlalu berlebihan pada faring posterior saat
menilai refleks ini dapat memicu emesis (muntah) dan aspirasi cairan lambung.
Tidak adanya refeks pertahanan umumnya menandakan perlunya bantuan jalan
napas jangka panjang jika penyebabnya tidak dapat segera diatasi

Tidak adanya pergerakan rongga dada menandakan

III. METODE MANUAL UNTUK MENJAGA PATENSI JALAN NAPAS


(AIRWAY)
Intervensi awal untuk memastikan patensi jalan napas pada pasien yang bernapas
spontan tanpa adanya kemungkinan trauma pada vertebra servikalis adalah triple
airway maneuver (gambar 2-1), yaitu :
1. Ekstensi leher
2. Elevasi mandibula (manuver jaw trhrust)
3. Membuka mulut
Gambar 2-1 Memberikan ilustrasi ketiga langkah ini. Jika diduga adanya
trauma servikalis, ekstensi leher tidak boleh dilakukan. Setelah vertebra
servikalis diimobilisasi, elevasi manual mandibula dan pembukaan mulut baru
dapat dilakukan.
Dapat digunakan pula peralatan tambahan seperti pipa orofaring atau nasofaring
dengan ukuran yang sesuai. Pipa jalan napas melalui orofaring digunakan untuk
mempertahankan pangkal lidah tetap berada didepan diantara gigi dan jalan
napas dan tidak menutupi glotis. Bagian pinggiran plastik berada diantara gigi ke
bagian luar mulut sedangkan bagian distal kurva berada disekitar dasar pangkal
lidah. Jika pipa jalan napas orofaring terlalu kecil, malah akan mendorong lidah
ke bagian atas glotis yang terbuka sehingga menutupi jalan napas. Jika ukuran
nya terlalu besar, akan menstimulasi muntah dan emesis. Pipa jalan napas
orofaring sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan refleks jalan napas yang
tidak intak karena akan memicu muntah, spasme laring, dan emesis. Diameter
pipa jalan napas nasofaring diberikan pada ukuran terbesar yang dapat dengan
mudah masuk ke lubang hidung menuju nasofaring. Panjang pipa harus
4

mencapai nasofaring, namun tidak boleh terlalu panjang karena dapat


menghambat aliran udara antara mulut atau bagian epiglotis. Pipa jalan napas
nasofaring dikontraindikasikan pada pasien dengan dugaan fraktur basis cranii
atau koagulopati. Ukuran yang tepat dari pipa jalan napas dapat diperkirakan
dengan meletakkan alat di bagian luar wajah untuk memperkirakan posisi
anatomis yang tepat.

Gambar 2-1 Triple Airway Maneuver


Operator melakukan ekstensi dengan kedua tangan berada di mandibula.
Mandibula kemudian dielevasikan denan jari-jari kedua tangan untuk
mengangkat dasar lidah dan jempol atau jari telunjuk digunakan untuk membuka
mulut. Gambar dimuat ulang dengan izin dari Mayo Klinik.

! Jatuhnya pangkal lidah pasien merupakan penyebab tersering dari obstruksi jalan napas !

Selama dilakukan bantuan jalan napas manual, oksigen tambahan dapat


diberikan melalui peralatan yang dapat memberikan oksigen berkonsentrasi
tinggi (100%) dengan kecepatan aliran udara yang tinggi. Peralatan yang dapat
digunakan adalah sungkup/masker oksigen atau unit ambubag (bag-mask
resuscitation) serta peralatan dengan katup seperti positive end-expiratory
pressure (PEEP)

IV. VENTILASI MASKER OKSIGEN MANUAL


Ventilasi manual dengan ambubag diindikasikan pada :
 Pasien dengan apnea
 Jika volume tidal spontan tidak adekuat yang ditentukan dari pemeriksaan fisik
atau analisis gas darah
5

 Untuk mengurangi usaha bernapas dengan memberikan bantuan saat dilakukan


inspirasi spontan
 Jika hipoksemia berhubungan dengan ventilasi spontan yang buruk
Keberhasilan ventilasi manual dengan masker berdasarkan pada (1) penjagaan
jalan napas untuk selalu terbuka; (2) Memperkuat perlekatan antara wajah pasien
dengan sungkup/masker oksigen, dan (3) penghantaran ventilasi permenit yang
adekuat dari alat ambubag sehingga gas sampai ke bagian paru-paru distal.
Kedua elemen pertama ini dapat dikombinasikan dengan meletakkan masker
oksigen yang benar pada hidung dan mulut pasien (Gambar 2-2) dan kemudian
dilengkapi dengan triple airway maneuver yang telah dijelaskan sebelumnya.
Penting untuk memiliki beberapa ukuran masker yang berbeda sehingga dapat
dipilih ukuran yang sesuai antara wajah dan masker.
Gambar 2-2 Penggunaan Sungkup/Masker Oksigen

Teknik pemasangan sungkup oksigen dengan menggunakan satu tangan (A) dan
dua tangan (B). Gambar dimuat ulang dengan izin dari Mayo Klinik.

A. Tanpa Adanya Dugaan Trauma Vertebra Servikalis


1. Jika dapat ditoleransi pasien danjika dibutuhkan, pipa jalan napas orofaring, atau
nasofaring dapat digunakan untuk menjaga patensi jalan napas pasien. Bantal
kecil atau lipatan handuk dapat diletakkan di bawah bagian occipitalis kepala.
6

2. Pasien pada posisi supine, operator berada di belakang kepala bagian atas
pasien. Ketinggian tempat tidur pasien harus diatur secara cepat sehingga
memudahkan operator untuk bekerja
3. Dasar sungkup/masker oksigen pertama kali diletakkan di lipatan kulit diantara
bibir bawah dan pipi, dan mulut dibuka dengan lembut
4. Bagian apeks (puncak) masker diletakkan menutupi hidung dan jangan sampai
menekan bagian mata.
5. Sebagian besar operator yang menggunakan tangan kanan, masker distabilisasi
di wajah dengan menggunakan tangan kiri dengan memegang bagian superior
dari apeks (bagian puncak) masker yang bersambungan dengan ambubag
diantara jempol dan jari telunjuk. Posisi ini secara perlahan akan menurunkan
tekanan masker ke bawah menuju bagian wajah.
6. Jari tengah, manis dan kelingking tangan kiri diletakkan pada mandibula sebelah
kiri rahang pasien. Posisi ini dapat membantu membuat masker oksigen bagian
kiri melekat dengan rapat pada tepi kiri pipi pasien. Posisi ini juga
memungkinkan masker wajah tetap melekat diwajah pasien selama elevasi
parsial mandibula.
7. Operator secara perlahan memutar pergelangan tangan kiri sehingga leher
sedikit ekstensi yang dilakukan dengan pengangkatan jari-jari disekitar
mandibula secara perlahan. Gabungan pergerakan tangan kiri ini akan
mengakibatkan ekstensi leher, elevasi mandibula, dan penurunan tekanan
masker ke bagian pipi secara perlahan.

B. Jika Diduga Adanya Trauma Vertebra Servikalis


1. Operator berada pada posisi yang sama dan jika diperlukan dapat dilakukan
pemasangan pipa jalan napas orofaring atau nasofaring.
2. Pada kondisi yang tidak biasanya, ventilasi manual dapat berhasil setelah
dilakukan stabilisasi leher menggunakan collar servikal. Namun, terkadang
dibutuhkan asisten yang berada di sebelah depan pasien. Bagian anterior dari
collar dilepaskan, dan asisten menggunakan tangan atau lengan yang diletakkan
disekitar leher sampai ke bagian oksipitalis untuk membatasi gerakan leher
selama penanganan airway. Tidak dilakukan traksi linear.
7

3. Operator kemudian melakukan langkah-langkah seperti diatas, kecuali rotasi


pergelangan tangan kiri tidak dilakukan karena mengakibatkan ekstensi leher.
Sebagai alternatif, operator dapat memilih metode pemakaian masker oksigen
dengan menggunakan kedua tangan, sehingga memastikan tidak adanya
pergerakan leher. Metode tersebut akan dijelaskan di bawah ini.

C. Alternatif Metode 2-Tangan Untuk Memastikan Patensi Jalan Napas (Airway)


Dan Penggunaan Masker Oksigen
Alternatif metode dengan menggunakan 2-tangan berguna jika pasien memiliki
ukuran wajah yang lebar atau memiliki kumis/jenggot, setelah trauma leher, atau
pada situasi penyulit dalam merapatkan masker oksigenlainnya.
1. Operator berada pada posisi yang sama pada bagian atas tempat tidur pasien dan
alat bantu jalan napas tambahan dapat dipergunakan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
2. Dasar dan puncak masker diletakkan pada posisi yang telah dijelaskan
sebelumnya.
3. Jari tengah, manis, dan kelingking kedua tangan operator berada pada kedua sisi
mandibula dengan jempol berada pada apeks masker dan jari telunjuk pada dasar
masker.
4. Jaringan lunak pipi dinaikkan sepanjang tepi masker dan posisi ini
dipertahankan dengan kedua tangan sehingga masker melekat sempurna di
wajah pasien.
5. Jika tidak ada kemungkinan trauma vertebra servikalis, leher sedikit
diekstensikan dengan cara elevasi mandibula secara perlahan pada kedua sisi
dan memberikan tekanan masker yang lembut pada muka.
6. Asisten melakukan ventilasi dengan memompa ambu bag sesuai kebutuhan.

D. Kompresi dengan resuscitation bag (ambubag) untuk memberikan bantuan


ventilasi manual dengan masker oksigen
Target ventilasi manual adalah untuk memberikan ventilasi per menit yang adekuat,
sehingga terjadi penghantaran volume tidal setiap dilakukan kompresi ambubag dan
8

jumlah kompresi ambubag permenit. Kompresi ambubag yang sangat cepat dan
berlebihan dapat menimbulkan hiperventilasi dan alkalemia respiratori serta
distensi lambung yang dapat menimbulkan bahaya.
1. Jika digunakan metode pemasangan masker oksigen dengan 1 tangan, kompresi
ambubag dilakukan setiap 1 detik dengan menggunakan tangan kanan operator.
2. Volume tidal yang dihantarkan harus diperkirakan dari ekspansi rongga dada di
awal, auskultasi suara pernapasan, dan faktor lainnya.
3. Selama dilakukan kompresi ambubag, operator harus mendengarkan dengan
teliti apakah ada kebocoran udara disekitar masker. Jika masker melekat dengan
baik, pengisian ambubag selama inflasi paru menunjukkan adanya resistensi
yang disebabkan anatomi normal jalan napas. Jika gas terasa terlalu mudah
berpindah dari ambubag, menunjukkan adanya kemungkinan kebocoran udara.
4. Jika pasien mengalami apnea, namun masih terdapat denyut nadi, kompresi
ambubag dengan 1 tangan diberikan 10-20 kali per menit. Jika terjadi
pernapasan spontan, kompresi ambubag harus disesuaikan dengan usaha
inspirasi pasien. Jika pasien bernapas dengan mudah dan volume tidal inhalasi
adekuat untuk menghasilkan ventilasi permenit yang cukup, maka tidak
diperlukan lagi kompresi ambubag.
5. Oksigen (100%) dihantarkan melalui ambubag, dengan kecepatan aliran udara ≥
15 L/menit
6. Jika perlekatan masker ke wajah tidak adekuat dan ditemukan adanya
kebocoran, operator harus mempertimbangkan beberapa intervensi sebagai
berikut :
 Melakukan reposisi masker dan tangan
 Menyesuaikan pemompaan pada bagian masker yang menempel di wajah
untuk meningkatkan perlengekatan atau merubah ukuran masker menjadi
lebih besar atau lebih kecil.
 Memberikan sedikit penekanan ke bagian bawah wajah atau mengubah posisi
mandibula lebih keatas jika tidak terdapat kontraindikasi manipulasi vertebra
servikalis.
 Mengubah teknik menjadi teknik dengan menggunakan 2 tangan seperti yang
telah dijelaskan diatas
9

 Mereposisi pipa orogastrium atau nasogastrium, jika ada, ke bagian masker


yang berbeda. Kebocoran biasanya terjadi jika adanya pipa, namun jarang
diperlukan pelepasan pipa.
 Pertimbangkan kompensasi jika terjadi kebocoran udara jika kebocoran hanya
sedikit dapat dilakukan dengan meningkatkan frekuensi kompresi ambubag
atau volume hantaran gas per kompresi
 Beberapa ambubag memiliki katup bertekanan (pop-off) yang didesain untuk
mencegah transmisi bertekanan tinggi ke paru-paru. Pada pasien dengan
resistensi paru-paru yang keras atau jalan napas beresistensi tinggi, katup
pop-off harus diatur untuk memastikan volume tidal adekuat.
Ventilasi manual sebaiknya dilanjutkan selama persiapan intubasi atau sampai
penyebab ventilasi tidak adekuat ditangani, jika memungkinkan. Selama
operator menjaga ventilasi yang adekuat, asisten harus mempersiapkan obat-
obatan, peralatan, dan sebagainya untuk intubasi. Pulse oximetry dan
pengawasan fungsi jantung juga perlu dilakukan selama ventilasi. Pasien harus
dievaluasi secara berkelanjutan dan dinilai adanya sianosis, walaupun penemuan
kondisi ini baru terjadi pada kondisi hipoksemia yang telah lama berlangsung.

Tidak adanya sianosis atau hipoksemia tidak menjamin bahwa ventilasi adekuat
E. Penekanan Tulang Krikoid
Penekanan tulang krikoid (Sellick Maneuver) dilakukan dengan memberikan
tekanan ke bawah (posterior) pada bagian anterior leher dimana kartilago krikoid
berada. Pergerakan ke bawah cincin tulang rawan krikoid secara fisik menutup
esofagus dan menurunkan risiko distensi lambung selama dilakukan ventilasi
manual dengan masker serta menurunkan risiko refluks pasif cairan lambung ke
paru-paru. Jika refleks pertahanan jalan napas pasien tidak baik, maka penekanan
kartilago krikoid harus dilakukan selama ventilasi dengan masker dan selama
dilakukan intubasi trakea serta harus segera dihentikan hanya setelah intubasi trakea
berhasil. Pelaksanaan penekanan krikoid yang baik dapat meningkatkan visualisasi
pita suara, mirip seperti backward, upward, dan rightward pressure maneuver
(BURP meneuver) seperti yang dijelaskan pada lampiran 2. Jika terjadi muntah,
sellick maneuver harus dihentikan untuk mencegah terjadinya trauma esofagus.

Total volume gas pada resuscitation bag (ambubag) dewasa adalah 1 sampai 1.5 liter
10

Pedoman penanganan pada kondisi masalah jalan napas yang diketahui maupun
tidak diketahui dipaparkan pada gambar 2-3.

Gambar 2-3 Penanganan Masalah Jalan napas

Singkatan : LSMA : Laryngeal mask airway (Masker jalan napas laring), ET :


Esofageal-Treacheal (esofagus-trakea)
11

V. ALAT BANTU AIRWAY TAMBAHAN


Ventilasi manual dengan masker sulit atau tidak mungkin dilakukanpada hampir 5%
populasi umum. Hal yang dapat dijadikan patokan prediksi sulitnya ventilasi manual
dengan masker adalah adanya kumis/janggut, hilangnya gigi, riwayat obstruksi sleep
apnea yang konsisten, indeks massa tubuh > 26 kg/m2, dan usia > 55 tahun. Adanya 2
dari faktor prediksi ini mengindikasikan kemungkinan tingginya kesulitan dalam
melakukan ventilasi manual dengan masker. Intubasi dengan laringoskopi langsung sulit
dilakukan pada 5% populasi umum dan tidak mungkin dilakukan pada 0.2% sampai
0,5% populasi. Kondisi krisis dapat terjadi pada ventilasi manual dengan masker
ataupun pada intubasi. Masker jalan napas laring dan peralatan airway esofagus-trakea
berlumen ganda (esophageal-tracheal double lumen) dapat berguna untuk membuka
jalan napas dan memungkinkan pertukaran udara pada kondisi tertentu.Untuk
mempersingkat waktu jika intubasi gagal dilakukan, dapat segera dipasang manset
ventilasi faring jika ventilasi dengan masker sulit atau tidak mungkin dilakukan. Pilihan
alat yang akan digunakan didasarkan pada pengalaman operator dan keadaan klinis
individual masing-masing pasien.

A. Laringeal Mask Airway


Laringeal mask airway merupakan suatu pipa endotrakea / endotracheal tube
(ETT) dipasang dengan menggunakan manset berbentuk mangkok yang dapat
masuk ke dalam faring di belakang lidah. Laringeal mask airway standar dapat
digunakan berulang kali, namun ada juga laringeal mask airway sekali pakai. Jika
sulit dilakukan ventilasi dengan masker, maka laringeal mask airway dapat
digunakan untuk ventilasi paru-paru. Laringeal mask airway dapat digunakan pada
pasien yang tidak mengalami patologi periglotis. Laringeal mask airway juga
merupakan saluran intubasi jika akan digunakan bronkoskop atau teknik
penyelamatan jika intubasi gagal. Sedasi yang dibutuhkan lebih sedikit pada
penggunaan laringeal mask airway dibandingkan dengan laringoskopi langsung
karena stimulasi pada jalan napas (seperti muntah, laringospasme, stimulasi
simpatis) dalam memasukkan alat ini cukup sedang. Laringeal mask airway efektif
digunakan untuk memberikan ventilasi pada pasien mulai dari neonatus sampai
12

dewasa, namun tidak mempbrikan proteksi jalan napas definitif. Untuk detail
spesifik tentang penggunaan laringeal mask airway dapat dilihat pada lampiran 3.

B. Peralatan Airway Esofagus-Trakea Berlumen Ganda (Esophageal-Tracheal


Double Lumen)
Peralatan tambahan lain pada kondisi gawat darurat jalan napas adalah alat dengan
lumen ganda dengan dua manset balon pemompa yang didesain terutama untuk
dilakukan intubasi segera pada kondisi henti jantung dan paru. Alat ini dapat
memberikan ventilasi jika bagian manset distal pada pipa alat dimasukkan pada
esofagus atau trakea. Harus dilakukan suctionlambung melalui lumen trakeaika
pipa dimasukkan dalam esofagus. Peralatan ini dikontraindikasikan pada pasien
dengan obstruksi jalan napas sentral, refleks laring atau faring intak, patologi
esofagus yang telah diketahui, atau tertelannya bahan-bahan kaustik. Pelatihan yang
adekuat diperlukan untuk memastikan penggunaan yang sesuai (Informasi tentang
pemasangan alat Esophageal-Tracheal Double Lumen dijelaskan pada lampiran 3)

VI. INTUBASI ENDOTRAKEA


Laringoskopi langsung dengan intubasi orotrakea merupakan metode utama pada
intubasi trakea karena metode ini cepat, angka keberhasilan tinggi, dan alat yang
tersedia di banyak tempat. Intubasi nasotrakea blind dapat berguna pada pasien-
pasien tertentu. Indikasi intubasi trakea diringkas pada tabel 2-1, dan teknik
intubasi orotrakea dan nasotrakea didiskusikan dan digambarkan pada lampiran 2.
Tabel 2.1 Indikasi Intubasi Trakea
Proteksi jalan napas
Menghilangkan obstruksi
Persiapan ventilasi mekanik dan terapi oksigen
Gagal napas
Syok
Hiperventilasi pada hipertensi intrakranial
Mengurangi usaha pernapasan
Memungkinkan suction/ pembersihan paru (pulmonal toilet)

Sebagai persiapan intubasi, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah :


13

 Penilaian anatomi dan fungsi jalan napas untuk menilai derajat penyulit intubasi
(lihat dibawah)
 Memastikan ventilasi dan oksigenasi yang optimal. Preoksigenasi dilakukan
dengan memberikan oksigen 100% menggunakan ambubag, dilakukan selama
periode apnea dan saat dilakukan intubasi
 Dekompresi lambung dengan pipa orogastrium atau nasogastrium. Namun, pipa
orogastrium atau nasogastrium untuk kompresi lambung yang dilakukan
sebelum intubasi sering memiliki efek sebaliknya, yang dapat menimbulkan
emesis dan refluks pasif cairan lambung.
 Persiapan anlgesik, sedasi, amnesia, dan penghambat neuromuskular sebagai
syarat untuk dilakukan prosedur yang aman.
Intubasi gawat darurat memiliki waktu evaluasidanoptimalisasi kondisi yang
sedikit. Sementara itu, intubasi elektif dan urgent memungkinkan penilaian
faktor-faktor yang berhubungan dengan keamanan penanganan jalan napas.
Dalam membuat rencana penanganan jalan napas harus dinilai kondisi klinis
pasien, status volume intravaskular, hemodinamik, dan evaluasi jalan napas
(derajat keparahan). Evaluasi jalan napas berupa penilaian karakterisktik fisik
termasuk penilaian apakah visualisasi pita suara akan sulit atau tidak mungkin
dilakukan. Evaluasi ini penting dilakukan karena akan mempengaruhi
penggunaan teknik alternatif atau laringoskopi langsung (intubasi saat pasien
sadar, intubasi fleksibel dengan fiberoptik, pembebasan jalan napas dengan
pembedahan) dan apakah diperlukan pemanggilan petugas medis yang lebih
berpengalaman. Penting untuk diingat bahwa karakteristik fisik ini juga menjadi
penyulit dilakukannya ventilasi dengan masker dan krikotiroidotomi darurat.
Karekterisik ini akan lebih mudah diingat jika disesuaikan dengan tahapan
intubasi oral – seperti posisi kepala, pembukaan mulut, perubahan posisi lidah
dan rahang, visualisasi, dan pemasangan tabung endotrakea yaitu :
 Mobilitas leher termasuk penilaian adanya kemungkinan trauma vertebra
servikalis, leher yang pendek, atau keterbatasan mobilitas leher akibat riwayat
operasi sebelumnya akan membatasi kemampuan memposisiskan yang adekuat.
14

 Wajah bagian luar berupa penilaian adanya mikrognathia atau jaringan parut
bekas operasi, trauma wajah, lubang hidung kecil, atau adanya peerdarahan pada
hidung, mulut, atau faring.
 Mulut. Pembukaan mulut mungkin terbatas akibat penyakit pada sendi
temporomandibula atau jaringan parut pada wajah. Lebar pembukaan mulut
kurang dari 3 jari (sekitar 6 cm) berhubungan dengan peningkatan risiko sulitnya
dilakukan intubasi
 Lidah dan faring. Ukuran relatif antara lidah dengan faring posterior dapat
digunakan untuk memperkirakan luas ruang bagian dalam faring untuk
dilakukan visualisasi struktur glotis.
 Rahang. Lebar jarak thyromental (tiroid ke mentum /dagu) antara kartilago tiroid
anterior prominans dan bagian ujung dari mandibula (dagu) digunakan untuk
memperkirakan jarak antara mandibula dan ruang anterior pada laring. Jarak
kurang dari 3 jari (sekitar 6 cm) mengindikasikan bahwa laring tampak lebih
anterior dan lebih sulit untuk divisualisasi dan dimasuki selama laringoskopi.
Angulasi stylet tabung endotrakea yang lebih akut mungkin dapat membantu

Kegagalan intubasi dapat mengakibatkan edema periglotis dan mengakibatkan sulitnya


pemasangan ventilasi dengan masker selanjutnya, mengakibatkan terjadinya kondisi
yang disebut “ sulit diintubasi dan tidak dapat dilakukan ventilasi”

Jika ditemukan satu atau lebih kombinasi karakteristik fisik ini mengindikasikan
kemungkinan sulitnya dilakukan intubasi dan jika waktu memungkinkan, dapat
dipertimbangkan pilihan lain untuk menjaga patensi jalan napas dan memanggil
personil khusus dengan keahlian penanganganan jalan napas lanjutan.
Jika dilakukan antisipasi penyulit ventilasi dengan masker atau intubasi, maka
perlu menjadi perhatian untuk melakukan antisipasi sebelum dilakukan
supresiventilasi spontan menggunakan penghambat neuromuskular atau obat-
obatan sedatif. Pilihan penanganan jalan napas lainnya yang tetap menjaga
ventilasi spontan adalah sebagai berikut :
 Intubasi saat pasien sadar dengan laringoskopi langsung atau intubasi nasotrakea
blind
 Intubasi fleksibel dengan fiberoptik (terlebih dahulu perlu dilakukan konsultasi
dengan ahli)
15

 Trakeostomi saat pasien sadar (terlebih dahulu perlu dilakukan konsultasi


dengan ahli)
Jika kondisi visualisasi glotis dan ventilasi manual dengan masker tidak dapat
dilakukan dan tidak terdapat ventilasi spontan, maka dapat dipertimbangkan
penanganan sebagai berikut :
 Penggunaan alat masker airway laring atau esophageal –traheal double-lumen
 Krikotirotomi dengan jarum (terlebih dahulu perlu dilakukan konsultasi dengan
ahli)
 Krikotirotomi/Trakeostomi dengan pembedahan (terlebih dahulu perlu
dilakukan konsultasi dengan ahli)
 Trakeostomi perkutan (terlebih dahulu perlu dilakukan konsultasi dengan ahli)
(Ingat kembali algoritme penanganan potensi atau masalah jalan napas yang
telah dikonfirmasi pada gambar 2-3)
Setelah dilakukan intubasi trakea, perlu dilakukan antisipasi gangguan
hemodinamik. Hipertensi dan takikardia merupakan akibat stimulasi simpatis
dan perlu diberikan terapi dengan obat-obatan antihipertensi atau sedatif pada
beberapa pasien. Sering terjadi hipotensi dan penurunan curah jantung akibat
penurunan aliran balik vena dengan ventilasi tekanan positif yang dapat
menimbulkan aritmia atau henti jantung. Efek obat-obat sedatif pada pembuluh
darah atau miokardium, hipovolemia, dan pneumotorax setelah intubasi yang
menimbulkan hipotensi. Komplikasi lainnya yang berhubungan dengan ventilasi
tekanan positif didiskusikan pada bab 5.

VII. PERSIAPAN OBAT-OBATAN FARMAKOLOGIS UNTUK INTUBASI


Selama penanganan jalan napas, umumnya dapat timbul respon parasimpatis
maupun simpatis dan perlu ditangani dengan terapi farmakologis yang sesuai.
Target penatalaksanaan farmakologis pada intubasi adalah memungkinkan
pemberian anlgesik/anestesi, amnesia, dan sedasi pasien yang optimal tanpa
mengganggu stabilitas kardiorespirasi. Saat ini, penting untuk mempersiapkan
ventilasi spontan. Oleh sebab itu, pemilihan metode obat-obatan didasarkan pada
kondisi klinis dan status pasien, riwayat alergi, dan pengalaman serta pilihan
metode yang lebih disukai oleh operator.
16

A. Analgesik / Anestesi
 Tersedia berbagai jenis spray anestesi topikal atau menggunakan lidokain dalam
bentuk aerosol. Area anatomi pemberian obat ini adalah pada dasar lidah, secara
langsung pada dinding posteriorfaring, dan fossa tonsil bilateral. Penggunaan
obat tidak boleh melebihi 4 mg/kg lidokain (dosis maksimum 300 mg) karena
dapat dengan mudah diserap oleh mukosa jalan napas.
 Pemberian penghambat syaraf dan lidokain trans membran krikoid
membutuhkan keahlian khusus dan tidak menjadi bagian bahasan dalam bab ini
 Beberapa obat-obat sedasi juga memiliki efek analgesik

Penggunaan berlebihan semprotan benzocaine topikal dapat menimbulkan


methemoglobinemia klinis yang signifikan

B. Sedasi / Amnesia
Obat-obat dengan kerja cepat, waktu paruh singkat dan berpotensi reversibel lebih
dipilih untuk digunakan pada sedasi. Tidak ada satu pun obat tunggal yang dapat
digunakan pada semua kondisi, dan biasanya dipertimbangkan penggunaan lebih
dari satu obat untuk memungkinkan keseimbangan teknis. Penting untuk menilai
ulang status volume intravaskular dan fungsi jantung pasien secara berhati-hati
dalam melakukan pertimbangan pemilihan obat dan dosis obat. Sebagain besar obat
dapat menimbulkan hipotesi jika digunakan pada pasien dengan gagal jantung atau
hipovolemia. Contoh obat-obatan yang umumnya digunakan dipaparkan pada tabel
2-2.
Tabel 2-2 Obat-Obatan yang digunakan dalam Intubasi Trakea
Jenis Obat Dosis Keuntungan Peringatan
Fentanil 0.5-2 µg/kg IV Onset kerja cepat Rigiditas dindingdada
bolus setiap Kerja cepat dengan pemberian
beberapa menit Reversibel dengan terlalu cepat
dititrasi sampai nalokson Depresi napas
diperoleh efek Tidak menurunkan
sedasi kesadaran pasien
selama prosedur
Midazolam 0.1-0.2 mg/kg Menimbulkan amnesia Depresi pernapasan
17

IV bolus setiap Onset cepat aditif jika


beberapa menit Kerja cepat dikombinasikan dengan
dititrasi sampai Reversibel dengan narkotika
diperoleh efek Flunazenil Tidak memiliki efek
sedasi analgesik
Etomidate 0.3-0.4 mg/kg Memberikan efek sedatif Dapat memicu
dosis tunggal Lebih dipilih digunakan mioklonus termasuk
IV bolus pada kasus cedera kepala trismus ringan
Tidak menimbulkan efek (pertimbangkan
samping kardiovaskuler premedikasi dengan
50µg fentanyl)
Tidak terdapat obat
antidotum
Supresi adrenal
transien/sementara
Lidocaine 1-1.5 mg/kg Mengganggu
IV bolus 2-3 hemodinamik dan respon
menit sebelum trakea pada intubasi
laringoskopi Menurunkan elavasi
peningkatan intrakranial
selama laringoskopi

C. Pelemas Otot
Terkadang intubasi dapat lebih mudah dan aman dilakukan setelah pemberian
anestesi topikal (seperti pada intubasi saat pasien sadar) atau dengan penggunaan
sedasi saja.Oleh sebab itu, penghambat neuromuskular tidak selalu perlu diberikan
sebelum intubasi endotrakea. Namun, jika operator tidak dapat melakukan intubasi
setelah penghambat neuromuskular diberikan, maka ventilasi manual dengan
masker harus dilanjutkan sambil menunggu tibanya petugas kesehatan yang lebih
berpengalaman. Selain itu, jika hal ini terjadi perlu dipikirkan rencana alternatif
untuk menjaga patensi jalan napas, atau obat-obatan untuk mengembalikan ventilasi
spontan. Oleh sebab itu, lebih menguntungkan jika digunakan penghambat
18

neuromuskular kerja singkat. Beberapa contoh blokade neuromuskular yang dapat


digunakan adalah sebagai berikut :
 Succinylcholine, 1 sampai 1.5 mg/kg bolus intravena, onset cepat, durasi
singkat, yang memberikan keamanan penggunaan. Obat ini dapat menyebabkan
faskulasi otot karena obat ini mengakibatkan depolarisasi otot rangka. Selain itu,
obat ini menimbulkan emesis jika fasikulasi otot abdomen berat. Kontraindikasi
obat ini adalah adanya trauma okular. Sementara itu kontraindikasi relatif adalah
adanya trauma kepala atau hiperkalemia (pengeluaran kalium rutin umumnya
adalah 0.5-1 mmol.L dan pengeluaran kalium masif dapat terjadi pada luka
bakar dan crush injury, lesi neuron motorik bagian atas, atau penyakit otot
priner). Obat ini dapat memicu hipertermia maligna. Efek obat akan memanjang
pada pasien dengan kadar kolinesterase atipikal atau penurunan
pseudokolinesterase
 Vecuronium , 0.1 - 0.3 mg/kg, rocuronium, 0.6 – 1 mg/kg, atau cisatracurium
0.1 – 02 mg/kg bolus intravena. Obat ini tidak menimbulkan fasikulasi karena
merupakan obat yang tidak mengakibatkan depolarisasi, onset lebih lambat
dalam menimbulkan paralisis otot sehingga durasi efek obat lebih panjangsecara
signifikan dibandingkan succinylcholine.

D. Rangkaian Intubasi Cepat (Rapid SequenceIntubation)


Rangkaian Intubasi Cepat/ Rapid SequenceIntubation (RSI) merupakan pemberian
obat sedatif simultan dan penghambat neuromuskular bersamaan dengan penekanan
krikoid, yang didesain untuk memfasilitasi intubasi dan mengurangi risiko aspirasi
lambung. Teknik ini merupakan pilihan jika ada kemungkinan peningkatan risiko
aspirasi (seperti pada kondisi lambung yang penuh, nyeri, refluks gastroesofagus)
dan pemeriksaan tidak menunjukkan adanya penyulit intubasi. Sebaiknya RSI tidak
dilakukan pada pasien yang sulit untuk diintubasi. Metode gawat darurat yang
dijelaskan diatas penting jika pasien tidak dapat diintubasi den tidak mungkin di
ventilasi, karena kemampuan ventilasi dengan masker tidak dicoba sebelum
diberikan obat penghambat neuromuskular.

E. Tekanan Intrakranial
19

Dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial selama laringoskopi dan intubasi, hal
ini dapat membahayakan pasien yang telah mengalami hipertensi intrakranial.
Lidokain intravena (1-1.5 mg/kg) dapat menghambat timbulnya peningkatan
intrakranial dan sebakinya diberikan sebelum dilakukan laringoskopi jika diduga
adanya patologi intrakranial

Poin-Poin Penting Penanganan jalan napas (airway)


 Penilaian tingkat kesadarn, refleks pertahanan jalan napas, gerakan pernapasan,
obstruksi aliran udara dalam jalan napas, dan usaha pernapasan merupakakan
tahapan yang penting untuk memulai bantuan pernapasan yang sesuai
 Setiap pemberi layanan kesehatan primer harus terlatih dalam melakukan
metode manual untuk menjaga patensi jalan napas
 Ventilasi manual dengan menggunakan unit ambubag merupakan ketrampilan
yang diharapkan dimiliki oleh semua petugas medis. Target penanganan adalah
untuk mengoptimalisasi oksigenasi dan pembuangan CO2 sebelum dilakukan
intubasi pada pasien
 Penekanan krikoid yang baik dapat mengurangi risiko distensi lambung dan
aspirasi pasif
 Masker jalan napas melalui laring dan alat jalan esofagus-trakea berlumen ganda
dapat berguna sebagai alat bantu napas tambahan jika kemampuan melakukan
intubasimasih kurang atau intubasi tidak berhasil
 Sebelum dilakukan intubasi, evaluasi lanjutan pada pasien penting dilakukan
untuk menilai derajat kesulitan intubasi dan menentukan pilihan obat analgesik,
sedasi, amnesia dan penghambat neuromuskular yang sesuai.
 Rencana penanganan kesulitan intubasi termasuk pemeliharaan ventilasi
spontan, alternatif intubasi endotrakea, dan merujuk pasien ke petugas yang
lebih ahli. Penggunaan alat bantu napas tambahan, krikoritotomi datau
trekeostomi perkutan dapat membantu menyelamatkan nyawa pasienjika tidak
mungkin dilakukan ventilasi manual dengan masker setelah intubasi gagal.

Anda mungkin juga menyukai