Anda di halaman 1dari 13

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT April 2020

DAN KEDOKTERAN KOMUNITAS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

CRITICAL REVIEW TERHADAP JURNAL TERKAIT


DEMAM BERDARAH DENGUE : FAKTOR RESIKO DAN
PENATALAKSANAAN

DISUSUN OLEH
MUAHMMAD ASY SHIDIQ
11120182083

PEMBIMBING
dr. Dahlia , MARS, DPDK

DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020

1. Latar Belakang Teori dan Tujuan Penelitian


Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakansalah satu penyakit mematikan,
ditularkan melaluinyamuk Aedes aegypti yang membawa virusdengue. Indonesia
sebagai negara dengan iklimtropis sangat mendukung berkembang biaknya nyamuk
Aedes aegypti karena secara alamiah vektor tersebut dapat hidup di daerah dengan
iklim hangat dan lembab. Nyamuk Aedes aegypti biasanya mencari mangsa pada pagi
hari pukul 08.00-10.00 dan sore hari pukul 15.00-17.00.Penyakit DBD ditandai
dengan 4 ciri utama yaitu pembesaran limfa, terjadinya shock pada penderita, adanya
pendarahan dan demam dengan suhu yang berubah–ubah karena virus dengue
mengalami masa inkubasi di dalam tubuh.Penderita DBD yang mengalami
shockakibat adanya kebocoran plasma darah dapat mengalami kematian apabila tidak
ditangan isecara tepat dan cepat.

Populasi di dunia yang berisiko terhadappenyakit DBD mencapai 2,5-3 miliar


penduduk terutama yang tinggal di daerah dengan suhu rata rata 21-29oC (iklim
tropis) dan suhu 100C (iklim subtropis). Diperkirakan Asia Tenggara sebagai wilayah
dengan iklim tropis mengalami kejadian DBD sebanyak 500.000 kejadian yang
memerlukan perawatan di rumah sakit dengan angka kematian sebanyak 25.000 per
tahunnya.Penyakit ini mayoritas menyerang anak-anakberusia kurang dari 15 tahun.

Data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015 menyatakan bahwa pada Tahun
2015 jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 129.650 kasus dengan jumlah
kematian sebanyak 1.071orang (angka kesakitan = 50,75 per 100.000 penduduk dan
angka kematian= 0,83%).Dibandingkan Tahun 2014 dengan kejadian sebanyak
100.347 serta angka kesakitan = 39,80per 100.000 penduduk maka terjadi
peningkatan kejadian pada Tahun 2015.

Indonesia sebagai negara tropis dan berkembang masih memiliki angka


morbiditas dan mortalitas yang tinggi akibat penyakit DBD dimana selama tahun
2011 terdapat 13 kabupaten/kota dari tujuh provinsi yang melaporkan timbulnya
Kejadian Luar Biasa (KLB).8 Bali sebagai salah satu provinsi di Indonesia memiliki
data jumlah kasus DBD tahun 2012 di kabupaten Buleleng mencapai 125 kasus dari
total 2.649 kasus sehingga kabupaten ini menduduki peringkat keempat di Bali,
sedangkan pada Januari-Oktober 2013 terjadi lonjakan menjadi 900 kasus.9 Bali
sebagai kawasan pariwisata menuntut pentingnya usaha dalam menjaga kesehatan
masyarakat melalui pilar penatalaksanaan penyakit secara komprehensif, sebab DBD
termasuk tropical and traveler disease yang juga menjadi perhatian dunia

Faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit demam berdarah dengue antara lain
faktor host, lingkungan, serta faktor virusnya sendiri. Faktor lingkungan merupakan
salah satu faktor penting yang berkaitan dengan terjadinya infeksi dengue.
Lingkungan pemukiman sangat besar peranannya dalam penyebaran penyakit
menular. Kondisi perumahan yang tidak memenuhi syarat rumah sehat apabila dilihat
dari kondisi kesehatan lingkungan akan berdampak pada masyarakat itu sendiri.
Dampaknya dilihat dari terjadinya suatu penyakit yang berbasis lingkungan yang
dapat menular.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode critical review. Sumber data penelitian ini
berasal dari literatur yang diperoleh melalui internet berupa hasil penelitian dari
publikasi pada jurnal di Internasional. Jumlah sampel penelitian sebanyak 552 sampel
penelitian baik usia muda maupun usia >50 tahun. Kriteria inklusi adalah variable-
variable yang di teliti oleh peneliti.
Dalam hal kepustakaan, sebagian besar menggunakan literatur dalam negeri dan
beberapa daftar pustaka dan literatur internasional sebanyak Alat ukur atau instrumen
rata-rata tidak dicantumkan pada jurnal kecuali 2 jurnal (0,063%) dengan
mencantumkan masing-masing 10 item pertanyaan.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1. Faktor Resiko pada Demam Berdarah Dengue
Banyak factor resiko yang meningkatkan kejadian Demam Berdarah dengue
(DBD), Menurut penelitian yang dilakukan oleh Endo darjito Et.all, menggunakan
teknik penilitian menggunakan metode observasional dengan jenis case control atau
retrospektif study menyatakan banyak factor yang dapat menyebabkan kejadian DBD
Antara lain pada factor usia pada kejadian penyakit DBD lebih rentan pada usia < 12
tahun di banding usia yang diatas >12 tahun. Dikarenakan pada kebiasan anak-anak
di masyarakat dimana aktivitasnya lebih banyak di habiskan di dalam rumah
sehingga untuk kontak dengan nyamuk aedes agepty lebih besar di banding dengan
dewasa muda yang lebih sering aktivitasnya di habiskan di luar rumah.
Pada Penelitian yang dilakukan oleh Bibah Novrita et.all dengan metode case
control menyatakan bahwa pada kelompok usia < 15 tahun lebih rentan terkena
penyakit DBD dibandingkan dengan kelompok usia > 15 tahun. Dalam penelitian
yang dilakukan variable umur merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap
kejadian DBD. Anak-anak lebih rentan untuk terkena DBD karena faktor imunitas
(kekebalan).
Selain factor usia , Bibah et all juga menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan
salah satu factor resiko pada penyakit DBD yaitu kelompok dengan jenis kelamin
laki-laki lebih rentan terkena penyakit DBD dibandingkan dengan kelompok umur
perempuanm, dikarenakan pada jenis kelamin perempuan lebih banyak memproduksi
cytokine di bandingkan dengan kelompok umur laki-laki.
Pada penelitian yang dilakukan oleh endo et all menyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan factor resiko terdapat tempat penampungan air yang tidak bersih dengan
kejadian DBD, Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Luluk et all, menyatakan
bahwa resiko terkena dbd lebih besar pada kelompok masyarakat yang mepunyai
tempat perinduk / penampungan air di rumah.
Selain itu Luluk et all, pada penelitian yang dilakukan mendapatkan hasil bahwa
pada kelompok masyarakat yang sering menguras penampungan air mempunyai
resiko yang lebih rendah di bandingankan kelompok masyarakat yang jarang
membersihkan penampungan air. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Erica fitria yang menyatakan bahwa pada kelompok masyarakat yang
sering menjalankan program 4 M plus yaitu ( menguras, menyikat, mengubur dan
menyingkirkan) tempat penampungan air yang kotor mempunyai resiko yang lebih
rendah menderita penyakit DBD di bandingkan dengan kelompok masyarakat yang
jarang menjalankan program 4 M Plus.
Pada Penelitian yang dilakukan oleh Luluk et all, menggunakan metode case
control menyatkan bahwa menggantung pakaian di kamar adalah salah satu factor
resiko untuk penyakit DBD. Masyarakat yang sering menggantung pakaian dikamar
mempunyai peluang lebih besar 4x lebih besar dari orang yang tidak menggantung
pakaian di kamar. Tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh bibah novrita et all
yang di laukan secara case control dengan quota sampling menyatakan bahwa tidak
ada hubungan antara kebiasaan menggantung baju di kamar dengan kejadian penyakit
DBD, yang berarti menggantung pakaian bukan merupakan faktor resiko terkena
DBD.
3.2. Penanganan pada DBD

Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue. Pada dasarnya penyakit DBD adalah penyakit self limiting disease yang
dapat sembuh sendiri tetapi jika tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat
menimbulkan komplikasi yang berat seperti dengue shock symdrom bahkan sampai
kematian.
Pada penelitian yang dilakukan oleh I Wayan et all, dengan menggunakan
metode Cross-sectional dan dengan metode sampling yaitu Total Sampling
didapatkan hasil dengan 51 sample dengan jenis penatalaksanaan pasien
dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu rehidrasi intravena, antipiretik-analgetik,
antibiotik, dan terapi tambahan (antiemesis, anti-inflamasi, imunomodulator, dan
vitamin).
Pada penelitian di dapatkan bahwa semua pasien anak dengan diagnosis DBD
pasca masuk ke rumah sakit telah diberikan penanganan awal berupa cairan intravena
kristaloid isotonis, dimana rincian jenis cairannya sebagian besar berupa ringer laktat
45 orang (88,2%) sedangkan sisanya adalah glukosa lima persen di dalam larutan
NaCl 0,45% (D ½ NS) sebanyak 6 orang (11,8%). Berdasarkan aspek antipiretik-
analgetik, 98% subyek sudah mendapat terapi, dengan obat parasetamol sebesar 41
orang (80,4%), terapi kombinasi (parasetamol dengan ibuprofen) pada 1 orang (2%),
dan terapi analgetik (Antrain) sebanyak 8 orang (15,7%). Subyek yang tidak
mendapat terapi antipiretik maupun analgetik hanya 1 orang (2%).Pemberian obat
antibiotik dilakukan pada 21 orang (41,2%). Jenis antibiotik yang diberikan dapat
dilihat pada Tabel 4 dimana antibiotik yang dominan diberikan adalah cefotaxime
(third generation cephalosporin) berjumlah 16 orang (76,2%). Pemberian terapi
tambahan seperti antiemesis, antiinflamasi, imunomodulator, dan vitamin masing-
masing sebesar 47,1 %, 15,7 %, 23,5 %, dan 47,1 %.
Cairan yang diindikasikan untuk penderita DBD adalah cairan kristaloid
isotonis dengan rekomendasi berupa ringer laktat/asetat. Pemberian cairan didasarkan
pada derajat dehidrasi dan kondisi klinis pasien, namun secara umum untuk kasus
DBD cairan yang diberikan mengikuti aturan pemberian cairan pada kondisi
dehidrasi sedang (defisit 5-8% cairan) selain mempertimbangkan berat badan
penderita.Berdasarkan ketentuan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),
direkomendasikan pemberian jenis cairan berupa kristaloid berjenis ringer
laktat/asetat. Kriteria Departemen Kesehatan (Depkes) pada tahun 2005 menyatakan
keterangan yang sedikit berbeda, dimana jenis cairan yang dianjurkan adalah cairan
glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45% (D5/ ½ NS).
Pemberian cairan rehidrasi diobservasi berdasarkan kondisi awal masuk rumah
sakit dan penatalaksanaan awal yang diberikan pada subyek tanpa melihat bagaimana
proses pemantauan (monitoring) pasien sampai pada saat selesai masa perawatan
sehingga tidak dapat memberikan gambaran bagaimana proses pemberian dan
kombinasi cairan diatur sesuai kebutuhan dan perjalanan penyakit pasien.
Berdasarkan protokol oleh IDAI, Kementerian Kesehatan (Departemen Kesehatan),
dan WHO menyatakan bahwa kristaloid isotonis merupakan indikasi utama rehidrasi
pada semua grade penyakit DBD.
Penelitian ini mendapatkan cakupan pemberian terapi antipiretik hanya 98%,
seharusnya semua pasien DBD mendapat antipiretik selama masa febris, penggunaan
asetaminofen dibandingkan ibuprofen tidak berbeda, meskipun diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk membuktikannya.Pertimbangan pemilihan asetaminofen adalah
keamanannya (safety), dimana pada golongan ibuprofen terdapat efek samping,
seperti hepatotoksisitas dan gangguan proses pembekuan darah yang memicu
perdarahan saluran cerna.
Pada penelitian ini mendapatkan hasil Antibiotik untuk DBD bukan merupakan
suatu indikasi mengingat dasar penyakit ialah virus sehingga tidak diperlukan kecuali
jika terdapat infeksi sekunder akibat bakteri dan apabila terjadi sindroma syok dengue
(SSD), mengingat infeksi sekunder dapat terjadi dengan adanya translokasi bakteri
dari saluran cerna.1,12,21 Pada data sekunder tidak ditemukan data terkait kondisi
komorbid yang diderita subyek pada awal masuk rumah sakit sehingga tidak dapat
disimpulkan apakah pemberian antibiotik pada kasus ini sudah termasuk rasional atau
belum.Antibiotik yang berlebihan dan tidak sesuai akan menimbulkan masalah serius
dan sulit diatasi, seperti pesatnya pertumbuhan bakteri resisten, timbulnya drug
related problem (DRP) maupun efek samping yang berpotensi menimbulkan bahaya
pada pasien,

Pada penelitian metode deskriptif retrospektif yang dilakukan oleh Ni Wayan


Ellan et all , mendapatlkan hasil yaitu, Terapi suportif pada penderita DBD berupa
pergantian cairan intravena akibat terjadinya dehidrasi. Data terapi suportif terbanyak
ialah pemberian cairankristaloid sebanyak 62 penderita (83.78%).Pada terapi DBD
derajat I dan II jenis cairan yang diberikan ialah kristaloid berupa RL/Asering/NaCl
0,9% dan untukDBD derajat III dan IV diberikan koloid tunggal seperti
gelofusin/gelofundin,plasma darah atau bila syok tetap terjadi diberikan kombinasi
kristaloid dan koloid Terapi simptomatik pada penderitaDBD merupakan pemberian
terapi untuk mengatasi gejala yang timbul. Ada beberapa jenis terapi simptomatik
yangd iberikan antara lain: terapi antipiretik,terapi antasida dan antiulcer, terapi anti
emetika, terapi diuretik dan terapi sedative.

Pada terapi antipiretik, data hasilpenelitian menunjukkan terapi terbanyakialah


pemberian parasetamol sebanyak 58penderita (78.38%) dan pemberianduplikasi
ibuprofen dan parasetamolsebanyak 1 penderita (1.35%). Demamadalah suatu
keadaan dimana suhu tubuhdi atas normal yaitu di atas 380C (Neto,2004) dan
pemberian parasetamoldianjurkan jika suhu tubuh >38,50C.
Data hasil penelitian menunjukkan terapi terbanyak ialah pemberian ranitidin
sebanyak 12 penderita (16.22%) dan antasida sebanyak3 penderita (4.05%). Data
hasil penelitian menunjukkan terapi terbanyak ialah pemberian domperidon sebanyak
10 penderita (13.51%) dan ondansentrons ebanyak 1 penderita (1.35%). Pada terapi
diuretik, diperoleh jumlah penderita yang menerima pemberian furosemid sebanyak 4
penderita (5.40%) dengan diagnosa DBD derajat III dan DBD derajat IV yangt
ermasuk dalam kategori syok. Pemberianfurosemid dapat diberikan pada
penderitayang mengalami syok disertai diuresistidak mencukupi 2 ml/KgBB/jam
saatkebutuhan cairan sudah terpenuhi.
Terapi tanpa indikasiberupa pemberian terapi antibiotik yangtidak sesuai
indikasi penyakitnya atautidak mengalami infeksi bakteri. Golongan antibiotik yang
paling banyakdiberikan ialah golongan sefalosporinyakni sebanyak 41 penderita
(55.41%) .Penggunaan antibiotik pada beberapakasus tidak tepat guna, dapat
menyebabkanmasalah kekebalan antimikrobial dan jugameningkatkan biaya
pengobatan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Baiq adelia Et,all, menggunakan
metode Single Blind Randomised Clinical Trial yang mendapatkan hasil yaitu
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pasien penelitian yang mendapatkan
antipiretik berupa parasetamol intravena yaitu 41 pasien (85,4%) yang terdiri dari
kelompok kristaloid sebanyak 21 pasien dan kelompok cairan koloid sebanyak 20
pasien sedangkan pasien penelitian yang tidak mendapatkan obat parasetamol yaitu 7
pasien (14,6%). Hasil penelitian ini sesuai dengan Pranata & Artini (2017) yang
menunjukkan penggunaan obat antipiretik pada pasien demam berdarah yaitu 98%.
Hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square didapatkan nilai (p
= 0,683) artinya tidak terdapat perbedaan yang bermakna pemberian obat parasetamol
antara kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan koloid.
Pada penelitian ini di dapatkan kelompok cairan koloid memiliki bentuk grafik
yang lebih stabil dimana penurunan suhu tubuh terjadi hingga hari ke-8 dengan rata-
rata suhu tubuh 36,64°C sedangkan kelompok cairan kristaloid terlihat mengalami
penurunan suhu tubuh pada demam hari ke-6 namun meningkat kembali pada hari ke-
8 dengan rata-rata suhu tubuh yaitu 37,05°C walaupun tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara rata-rata suhu tubuh kelompok cairan kristaloid dibandingkan cairan
koloid selama hari perawatan di rumah sakit. Pada 48 jam setelah pemberian cairan
terlihat kelompok cairan kristaloid mengalami pengingkatan nilai terombosit dengan
rata-rata 128,13/μL dan kelompok koloid dengan rata-rata 157,30/μL (p = 0,047)
sehingga dapat dikatakan bahwa kelompok cairan koloid dapat mempertahankan nilai
trombosit lebih baik dibandingkan kelompok cairan kristaloid pada pasien DF dan
DHF derajat 1 walaupun penggunaan cairan koloid berdasarkan WHO
direkomendasikan pada pasien derajat III dan IV yang telah mengalami syok. Cairan
koloid memiliki berat molekul yang lebih besar dibandingkan kristaloid sehingga
berada lebih lama di intravaskular dan dapat mencegah syok.
Pada penelitian dan study kasus yang dilakukan oleh Marianne et all, di north
caroline mendapatkan hasil yaitu pada pasien yang masuk di berikan pengobatan
berupa antibiotic ceftriaxone pada hari pertama pengobatan dengan gejala “likely
Dengue”. Untuk menghindari pemakaian aspirin dan kortikosteroid. Pada penelitian
ini didapatkan utuk mengatasi demam pada pasien DBD dapat diberikan
asetaminofen sebagai antipiretik, kebutuhan cairan yang tercukupi dan monitor hasil
laboratorium pasien. Untuk para traveller yang akan pergi ke daerah endemic dengan
penyait DBD sebiknya melakukan penyuntikan vaksin tetravalent DBD.
4. Kesimpulan
Dari hasil kajian analisis sistematis, diketahui banyak factor yang dapat
menyebabkan ataupun meningkatkan resiko terjadinya demam berdarah, yaitu umur,
jenis kelamin, kebiasan menggantung pakaian, mempunyai tempat perinduk, dan
membersihkan tempat perinduk dan mejalankan program 4M sebagai bentuk
pengendalian dari DBD, semua itu sangat berperan dalam terjadinya penyakit DBD.
Sedangkan untuk factor yang paling banyak menjadi) DBD adalah kepadatan hunian
rumah, Kebiasaaan yang tidak bersih dan jarang menjalankan program 4M, Dan juga
status pekerjaan.. Diharapkan kedepannya dapat dilakukan kajian terhadap penelitian-
penelitian mengenai Demam Berdarah Dengue di Indonesia yang membahas lebih
lanjut variable-variabel Demam Berdarah Dengue (DBD) lainnya.
Penanganan yang dapat diberikan pada pasien Demam Berdarah Dengue (DBD)
adalah Berupa terapi cairan kristaloid maupun koloid yang keduanya efektif dalam
penanganan DBD, pemberian antipiretik yaitu paracetamol/asetaminofen sebagai
penurun demam tidak dianjurkan pemakaian aspirin maupun ibuprofen, pemberian
antibiotic tidak disarankan mengingat dasar penyebab penyakit DBD disebabkan oleh
virus dan bukan bakteri. Dalam kajian analisis sistematis, sebagian besar membahas
tentang terapi cairan yang efektif menrut penelitain terapi cairan sangat efektif dalam
mengembalikan cairan tubuh dari pasien DBD . Diharapkan dikajian kedepannya
untuk dilakukan kajian lanjut tentang penanganan Demam Berdarah Dengue yang
lebih tepat, komprensif dan tepat secara holistic.
Berdasarkan kesimpulan, didapatkan faktor resiko Penyakit Demam Berdarah
Dengue adalah sangat multifakorial, mulai dari umur, jenis kelamin, menggantung
pakaian dikamar, mempunyai tempat perinduk yang jarang di bersihkan , dan tidak
menjalankan program pemerintah yaitu 4M (Menguras, menyikat, mengubur
menyingkirkan ). Untuk penanganan DBD sendiri tidak jauh berbeda dari beberapa
penelitian yaitu terapi cairan merupakan pilihan yang tepat untuk penanganan
penyakit DBD, selain itu pemberian antipiretik seperti asetaminofen merupakan
pilihan yang tepat dikarenakan efek samping yang ditimbulkan lebih sedikit dan juga
untuk menghindari penggunaan aspirin maupun obat NSAID, Pemberian antibiotic
tidak terlalu disarankan dalam penanganan DBD dikarenkan DBD sendiri disebabkan
oleh virus, tetapi penggunaan antibiotic dapat digunakan jika penderita DBD sudah
mengalami infeksi Sekunder. Adapun antibiotic yang sering digunakan yaitu dalam
golongan sefalosporin.
DAFTAR PUSTAKA

1. Darjito,,Endoh, Yuniarno,Saudin Et.all. (2011). Beberapa fakor resiko


yang mempengaruhi terhadap factor resiko pada kabupaten banyumas,
JHigiene, 3(2), 97–105.
2. Lidya,Luluk, Tunggul,Eram. (2017). Hubungan antara Faktor Lingkungan
Fisik dan Perilaku dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di
Wilayah Kerja Puskesmas Sekaran, Kecamatan Gunung pati, Semarang.
Jawa tengah. Fakultas ilmu kesehatan masyarakat Univ. Semarang.
3. Fitria, Erica .(2016).Faktor resiko yang berpengaruh terhadap kejadian
DBD di wilayah psukesmas pare . Surabaya. Rumah Sakit Islam Jemur.
4. Novrita, Bibah, Muhtar, Rini Et all. (2017). Analisis Faktor kejadian
demam berdarah diwilayah kerja puskesmas celikah kabupaten ogan
komeng ilir. Palembang. Fakultas Ilmu Keshatan Masyarakat Universitas
Sriwijaya.
5. Maria, ita. Ishak, Hasanudin Et all. (2013). Faktor Resiko Terjadinya
Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Makassar 2013. Makassar.
Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS, Makassar.
6. Adi, I wayan. Ayu, I gusti.( 2013). Gambaran Pola Pentalaksaaan
Demam Berdarah Dengue Pada Anak di Rumah Sakit Buleleng 2013.
Bali. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
7. Adelina,Baiq. Aiyani, Dyah.(2018).Efektivitas Cairan Koloid dan
Kristaloid Pada Pasien Anak di Rumah Sakit PKU Muhamadyah
Bantul .Yogyakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Ahmad Dalan
Yogyakarta, Staff Ilmu Kesehatan Anak.
8. Elan, Ni Wayan Et,all. (2013). Kajian Penatalaksaaan Terapi Demam
Berdarah Pada Anak Yang Menjalani Perawatan di RSUP PROF.
DR.RD. KANDOU 2013. Manado, Sulawesi Utara. Program Studi Farmasi
UNSRAT Manado.
9. W.Reilly, Marianne Et. All. Dengue Fever In 16-Years Old Girl After
Travel In Asia. (2015). North Carolina. National Association of
PediatricNurse Practitioners. Published by Elsevier Inc. All rightsreserved.

Anda mungkin juga menyukai