Telaah Jurnal Muhammad Asy Shidiq
Telaah Jurnal Muhammad Asy Shidiq
DISUSUN OLEH
MUAHMMAD ASY SHIDIQ
11120182083
PEMBIMBING
dr. Dahlia , MARS, DPDK
Data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015 menyatakan bahwa pada Tahun
2015 jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 129.650 kasus dengan jumlah
kematian sebanyak 1.071orang (angka kesakitan = 50,75 per 100.000 penduduk dan
angka kematian= 0,83%).Dibandingkan Tahun 2014 dengan kejadian sebanyak
100.347 serta angka kesakitan = 39,80per 100.000 penduduk maka terjadi
peningkatan kejadian pada Tahun 2015.
Faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit demam berdarah dengue antara lain
faktor host, lingkungan, serta faktor virusnya sendiri. Faktor lingkungan merupakan
salah satu faktor penting yang berkaitan dengan terjadinya infeksi dengue.
Lingkungan pemukiman sangat besar peranannya dalam penyebaran penyakit
menular. Kondisi perumahan yang tidak memenuhi syarat rumah sehat apabila dilihat
dari kondisi kesehatan lingkungan akan berdampak pada masyarakat itu sendiri.
Dampaknya dilihat dari terjadinya suatu penyakit yang berbasis lingkungan yang
dapat menular.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode critical review. Sumber data penelitian ini
berasal dari literatur yang diperoleh melalui internet berupa hasil penelitian dari
publikasi pada jurnal di Internasional. Jumlah sampel penelitian sebanyak 552 sampel
penelitian baik usia muda maupun usia >50 tahun. Kriteria inklusi adalah variable-
variable yang di teliti oleh peneliti.
Dalam hal kepustakaan, sebagian besar menggunakan literatur dalam negeri dan
beberapa daftar pustaka dan literatur internasional sebanyak Alat ukur atau instrumen
rata-rata tidak dicantumkan pada jurnal kecuali 2 jurnal (0,063%) dengan
mencantumkan masing-masing 10 item pertanyaan.
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue. Pada dasarnya penyakit DBD adalah penyakit self limiting disease yang
dapat sembuh sendiri tetapi jika tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat
menimbulkan komplikasi yang berat seperti dengue shock symdrom bahkan sampai
kematian.
Pada penelitian yang dilakukan oleh I Wayan et all, dengan menggunakan
metode Cross-sectional dan dengan metode sampling yaitu Total Sampling
didapatkan hasil dengan 51 sample dengan jenis penatalaksanaan pasien
dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu rehidrasi intravena, antipiretik-analgetik,
antibiotik, dan terapi tambahan (antiemesis, anti-inflamasi, imunomodulator, dan
vitamin).
Pada penelitian di dapatkan bahwa semua pasien anak dengan diagnosis DBD
pasca masuk ke rumah sakit telah diberikan penanganan awal berupa cairan intravena
kristaloid isotonis, dimana rincian jenis cairannya sebagian besar berupa ringer laktat
45 orang (88,2%) sedangkan sisanya adalah glukosa lima persen di dalam larutan
NaCl 0,45% (D ½ NS) sebanyak 6 orang (11,8%). Berdasarkan aspek antipiretik-
analgetik, 98% subyek sudah mendapat terapi, dengan obat parasetamol sebesar 41
orang (80,4%), terapi kombinasi (parasetamol dengan ibuprofen) pada 1 orang (2%),
dan terapi analgetik (Antrain) sebanyak 8 orang (15,7%). Subyek yang tidak
mendapat terapi antipiretik maupun analgetik hanya 1 orang (2%).Pemberian obat
antibiotik dilakukan pada 21 orang (41,2%). Jenis antibiotik yang diberikan dapat
dilihat pada Tabel 4 dimana antibiotik yang dominan diberikan adalah cefotaxime
(third generation cephalosporin) berjumlah 16 orang (76,2%). Pemberian terapi
tambahan seperti antiemesis, antiinflamasi, imunomodulator, dan vitamin masing-
masing sebesar 47,1 %, 15,7 %, 23,5 %, dan 47,1 %.
Cairan yang diindikasikan untuk penderita DBD adalah cairan kristaloid
isotonis dengan rekomendasi berupa ringer laktat/asetat. Pemberian cairan didasarkan
pada derajat dehidrasi dan kondisi klinis pasien, namun secara umum untuk kasus
DBD cairan yang diberikan mengikuti aturan pemberian cairan pada kondisi
dehidrasi sedang (defisit 5-8% cairan) selain mempertimbangkan berat badan
penderita.Berdasarkan ketentuan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),
direkomendasikan pemberian jenis cairan berupa kristaloid berjenis ringer
laktat/asetat. Kriteria Departemen Kesehatan (Depkes) pada tahun 2005 menyatakan
keterangan yang sedikit berbeda, dimana jenis cairan yang dianjurkan adalah cairan
glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45% (D5/ ½ NS).
Pemberian cairan rehidrasi diobservasi berdasarkan kondisi awal masuk rumah
sakit dan penatalaksanaan awal yang diberikan pada subyek tanpa melihat bagaimana
proses pemantauan (monitoring) pasien sampai pada saat selesai masa perawatan
sehingga tidak dapat memberikan gambaran bagaimana proses pemberian dan
kombinasi cairan diatur sesuai kebutuhan dan perjalanan penyakit pasien.
Berdasarkan protokol oleh IDAI, Kementerian Kesehatan (Departemen Kesehatan),
dan WHO menyatakan bahwa kristaloid isotonis merupakan indikasi utama rehidrasi
pada semua grade penyakit DBD.
Penelitian ini mendapatkan cakupan pemberian terapi antipiretik hanya 98%,
seharusnya semua pasien DBD mendapat antipiretik selama masa febris, penggunaan
asetaminofen dibandingkan ibuprofen tidak berbeda, meskipun diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk membuktikannya.Pertimbangan pemilihan asetaminofen adalah
keamanannya (safety), dimana pada golongan ibuprofen terdapat efek samping,
seperti hepatotoksisitas dan gangguan proses pembekuan darah yang memicu
perdarahan saluran cerna.
Pada penelitian ini mendapatkan hasil Antibiotik untuk DBD bukan merupakan
suatu indikasi mengingat dasar penyakit ialah virus sehingga tidak diperlukan kecuali
jika terdapat infeksi sekunder akibat bakteri dan apabila terjadi sindroma syok dengue
(SSD), mengingat infeksi sekunder dapat terjadi dengan adanya translokasi bakteri
dari saluran cerna.1,12,21 Pada data sekunder tidak ditemukan data terkait kondisi
komorbid yang diderita subyek pada awal masuk rumah sakit sehingga tidak dapat
disimpulkan apakah pemberian antibiotik pada kasus ini sudah termasuk rasional atau
belum.Antibiotik yang berlebihan dan tidak sesuai akan menimbulkan masalah serius
dan sulit diatasi, seperti pesatnya pertumbuhan bakteri resisten, timbulnya drug
related problem (DRP) maupun efek samping yang berpotensi menimbulkan bahaya
pada pasien,