Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan
sel telur dan sel sperma) pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau
berat janin kurang dari 500 gram, sebelum janin dapat hidup diluar
kandungan1. Abortus yang berlangsung tanpa tindakan mekanis atau medis
disebut sebagai abortus spontan. Abortus buatan adalah pengakhiran
kehamilan sebelum 20 minggu akibat dilakukan suatu tindakan mekanis
tertentu. Abortus terapeutik ialah abortus buatan yang dilakukan atas
indikasi medik. Berdasarkan aspek klinisnya, abortus spontan dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu abortus imminens (threatened abortion),
abortus insipiens (inevitable abortion), abortus inkompletus, abortus
komplit, missed abortion, dan abortus habitualis (recurrent abortion),
abortus servikalis, abortus infeksiosus, dan abortus septik.2
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terjadi 20 juta kasus
abortus tiap tahun dan 70.000 wanita meninggal karena abortus tiap
tahunnya. Angka kejadian abortus di Asia Tenggara adalah 4,2 juta pertahun
termasuk Indonesia, sedangkan frekuensi abortus spontan di Indonesia
adalah 10-15% dari 6 juta kehamilan setiap tahunnya atau 600.000 -
900.000, sedangkan abortus buatan sekitar 0, 75 – 1,5 juta setiap tahunnya,
2500 orang diantaranya berakhir dengan kematian.3
Abortus inkompletus merupakan salah satu bentuk dari abortus
spontan maupun sebagai komplikasi dari abortus provokatus kriminalis atau
medisinalis, dimana terjadi pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada
kehamilan sebelum 20 minggu.4,5,6
Abortus inkompletus memiliki komplikasi yang dapat mengancam
keselamatan ibu karena adanya perdarahan masif yang bisa menimbulkan
kematian akibat adanya syok hipovolemik apabila keadaan ini tidak
mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Seorang ibu hamil yang
mengalami abortus inkompletus dapat mengalami guncangan psikis.
Komplikasi yang terjadi tidak hanya pada ibu namun juga pada keluarganya,
terutama pada keluarga yang sangat menginginkan anak.7
Hepatitis merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat, yang berpengaruh terhadap angka kesakitan,
angka kematian, status kesehatan masyarakat, angka harapan hidup, dan
dampak sosial ekonomi lainnya.8
Virus Hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia,
sekitar 240 juta orang diantaranya menderita Hepatitis B kronik sedangkan
hepatitis C di dunia diperkirakan sebesar 170 juta orang. Sebanyak 1,5 juta
penduduk meninggal setiap tahunnya karena hepatititis. Prevalensi Hepatitis
di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 1,2% meningkat dua kali
dibandingkan Riskesdas tahun 2007 yang sebesar 0,6%. Diperkirakan
terdapat 28 juta penduduk indoensia yang terinfeksi hepatitis B dan C, 14
juta di antaranya berpotensi menjadi kronis.9
Sementara itu, berdasarkan Infodatin Kemenkes RI (2018) Presentase
Ibu hamil HBsAg reaktif tertinggi yaitu Nusa Tenggara Barat (6,15%), Nusa
Tenggara Timur (5,26%) dan Papua (3,92%). Sedangkan Provinsi
Kalimantan Tengah belum ditemukan ibu hamil yang positif HBsAg.8
Oleh karena itu, mengenal lebih dekat tentang abortus inkompletus
dan hepatitis B menjadi penting bagi para pelayan kesehatan agar mampu
menegakkan diagnosis kemudian memberikan penatalaksanaan yang sesuai
dan akurat, serta mencegah komplikasi.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan kasus ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat memahami kasus
abortus inkompletus dan hepatitis B.
2. Diharapkan munculnya pola berfikir yang kritis bagi semua dokter
muda setelah dilakukannya diskusi dengan dosen pembimbing klinik
tentang kasus abortus inkompletus dan hepatitis B.
1.3. Manfaat
1.3.1. Manfaat Teoritis
a. Bagi institusi, diharapkan laporan kasus ini dapat menambah bahan
referensi dan studi kepustakaan dalam bidang ilmu obstetrik dan
ginekologi terutama tentang kasus abortus inkompletus dan
hepatitis B.
b. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan laporan kasus ini dapat
menjadi landasan untuk penulisan laporan kasus selanjutnya.

1.3.2. Manfaat Praktis


a. Bagi dokter muda, diharapkan laporan kasus ini dapat diaplikasikan
pada kegiatan kepaniteraan klinik senior (KKS) dalam penegakkan
diagnosis abortus inkompletus dan hepatitis B yang berpedoman
pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan runut.
b. Bagi dokter umum, diharapkan laporan kasus ini dapat menjadi
bahan masukan dan menambah pengetahuan dalam abortus
inkompletus dan hepatitis B yang selanjutnya melakukan rujukan
pada dokter spesialis yang berkompeten.
c. Bagi pasien dan keluarga, diharapkan laporan kasus ini dapat
memberi informasi mengenai abortus inkompletus dan hepatitis B
serta komplikasi yang mungkin terjadi apabila tidak segera
dilakukan tindakan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abortus
2.1.1 Definisi
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi
(pertemuan sel telur dan sel sperma) pada usia kehamilan kurang dari
20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram, sebelum janin dapat
hidup diluar kandungan.1
Abortus adalah terhentinya (mati) dan dikeluarkannnya
kehamilan sebelum janin berumur 20 minggu (dihitung dari haid
terakhir) atau berat janin kurang dari 500 gram dan panjang janin
kurang dari 25 cm (Ansar, 2010). Abortus merupakan berakhirnya
kehamilan dengan cara apapun sebelum janin mampu bertahan hidup.
Definisi lain yang sering digunakan adalah kelurnya janin neonatus
sebelum janin mencapai berat 500 gram.5

2.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan kejadiannya abortus dibagi menjadi dua, yaitu
sebagai berikut:
1. Abortus spontan terjadi secara alamiah tanpa interfensi luar
(buatan) untuk mengakhiri kehamilan tersebut. Berdasarkan
gambaran kliniknya abortus dapat dibagi menjadi:2
a. Abortus completus (keguguran lengkap) adalah
pengeluaran semua hasil konsepsi dengan umur
kehamilan > 20 minggu kehamilan lengkap.
b. Abortus insipiens adalah perdarahan intrauterin
sebelum kehamilan lengkap 20 minggu dengan dilatasi
serviks berlanjut tetapi tanpa pengeluaran hasil
konsepsi atau terjadi pengeluaran sebagian atau
seluruhnya.
c. Abortus incomplit adalah pengeluaran sebagian tetapi
tidak semua hasil konsepsi pada umur >20 minggu
kehamilan lengkap.
d. Abortus imminens adalah perdarahan intrauteri pada
umur < 20 minggu kehamilan lengkap dengan atau
tanpa kontraksi uterus, tanpa dilatasi serviks dan tanpa
pengeluaran hasil konsepsi. Hasil kehamilan yang
belum viabel berada dalam bahaya tetapi kehamilannya
terus berlanjut.
e. Missed abortion (keguguran tertunda) adalah kematian
embrio atau janin berumur < 20 minggu kehamilan
lengkap tetapi hasil konsepsi tertahan dalam rahim
selama ≥ 8 minggu.
f. Abortus habitualis adalah kehilangan 3 atau lebih hasil
kehamilan secara spontan yang belum viabel secara
berturut- turut.
g. Abortus infeksiosus adalah abortus yang disertai
infeksi genetalia interna sedangkan abortus sepsis
adalah abortus terinfeksi dengan penyebaran bakteri
melalui sirkulasi ibu.
2. Abortus Provocatus
Abortus provocatus adalah tindakan abortus yang disengaja
dilakkukan untuk menghilangkan kehamilan sebelum umur 28
minggu atau berat janin 500 gram, abortus ini dibagi lagi
menjadi sebagai berikut:10
 Abortus medisinalis adalah abortus yang dilakukan atas
dasar indikasi vital ibu hamil jika diteruskan
kehamilannya akan lebih membahayakan jiwa sehingga
terpaksa dilakukan abortus buatan. Tindakan itu harus
disetujui oleh paling sedikit tiga orang dokter.
 Abortus kriminalis adalah abortus yang dilakukan pada
kehamilan yang tidak diinginkan, diantaranya akibat
perbuatan yang tidak bertanggung jawab, sebagian
besar dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih
sehingga menimbulkan komplikasi.
2.1.3 Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab keguguran sebagian besar tidak diketahui secara pasti, tetapi
terdapat beberapa faktor sebagai berikut:10,11,12
1. Umur
Resiko abortus semakin tinggi dengan semakin bertambahnya
usia ibu. Insiden abortus dengan trisomi meningkat dengan
bertambahnya usia ibu. Resiko ibu mengalami aneuploidi yaitu
diatas 35 tahun karena kelainan kromosom akan meningkat
pada usia diatas 35 tahun.
2. Kelainan Pertumbuhan Hasil Konsepsi
Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menyebabkan
kematian janin dan cacat bawahan yang menyebabkan hasil
konsepsi dikeluarkan. Gangguan pertumbuhan hasil konsepsi
dapat terjadi seperti:
 Faktor kromosom, gangguan terjadi sejak semula
pertemuan kromosom, termasuk kromosom seks.
 Faktor lingkungan endometrium
 Endometrium yang belum siap untuk menerima
implantasi hasil konsepsi.
 Gizi ibu kurang karena anemia atau jarak kehamilan
terlalu pendek
3. Kelainan Pada Plasenta
 Infeksi pada plasenta dengan berbagai sebab, sehingga
plasenta tidak dapat berfungsi.
 Gangguan pada pembuluh darah plasenta yang
diantaranya pada penderita diabetes melitus
 Hipertensi menyebabkan gangguan peredaran darah
plasenta sehingga menimbulkan keguguran.
4. Penyakit Ibu
Penyakit mendadak seperti pneumonia, tifus abdominalis,
malaria, sifilis, anemia dan penyakit menahun ibu seperti
hipertensi, penyakit ginjal, penyakit hati, dan penyakit
diabetesmilitus. Kelainan yang terdapat dalam rahim. Rahim
merupakan tempat tumbuh kembangnya janin dijumpai
keadaan abnormal dalam bentuk mioma uteri, uterus arkuatus,
uterus septus, retrofleksia uteri, serviks inkompeten, bekas
operasi pada serviks (konisasi, amputasi serviks), robekan
serviks postpartum.
5. Riwayat Abortus
Riwayat abortus pada penderita abortus merupakan
predisposisi terjadinya abortus berulang. Kejadian ini sekitar
3-5% jumlah kejadian abortus. Data menunjukan bahwa
setelah 1 kali abortus pasangan akan beresiko mengalami
abortus sebesar 15%.
6. Faktor Infeksi
Infeksi termasuk yang diakibatkan oleh TORC (toksoplasma,
rubella, cytomegalovirus) dan malaria. Infeksi intrauterin
sering dihubungkan dengan abortus.
7. Obat-obatan rekreasional dan toksin lingkungan
Peranaan penggunaan obat-obatan rekreasional tertentu yang
dianggap teratogenik harus dicari dari anamnesa seperti
tembakau dan alkohol, yang berperan karena jika ada mungkin
hal ini merupakan salah satu yang berperan terjadinya abortus.

2.1.4 Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis,
diikuti nekrosis jaringan yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas
dan dianggap benda asing dalam uterus. Sehingga menyebabkan
uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Apabila
pada kehamilan kurang dari 8 minggu, villi khorialis belum
menembus desidua serta mendalam sehingga hasil konsepsi dapat
keluar seluruhnya. Apabila kehamilan 8-14 minggu villi khorialis
sudah menembus terlalu dalam hingga plasenta tidak dapat dilepaskan
sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan dari pada plasenta.
Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat,
maka dia dapat diliputi oleh lapisan bekuan darah. Pada janin yang
telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses modifikasi
janin mengering dan karena cairan amion menjadi kurang oleh sebab
diserap dan menjadi agak gepeng. Dalam tingkat lebih lanjut menjadi
tipis. Kemungkinan lain pada janin mati yang tidak lekas dikeluarkan
ialah terjadinya maserasi, kulit terkelupas, tengkorak menjadi lembek,
perut membesar karena terasa cairan dan seluruh janin bewarna
kemerah-merahan.2

2.2 Abortus Inkompletus


2.2.1 Definisi
Abortus inkompletus adalah abortus yang terjadi sebelum usia gestasi
10 minggu, janin dan plasenta biasanya keluar, tetapi dalam waktu
yang terpisah. Abortus Inkompletusus adalah perdarahan kehamilan
muda (sebelum 20 minggu) dimana sebagian dari hasil konsepsi telah
keluar cavum uteri melalui kanalis servikalis. Abortus Inkompletusus
berkaitan dengan retensi sebagian produk pembuahan (hampir seluruh
plasenta) yang tidak begitu mudah terlepas pada kehamilan dini
seperti halnya kehamilan aterm. Dalam keadaan ini perdarahan tidak
segera berkurang sementara serviks tetap terbuka.8

2.2.2 Manifestasi Klinik


Adapun tanda dan gejala abortus inkompletus antara lain:13
 Amenore
 Perdarahan dapat dalam jumlah sedikit atau banyak,
perdarahan biasanya dalam darah beku
 Sakit perut dan mulas-mulas dan sudah keluar jarinan atau
bagian janin
 Pemeriksaan dalam didapatkan servik terbuka, pada palpasi
teraba sisa-sisa jaringan dalam kantung servikalis atau kavum
uteri.
 Perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa janin dikeluarkan
dapat menyebabkan syok.
Selain itu dapat pula ditemukan tanda dan gejala berikut:14
a. Anamnesa
 Usia kehamilan ibu (kurang dari 20 minggu).
 Adanya kram perut atau mules daerah atas sympisis,
nyeri pinggang akibat kontraksi uterus.
 Perdarahan pervaginam mungkin disertai dengan
keluarnya jaringan hasil konsepsi.
b. Pemeriksaan fisik
 Biasanya keadaan umum (KU) tampak lemah.
 Tekanan darah normal atau menurun.
 Denyut nadi normal, cepat atau kecil dan lambat.
 Suhu badan normal atau meningkat.
 Pembesaran uterus sesuai atau lebih kecil dari usia
kehamilan.
c. Pemeriksaan ginekologi
 Inspeksi vulva untuk menilai perdarahan pervaginam
dengan atau tanpa jaringan hasil konsepsi.
 Pemeriksaan pembukaan serviks.
 Inspekulo menilai ada/tidaknya perdarahan dari
cavum uteri, ostium uteri terbuka atau tertutu, ada
atau tidaknya jaringan di ostium.
 Vagina Toucher (VT) menilai portio masih terbuka
atau sudah tertutup teraba atau tidak jaringan dalam
cavum uteri, tidak nyeri adneksa, kavum doglas tidak
nyeri.
d. Pemeriksaan penunjang dengan ultrasonografi (USG) oleh
dokter.

2.2.3 Penanganan
Penanganan abortus inkomplit adalah sebagai berikut:14
1. Jika perdarahan tidak seberapa banyak dan kehamilan kurang
dari 16 minggu evakuasi dapat dilakukan secara digital atau
dengan cunam ovum untuk mengeluarkan hasil konsepsi. Jika
perdarahan berhenti, beri ergometrin 0,2 mg IM atau
misoprostol 400 mg per oral.
2. Jika perdarahan banyak atau terus berlangsung dan usia
kehamilan kurang dari 16 minggu, evakuasi sisa hasil konsepsi
dengan:
 Aspirasi Vakum Manual (AVM) merupakan metode
evaluasi yang terpilih. Evaluasi dengan kuret tajam
sebaiknya hanya dilakukan jika AVM tidak tersedia.
 Jika evakuasi belum dapat dilakukan segera, beri
ergometrin 0,2 mg IM atau Misoprostol 400 mg per
oral (dapat diulang sesudah 4 jam jika perlu).
3. Jika kehamilan lebih dari 6 minggu :
 Berikan infus oksitosin 20 unit dalam 500 ml cairan IV
(garam fisiologis atau larutan Ringer Laktat) dengan
kecepatan 40 tetes/menit sampai terjadi ekspulsi hasil
konsepsi.
 Jika perlu berikan misoprostol 200 mg per vaginam
setiap 4 jam sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi
(maksimal 800 mg)
 Evakuasi hasil konsepsi yang tertinggal dalam uterus.

2.2.4 Komplikasi
Komplikasi yang berbahaya pada abortus antara lain:7
1. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-
sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfuse darah.
Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila petolongan
tidak diberikan pada waktunya.
2. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada
uterus dalam posisi hiperrentrofleksi.
3. Infeksi
Infeksi dalam uterus dan adneksa dapat terjadi dalam setiap
abortus tetapi biasanya didapatkan pada abortus inkomplit
yang berkaitan erat dengan suatu abortus yang tidak aman.
4. Syok
Syok pada abortus bias terjadi karena perdarahan (syok
hemoragik) dan karena infeksi berat.

2.1 Hepatitis dalam Kehamilan


2.2.1 Definisi
Hepatitis adalah peradangan hati yang bisa berkembang menjadi
fibrosis (jaringan parut), sirosis atau kanker hati. Hepatitis disebabkan
oleh berbagai faktor seperti infeksi virus, zat beracun (misalnya
alkohol, obat-obatan tertentu), dan penyakit autoimun. Penyebab paling
umum Hepatitis adalah yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B dan C.8

2.2.2 Epidemiologi
PenyakIt hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di
dunia termasuk di Indonesia, yang terdin dari Hepatitis A, B, C,D, dan
E. Virus Hepatitis B telah menginfeksi 2 milyar orang di dunia, sekitar
240 juta orang diantaranya menjadi pengidap Hepatitis B kronik,
sedangkan unutk pendirita Hepatitis C di dunia diperkirakan sebesar
170 juta orang. Indoneisa merupakan negara dnegan endemisitas tinggi
hepatitis B, terbesar kedua di negara South East Asian Region (SEAR)
setelah Myanmar.Sehingga saat ini diperkirakan terdapat 28 juta
penduduk indoensia yang terinfeksi Hepatitis B dan C, 14 juta
diantaranya berpotensi menjadi kronik.9
Sementara itu, berdasarkan Infodatin (2018) Presentase Ibu hamil
HBsAg reaktif tertinggi yaitu Nusa Tenggara Barat (6,15%), Nusa
Tenggara Timur (5,26%) dan Papua (3,92%). Sedangkan Provinsi
Kalimantan Tengah belum ditemukan ibu hamil yang positif HBsAg.8
Dapat dilihat proporsi HBsAg dan HBeAg pada ibu hamil di dunia,
dimana di Negara Asia prevalensi HBsAg berkisar antara 1,7-17%
dengan proporsi HBeAg 8-64%, di Asia tengah dan Afrika HBsAg 3-11
% dan HBeAg 8-19%, sedangkan di Eropa Selatan HBsAg berkisar
antara 1-3% dengan HBeAg 4-5%.15
Tingginya prevalensi VHB dipengaruhi oleh berbagai faktor antara
lain; faktor geografik, dimana umumnya prevalensi VHB lebih tinggi
didaerah tropik dibandingkan dengan di daerah beriklim sedang dan
lebih tinggi pada penduduk di daerah urban dibandingkan dengan
penduduk di daerah rural. engaruh etnik terhadap prevalensi VHB dapat
dilihat pada penduduk etnik Cina di USA, dimana didapatkan
prevalensi pengidap kronik VHB lebih tinggi dibandingkan dengan
golongan penduduk kulit putih di USA.15
Hepatitis tertinggi terdapat pada kelompok umur 45-54 dan 65-74.
Penderita hepatitis banyak ditemukan pada petani/nelayan/buruh
dibanding pekerjaan lain.9

2.2.3 Etiologi
Virus Hepatitis B (VHB) merupakan virus hepatitis pertama pada
manusia yang protein dan genomenya dapat diidentifikasi dan tergolong
keluarga Hepadnaviridae yaitu suatu virus yang hepatotropik dengan
genome DNA. VHB hanya bisa hidup pada manusia, chimpanzee dan
beberapa jenis primate lainnya, tetapi sampai sekarang belum bisa
dilakukan pembiakan.
VHB disebut partikel Dane sesuai nama penemu virus tersebut.
Partikel Dane mempunyai penampang 42-47 nm dan terdiri dari core
dan selubung (envelope) yang disebut Hepatitis B Surface Antigen
(HBsAg). Produksi HBsAg lebih banyak dari produksi core dan dalam
darah pengidap infeksi VHB, tampak dua macam HBsAg yaitu yang
berbentuk bulat (spheric) dengan penampang 17 – 25 nm dan HBsAg
berbentuk tubuler (filament) dengan penampang 20 nm).15

2.2.4 Faktor risiko


Berikut ini merupakan populasi tinggi dengan infeksi HBV yang
direkomendasikan untuk dilakukannya skrining:16
1. Orang yang lahir di negara yang memiliki prevalesnsi tinggi
(>8%) dan intermediate (> 2%) HBV termasuk immigrans dan
anak adopsi and orang yang lahir di amerika serikat yang tidak
vaksinasi saat bayi dan orang tua yang berimigrasi dari endemis
HBV
2. Tinggal serumah dan kontak seksual dengan pasien Hepatits B
3. Bayi yang lahir dari ibu hbsag positif
4. Orang yang memgunakan suntikan obat bekas
5. Orang yang memiliki kontak seksusal multipel atau riwayat PMS
6. Homoseksual
7. Narapidana
8. Orang yang memiliki alanin dan aspartat aminotranferase level
9. Donor darah, plasma, organ, jaringan
10. Orang dengan infeksi HCV atau HIV
11. Pasien hemodilaisis
12. Ibu hamil
13. Orang yang sering kontak dengan sumber darah, cairan(needle
stick injury, kontak mukosa, sexual assault)
14. Orang yang memerlukan immunosuprsif atau cytotoxic terapi
(termasuk anti-tumo necrosis factor untuk terapi rematik,
peradangan dan radang usus)

2.2.5 Cara Penularan


Secara garis besar penularan VHB terjadi hanyadua hal yaitu;
karena pencemaran oleh darah atau cairan tubuh dari seorang pengidap
VHB sedangkan penularan dapat terjadi melalui empat cara yaitu:15
1. Parenteral melalui transfusi darah yang mengandung VHB. Pada
sekitar tahun 1980 dimana uji saring HBsAg pada donor belum
dilakukan dengan baik, hepatitis pasca transfusi dilaporkan 14-
65%, dimana 22% disebabkan oleh VHB dan setelah skrining darah
dilakukan dengan metode yang lebih peka (RIA) maka hepatitis
pasca transfusi menurun menjadi 0,6%. Saat ini skrining darah
donor juga dilakukan dengan anti-HBc disamping HBsAg,
sehingga memberikan hasil yang lebih memuaskan karena pada
window period anti HBc positif meskipun HBsAg atau anti HBs
masih negatif.
2. Tusukan melalui kulit (percutaneous exposure). Cara ini terjadi
melalui tusukan jarum di bawah kulit dengan jarum yang pernah
dipakai pengidap VHB seperti pada pasien ketagihan obat,
akupuntur, membuat tatto, tindik kuping, memakai pisau cukur,
sikat gigi dan lainnya.
3. Melalui hubungan seksual; karenaVHB juga terdapat pada cairan
sperma, lendir vagina dan air liur. Dengan pemeriksaan PCR pada
lendir servik didapatkan adanya genom VHB pada 21% pasien
yang diperiksa.
4. Penularan VHB dari ibu ke bayi yang baru dilahirkan. Cara ini
disebut penularan VHB vertikal dan merupakan cara penularan
yang paling penting daerah endemik berat VHB.

Pola Penularan
Walaupun infeksi VHB dapat ditularakan dengan berbagai cara, tetapi pola
penularan infeksi VHB dapat dibagi menjadi dua yaitu;15
1. Secara vertikal
Pola penularan vertical ialah penularan VHB dari ibu dengan HBsAg
positif ke bayi yang dilahirkannya.
a. Sebelum persalinan yang disebut infeksi VHB in-utero
Yang dimaksud dengan penularan VHB in-utero ialah penularan
atau tramsmisi VHB dari ibu ke bayi di dalam rahim ibu, yang
kemudian menyebabkan bayi mengalami infeksi VHB. Sebagai bukti
yang pasti bahwa terjadinya infeksi in-utero ialah jika bayi yang baru
lahir di dalam hatinya sudah terdapat VHB.15
Secara klinis karena masa inkubasi VHB adalah 6 minggu sampai
6 bulan, maka bayi dikatakan mengalami infeksi VHB in-utero, jika
bayi berumur 1 bulan sudah menunjukkan HBsAg positif (Wong, et
al. 1980). Infeksi VHB in-utero pada dasarnya terjadi karena
masuknya VHB dai ibu ke bayi di dalam kandungan, melalui robekan
kecil plasenta yang menyebabkan terjadinya microtransfusion darah
ibu yang mengandung partikel Dane ke bayi (Lin. et.al., 1987). Jika
hasil pemeriksaan PCR pada bayi harike-0 positif, berarti ada genom
VHB yang masuk ke bayi.15
b. Selama persalinan disebut infeksi VHB perinatal.
Yang dimaksud dengan infeksi perinatal VHB ialah infeksi VHB
padabayi yang terjadi pada saat dilahirkan dari ibu dengan HBsAg
positif. Pada penularan VHB vertikal, HBsAg pada bayi umumnya
positif 3 bulan setelah persalinan. Mekanisme terjadinya penularan
VHB perinatal belum jelas, tetapi beberapa teori yang dikemukakan
antara lain; melalui lesi kulit, mata, darah ibu, air ketuban yang
tertelan oleh bayi pada saat persalinan dan kontak dengan lendir
serviko-vaginal.15

c. Setelah persalinan disebut infeksi post-natal.


Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg dan HBeAg positif, juga bisa
mendapatkan penularan VHB post-natal. Penularan ini tidak begitu
penting artinya karena VHB yang masuk ke tubuh bayi secara per-oral
baru dapt menimbulkan infeksi VHB jika masuk bersama air susu ibu
dalam jumlah besar . Diduga penularan terjadi melalui air susu ibu
yang terkontaminasi darah ibu yang mengandung VHB krena luka
lecet pada putting susu. Keadaan inilah yang diduga menyebabkan
mengapa 72% dari air susu ibu dengan HBsAg positif .15
2. Secara Horizontal
Pola penularan horizontal ialah penularan VHB dari seorang pengidap
infeksi VHB kepada orang yang rentan disekitarnya.15

2.2.6 Patogenesis
1. Pada hepatitis akut
Pada awal infeksi VHB, akan muncul alfa interferon di dalam
darah yang menimbulkan panas badan dan malaise pada pasien.
meningkatnya aktifitas sel NK (Natural Killer) dalam beberapa minggu
pertama dari infeksi akut, disertai dengan munculnya sel T-helper (Th
atau CD4 limfosit) yang desensitisasi khususnya terhadap epitop yang
mengandung HBc peptide.
Antibodi yang pertama muncul adalah anti-pre S1 dan anti pre-S2,
yang diduga untuk mengontrol infeksi, tetapi tidak mengontrol
penyebaran VHB ke dalam sel hati, sampai sel hati yang mengalami
infeksi dihancurkan oleh sel T sitotoksik (Tc). Interferon juga
merangsang munculnya MHC I pada permukaan sel hati, tetapi tidak
pada sel hati yang tidak mengandung VHB. Sel Tc akan beraksi dengan
mengadakan penempelan dengan MHC I yang memunculkan HBc
peptide pada permikaannya, sehingga terjadi lisis sel hati dan eliminasi
VHB.15

2. Pada hepatitis kronik


Proses seperti di atas tidak berjalan semestinya, yang disebabkan
karena terjadinya kerusakan atau kegagalan pada beberapa hal, antara
lain.
a. Gagalnya sensitisasi dan fungsi sel Tc dan sel NK.
b. Kegagalan produksi interferon (INF)
c. Kegagalan sel hati memberikan respon terhadap IFN; Keadaan ini
diduga karena gene dari virus mempunyai kemampuan untuk
meningkatkan dan menurunkan kemampuan sel yang terinfeksi
memberikan respon terhadap IFN.
d. Kegagalan menetralisasi virus; hast tidak mampu membentuk
antibodi untuk menetralisasi VHB karena sel limfosit B dihancurkan
oleh CD4 dan CD8 yang mengadakan replikasi pada sel limfosit.

Respon imun pertama yang terjadi terhadap VHB adalah terhadap


antigen pre-S2, yang terjadi 30 hari sebelum terjadinya kerusakan sel
hati, kemudian respon imun terhadap HBcAg 10 hari kemudian dan
respon imun yang paling kuat adalah terhadap antigen S yang terjadi 10
hari sebelum terjadinya nekrosis sel hati.15
Dikatakan bahwa dalam keadaan normal partikel VHB tidak
menembus plasenta, tetapi HBeAg dapat masuk ke peredaran darah
bayi, kemudian mempengaruhi Thymus bayi, sehingga sel Th yang
terbentuk toleran terhadap HBeAg dan HBcAg. Karena HBeAg dan
HBcAg dapat menimbulkan reaksi silang pada sel T, maka sel T yang
spesifik terhadap HBeAGg dan HBcAg tidak berfungsi baik dalam
membentuk antibodi terhadap HBsAg. Demikian juga sel T tersebut
akan berkurang kemampaunnya dalam mengiliminasi VHB.15
Hilangnya tolerogen akan menyebabkan Bone Marrow (BM) –
derived stem cells akan migrasi ke Thymus dan membangkitkan
Thymosit yang spesifik untuk HBeAg dan HBcAg dikeluarkan dari
Thymus. Pada bayi, keadaan yang sama mungkin terjadi dimana di
dalam kandungan terpapar dengan tolerogen tetapi setelah lahir tidak
terinfeksi dengan VHB. Makin lama tenggang waktu antara paparan
tolerogen dengan infeksi VHB makin besar kesempatan untuk
memperbaharui sel T spesifik terhadap HBeAg dan HBcAg. Chang, et
al., (1996) pada penelitiannya mendapatkan hubungan antara titer anti–
HBc pada ibu dengan HBeAg positif dengan bayi yang dilahirkannya
dalam hal terjadinya penularan vertikal VHB. Dikatakan makin rendah
titer anti-HBc ibu makin besar kemungkinan bayi yang dilahirkannya
utnuk tertular VHB secara vertikal.15
Gambar 1. Kemungkinan toleransi sel T terhadap HBeAg in-utero

2.2.7 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis hepatitis pada ibu hamil dapat berupa:17
a. Anoreksia
b. Mual muntah
c. Febris
d. Rasa bengkak dan nyeri pada perut kanan atas
e. Mata dan buang air kecil kuning seperti teh pekat
f. Amenorea
g. Sklera ikterik
h. Mammae hiperpigmentasi, kolostrum (+)
i. Hepatomegali dan nyeri tekan
j. Ballotemen dan DJJ (+)

A. Infeksi VHB Akut


Masa tunas VHB berkisar antara 6 minggu sampai 6 bulan dan
masa akut infeksi VHB umumnya berlangsung 1-3 bulan. Gejala klinik
bervariasi mulai dari infeksi VHB akut tanpa ikterus, dengan ikterus
dan hepatitis fulminan yang umumnya berakhir dengan kematian.
Perjalanan penyakit infeksi VHB akut dapat dibagi menjadi ;fase
prodromal, fase ikterik dan fase penyembuhan.15
 Fase Prodromal; berlangsung 3-4 hari, kadang-kadang sampai 2-3
minggu, di mana penderita merasa tidak enak badan, tidak ada
nafsu makan, mual, badan meriang, kepala sakit dan perut sebelah
kanan merasa tidak enak atau sakit.
 Fase ikterik; penderita tampak kuning, kencing seperti the pekat,
kotoran putih seperti dempul, temperature menurun, kadang-
kadang ada bradikari, nafsu makan muncul kembali, kadang-
kadang badan dirasakan gatal dan akan hilang dalam beberapa hari.
Hati teraba pada 70% penderita dengan tepi licin, tumpul
spleenomegali didapatkan pada 20% penderita ada hubungan antara
gejala klinik infeksi akut VHB dengan kemungkinan terjadinya
hepatitis B kronik. Infeksi VHB tanpa gejala atau subklinik
biasanya cenderung menetap, sebaliknya infeksi VHB dengan
gejala yang jelas umumnya bersifat sementara dan HBsAg akan
menjadi negatif.
 Fase penyembuhan; penderita masih merasakan rasa malas dan
lemah yang kadang-kadang ada sampai beberapa minggu. Pada
masa ini warna kencing dan kotoran kembali normal.

B. Infeksi VHB Kronik


Menurut Kurstak (1995), infeksi VHB dikatakan termasuk
infeksi VHB kronik, jika terdapat peradangan pada hati dengan HBsAg
yang selalu positif dalam waktu 6 bulan atau lebih. Biasanya akan
disertai dengan meningkatnya kadar alanina aminotransferase(ALT).
Jika respon imun pasien tidak memadai maka kerusakan pada sel hati
akan berlanjut dan terjadi hepatitis kronik, SH dan KHP.16
Kemungkinan terjadinya infeksi VHB kronik setelah infeksi
VHB akut bervariasi tergantung umur individu waktu terjadinya infeksi,
di mana infeksi pada bayi akan mengakibatkan 90% bayi akan
mengalami infeksi VHB kronik sedangkan infeksi pada orang dewasa
didahului oleh infeksi VHB akut dengan gejala yang biasanya jelas dan
terjadi infeksi VHB akut hanya sebesar 1-2%.15
Kerusakan hati yang ditimbulkan oleh infeksi VHB kronik
bervariasi mulai dari tidak terjadi kerusakan, asymptomatic carrier
(pengidap sehat VHB), kerusakan ringan pada hepatitis kronik persisten
dan kerusakan berat pada hepatitis kronik aktif.15
Gejala klinik infeksi VHB kronik sangat bervariasi dari tanpa
gejala sampai infeksi berat bahkan kegagalan fungsi hati yang
menyebabkan kematian. Gejala klinik dan hasil laboratorium tergantung
dari perjalanan dari infeksi akut menjadi infeksi VHB kronik. Badan
terasa lelah merupakan keluhan umum dan ikterus yang menetap atau
hilang timbul merupakan gamabaran umum pada kasus yang lanjut.
Ikterus yang hilang timbul dan makin keras, munculnya kembali
malaise dan ada nafsu makan di samping rasa lelah yang makin
meningkat seperti halnya pada infeksi VHB akut menunjukkan adanya
reaktivasi yang berhubungan dengan berlanjutnya kerusakan sel hati.
Komplikasi berupa sirosis hati terjadi pada fase akhir dari hepatitis
kronik aktif.15
Hasil pemeriksaan laboratorium infeksi VHB kronik tidak dapat
secara baik membedakan histologik hepatitis ringan dan berat. Seperti
halnya pada infeksi VHB akut, serum Glutamic Pyruvic Transaminase
atau alanine aminotranferase (SGPT = ALT) meningkat lebih tinggi
daripada serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase atau aspartate
aminotransferase (SGOT – AST). Tetapi kalau sirosis hati terjadi maka
AST akan meningkat melebihi ALT.15
Kehamilan tidak akan memperberat infeksi virus, akan tetapi
jika terjadi infeksi akut bisa mengakibatkan hepatitis fulminan yang
dapat menimbulkan mortalitas tinggi pada ibu dan bayi. Jika penularan
virus hepatitis B dapat dicegah berarti mencegah terjadinya kanker hati
secara primer yang dipengaruhi titer DNA virus hepatitis B tinggi pada
ibu (semakin tinggi kemungkinan bayi akan tertular). Infeksi akut
terjadi pada kehamilan trisemester ketiga, persalinan lama dan mutasi
virus hepatitis B.18

2.2.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarakan anamnesis, pemeriksaan fisik
yang sesuai dengan manifestasi klnis diatas dan pemeriksaan penunjang
seperti:
Didapatkan kelainan test faal hepar, bilirubin, SGOT, SGPT dan
alkalinfosfatase/ bilirubin urine (+), protombin time memanjang, USG hepar
didapatkan pembesaran dan USG Janin normal.17
Sementara itu, Tes laboratorium petanda serologik VHB yang dipakai
untuk menegakkan diagnosis adalah:15
1. HbsAg (antigen permukaan virus hepatitis B)
Positifnya HBsAg dalam darah seorang individu menunjukkan
individu tersebut menderita infeksi VHB. Pada proses penyembuhan
HBsAg menjadi negatif dan kalau sampai 6 bulan setelah terjadinya
infeksi HBsAg tetap positif, keadaan ini menunjukkan telah terjadinya
infeksi VHB kronik. Metode yang paling peka dan spesifik untuk
deteksi HBsAg adalah RIA (Radio Immuno Assay) diikuti oleh ELISA
(Enzyme Linked Sorbent Assay) dan kemudian RPHA (Reserved
Passive Hemaglutination Assay). Untuk pemeriksaan semi kuantitatif
yang paling praktis adalah RPHA karena tidak diperlukan pengenceran
serum secara seri.

2. Anti-HBs (antibodi terhadap HBsAg)


Anti-HBs merupakan suatu antibodi protektif yang timbul setelah
kesembuhan infeksi VHB atau setelah dilakukan vaksinasi. Setelah fase
penyembuhan dari infeksi VHB, anti-HBs dan anti-HBc positif,
sedangkan setelah vaksinasi yang positif hanya anti-HBs. Menurut
Deinhardt danGust (1982), jarak antara hilangnya HBsAg sampai
munculnya anti-HBs berkisar antara beberapa bulan sampai satu tahun.
3. Anti-HBc (antibodi terhadap antigen inti hepatitis B)
HBcAg tidak terdapat dalam darah, yang ada dalam darah adalah
antibodi terhadap HBc atau anti-HBc. Setelah terjadi infeksi VHB,
Anti–HBc akan muncul setelah munculnya HBsAg, sebelum timbul
gejala klinik atau kenaikan ALT. Yang mula-mula timbul adalah IgM
anti-HBc dan kemudian IgG anti-HBc. IgM anti-HBc dapat tetap positif
dalam titer tinggi selama 6 bulan sampai 1 tahun.
4. HBeAg
HBeAg didapatkan di dalam nukleokapsid VHB dan mempunyai
struktur yang hampir sama dengan HBcAg, hanya HBeAg dapat larut
dalam air sehingga dapat larut dalam air sehingga dapat dideteksi dalam
darah. Secara tidak langsung HBeAg menunjukkan adanya replikasi
VHB serta tingkat infektifitas yang tinggi. Serum yang HBeAg positif
biasanya menunjukkan titer HBsAg yang tinggi dan adanya DNA-
VHB.
5. Anti-HBe
Pada fase non-replikatif di dalam darah tidak didapatkan partikel
Dane, karena itu HBeAg negatif. Dalam keadaan itu umumnya anti-
HBe akan menjadi positif, dengan demikian anti-HBe yang positif ini
menunjukkan bahwa penderita tidak infeksius lagi. Pemeriksaan
HBeAG dan anti-HBe sering dipakai untuk menilai replika VHB.
HBeAg positif menunjukkan bahwa VHB sedang dalam fase replika,
sedangkan kalau anti-HBe positif menunjukkan VHB dalam fase non-
replikatif. Pemeriksaan dilakukan dengan metode yang sama dengan
pemeriksaan HBeAG yaitu dengan ELISA, RIA atau RPHA.
6. DNA-VHB
Pada hepatitis B akut, DNA-VHB hanya positif dalam darah
selama beberapa hari saja. Hilangnya DNA-VHB pada fase akut
menunjukkan bahwa fase penyembuhan sedang berlangsung.
Pemeriksaan DNA-VHB dipakai untuk memastikan apakah masih ada
replika VHB atau tidak, karena dapat menentukan adanya VHB
meskipun dalam jumlah yang kecil.

2.2.8 Pencegahan
Pencegahan penularan VHB dapat dilakukan dengan melakukan
aktifitas seksual yang aman, tidak menggunakan bersama obat-obatan
yang mempergunakan alat seperti jarum suntik, tidak memakai bersama
alat-alat yang bisa terkontaminasi darah, memakai pengaman waktu
kerja kontak dengan darah, dan melakukan vaksinasi untuk mencegah
penularan.15
Salah satu cara yang paling tepat untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas adalah pencegahan infeksi VHB dengan vaksinasi hepatitis
B, karena belum ada pengobatan yang efektif untuk penyakit hati
kronik dan KHP. Ibu dengan HBeAg positif sangat infeksius sehingga
90% bayi yang lahir dari ibu ini akan tertular pada saat atau tidak begitu
lama setelah persalinan, dengan risiko terjadinya pengidap kronik. 15
a. Imunisasi Hepatitis B
1. Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif dilakukan dengan menyuntikkan vaksin HB yang
dibuat dari partikel HBsAg, untuk merangsang pembentukan
atau timbulnya anti-HBs. Antibodi yang timbul setelah
pemberian vaksin memerlukan waktu, karena itu pada post
eksposure vaccination vaksin harus diberikan dalam waktu tidak
lebih dari 24 jam setelah melahirkan. Vasin HB bisa berupa
vaksin plasma yang berasal dari plasma pengidap kronik VHB
atau berupa vaksin HB rekombinan yang dibuat secara rekayasa
genetik. HB vaksin imunologik pada bayi dan pemberian dosis
dewasa pada bayi yang lahir dari ibu dengan HBeAg negatif
memberikan proteksi sebesar 90%, jika bayi lahir dari ibu
dengan HBsAg positif hanya sebesar 70-75%. Dan untuk
mencapai proteksi 90% perlu diberikan satu dosis HBIG segera
setelah lahir.15

2. Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan suntikan
Hepatitis B Immune Globulin (HBIG), yang merupakan sediaan
anti-HBs dalam titer tinggi. Keuntungan dari pemberian HBIG
segera setelah persalinan ialah dapat mencegah sebagian besar
penularan VHB vertikal yang sebagian besar terjadi pada saat
persalinan. Tetapi pemberian HBIG tanpa vaksin akan
menyebabkan bayi masih mudah terinfeksi VHB setelah HBIG
hilang dalam darah, dan infeksi VHB akan terjadi setelah bayi
berumur 6 bulan.15

3. Imunisasi Pasif Aktif


Pada imunisasi pasif aktif, selain diberikan suntikan HBIG juga
diberikan vaksin. Imunisasi aktif pasif umumnya dipakai untuk
pencegahan pasca paparan atau past exposure prophylaxis
dimana imunisasi dilakukan setelah terjadi pemaparan terhadap
infeksi VHB pada bayi yang lahir dari ibu dengan HBeAg
positif. Dalam pencegahan penularan vertikal HBIG disuntikkan
segera setelah lahir disusul dengan pemberian vaksin HB akan
memberikan efektifitas yang tinggi), dan menurut WHO (1991)
dapat memberikan proteksi sampai 95%.15

Pemberian imunisasi Hepatitis B berdasarkan status HbsAg ibu


pada saat melahirkan adalah:18
1. Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HbsAg nya
mendapatkan 5 mcg (0,5 ml) vaksin rekombinan atau 10 mcg (0,5
ml) vaksin asal plasma dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosis
kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6
bulan. Kalau kemudian diketahui ibu mengidap HbsAg positif maka
segera berikan 0,5 ml HBIg (sebelum anak berusia satu minggu).
2. Bayi yang lahir dari ibu HbsAg positif mendapatkan 0,5 ml HBIg
dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 5 mcg (0,5 ml) vaksin
rekombinan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis
ketiga pada umur 6 bulan.
3. Bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg negatif diberi dosis minimal
2,5 mcg (0,25 ml) vaksin rekombinan, sedangkan kalau digunakan
vaksin berasal dari plasma, diberikan dosis 10 mcg (0,5 ml)
intramuskular pada saat lahir sampai usia 2 bulan. Dosis kedua
diberikan pada umur 1-4 bulan, sedangkan dosis ketiga pada umur 6-
18 bulan.
4. Ulangan imunisasi Hepatitis B diberikan pada umur 10-12 Tahun.

2.2.8 Tatalaksana
Semua penderita hepatitis dirawat untuk evaluasi penyakit dan
pengobatannya. Pengobatan medik bertujuan untuk memperbaiki
keadaan umum, meningkatkan ketahanan sel hepar dan mencegah
berlanjutnya kerusakan sel akibat virus. Mengurangi bebankerja sel
hepar.
1. Cukupkan kebutuhan cairan dan elektrolit, kalori dan protein dengan
infus dan diet.
2. Batasi zat lemak
3. Istirahat baring total
4. Hindarkan obat hepatotoksik
5. Kortikosteroid, antivirus
6. Enzim pencernaan/ hepatoprotektor
7. Roborantia18
Pada tatalaksana tidak ada yang membedakan prinsip terhadap

hepatitis akut pada kehamilan dengan tanpa kehamilan. Istirahat yang

cukup dan terapi simtomatik tetap menjadi dasarnya. Terminasi

kehamilan hanya dilakukan atas indikasi obstetrik. Aspek yang perlu

ditimbangkan ialah tatalaksana terkait dengan kemungkinan terjadinya

transmisi vertikal virus penyebabnya, karena hal ini dapat berpengaruh

pada morbiditas dan mortalitas anak di hari kehamilan.18

Menurut American College of Gastroenterology (ACG) dan


American Association for the Study of Liver Disease (AASLD) sangat
merekomendasikan inisiasi antivirus pada pasien dengan viremia yang
tinggi pada 28-32 mingguke hamilan untuk mengurangi MTCT.
Tenofovir dan telbivudin tetap menjadi terapi lini pertama. Selain itu,
dapat juga diberikan lamivudin kepada ibu sebelum melahirkan (100
mg/hari dalam trisemester ketiga).18
Sebuah percobaan prospektif baru-baru ini melihat tingkat
penularan perinatal pada ibu dengan viremik yang tinggi diberikan
telbivudin 600 mg/hari yang dimulai pada 20-32 minggu kehamilan,
dibandingkan denganyang tidak diberikan perawatan. Hasilnya terdapat
penurunan yang signifikan yang berarti bahwa viral load dari kelompok
yang mendapatkan pengobatan sebelum melahirkan, tidak ada transmisi
janin yang terdeteksi, sehingga menunjukkan suatu keberhasilan yang
sama untuk telbivudin dalam pencegahan MTCT.18
Persalinan pada ibu hamil dengan titer HBV tinggi (3,5 pg /mL)
atau HBeAg positif lebih baik SC pada persalinan yang lebih dari 14
jam. Pada infeksi akut persalinan pervaginam usahakan dengan trauma
sekecil mungkin dan rawat bersama dengan Ahli Penyakit Dalam.
Tindakan SC lebih efektif dilakukansebelum ketuban pecah. Pan et
al. menganalisis data dari 1.409 bayi yang lahir melalui persalinan
pervaginam, seksio sesaria elektif atau operasi caesar darurat untuk ibu
dengan HBsAg positif. Infeksi HBV yang ditularkan pada bayi yang
lahir dengan operasi caesar elektif memiliki persentase yang lebih kecil
(1,4%), dibandingkan dengan persalinan pervaginam (3,4%) atau
operasi caesar darurat (4,2%).18
Operasi caesar darurat tidak berpengaruh oleh penularan vertikal
dibandingkan dengan persalinan pervaginam, sedangkan bayi yang lahir
dengan operasi caesar elektif memiliki tingkat signifikan lebih rendah
dari penularan vertikal dari mereka yang lahir dengan operasi caesar
non-elektif. Infeksi akut virus hepatitis B pada ibu hamil tidak dikaitkan
dengan peningkatan mortalitas dan teratogensitas. Infeksi dapat dicegah
dengan vaksinasi dan bagi yang diduga telah terpapar dianjurkan untuk
juga diberikan imunoglobulin (HBIG).18
2.2.9 Prognosis
Hepatitis yang terjadi pada kehamilan triwulan I dan II prognosis
baik, sedangkan pada triwulan III dengan angka kematian maternal
yang tinggi.11 Dilaporkan 10-20% ibu hamil dengan HBsAg positif yang
tidak mendapatkan imunoprofilaksis menularkan virus pada
neonatusnya Dan ± 90% wanita hamil dengan seropositif untuk HBsAg
dan HBeAg menularkan virus secara vertikel kepada janinnya dengan
insiden ± 10% pada trimester I dan 80-90% pada trimester III. Adapun
faktor predisposisi terjadinya transmisi vertikal adalah titer DNA VHB
yang tinggi, terjadinya infeksi akut pada trimester III, dan ada partus
memanjang yaitu lebih dari 9 jam.13
Infeksi VHB tidak menunjukkan efek teratogenik tapi
mengakibatkan insiden Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan
prematuritas yang lebih tinggi diantara ibu hamil yang terkena infeksi
akut selama kehamilan. Dalam suatu studi pada infeksi hepatitis akut
pada ibu hamil (tipe B atau non B) menunjukkan tidak ada pengaruh
terhadap kejadian malformasi kongenital, lahir mati atau stillbirth,
abortus, ataupun malnutrisi intrauterine. Pada wanita dengan karier
VHB tidak akan mempengaruhi janinnya, tapi bayi dapat terinfeksi
pada saat persalinan (baik pervaginam maupun perabdominan) atau
melalui ASI atau kontak dengan karier pada tahun pertama dan kedua
kehidupannya.Pada bayi yang tidak divaksinasi dengan ibu karier
mempunyai kesempatan sampai 40% terinfeksi VHB selama 18 bulan
pertama kehidupannya dan sampai 40% menjadi karier jangka panjang
dengan resiko sirosis dan kanker hepar dikemudian harinya.19

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Pasien
Nama : Ny. OK
TTL : Talang Pangeran, 16 Oktober 1995
Umur : 24 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Alamat : Jl. Wahitam, Lorong Famili 2, Pakjo, Kota Palembang,
Sumatera Selatan
No. RM : 58.93.37
MRS : 01 Maret 2020, Pukul 18.30 WIB

Suami Pasien
Nama : Riki
Umur : 22 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Alamat : Jl. Wahitam, Lorong Famili 2, Pakjo, Kota Palembang,
Sumatera Selatan

3.2. Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 01 Maret 2020
A. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan perdarahan pervaginam.

B. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke PONEK RSUD Palembang BARI dengan
keluhan mengalami perdarahan pervaginam sejak 2 hari yang lalu SMRS.
Keluhan perdarahan yang dialami awalnya hanya timbul flek dan
semakin sering semakin banyak, sebanyak 4 kali ganti pembalut.
Keluhan disertai nyeri perut bagian bawah dan mengaku keluar gumpalan
darah dari kemaluan. Pasien mengaku hamil 12 minggu dan ini
merupakan kehamilan yang pertama.
Pasien menyangkal adanya riwayat demam, dan tidak memiliki
riwayat keputihan. Pasien menyangkal adanya riwayat trauma seperti
terjatuh sebelumnya dan pasien mengaku sering bekerja selama dua
minggu terakhir. Riwayat diurut sebelumnya disangkal. Riwayat coitus
sebelum perdarahan tidak ada.

C. Riwayat Menstruasi
Usia Menarke : 12 tahun
Sikluas Haid : 28 hari
Lama Haid : 6-7 hari, 2 kali ganti pembalut/hari
Keluhan Saat Haid : Tidak ada
HPHT : 08 Desember 2019

D. Riwayat Perkawinan
Status Pernikahan : 1x
Lama Menikah : 2 tahun
Usia Menikah : 22 tahun

E. Riwayat Kontrasepsi
Pasien belum pernah menggunakan kontrasepsi apapun.

F. Riwayat ANC
2 kali di Puskesmas

G. Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Tidak ada.

H. Riwayat Penyakit Terdahulu


Ibu mengaku tidak memiliki penyakit hipertensi dan menyangkal
memiliki riwayat penyakit asma, kencing manis, penyakit paru, alergi
obat.

I. Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu mengaku tidak memiliki penyakit hipertensi, asma, kencing manis,
penyakit paru, alergi obat pada keluarganya.

3.3. Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 61 kg
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 36,5°C

Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normocephali
Mata : Conjungtiva anemi (-/-), sklera ikterik (-/-) edema
periorbital (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar thyroid (-)
Thorax : Inspeksi : simetris, retraksi sela iga (-)
Palpasi : stem fremitus (+/+) sama kanan dan kiri
Perkusi: sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) ronki (-/-) wheezing (-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I/II (+/+) normal, regular.
Murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Inspeksi: cembung, skar operasi (-), striae gravidarum
(-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : hepar lien tidak teraba pembesaran
Genitalia : discharge (-)
Ekstremitas : akral dingin (-/-) edema (-/-)

B. Status Obstetrikus
Pemeriksaan Luar
 Inspeksi : Perut tampak sedikit cembung, striae gravidarum
(-), luka bekas SC (-)
 Palpasi : TFU teraba 2 jari dibawah pusat, nyeri tekan pada
perut bawah (+)
Pemeriksaan Dalam
 Inspekulo: Warna portio livide, OUE terbuka dan terdapat
beberapa jaringan dan darah yang keluar dari OUE, tidak
ditemukan erosi, laserasi atau polip serviks, fluksus (+) darah.

3.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Rutin (01 Maret 2020 pukul 19.33 WIB)
Hematologi Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12,8 12-14 g/dl
Eritrosit 4,17 4-4,5 10*6/uL
Leukosit 15,8 5.000 – 10.000/ul
Trombosit 378.000 150.000 – 400.000/ul
Hematokrit 37 37-43%
Waktu Perdarahan 3
Waktu Pembekuan 8 10-15 s
Hitung Jenis
Basofil 0 0 – 1%
Eosinofil 1 1 – 3%
Neutrofil Batang 2 2 – 6%
Neutrofil Segmen 72 50 – 70%
Limfosit 19 20 – 40%
Monosit 6 2 – 8%
Golongan Darah1,2
ABO B
Rhesus +

Pemeriksaan Serologi/Imunologi
HbsAG Positif Negatif

3.5 Diagnosis Kerja


G1P0A0 hamil 12 minggu dengan Abortus Inkompletus+Hepatitis B.

3.6 Penatalaksanaan
Observasi keadaan umum, tanda vital dan perdarahan
IVFD Ringer Laktat gtt 20x/menit
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV
Rencana Kuretase 02 Maret 2020 pukul 10.00 WIB

3.7 Follow Up
Hari/Tanggal Follow Up
Senin, 02 Maret 2020 S/ (-)
Pukul 11.00 WIB
O/ KU: tampak sakit ringan
Sensorium: compos mentis
TD: 110/70 mmHg
N: 80 x/menit
RR: 21x/menit
T: 36,5oC

A/ P0A1 Post Kuretase a/i Abortus Inkompletus +


Hepatitis B

P/ Observasi KU, TTV, perdarahan


IVFD Ringer Laktat gtt XX x/menit
Cefadroxil 2x500 gr P.O
Neurodex 2 x 1 tab P.O
Asam mefenamat 3 x 500 mg

Selasa, 03 Maret S/ (-)


2020 Pukul 08.00
WIB O/ KU: tampak sakit ringan
Sensorium: compos mentis
TD: 100/70 mmHg
N: 84x/menit
RR: 20x/menit
T: 36,5oC

A/ P0A1 Post Kuretase a/i Abortus Inkompletus +


Hepatitis B

P/ Observasi KU, TTV, perdarahan


IVFD RL gtt XX x/menit
Cefadroxil 2 x 500 gr P.O
Neurodex 2 x 1 tab P.O
Asam mefenamat 3 x 500 mg

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Apakah penegakan diagnosis pada pasien ini sudah benar?


Pada anamnesis ditemukan keluhan pasien yang mengalami
perdarahan yang perdarahan pervaginam sejak 2 hari yang lalu SMRS.
Keluhan perdarahan yang dialami awalnya hanya timbul flek dan semakin
sering semakin banyak, sebanyak 4 kali ganti pembalut. Keluhan disertai
nyeri perut bagian bawah dan mengaku keluar gumpalan darah dari
kemaluan. Pasien mengaku hamil 12 minggu dan ini merupakan kehamilan
yang pertama.
Pasien menyangkal adanya riwayat demam, dan tidak memiliki
riwayat keputihan. Pasien menyangkal adanya riwayat trauma seperti
terjatuh sebelumnya dan pasien mengaku sering bekerja selama dua minggu
terakhir. Riwayat diurut sebelumnya disangkal. Riwayat coitus sebelum
perdarahan tidak ada.
Pada pemeriksaan luar didapatkan TFU teraba 2 jari dibawah pusat
dan nyeri tekan pada perut bawah. Pada pemeriksaan inspekulo ditemukan
warna portio livide, OUE terbuka dan terdapat beberapa jaringan dan darah
yang keluar dari OUE, tidak ditemukan erosi, laserasi atau polip serviks,
fluksus (+) darah.
Dari anamnesis dan pemeriksaan diatas menunjukkan tanda dan gejala
terjadinya abortus. Secara teori, abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi
(pertemuan sel telur dan sel sperma) pada usia kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram, sebelum janin dapat hidup
diluar kandungan.1
Kehamilan dibawah 20 minggu, perdarahan terus menerus, nyeri perut
bagian bawah, dan OUE terbuka adalah tanda dari abortus inkompletus.13
Dari pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil HbsAG positif,
menurut teori positifnya HBsAg dalam darah seorang individu
menunjukkan individu tersebut menderita infeksi VHB.15
Saat dilakukan anamnesis, Ny. OK tidak merasakan gejala dari
manifestasi klinis hepatitis B pada teori seperti, anoreksia, mual muntah,
febris, rasa bengkak dan nyeri perut kanan atas, mata dan buang air kecil
kuning, sclera ikterik, mammae hiperpigmentasi.17
Ny. OK mengaku bahwa mengetahui menderita Hepatitis B ini saat
dilakukannya pemeriksaan laboratorium yang dilakukan, hal ini sesuai
dengan teori yang mengatakan sebagian individu yang mengalami Hepatitis
B tidak akan memberikan gejala hingga stadium akhir. Infeksi kronik
Hepatitis B kadang kala diketahui secara tidak sengaja saat pasien hamil
tersebut memeriksakan kehamilannya.20 Sehingga dapat ditegakkan
diagnosis bahwa Ny. OK mengalami hepatitis B.
Penegakan diagnosis awal pada kasus ini adalah G1P0A0 hamil 12
minggu dengan abortus inkompletus + Hepatitis B, sehingga berdasarkan
hal tersebut, maka penegakan diagnosis sudah tepat.

4.2 Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah adekuat?


Pada kasus Ny. OK dilakukan observasi perdarahan dan tanda
vitalnya, serta diberikan tatalaksana IVFD Ringer Laktat gtt 20x/m,
ceftriaxone 2 x 1 gr IV, serta dilakukan tindakan kuretase untuk
mengeluarkan sisa janin di dalam rahim.
Secara teori, penatalaksanaan abortus inkompletus meliputi
penatalaksanaan keadaan umum dengan melakukan penilaian perdarahan
dan tanda vital, memasang IV line RL untuk menghindari terjadinya syok
pasca perdarahan.14
Selain itu, pemberian antibiotik seperti ceftriaxone dianjurkan untuk
mencegah komplikasi infeksi. Tindakan kuretase perlu dilakukan pada kasus
abortus inkompletus untuk mengevakuasi sisa hasil konsepsi yang tertinggal
di dalam uterus.14
Post kuretase, dilakukan observasi keadaan umum, tanda vital, dan
monitoring perdarahan. Pada pasien dilanjutkan pula terapi cairan, yaitu
IVFD Ringer Laktat gtt 20x/menit. Diberikan juga antibiotik Cefadroxil 2 x
500 mg sebagai antibiotik. Diberikan pula asam mefenamat 3 x 500 mg
sebagai analgesik. Dan juga diberikan neurodex 2 x 1 tab sebagai vitamin
untuk mencegah terjadinya anemia.
Pada pemeriksaan penunjang (laboratorium) yang dilakukan pertama
kali pada tanggal 01 Maret 2020 pukul 19.33 WIB, kadar Hb pasien 12,8
g/dL sehingga tidak mengindikasikan untuk diberikan transfusi darah.
Dari terapi yang diberikan di atas telah sesuai dan adekuat sebagai
penatalaksanaan dari Abortus Inkompletus.
BAB V
SIMPULAN & SARAN

5.1 Simpulan
1. Abortus inkompletus adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram.
2. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang penulisan diagnosis pada kasus sudah tepat yaitu G1P0A0
hamil 12 minggu dengan Abortus Inkompletus + Hepatitis B.
3. Tatalaksana kasus abortus inkompletus cukup tepat, dimana pasien
diterapi dengan IVFD Ringer Laktat gtt 20x/menit, ceftriaxone 2 x 1
gr IV, dan dilanjutkan tindakan kuretase.

5.1 Saran
Berdasarkan uraian diatas, maka saran yang dapat diberikan adalah:
1. Dalam menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan kasus abortus
inkompletus harus tepat dan cepat sehingga kondisi ibu dapat di
tatalaksana dengan baik dan tidak timbul komplikasi yang tidak
diinginkan.
2. Sebaiknya pasien berkonsultasi dengan dokter Sp.OG sehingga tidak
terjadi abortus berulang pada kehamilan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo Sarwono. Abortus. Ilmu Kebidanan Edisi IV. Jakarta: FK UI.


2010.
2. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan Edisi ke-4.
Jakarta: PT Bina Pustaka. 2011.
3. Cunningham FG, Gant FN, Leveno KJ, dkk. Obstetri Williams Edisi 21.
Jakarta: EGC. 2005
4. Hadijanto B. Perdarahan pada Kehamilan Muda. Saifuddin AB, Rachimhadhi
T, Wiknjosastro GH (editor), In: Ilmu Kebidanan, Edisi Keempat. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. 2010.
5. Hanretty KP. Vaginal Bleeding in Pregnancy. Smith H (editor), In: Obstetrics
Illustrated, 6th Edition. London: Churchill-Livingstone. 2003.
6. Evans, Arthur T. Manual of Obstetric 7th ed. Lippincot Williams and
Willkins. 2007.
7. Norman F. Gant MD, Kenneth J., Md Leveno, Larry C., Iii, Md Gilstrap, John
C., Md Hauth, Katharine D., Md Wenstrom, John C. Hauth, J. Whitridge
Obstetrics Williams (Editor), Steven L. Clark, Katharine D. Wenstrom.
Williams Obstetrics 23rd Ed: McGraw-Hill Professional
8. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Penyakit Hepatitis B di Indonesia Pada
Tahun 2017. Jakarta: Infodatin Kemenkes RI. 2018.
9. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis Hepatitis. Jakarta: Infodatin
Kemenkes RI. 2014.
10. The Allan Guttmacher Institute. Sharing responsibility: women, society and
abortion worldwide. New York, The Allan Guttmacher Institute. 1999.
11. POGI. Standar Pelayanan Medik. Jakarta: POGI. 2006.
12. Greenwold N, Jauniaux E. Collection of villous tissue under ultrasound
guidance to improve the cytogenetic study of early pregnancy failure. Human
Reproduction. 2002. 17: 452–56.
13. World Health Organization. Safe Abortion: Technical and Policy Guidance
for Health Systems. World Health Organization. 2003.
14. Hatcher, Robert A. Trussell, James. Nelson, Anita L. Contraceptice
Technology. Ardent Media. 2008.
15. Surya, Mulyana R dan Widiyanti E. Kehamilan dengan Hepatitis B. Jakarta:
Sagung Seto. 2016.
16. Kasper, Fauci et all. Harrison’s Principle of Internal medicine. 19th Edition.
USA: McGraw-Hill Education. 2012.
17. PROTAP UNSRI
18. Pusparini AD dan Ayu PR. Tatalakasana Persalinan pada Kehamilan dengan
Hepatitis B. Lampung: Universita Lampung. 2015.
19. Lestari, RI. Pengaruh Hepatitis Terhadap Kehamilan. Lampung: UNILA. [J
Agromed Unila 2015; 2(2):77-80].
20. Bohidir NP. Hepatitis B Virus Infection in Pregnancy. Hepatitis Annual
Journal. 2012 : 199-209.

Anda mungkin juga menyukai