Anda di halaman 1dari 44

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian terdahulu yang serupa dengan topik penelitian

skripsi ini

Pertama, Jurnal yang ditulis oleh Hengki Fergian yang berjudul

“EVALUASI KEBERADAAN RAMBU DAN MARKA JALAN DI KOTA

PONTIANAK” yang didapatkan di Jurnal Teknik Sipil Indonesia,

Universitas Tanjungpura Pontianak Tahun 2014.

Temuan penelitian ini bahwa gambaran pembuatan rambu dan marka jalan

yang akan datang berupa rekomendasi misalnya penempatan rambu peringatan

tikungan beruntun pada suatu ruas jalan yang terdapat tikungan beruntun dengan

jarak pandang kemudi terbatas serta pemasangan dan penempatan marka 14 jalan

baik marka membujur garis solid maupun garis putus-putus pada jalan yang belum

terdapat marka jalan terutama pada daerah yang memiliki keterbatasan jarak

pandang seperti tikungan sehingga diperlukan pemarkaan marka membujur garis

solid dan pengemudi tidak di ijinkan untuk mendahului kendaraan lain pada bagian

jalan ini sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Penelitian ini tidak membahas spesifik mengenai evaluasi pembuatan marka

jalan zebra cross saja, tetapi semua marka jalan dan juga rambu jalan. Penelitian ini

hanya membahas dari segi perspektif ilmu teknik sipil saja dan tidak melengkapi

dengan dimensi hukum, sehingga penelitian Hengki Fergian belum menyentuh

persoalan implementasi Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri


Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka

Jalan.

Kedua, Jurnal yang ditulis oleh Hengki Fergian yang berjudul “sama

“ANALISIS SARANA PENYEBERANGAN DAN PERILAKU PEJALAN

KAKI MENYEBERANG DI RUAS JALAN PROF. SUDARTO, SH

KECAMATAN BANYUMANIK KOTA SEMARANG” yang diterbitkan di

dalam bentuk jurnal teknik Neo Teknika, Universitas Pandanaran Semarang

Tahun 2015.

Temuan penelitian ini bahwa Permasalahan yang terdapat dalam penelitian

terdahulu diantaranya gambaran sarana penyeberangan dan perilaku pejalan

kaki menyeberang. Hasil analisis yang telah dilakukan untuk mengkaji kebutuhan

fasilitas penyeberangan dan perilaku pejalan kaki menyeberang diruas jalan Prof.

Sudarto, SH dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : volume

penyeberang jalan (P) dan volume kendaraan (V) pada lokasi penelitian diperoleh

hasil pengamatan yang kesimpulannya ialah untuk menunjang keselamatan para

pejalan kaki dan kelancaran arus lalu lintas direkomendasikan dengan

menggunakan fasilitas penyeberangan Pelican dengan Pelindung . Jika ditinjau dari

Derajat Kejenuhan (DS) untuk layak atau tidaknya penggunaan jembatan

penyeberangan dilokasi jalan Prof. Sudarto, SH pada : a. Hari Sabtu = 0.16 b.Hari

Rabu = 0.17 Ini berarti DS pada lokasi masih dibawah 0.75 sehingga untuk

keselamatan dan kelancaran lalu lintas direkomendasikan dengan menggunakan

fasilitas penyeberangan Pelican dengan pelindung. Pada lokasi pengamatan

mempunyai karakteristik jika ditinjau dari analisis regresi dan korelasi dimana

menunjukkan bahwa lokasi penyeberangan tidak terpengaruh oleh volume lalu

lintas yaitu dengan nilai koefisien korelasi (r) pada analisis regresi linier hari sabtu
adalah 0.071dan koefisien determinasai (r2) adalah 0.051, dan nilai koefisien

korelasi (r) hari rabu adalah 0.002 dan koefisien determinasi (r2) adalah 0.015

dimana dari hasil analisa pada masingmasing hari penelitian masih relatif rendah.

(UU Republik Indonesia No.22 Tahun 2009, Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan)

Penelitian ini sama sekali tidak mengungkapkan dimensi hukum dan tidak

membahas implementasi Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka

Jalan.

Ketiga , Skripsi yang ditulis oleh Adi Haryadi yang berjudul

“HARMONISASI RAMBU DAN MARKA TERHADAP GEOMETRIK

JALAN PADA JALAN LUAR KOTA” yang dalam bentuk Skripsi Teknik

Sipil Indonesia, Universitas Indonesia . Temuan penelitian ini bahwa

Permasalahan yang terdapat dalam penelitian terdahulu Harmonisasi rambu

dan marka dengan geometric jalan adalah suatu bentuk arahan yang positif

terhadap pengemudi yang melewati jalan antar kota pada ruas jalan Sungai

Pasir- Sekar Rambut Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan dan ruas

jalan Poros – Singkawang Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat.

Kecelakaan yang terjadi di jalan antar kota disebabkan banyak factor. Maka

penempatan dan pemasangan rambu dan marka yang tepat meminimalkan

potensi kecelakaan yang terjadi Berdasarkan analisa hasil yang dilaksanakan

sesuai teori dan peraturan Keputusan Menteri no. 61 Tahun 1993 , maka

dapat diajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut:


Penempatan rambu batas kecepatan pada bagian jalan yang mengalami

disharmonisasi kecepatan rencana 60 km/jam menjadi 40 km/jam, akibat

terdapat tikungan beruntun serta memiliki jarak pandang kemudi yang minim.

Agar rambu terbaca efektif oleh penemudi maka ramnu diletakkan 50 meter

sebelum baggan jalan berlakunya rambu tersebut yaitu pada STA 5--.276

pada segmen jalan I, ruas jalan Kalimantan Selatan.

Marka garis membujur putus-putusberwarna putih diletakkan pada centerline

untuk membagi menjadi dua jalur dan mempermudah untuk mengarahkan

lalu lintas pada ruas jalan Kalimantan Selatan tersebut. Rekomendasi tersebut

bertujuan untuk memberikan arahan dan informasi yang positif bagi

pengemudi sehingga pesan dari rambu dan marka tersampaikan dengan baik.

Ruang lingkup Penelitian ini terbatas hanya [ada harmonisasi anatara

rambu dan marka dengan geometric jalan (penempatan marka dan

rambu jalan yang ideal sesuai jarak pandak pengemudi dan nilai nilai

keselamatan sehingga dapat menginformasikan kondisi jalan yang akan

dilalui). Data-data digunakan adalah data sekunder. Data sekunder

berupa data situasi dan kondisi jalan yang ditinjau, yaitu gambar kerja

desain geometric jalan eksisting ruas jalan di Wilayah Kota Baru,

Kalimantan Selatan dan data lapangan jalan eksisting ruas jalan Poros

Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat yang memiliki disharmonisasi

anatara alinyeen horizontal dan vertical.

Penelitian ini hanya membahas marka jalan perspektif ilmu teknik sipil dan tidak

melengkapi dengan dimensi hukum, dan tidak membahas implementasi Peraturan

Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang


Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun 2014

tentang Marka Jalan

Berdasarkan keterangan di atas, penelitian yang penulis susun memiliki kebaharuan


karena penelitian pertama sebagaimana telah disebut di atas belum membahas
pembuatan zebra cross dalam implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008
terkait Penanggulangan Kemiskinan di Kota Semarang. Peraturan Menteri
Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

2.2. Landasan Teori

.2.1. Teori Negara hukum

Istilah negara hukum dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi jika

“Negara Indonesia adalah negara hukum” yang penetapannya pada

tanggal 9 November 2001, rumusan ini juga terdapat dalam konstitusi

RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (Assidiqie, 2002:

3) Yang mana sesungguhnya konsep negara hukum tersebut ada lima

yakni “Rechtsstaat, Rule of law, Socialist Legality, Nomokrasi Islam, dan

Negara hukum (Indonesia). Dari lima istilah tersebut berkarakteristik

yang berbeda satu sama lain. (Azhari, 1992: 73-74)

Manusia di dunia ini tidak bisa berpisah dengan hukum.

Sepanjang sejarah yang ada, peran utama dari hukum adalah membuat

suasana sebisa mungkin manusia dapat merasa dilindungi, hidup

berdampingan secara damai, dan menjaga hidup berdampingan dengan

damai dan menjaga eksistensinya yang telah diakui oleh dunia.

(Baharuddin, 2010: 9)
Pemikiran negara hukum muncul di dunia Barat maupun di dunia

Timur yang berprinsip pemerintahan yang diperintah secara absolute atau

otokrasi memerintah berdasarkan kemauannya sendiri tanpa ada

pertanggungjawaban kepada agama, rakyat dan budaya (Arumanadi,

1990: 5)

Pada abad ke 17 dikemukakan beberapa pemikiran yang

bermunculan pada abad tersebut. Penggagas konsep negara hukum yang

pertama adalah Plato dan kemudian dikembangkan Aristoteles. (Schmid,

1980: 10)

Plato sebagai pemikir besar dari Negara dan hukum. Karya

ilmiahnya sangat mempunyai makna dan berkaitan dengan kenegaraan

yakni Politica (the republica); Politicos (the statement), dan Nomoi.

(Schmid, 1980: 11)

Karya ilmiah yang pertama (politea) dibuatnya ketika Negara

bersiruasi kacau dimana pemerintah sudah tidak mementingkan kembali

mengenai kesejahteraan masyarakat, kebenaran dan pula keadilan. Karya

ilmiah pertama (politea) ditulisnya pada situasi Negara sedang kacau

dimana pemerintah tidak lagi memerhatikan keadilan dan kebenaran serta

kesejahteraan masyarakat. Arisoteles berpendapat jika ingin

mewujudkan kesejahteraan di dalam masyarakat, Pemimpin sebuah

Negara haruslah Negara harus dipimpin oleh seorang philosof. Karya

ilmiah kedua berjudul politicus yang isinya antara lain tentang penekanan

pada soal ketaatan seluruh warga dan pemerintah terhadap hukum.


Gagasan Plato dalam nomoi/ kenegaraan ini dikembangkan oleh

Arisoteles. Karya ilmiahnya yang berjudul politica tetang masalah

kenegaraan yang isinya diantara lain ialah membahas tentang masalah

kenegaraan dan perbandingan konstitusi dengan 158 konstitusi di Negara

Yunani pada tahun1981 (Rapar, 1988: 10)

Menurut Aristoteles, suatu Negara yang baik ialah Negara yang

diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Beliau

mengatakan:Tiga unsur yang diterapkan oleh pemerintah terdapat tiga

unsur, diantara lain sebagai berikut: Pemerintahan yang dilaksanakan

menurut hukum yang berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang

berlaku, pemerintahan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum, dan

pemerintahan yang berdasarkan konstitusi atau dengan kata lain

pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan atas kehendak rakyat.

Ketiga unsur tersebut sesungguhnya di temukan di semua negara hukum.

Ditinjau dari gagasan Plato pelakasanaan pemerintahan, kita Dapat

melihat eksitensi muncul berdasarkan kesepakatan masyarakat bukanlah

dari paksaaan penguasa. Cita cita dari negara hukum ini dilupakan orang,

baru pada awal abad ke 17 timbul kembali di Barat. Pemikiran negara

hukum ialah reaksi dari pemikiran kekuasaan yang absolute dan yang

paling terutama adalah adanya kekuasaan raja-raja yang semena-mena.

Jadi kesimpulannya sesuai situasi dan kondisi sewaktu Plato dan

Aristoteles mengemukakann cita negara hukumnya. Sementara istilah

negara hukum baru dikenal abad ke-19. Terdapat dua kalimat penting

yang perlu penulis catat yang bersumber dari penjelesan Undang-Undang


Dasar 1945 (UUD 1945). Kalimat itu ialah: Indonesia adalah Negara

yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)” dan Negara Indonesia

berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)”. Tidak berdasarkan atas kekuasaan

belaka (maachtsstaat)”. (Rasyid, 1983: 15)

Padmo Wahyono dan Oemar Seno Adji Mereka sangat berjasa

dengan pemikiran pemikiran yang merupakan elaborasi dari segi ilmu

hukum tentang negara hukum yang bagaimana, predikat negara hukum apa

yang tepat dalam konteks Republik Indonesia (Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945). (Adji, 1985: 24-28) .

Pendapat Oemar Seno Adji negara hukum Indonesia berciri khas

Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat dasar, dan sumber hukum,

negara hukum Indonesia dapat dinamakan negara hukum Pancasila

(adanya jaminan freedom of religion) Kebebasan memeluk agama di

Negara pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tidak ada lagi

tempat atheism atau propaganda anti agama di Indonesia. Berbeda dengan

Amerika serikat yang berfaham freedom of religion dalam arti positif dan

negative. Arti Kebebasan memeluk agama dapat bebas menyembah atau

tidak menyembah, memberi penegasan jika keberadaan Tuhan untuk

menyangkan, untuk percaya pada suatu agama contoh Kristen, atau agama

lain atau tidak ada, (seperti yang kita pilih) di Uni Soviet Negara komunis

memberikan jaminan constitutional kepada propaganda anti agama. Seno

Adji mengungkapkan ciri negara hukum Indonesia tidak adanya

pemisahan rigid mutlak antara agama dan negara, agama dan negara
berada dalam hubungan yang harmonis, di Amerika menganut doktrin

pemisahan agama dan gereja secara ketat.

Padmo Wahyono melihat negara hukum Pancasila, berdasarkan

kekeluargaan dalam dimana yang diutamakan adalah rakyat banyak, tetapi

harkat martabat manusia tetap dihargai. Yang terpenting adalah

kemakmuran maksyarakat bukan kemakmuran perseorangan. Negara

hukum Pancasila dipahami melalui penelaahan pengertian negara

pegertian hukum, dilihat dari sudut asas kekeluargaan (Undang-Undang

Dasar 1945 Pasal 33)

Padmi Wahyono mengemukakan hukum adakah alat atau wahana

menyelenggarakan kehidupan Negara atau ketertiban dan kesejahteraan

social.Sehingga dapat disimpulkan konsep rechtstaat dianut Indonesia

ialah konsep negara hukum Pancasila yang bercirikan terdapat hubungan

erat antara agama dan Negara, bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa,

kebebasan beragama dalam arti positif, tidak membenarkan Atheisme, dan

melarang komunisme, asas kerukunan dan kekeluargaan.Istilah negara

hukum dalam bahasa asing adalah rechtsstaat dan the rule of law. abad

XIX Istilah rechtstaat popular di Eropa ,sejak terbitnya buku Albert Venn

Dicey tahun 1885 dengan judul Introduction to the study of the law of the

constitution istilah the rule of law popular. Tumpuan dari rechtstaat ialah

hukum continental (civil law) atau modern roman law, Tumpuan dari the

rule of law ialah common Law. (Hajon, 1996: 75-76)


Pendapat M.C. Burkens mengenai Syarat dasar rechtstaat

dikemukakan yakni sebagai berikut:

1. Asas Legalitas (tindakan pemerintah harus berdasar peraturan

perundang-undangan).

2. Pembagian kekuasaan, dimana tidak diperbolehkan kekuasaan negara

hanya bertumpu pada satu tangan.

3. Hak-hak dasar (grondrechten) yakni sasaran perlindungan hukum

untuk rakyat dan memberi batasan kekuasaan dalam membentuk

Undang-Undang.

4. Pengawasan pengadilan, untuk masyarakat terdapat saluran melalui

pengadilan yang bebas menilai keabsahan tindakan pemerintah

rechtmatig heids toetsing (Burkens, 1990 :78-79)

Unsur negara hukum menurut Imanuel Kant dan F.J. Stahl yaitu

1. Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia.

2. Terselenggaranya pembagian kekuasaan untuk menyelenggarakan

hak-hak asasi manusia

3. Tindakan pemerintah berlandaskan undang-undang.

4. Tersedianya peradilan administrasi. (Kant, 1989: 151-152)

Empat unsur penting hukum menurut Sri Soemantri

1. pemerintah melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasarkan

hukum

2. Tersedianya jaminan hak hak manusia

3. Tersedianya pembagian kekuasaan Negara.


4. Tersedianya pengawasan badan pengadilan (rechterlejke controle)

(Soemantri, 1992 : 28)

Negara hukum Indonesia berasas formal yang menggunakan

hukum dasar sebagai kerangka acuan, yakni Hukum bersumber pancasila,

pokok pikiran pembukaan membentuk cita-cita hukum yang menguasai

hukum dasar tertulis dan tidak tertulis. Yang membentuk peraturan

perundang-undangan tertinggi adalah MPR bersama DPR, sehingga masih

berorientasi integral, system konstitusi sebagai dasar pemerintahan.

Kekuasaan kehakiman kekuasaan merdeka bebas pengaruh kekuasaan

pemerintah. Setiap warga Negara sama kedudukannya dalam hukum dan

pemerintahan (Soemantri, 1992: 43)

Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya Indonesia

merupakan negara hukum yang diatur dengan tegas dalam undang-undang

dasar. (Undang- Undang Dasar 1945 perubahan ketiga Pasal 1 ayat (3))

Presiden RI memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-

Undang Dasar. Artinya presiden dalam menjalankan tugasnya harus

mengikuti ketentuan-ketentuan yang sudah diterapkan dalam Undang-

Undang Dasar (Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 4 ayat (1))

Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa

jabatannya… apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum. . . ,

ketentuan ini berarti jika presiden dan wakil apabila terbukti melakukan

pelanggaran hukum dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh

MPR.( Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan ketiga Pasal 7a)


Sumpah presiden dan wakil presiden kepada Allah

subhanahuwata’ala yang berbunyi: Memegang teguh undang-undang dasar

dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturannya

dengan selurus-lurusnya artinya dalam menjalankan tugasnya presiden dan

wakil presiden dilarang menyimpang dari perundang-undangan yang

berlaku, suatu sumpah yang harus dihormati oleh presiden dan wakil

presiden dilarang menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku,

suatu sumpah yang harus dihormati oleh presiden dan wakil presiden

dalam mempertahankan negara hukum. (Undang- Undang Dasar 1945

perubahan pertama Pasal 9 ayat (1) )

Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakan hukum dan keadilan pengaruh trias politica,

artinya ketentuan ini sesuai dengan ciri ciri negara hukum (Undang-

Undang Dasar 1945 mengatur tentang perubahan ketiga Pasal 24 ayat (1))

Prinsip equality before the law yakni : “Segala warga Negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

(Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1))

Unsur-unsur negara hukum mengenai hak manusia diatur oleh

Pasal 28 A sampai Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 perubahan

kedua . Sementara itu, Negara menjamin kemerdekaan memeluk agama

masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan


seperti yang ada dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.

(Sardol, 2014: 1)

Ketentuan ciri negara hukum yakni: “Pengadilan mengadili

menurut hukum dengan tidak membeda bedakan orang.” (Undang-

Undang No.14 Tahun 1970 Pasal 5 ayat 1)

.2.2.Pengertian dan Ruang Lingkup Keberlakuan Hukum

Keberlakuan hukum atau dapat juga disebut dengan kekuatan

hukum dapat diartikan sebagai kemampuan hukum bertujuan untuk

memaksa orang agar taat hukum tersebut. (Rosdalina, 2017: 86)

Dalam mempelajari ilmu hukum didalamnya ditemukan teori

mengenai keberlakuan hukum (Zevenbergen, 1925), yang sampai kini

masih berlaku yakni keberlakuan hukum secara yuridis (apakah

pembentukannya dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis).

Keberlakuan hukum secara sosiologis (apakah masyarakat mau

menerimanya /efektif atau tidak dalam masyarakat) dan keberlakuan

hukum secara filosofis (apakah dapat dipertanggung jawabkan secara

filosofis), mengenai hal ini diperlukan ilmu filsafat hukum. (Luhulima,

2007: 8)

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menunjukan adanya hukum yang berlaku

di Indonesia dimana dalam pasal tersebut disebutkan jika negara Indonesia

adalah negara hukum. Sesuai dengan yang tertuang dalam pembukaan


Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia sebagai negara hukum memiliki

cita cita untuk dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia., mewujudkan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdalamaian abadi dan keadilan sosial pastinya tidaklah ketertiban dunia

secara global melainkan secara khusus berawal pada ketertiban internal

dari Negara (Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945)

Bruggink membagi keberlakuan kaidah hukum menjadi tiga

macam keberlakuan,yaitu : keberlakuan faktual atau empiris, keberlakuan

normatif atau formal, dan keberlakuan evaluative (Bruggink, 1999: 160)

1. Keberlakuan Faktual atau Empiris

Kaidah hukum yang berlaku secara factual atau nyata jika

masyarakat , untuk siapa kaidah tersebut berlaku mematuhi kaidah

hukum tersebut. Maka keberlakuan factual dapat ditetapkan dengan

sarana pe/nelitian empiris tentang perilaku para warga masyarakat.

Kaidah hukum dapat dikatakan mempunyai keberlakuan factual jika

kaidah tersebut dalam kenyataan sungguh sungguh dipatuhi

masyarakat dan para pejabat yang berwenang dan sungguh sungguh

diterapkan dan ditegakkan. Maka, kaidah hukum tersebut dinyatakan

efektif. Karena dapat mempengaruhi masyarakat dan para pejabat.

Kenyataan tentang terdapatnya keberlakuan faktual ini dapat diteliti


secara emprikal oleh sosiologi hukum dengan menggunakan

metode-metode yang lazim dalam ilmu-ilmu sosial. Berdasarkan

ilmu Sosiologi Hukum, maka hukum tersebut tampil sebagai ”das

Sein-Sollen”, yaitu kenyataan sosiologikal (perilaku sosial yang

benar-benar dilakukan dalam kenyataan masyarakat riil) yang

berdasarkan keharusan normatif (kaidah). Kaidah hukum yang

berlaku jika masyarakat, untuk siapa kaidah hukum tersebut

diberlakukan, menaati kaidah hukum tersebut. Maka, keberlakuan

faktual dapat ditetapkan dengan saran penelitian empiris tentang

perilaku warga masyarakat. Jika dilihat dari penelitian tersebut itu

terlihat jika warga masyarakat dipandang secara umum mempunyai

perilaku dengan mengacu kepada keseluruhan kaidah hukum, maka

terdapat keberlakuan faktual kaidah tersebut. Itulah sebabnya orang

menyebut pula keberlakuan faktual hukum sama dengan efektivitas

hukum. (Bruggink, 1990: 149)

2. Keberlakuan Normatif atau Formal

Hukum formal diketahui dan ditaati sehingga dapat berlaku secara

umum. Belum ada bentuknya, hukum baru merupakan perasaan

hukum dalam masyarakat atau baru merupakan cita-cita hukum,

maka karena belum berkekuatan mengikat. (Kusnardi, 1980: 45)

Keberlakuan normative ilmu hukum bukan merupakan ilmu empiris

(Philipus, 2005: 1) Sementara itu, obyek telaahnya mengenai

tuntutan perilaku dengan cara tertentu yang mana kepatuhannya

tidak bergantung seluruhnya kepada kehendak bebas yang


bersangkutan, melainkan kekuasaan publik dapat memaksakan

kehendaknya. (Bruggink, 1999: 160)

3. Keberlakuan Evaluatif

Yaitu jika kaidah hukum berdasarkan isinya dipandang bernilai atau

penting. Setiap individu akan merasa mempunyai kewajiban

menaati kaidah hukum, yang ia pandang bernilai atau sangat penting

untuk perilaku sosialnya. Penerimaan kaidah itu terjadi disebabkan

oleh isi kaidah hukum tersebut dipandang benar. (Bruggink, 1999:

153)

Teori-teori mengenai keberlakuan hukum biasanya membedakan tiga

macam hal berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal berlakunya kaiah-

kaidah hukum tersebut biasanya disebut gelding (bahasa Belanda) atau

geltung (bahasa Jerman). Berhubungan dengan hal berlakunya kaidah

hukum, Berkaitan dengan hal berlakunya kaedah hukum, Soerjono

Soekanto dan Mustafa Abdullah mengemukakan terdapat tiga macam

keberlakuan kaedah hukum:

1. Kaedah hukum berlaku secara yuridis, jika ketentuannya

berdasarkan kepada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans

Kelsen), atau jika terbentuk menurut cara yang sudah ditetapkan

(W. Zevenbergen), atau apabila terdapat hubungan keharusan

diantara suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A. Logemann).

2. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, jika kaedah tersebut

efektif. Yang mana berarti kaedah tersebut dapat dipaksakan

berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga


masyarakat (teori kekuasaan), atau kaedah tersebut berlaku sebab

diakui dan dapat diterima oleh warga masyarakat (teori pengakuan).

3. Kaedah hukum berlaku secara filosofis, yang berarti sesuai dengan

cita-cita hukum sebagai nilai positif yang paling tinggi. (Soekanto,

1980: 13)

Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah untuk dapat

berlaku secara efektif kaedah hukum harus memenuhi ketiga macam

keberlakuan tersebut karena

1. Bila kaedah hukum hanya dapat berlaku secara yuridis maka

mungkin kaedah hukum tersebut dapat disebut kaedah mati (dode

regel).

2. Bila kaedah hukum hanya dapat berlaku secara sosiologis maka

kaedah hukum menjadi aturan pemaksa (dwangmaatregel).

3. Bila kaedah hukum hanya dapat berlaku secara filosofis, maka

kaedah hukum hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius

constituendum). (Soekanto, 1980: 14):

Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah agar kaedah

hukum atau peraturan tertulis berfungsi, minimal terdapat empat faktor,

yakni:

a. Kaedah hukum atau peraturan sendiri.

b. Petugas menegakkan/ yang menerapkan.

c. Fasilitas yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kaedah

hukum.
d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut

(Soekanto, 1980: 14)

Setiap jenjang keberlakuan hukum, menurut Kelsen, berstruktur

“keharusan” yang menggabungkan antara hukum yang lebih tinggi dengan

yang rendah, sehingga masing masing hukum memperoleh validitas

keberlakuannya. Keharusan tersebut berasal dari ketentuan konstitusi atau

undang-undang Negara. Suatu peraturan atau hukum berlaku valid jika

memiliki norma yang diturunkan dari hukum “diatas”-nya. Demikian

seterusnya, validitas hukum tersusun secara bertingkat-tingkat dan

membentuk bangun piramida hirearki norma-norma dengan sebuah

“norma dasar” atau Grundnorm sebagai puncaknya. Hubungan antara

grundnorm atau norma dasar dengan norma-norma yang ada dibawahnya

tersusun secara silogistik dan dalam hal ini grundnorm merupakan materi

keharusan logis yang keberadaannya bersifat diandaikan. Grundnorm

hanya berhubungan dengan sebuah konstitusi yang ditetapkan melalui

ketentuan legislative atau kebiasaan legislatif. Atas dasar gagasan ini,

keharusan yang berlaku bagi perilaku individu diterima melalui ketentuan

yang disusun berdasarkan konstitusi. Kelsen menyatakan bahwa seseorang

harus berperilaku sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh konstitusi

atau undang-undang Negara. (Sumaryono, 2002: 193)

.2.2.Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum menurut

Soerjono Soekanto adalah :


1. Faktor Hukum: Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan

terkadang ada hubungan tidak harmonis antara kepastian hukum

dan keadilan, karena konsep keadilan bersifat abstrak, sedangkan

kepastian hukum prosedur normatif. Suatu kebijakan tidak

berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan

sepanjang kebijakan tidak bertentangan dengan hukum.

Penyelenggaraan hukum bukan hanya law enforcement, tetapi

juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum proses

penyerasian nilai kaedah dan pola perilaku nyata dalam rangka

mencapai kedamaian.

2. Faktor Penegakan Hukum: Fungsi hukum, kepribadian petugas

penegak hukum berperan penting, kalau peraturan sudah baik,

tetapi kualitas petugas kurang baik, itu meenjadi masalah. Maka,

salah satu kunci keberhasilan penegakan hukum ialah

kepribadian penegak hukum

3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung mencakup perangkat

lunak dan perangkat keras, contoh perangkat lunak pendidikan.

Pendidikan diterima Polisi condong kepada hal praktis

konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami

hambatan.

4. Faktor Masyarakat: Penegak hukum berasal dari masyarakat dan

untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat.


5. Faktor Kebudayaan: Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-

hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan.

(Soekanto, 2004:4)

Faktor pendukung dalam pelaksanaan hukum meliputi substansi

hukum, struktur hukum, kultur dan fasilitasnya. Faktor

penghambat dalam pelaksanaan hukum adalah karena norma

hukum yang kabur aparatur penegak hukum yang korup, atau

masyarakat yang tidak taat hukum atau fasilitas minim. (Dahlan,

2017: 186)

.2.2.Peraturan Menteri dalam Hirearki Perundang-undangan

Keberadaan jenis peraturan perundang undangan diatur

dalam Pasal 8 ayat (1) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011

yang menegaskan: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan

yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,

Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi

Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi

yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau

Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang


setingkat.” (Undang- Undang No. 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal 8 ayat (1))

Walaupun ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas

jenis peraturan perundang-undangan berupa “Peraturan Menteri”,

namun frase “…peraturan yang ditetapkan oleh…

menteri…” di atas, mencerminkan keberadaan Peraturan Menteri

sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Dengan

demikian, Peraturan Menteri setelah berlakunya Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tetap diakui keberadaannya. (Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan pasal 8 ayat (1))

Kekuatan mengikat peraturan menteri ditinjau dari Pasal 8

ayat (2) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 yakni “Peraturan

Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangan.” Maka dari ketentuan tersebut, terdapat dua syarat

supaya peraturan menteri (peraturan yang sebagaimana agar

peraturan-peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)

Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 memiliki kekuatan

mengikat sebagai peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi; atau
2. dibentuk berdasarkan kewenangan. (Undang- Undang No. 12

tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan pasal 8 ayat (2))

Dalam doktrin, hanya dikenal dua macam peraturan

perundang-undangan dilihat dasar kewenangan pembentukannya,

yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar:

1. atribusi pembentukan peraturan perundang-undangan; dan

2. delegasi pembentukan peraturan perundan-undangan

(Soehino, 1981:1)

Atribusi kewenangan perundang-undangan mempunyai arti

sebagai penciptaan wewenang baru yang dilakukan oleh

konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk undang-undang (wetgever)

yang kemudian diserahkan kepada suatu organ yang bernama negara,

baik yang telah ada maupun yang dibentuk baru untuk hal tersebut.

Contoh dari atribusi dalam bidang peraturan perundang undangan di

dalam Undang-Undang Dasar 1945 yakni meliputi Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perpu) dan Peraturan Daerah (Perda). Contoh jenis atribusi

peraturan perundang-undangan di luar Undang-Undang Dasar 1945

adalah Peraturan Presiden (Perpres), yang dulu biasa disebut dengan

sebutan Keputusan Presiden yang mempunyai sifat mengatur yang

dasar hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

(Attamimmi, 1990: 352)


Sedangkan Delegasi dalam bidang perundang-undangan

pengertiannya adalah penyerahan/ pemindahan kewenangan untuk

membentuk peraturan dari pemegang kewenangan semula yang

memberdegelasi (delegans) kepada penerima delegasi (delegataris)

yang bertanggung jawab melaksanakan kewenangan tersebut pada

delegataris sendiri. Sementara tanggungjawab yang dimiliki delegans

sangat terbatas. (Attamimmi: 1990, hlm. 347)

Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai

delegasi, contoh diilustrasikan seperti sebagai berikut: “Ketentuan

lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk

menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.” (Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Pasal 19 ayat (4))

Peraturan menteri yang dibentuk berdasar perintah Undang-Undang

itu dapat diklasifikasikan sebagai peraturan perundang-undangan

berdasar delegasi (delegated legislation). Sehingga kesimpulan secara

umumnya adalah, secara umum peraturan perundang-undangan

delegasi adalah peraturan perundang-undangan yang terbentuk

berdasarkan perintah dalam peraturan perundang-undangan yang

secara hirearki lebih tinggi. (Diantha, 2017: 158)

Jika ditinjau kembali dari permasalahan keberadaan dan

kekuatan mengikat dari peraturan perundang-undangan yang diatur

oleh Pasal 8 ayat (1) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011,

termasuk Peraturan Menteri, Pasal 8 ayat (2) Undang- Undang Nomor


12 Tahun 2011 selain mengatur keberadaan peraturan perundang-

undangan atas dasar delegasi (peraturan yang diperintahkan oleh

peraturan perundang-undangan yang secara hirearki lebih tinggi).

Pasal 8 ayat (2) F Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011

menegaskan pula jika terdapat peraturan perundang-undangan “yang

dibentuk berdasarkan kewenangan”.

Istilah kewenangan yang terdapat pada ketentuan pasal

tersebut yang dimaksud bukanlah kewenangan membentuk peraturan

melainkan kewenangan pada ranah bidang lainnya. Misalnya menteri

menjalankan kewenangan pemerintahan tertentu yang merupakan

kekuasaan Presiden. Artinya jika Menteri membentuk Peraturan

Menteri tanpa disertai perintah peraturan perundang-undangan yang

secara hirearki lebih tinggi. Maka Peraturan Menteri tersebut tetaplah

diklasifikasikan sebagai peraturan perundang-undangan. Sedangkanm

di dalam doktrin tidak terdapat jenis peraturan perundang-undangan

yang seperti tersebut.

Hal ini memerlukan untuk dilakukan riset lebih lanjut melalui

perspektif Ilmu Perundang-undangan terutama yang berkaitan dengan

peraturan perundang-undangan sebagai norma hukum yang

mempunyai sifat hirearkis , Hans kelsen / Joseph Raz chain of validity

mengemukakan apabila norma hukum yang mempunyai validitas

lebih rendah mencari validitasnya pada norma hukum yang

validitasnya lebih tinggi (Asshiddiqqie: 2006, hlm. 157).


Di dalam undang undang sebelumnya Undang – Undang No

10 tahun 2004 tidak dikenal peraturan perundang-undangan

sebelumnya Undang-undang Nomor 10 tahun 2004. Dalam undang-

undang sebelumnya (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004), tidak

dikenal peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar

kewenangan, termasuk dalam hal Peraturan Menteri. Peraturan

Menteri yang dibentuk tanpa adanya pendelegasian dari peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi sebelum berlaku Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011, dikenal secara teoritik sebagai

peraturan kebijakan (beleidregels).Yaitu suatu keputusan pejabat

administrasi negara yang bersifat mengatur dan secara tidak langsung

bersifat mengikat umum, namun bukan peraturan perundang-

undangan.(Manan, 1997: 169). Peraturan kebijakan tidak dapat diuji

oleh Mahkamah Agung yang berwenang melakukan pengujian

terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang,

karena tidak termasuk peraturan perundang-undangan. Adanya

ketentuan dalam pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011, dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan antara Peraturan

Menteri yang merupakan Aturan Kebijakan dengan Peraturan Menteri

yang merupakan peraturan perundang-undangan. (Efendi, 2016 :115)

Kedudukan Peraturan Menteri yang telah terbentuk sebelum

Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 berlaku, tetaplah

diberlakukan sepanjang tidak terdapat pencabutan ataupun

pembatalan. Tetapi dalam faktanya terdapat dua jenis kedudukan


Peraturan Menteri yang terbentuk Undang- Undang Nomor 12 Tahun

2011 berlaku. Pertama, Peraturan Menteri yang dibentuk atas dasar

perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan. Peraturan

Menteri terbentuk tidaklah berdasarkan kepada perintah dalam

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (berdasarkan

kewenangannya), berkualifikasi sebagai Aturan Kebijakan. Yang

menyebabkan hal tersebut dikarenakan Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 berlaku sejak tanggal diundangkan (Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 104), sehingga adanya Peraturan Menteri

yang dibentuk sebelum tanggal diundangkannya Undang- Undang

Nomor 12 Tahun 2011 masih tunduk atas dasar ketentuan yang

terdapat didalam undang-undang yang lama (Undang- Undang Nomor

10 Tahun 2004). Akibatnya adalah hanya Peraturan Menteri yang

berkategori pertama seperti itu yang dapat di uji oleh Mahkamah

Agung. (Rumiartha, 2015: 13)

Berikutnya kedudukan Peraturan Menteri yang terbentuk

Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 berlaku yang terbentuk

berdasarkan atas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi maupun yang terbentuk berdasarkan atas kewenangan di dalam

bidang urusan pemerintahan tertentu yang ada pada menteri.

Mempunyai kualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan. Maka,

Peraturan Menteri tersebut berkekuatan hukum yang sifatnya yakni

mengikat umum dan dapat diuji oleh Mahkamah Agung, jika dinilai
sudah bertentangan dengan Undang-undang. Kedudukan Peraturan

Menteri yang terbentuk tidak berdelegasi dan berdasarkan atas

kewenangan dalam bidang administrasi negara butuh untuk dilalukan

pengkajian kembali.

.2.2.Marka Jalan dan Pedoman Pembuatan Marka Jalan

Komponen penting yang harus dibangun berdasarkan

perencanaan, perancangan, pengelolaan yang baik berdasar prinsip

prinsip yang ada yakni sering disebut dengan sebutan infrastruktur.

Di mana di jalan raya tersedia bermacam macam infrastruktur

diantaranya media jalan, penerangan jalan, geometric jalan, rambu

rambu lalu lintas, dan marka jalan. (Susanti, 2018: 23)

Marka jalan sebagai komponen bertujuan mengendalikan

lalu lintas untuk meningkatkan kelancaran keamanan sistem jalan.

Sehinngga marka dapat dijadikan sarana informasi (larangan,

perintah, dan petunjuk) pemakai jalan selain itu marka jalan dapat

mempengaruhinya jalan. (Haryadi, 2012: 23)

Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan

Jalan atau di atas permukaan Jalan yang meliputi peralatan atau

tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis

serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus

Lalu Lintas dan membatasi daerah kepentingan Lalu Lintas.


(Undang- Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas pasal

1 angka 18).

Dimana marka jalan mempunyai berbagai jenis diantaranya

ialah sebagai berikut

1. Bentuk garis utuh dan terputus:

a. Garis utuh (batas jalur dan sebagai tanggul , warna

kuning bersifat lebih keras, tidak boleh digilas).

b. Garis terputus-putus (pemisah jalur boleh digilas, namun

melihat situasi arus.) (Atmodihardjo, 1994 : 55)

2. Bentuk paku jarang dan rapat

a. Dipasang jarang karena merupakan batas jalur.

b. Dipasang rapat karena merupakan pemisah jalur/ tanggul

3. Bentuk tulisan STOP dipasang di persimpangan karena

merupakan penegasan batas berhenti, jarak nya dekat dengan

zebra cross. (Atmodihardjo, 1994: 56)

Marka jalan terletak di permukan jalan, terutama marka

garis sebagai pesan perintah, larangan dan perintah. Marka jalan

garis melintang membujur dan serong baik garis utuh, putus-putus

ataupun ganda berukuran sesuai standard yang ditentukan


keputusan menteri. (Perhubungan KM 60 tahun 1993 tentang

Marka Jalan.)

Marka membujur, garis utuh berfungsi sebagai larangan

bagi kendaraan yang melintasi garis tersebut, untuk menandakan

tepi jalur lalu lintas dan untuk mengatur lalu lintas sementara waktu

dapat digunakan alat pemisah jalur yang berfungsi sebagai marka.

Marka membujur garis putus-putus, berfungsi sebagai peringatan

bagi kendaraan, pengarah lalu lintas. Marka membujur yakni garis

utuh didepan serta sebagai pembatas jalur pada dua arah. Marka

membujur garis ganda terdiri dari utuh dan putus-putus maka

fungsinya agar lalu lintas dapat melintasi yang berada pada sisi

garis putus-putus dapat melintasi garis ganda tersebut dan lalu

lintas yang berada pada sisi utuh dilarang melintasi garis ganda

tersebut. (Supiyono, 2018: 277)

Marka melintang ialah tanda tegak lurus sumbu jalan,

seperti garis henti zebra cross atau dipersimpangan. Marka

melintang merupakan garis utuh sebagai batas berhenti kendaraan

yang diwajibkan oleh alat pemberi isyarat lalu lintas.( Danang,

2011: 16)

Zebra cross adalah sarana penyeberangan pejalan kaki yang

berkaitan dengan pengaturan traffic light. Pada bagian ujung dan

pangkalnya akan terjadi penumpukan pejalan kaki yang dapat

dimanfaatkan sebagai main gate tapak terdekat. Pada saat giliran


pejalan kaki menyeberang dan sampai di ujung zebra cross maka

pada lokasi tersebut merupakan daerah strategis sebagai side gate,

terutama sebagai usaha menangkap pengunjung bangunan-

bangunan umum, seperti pasar dan pusat perbelanjaan. (Laksito,

2014:108)

Zebra cross termasuk marka melintang mempunyai definisi

sebagai fasilitas penyeberangan bertanda garis-garis berwarna putih

searah arus kendaraan dan dibatasi garis melintang lebar jalan.

Zebra cross diletakkan di jalan dengan jumlah aliran penyeberang

jalan cenderung sedikit, agar memudahkan penyeberang

berkesempatan menyeberang dengan aman. (Mulyawati, 2016: 8)

Berbeda dengan Zebra cross yang diletakan di depan lampu

lalu lintas tak bermanfaat, karena pejalan kaki, tanpa zebra cross,

tidak akan melintas jalan jika lampu lalu lintas berwarna hijau, atau

lampu untuk pejalan kaki berwarna merah. (Karyono, 2005: 44)

Ketentuan dalam memasang Zebra cross yakni sebagai berikut:

1) Zebra cross dipasang pada jalan berarus lalu lintas,kecepatan lalu

lintas dan arus pejalan kaki yang relatif rendah.

2) Lokasi  zebra cross berjarak pandang yang cukup, agar tundaan kendaraan

yang disebabkan penggunaan fasilitas penyeberangan masih dalam batas

yang aman. (Ikbal, 2014) Zebra cross selalu dibuat bersama-

sama Garis Stop dengan daerah penempatan terutama pada

a) Persilangan tegak lurus


b) Persilangan serong

c) Pada jalan lurus di daerah yang terdapat cukup banyak pejalan

kaki, misalnya daerah pertokoan, rumah sakit, sekolah, dll.

(Asmoro, 1990: 9- 11)

Ketentuan dalam pembuatan Zebra Cross tidak

diperbolehkan diletakan di atas pulau maya / mulut persimpangan.

Zebra cross pada jalan minor harus diletakkan 15 meter dibelakang

garis henti dan sebisa mungkin dilengkapi dengan marka jalan yang

mengarahkan lalu lintas kendaraan. Penempatan zebra cross harus

Memperhatikan interaksi sistem prioritas, yaitu volume yang

membelok, kecepatan dan penglihatan pengemudi. Zebra cross

yang ditempatkan di jalan lebar lebih dari 10 meter atau lebih dari 4

lajur dibutuhkan pelindung. (Iswanto, 2006: 25)

Zebra Cross berupa deret garis membujur yang

ditempatkanmelintang arah lalu lintas berfungsi sebagai tempat

menyeberang bagi pejalan kaki. Yang mana ketentuan ukuran

pembentukan zebra cross yakni sebagai berikut

a) Garis membujur tempat penyeberangan orang harus memiliki

lebar 0,30 meter dan panjang minimal 2,50 meter

b) Celah diantara garis-garis membujur minimal 0,30 maksimal

0,60 meter

Penempatan zebra cross yakni pada daerah yang

diperuntukan penyeberangan jalan pada jalan lurus atau


persimpangan. Setiap marka penyeberangan pada jalan lurus harus

dilengkapi dengan rambu penyeberangan. Perencanaan untuk marka

ini harus mengikuti Pt. 011/T/BT/1995. (Departemen Kimpraswil,

2004: 17)
Bagan Alir Perencanaan Marka Jalan
( Departemen Kimpraswil, 2004: 23)
Sesuai ketentuan penyelenggaraan SK Menteri Perhubungan No.

60 tahun 1993, setiap usulan implementasi marka baru harus

dikonsultasikan dan mendapatkan persetujuan dari Direktorat Jenderal

Perhubungan Darat atau Dinas yang memiliki kewenangan pembinaan

perhubungan di daerah. (SK Menteri Perhubungan No. 60 tahun 1993)

Direktur Jendral Perhubungan Darat melaksanakan pembinaan

dan pengawasan teknis atas penyelenggaraan marka jalan yang meliputi:

1. Penentuan persyaratan teknis marka jalan

2. Penentuan petunjuk teknis yang mencakup penetapan pedoman,

prosedur, dan tata cara penyelenggaraan marka jalan

3. Pemberian bimbingan teknis dalam keterampilan teknis para

penyelenggara marka jalan

4. Pemantauan dan penilaian atas penyelenggaran marka jalan

5. Pemberian saran teknis dalam penyelenggaraan jalan. (Supiyono,

2018: 283)

Marka Jalan dibuat dengan menggunakan bahan berupa: cat;

termoplastic; coldplastic; atau prefabricated marking. Marka Jalan harus

terbuat dari bahan yang tidak licin, bahan harus mampu memantulkan

cahaya dan memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh Direktur

Jenderal (Peraturan Menteri Nomor 67 Tahun 2018 Pasal 14). Ketentuan

teknis Bahan marka jalan yakni sebagai berikut:

1. Kualitas bahan marka jalan harus mengacu pada SNI No. 06 -4825

-1998 tentang spesifikasi cat marka jalan


2. Pembuatan marka jalan dapat menggunakan bahan-bahan sebagai

berikut:

a. Cat

b. Thermoplastic

c. Pemantul cahaya (reflectorization)

d. Marka terpabrikasi (prefabricated marking) Resin yang

diterapkan dalam keadaan dingin (cold applied resin based

markings) (Departemen Kimpraswil, 2004: 3)

Syarat penempatan Fasilitas Penyeberangan Sebidang menurut

Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, syarat

penempatan fasilitas penyeberangan sebidang adalah:

1. Marka nonmekanik

Marka jalan merupakan campuran antara bahan pengikat pewarna,

dan bola kaca kecil, untuk memantulkan cahaya agar marka dapat

terlihat jelas pada malam hari. Bahan dapat dikelompokkan atas:

a) Cat, biasanya merupakan bahan marka jalan tidak awet karena

cepat hilang, maka hanya untuk jalan yang jarang kendaraan.

b) Termoplastic, yakni bahan diperlukan pada jalan berarus lalu

lintas yang tinggi.

c) Cold-plastic, seperti termoplastik digunakan pada jalan

dengan arus yang tinggi,

2. Marka mekanik adalah paku jalan yang biasanya dilengkapi dengan

reflector. Marka jenis ini ditanam/ dipaku ke permukaan jalan,

melengkapi marka non-mekanik. (Danang, 2011: 18)


Pembuatan Marka Jalan dilakukan oleh badan usaha yang telah

memenuhi persyaratan: dimulai dari spesifikasi teknis bahan, bahan,

perlengkapan dan peralatan produksi; dan sumber daya manusia yang

berkompenten di bidang perlengkapan jalan. Persyaratan sebagaimana

dimaksud dilakukan penilaian oleh Direktur Jenderal. Badan usaha yang

telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud didaftar di Direktorat

Jenderal sebagai badan usaha pembuat Marka Jalan Tata cara penilaian

dan pendaftaran sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

(Peraturan Menteri Nomor 34 Tahun 2014) Pertimbangan-pertimbangan

dalam perencanaan penempatan marka jalan diantara lain:

a) Kondisi perkerasan jalan

Marka jalan sebaiknya tidak dipasang pada jalan berkondisi

perkerasannya buruk atau direncanakan untuk direhabilitasi dalam

jangka pendek.

b) Kondisi lingkungan jalan

Pemilihan bahan dan penerapan marka jalan perlu memperhitungkam

kondisi lingkungan, seperti temperature, curah hujan, dan

kelembaban permukaan jalan sehingga marka dapat bertahan sesuai

dengan usia rencana.

c) Kondisi dan karakteristik lalu lintas

Perencanaan dan pelaksanaan marka jalan perlu memperhitungkan

kecepatan, jenis, dan kelompok kendaraan yang dominan pada ruas

dimana marka akan dipasang sehingga penempatan marka dapat


secara efektif memberikan arahan sesuai kondisi lalu lintas yang

diinginkan perencana.

d) Aspek keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.

e) Selain itu, pemasanagan marka sebaiknya memperhitungkan keadaan

lalu lintas sehingga tidak mengganggu kelancaran lalu lintas.

(Departemen Kimpraswil, 2004: 3)

.3. Landasan Konseptual

Negara, sebagaimana yang didefinisakan oleh Max Weber dalam

bukunya From Max Weber Essays in Sociology (1958), negara

adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan

kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. Max Weber mengatakan

: “The state is human society that (successfully) claims the monopoly of

the legitimate use of physical force within a given territory” yang artinya

yakni “Negara yakni masyarakat yang bermonopoli dengan

menggunakan kekerasan fisik yang sah disebuah wilayah.” (Weber,

1958:78)

Secara umum Negara dapat dikatakan sebagai suatu daerah

territorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat

dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada

peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (control)

monopolistis dari kekuasaan yang sah. (Budiardjo, 1972: 40)

Dalam hal mengkaji penerapan kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah yang merupakan aparat Negara sangat berwenang untuk


dikaji dengan cermat dan teliti sebab, hal ini berkaitan dengan hasil

keluaran dari kebijakan yang dirasakan oleh rakyat langsung. Studi

tentang pengimplementasian kebijakan yang dikeluarkan pemerintah

sebagai aparatur Negara sangatlah kompeten untuk dikaji secara

seksama, karena ini menyangkut output dari kebijakan yang secara

langsung dirasakan oleh masyarakat. Penerapan kebijakan semestinya

jika disebut sebagai bentuk nyata turunan dari undang-undang dari mulai

pelaksanaan penerapan kebijakan hingga pada tahap evaluasi penerapan

kebijakan. Sehingga dari itu hendak diadakan pemaparan dari konsep-

konsep yang sesuai dengan batasan-batasan dari proposal penelitian ini.

Terdapat hal-hal pokok yang dijadikan kerangka konseptual

dalam penelitian yang hendak dilaksanakan. Maka dari itu penulis ingin

mengutip pendapat beberapa ahli mengenai masalah tersebut yang ingin

dikaji. “Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi

sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan

fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian

dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-

pedoman kebijaksanaan negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk

mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak

nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.” (Wahab, 2008: 65)

Proses implementasi kebijakan public baru dapat dimulai apabila

tujuan-tujuan kebijakan public telah ditetapkan, program-program telah

dibuat, dan dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan


tersebut. Suatu proses implementasi dapat digambarkan secara

sistematis seperti berikut ini :

Sumber: Bambang Sunggono, 1994: 139

Dari skema tersebut terlihat bahwa proses implementasi

dimulai dengan suatu kebijakan yang harus dilaksanakan. Hasil

proses implementasi terdiri dari hasil kebijakan yang segera atau

disebut sebagai “policy performance”. Teori dari beberapa ahli

mengenai implementasi kebijakan, yaitu:

a. Teori George C. Edward dalam pandangan Edward III,implementasi

kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :

1) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan

mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus

dilakukan, tujuan dan sasaran kebijakan kepada kelompok

sasaran, maka dapat mengurangi distorsi implementasi.

2) Sumber daya berwujud sumber daya manusia, misalnya

kompetensi implementor dan sumber daya finansial.

3) Disposisi, adalah watak dan karakteristik implementor. Apabila

implementor berdisposisi baik, maka implementor menjalankan

kebijakan dengan baik sesuai pembuat kebijakan.

4) Struktur Birokrasi, susunan komponen (unit-unit) kerja dalam

organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta

adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang


berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan, selain itu

struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi pekerjaan,

saluran perintah dan penyampaian laporan. (Edward III,

1980;125) Struktur organisasi yang terlalu panjang akan

cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape,

yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang

menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek dari

stuktur organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP)

dan fragmentasi. (Subarsono, 2008:89)

Berdasarkan pemahaman diatas konklusi dari implementasi

jelas mengarah kepada pelaksaan dari suatu keputusan yang dibuat

oleh eksekutif. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi masalah

yang terjadi sehingga tercipta rangkaian terstruktur dalam upaya

penyelesaian masalah tersebut. Dalam konsep implementasi terdapat

kata “rangkaian terstruktur” yang memiliki makna bahwa dalam

prosesnya implementasi pasti melibatkan berbagai komponen dan

instrument. Dalam peraturan menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

yang dimaksud penulis dalam melaksanakan Peraturan Menteri

tersebut adalah aparatur yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan

Peraturan Menteri.

Aparatur yang berwewenang dalam hal ini yaitu Menteri

Perhubungan. Penjelasan mengenai Peraturan Menteri Perhubungan


Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun 2014 tentang

Marka Jalan mengenai konsep pembinaan adalah segala upaya atau

kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat

mengenai hal hal yang berkaitan dengan marka jalan. Tujuan utama

penyelengaraan pemerintah menteri adalah menciptakan

kesejahteraan masyarakat, maka dari itu menteri perhubungan

melalui Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34

Tahun 2014 tentang Marka Jalan menegaskan ada beberapa ruang

lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi spesifikasi

teknis Marka Jalan, penyelenggaraan Marka jalan, pembuatan marka

jalan. Sekarang yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan,

yaitu:Merencanakan pengaturan lalu lintas di jalan kota termasuk

jalan propinsi, jalan nasional , dan merencanakan kebutuhan,

pengadaan, penempatan, dan pemeliharaan rambu-rambu lalu lintas,

marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL).

Selanjutnya ketika kita berbicara tentang bagaimana

implementasi suatu kebijakan dapat berjalan efektif tentu

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dimana factor-faktor yang

dimaksud, yaitu sebagai berikut:

1. Faktor Pendukung : Faktor pendukung yang dimaksud disini

adalah segala hal yang sifatnya membantu tersosialisasinya

kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah Peraturan Menteri


Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

2. Faktor Penghambat Faktor Penghambat sendiri disini

merupakan segala sesuatu yang menjadi pengganjal atau yang

menghalangi terselenggaranya Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan

atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

2.1.4. Kerangka Berpikir

 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

 Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1993 tentang Prasarana Dan Lalu

Lintas Jalan

 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun

2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34

Tahun 2014 tentang Marka Jalan

 Ditjen Bina Marga (1990). Petunjuk Perencanaan Marka Jalan

 Ditjen Bina Marga (1991). Tata Cara Pemasangan Rambu Dan Marka

Jalan Perkotaan.

 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : Km 60 Tahun 1993 tentang

Marka Jalan Menteri Perhubungan

Pembuatan Zebra Cross di


Kecamatan Kota Kabupaten
Kudus
Faktor Penghambat Faktor Pendukung

Masih kurangnya sumber daya manusia yang Kemampuan sumberdaya manusia yang memadai,
kompeten di Dinas Perhubungan yang
Adanya instansi terkait yang mendukung, Peran
memiliki kualifikasi di bidang transportasi,
kurangnya koordinasi yang baik antar Aktif Masyarakat Sarana dan prasarana yang
instansi yang mengelola masalah memadai
transportasi, tidak ada peran aktif
masyarakat, sarana dan prasarana belum
memadai

Pembuatan Zebra Cross yang efektif di


Kecamatan Kota Kabuppaten Kudus

Anda mungkin juga menyukai