Anda di halaman 1dari 37

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Prevalensi penyakit kanker di dunia dilaporkan semakin meningkat dan di
Indonesia walaupun belum ada laporan yang pasti diduga juga meningkat dari tahun ke
tahun. Lebih dari 50% penyakit kanker di Indonesia datang ke fasilitas kesehatan dalam
stadium yang telah lanjut yang tentunya memberikan hasil pengobatan yang kurang
memuaskan. Penyakit kanker dibedakan atas tumor yang padat atau tumor solid dan
tumor yang tidak solid. Prevalensi terbanyak dari penyakit kanker adalah tumor solid
dan walaupun penatalaksanaannya berazaskan pendekatan multi disiplin tetapi tindakan
pembedahan adalah terapi utama untuk tumor solid. Penanganan yang pertama adalah
kesempatan yang terbaik bagi penderita untuk mencapai tingkat kesembuhan yang
tinggi dan penanganan yang salah atau tidak adekuat pada langkah pertama akan
menyebabkan kekambuhan baik lokal, loko regional maupun metastasis jauh yang pada
akhirnya membuahkan kesengsaraan bagi penderita dan keluarga.1 Di Amerika Serikat,
kanker tiroid menyumbang <1% dari semua keganasan (2% wanita dan 0,5% pria) dan
merupakan kanker yang paling cepat meningkat pada wanita. Kanker tiroid bertanggung
jawab atas 6 kematian per 1 juta orang setiap tahun. Sebagian besar pasien datang
dengan pembengkakan teraba di leher, yang memulai penilaian melalui kombinasi dari
riwayat, pemeriksaan fisik, dan FNAB.2 Tumor tiroid merupakan neoplasma sistem
endokrin yang terbanyak dijumpai. Insiden pertahun di Amerika Serikat 68 per satu juta
penduduk, sedangkan insiden tertinggi di Hawai (119 per satu juta wanita dan 45 per
satu juta pria) dan terendah di Polandia (14 per satu juta wanita dan 4 per satu juta pria)
(Gheriani H, 2006). Di Indonesia, Boedisantoso et al, 2003 melaporkan nodul tiroid di
RSUPN-CM, Jakarta sebesar 50,3% dengan rasio laki-laki dibandingkan perempuan
sekitar 8:10 sebanyak 101 kasus. Sedangkan berdasarkan data subsidi Bedah Onkologi
Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, jumlah kasus penderita nodul tiroid tahun 2010-
2012 adalah 188 kasus yaitu 2010 (67 kasus), 2011 (65 kasus), dan 2012 (66 kasus).3
Maka saat ini American Thyroid Association Guidelines merekomendasikan
tindakan total/near total tiroid lobektomi yaitu merupakan teknik operasi sederahana
untuk penanganan pasien dengan nodul tiroid. Secara umum penanganan nodul tiroid
meliputi: observasi, operasi, radiasi eksterna, radiasi interna dan hormonal (supresi)
terapi.3 Tiroidektomi bisa berupa lobektomi unilateral, operasi anatomi, subtotal,

1
mendekati total atau total. Pembedahan dilakukan melalui sayatan lipatan kulit sekitar 4
cm di atas sternum.4
Anestesi umum atau general anaesthesia adalah anestesi yang menggambarkan
trias dari tiga efek utama dan terpisah yaitu ketidaksadaran (dan amnesia), analgesia,
dan relaksasi otot. Obat-obatan intravena (IV) biasanya menghasilkan efek diskrit
tunggal, sementara sebagian besar anestesi inhalasi menghasilkan unsur ketiganya.
Anestesi umum dicapai dengan kombinasi IV dan obat yang dihirup, masing-masing
digunakan untuk keuntungan maksimal. Ilmu dan seni anestesi adalah proses yang
dinamis. Karena jumlah rangsangan pada pasien berubah selama operasi, tanda-tanda
vital pasien digunakan sebagai panduan dan jumlah obat disesuaikan, mempertahankan
keseimbangan antara rangsangan dan dosis. Anestesi umum adalah apa yang umumnya
dipikirkan pasien ketika mereka harus “di bawah sadar” dan dapat menjadi penyebab
kecemasan pra operasi yang cukup besar.2 Tekanan parsial obat anestesi inhalasi dan
gas / uap lainnya akan dinyatakan sebagai fraksi (0-1) dari 1 atmosfer, baik dalam gas
atau fase terlarut. Anestesi inhalasi diberikan melalui paru-paru untuk memberikan efek
'anestesi umum'. Mereka dianggap sebagai anestesi lengkap karena, dengan sendirinya,
mereka dapat pada sebagian besar pasien memastikan semua titik akhir klinis yang
diperlukan untuk 'anestesi umum' (ketidaksadaran, ketidakmampuan, dan stabilitas
hemodinamik). Agen hipnotik intravena digunakan terutama untuk induksi anestesi
umum, dan beberapa juga digunakan untuk pemeliharaan anestesi, atau untuk sedasi.
Karakteristik ideal dari agen hipnotik intravena adalah onset yang cepat dan durasi efek
yang pendek yang diakhiri terutama oleh redistribusi cepat. Sementara metabolisme,
eliminasi yang tidak berubah, atau keduanya, dapat terjadi, mereka relatif sedikit jika
ada yang penting dalam mengakhiri efek anestesi.5

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Neoplasma Tiroid


2.1.1 Anatomi Tiroid
Secara topografi kelenjar tiroid terdiri dari tiga lobus, lobus lateralis kanan dan
kiri, serta yang di tengah yaitu ismus, kadang-kadang dapat ditemukan pula lobus
keempat yaitu lobus piramidalis yang letaknya di atas ismus agak ke kiri dari midline.
Lobus ini merupakan sisa jaringan embryonic thyroid yang ketinggalan pada waktu
migrasi jaringan ini ke bagian anterior di hipofaring. Letak kelenjar tiroid ini yang
beratnya berkisar 25-30 gram antara kartilago tiroidea dan cincin trakhea keenam.
Ismus letaknya antara cincin trakhea ke-2 dan 4. Seluruh kelenjar tiroid ini dibungkus
oleh suatu lapisan jaringan yang dinamakan true capsule. Sedangkan ekstension dari
lapisan tengah fasia servikalis profundus yang mengelilingi kelenjar tiroid itu
dinamakan false capsule atau surgical capsule. Seluruh pembuluh darah arteri, vena,
pleksus limfatikus dan kelenjar paratiroid, letaknya antara true dan false capsule.
Pembuluh darah arteria tiroid superior pada pool atas lobus kanan dan kiri. Dekat
dengan arteria tiroid superior itu berada cabang eksterna dari nervus laringeus superior.6

2.1.2 Fisiologi Tiroid


Kelenjar tiroid adalah salah satu kelenjar endokrin tubuh yang besar. Kelenjar
ini memiliki dua fungsi utama. Yang pertama adalah mengeluarkan hormon tiroid, yang
menjaga tingkat metabolisme dalam jaringan yang optimal untuk fungsi normalnya.
Hormon tiroid merangsang konsumsi O2 oleh sebagian besar sel dalam tubuh,
membantu mengatur metabolisme lemak dan karbohidrat, dan dengan demikian
memengaruhi massa dan mentasi tubuh. Tiroid tidak penting untuk kehidupan, tetapi
tidak adanya atau hipofungsi selama kehidupan janin dan neonatal menyebabkan
keterbelakangan mental dan dwarfisme. Pada orang dewasa, hipotiroidisme disertai
dengan pelambatan mental dan fisik dan resistensi yang buruk terhadap dingin.
Sebaliknya, sekresi tiroid yang berlebihan menyebabkan pemborosan sekresi tubuh,
kegugupan, takikardia, tremor, dan produksi panas berlebih. Fungsi tiroid dikendalikan
oleh hormon perangsang tiroid (TSH, thyrotropin) yang disekresikan oleh lobus anterior
hipofisis. Sekresi hormon ini pada gilirannya meningkat oleh hormon pelepas

3
thyrotropin (TRH) dari hipotalamus. Fungsi kedua kelenjar tiroid adalah untuk
mengeluarkan kalsitonin, hormon yang mengatur kadar kalsium yang bersirkulasi.7

Gambar 2.1 Anatomi Tiroid

2.1.3 Epidemiologi Neoplasma Tiroid


Karsinoma tiroid diperkirakan sebesar 1,5% dari keganasan seluruh tubuh di
negara-negara berkembang. Karsinoma tiroid menempati urutan ke-9 dari sepuluh
keganasan tersering di Indonesia. Angka insidensi bervariasi di seluruh dunia, yaitu dari
0,5-10 jiwa per 100.000 populasi. American Cancer Society memperkirakan sekitar
17.000 kasus baru muncul setiap tahunnya di Amerika Serikat dan sekitar 1700
diantaranya mengakibatkan kematian. Di Amerika Serikat, karsinoma ini relatif jarang
ditemukan, mencakup 1% dari seluruh jenis kanker dan 0,4% kematian akibat kanker.
Lebih banyak ditemukan pada wanita dengan distribusi berkisar 2:1 sampai 3:1. Secara
primer dijumpai pada dewasa muda dan usia pertengahan serta jarang ditemukan pada
anak-anak.8

4
2.1.4 Etiologi Neoplasma Tiroid
Etiologi yang pasti dari neoplasma ini belum diketahui. Dari beberapa
penelitian, dijumpai beberapa faktor yang berperan dalam patogenesis karsinoma tiroid
yaitu genetik dan lingkungan. Karsinoma papiler dipengaruhi oleh faktor lingkungan
(iodine), genetik dan hormonal serta interaksi diantara ketiga faktor tersebut. Sedangkan
pada karsinoma folikular radiasi merupakan faktor penyebab terjadinya karsinoma ini.
Faktor yang berperan pada karsinoma meduler adalah genetik dan sampai saat ini belum
diketahui karsinogen yang menjadi penyebab berkembangnya karsinoma meduler dan
anaplastik. Diperkirakan karsinoma anaplastik tiroid berasal dari perubahan karsinoma
tiroid berdiferensiasi baik (papiler dan folikular) dengan kemungkinan jenis folikular
dua kali lebih besar.8

2.1.5 Klasifikasi Neoplasma Tiroid


Beberapa sistem stadium dan klasifikasi tumor tiroid dikembangkan berdasarkan
karakteristik dari tumor, prognosis penyakit, dan fokus pada tatalaksana yang agresif
terhadap kanker dengan risiko tinggi untuk menyebar dan rekuren. Sistem yang banyak
diadopsi adalah sistem klasifikasi berdasarkan tumor-nodul- metastasis (TNM), Sistem
ini diterapkan oleh The American Joint Commission on Cancer (AJCC) dan Union
Internationale Contre le Cancer (UICC). Pada sistem TNM umur pasien berpengaruh
terhadap stadium, dan berpengaruh terhadap angka bertahan hidup 5 tahun. Selain
sistem TNM yang digunakan oleh AJCC, ada beberapa sistem yang membagi klasifikasi
berdasarkan risiko rendah, sedang, dan tinggi. Pada sistem AMES (Age, Metastases,
Extent, dan Size), prognosis dan kategori tumor tiroid dibagi berdasarkan usia, perluasan
lokal, penyebaran jauh, serta ukuran dari tumor. Kategori risiko rendah berdasarkan usia
<41 tahun pada laki-laki, dan <51 tahun pada wanita tanpa penyebaran jauh tumor. Atau
pasien dengan usia lanjut tanpa keterlibatan ekstra tiroid pada kanker papiler, dan tanpa
invasi ke kapsul tumor oleh kanker folikuler, atau tumor yang kurang dari 5 cm. Pada
sistem AMES angka kematian karsinoma tiroid risiko rendah hanya sekitar 1,8%
dibandingkan dengan risiko tinggi yang angka kematiannya berkisar 46%. Angka
kekambuhan risiko rendah sekitar 5% dibandingkan 55% pada risiko tinggi.9

2.1.6 Gambaran Klinis Neoplasma Tiroid


Kebanyakan penderita datang disebabkan oleh karena pembesaran tiroid atau
dijumpainya nodul atau beberapa nodul. Untuk alasan yang tidak diketahui, kebanyakan
penderita adalah perempuan. Usia tidaklah begitu penting oleh karena lesi-lesi malignan
5
dapat ditemukan pada usia yang sangat muda hingga yang sangat tua. Meskipun
demikian, hal yang penting diketahui adalah telah berapa lama kelainan tersebut
dijumpai dan apakah pertumbuhannya lambat, cepat atau timbul secara tiba-tiba.
Informasi ini merupakan diagnostik yang signifikan karena nodul atau massa multipel
yang tumbuh perlahan sedikit sekali yang menjadi malignan dibandingkan dengan
pembesaran nodul soliter yang berkembang dengan cepat. Ukuran yang bertambah
dengan tiba-tiba dapat diduga sebagai hemorrhage. Biasanya nodul tiroid tidak disertai
rasa nyeri, apabila ditemukan nyeri diagnosis banding yang harus dipertimbangkan
adalah tiroiditis akut, kista dengan acute hemorrhage, tiroiditis subakut atau De
Quervain, infark tumor sel Hűrtle (jarang) dan tiroiditis Hashimoto. Sebagian besar
keganasan pada tiroid tidak memberikan gejala yang berat, kecuali jenis anaplastik yang
sangat cepat membesar bahkan dalam hitungan minggu. Pada pasien dengan nodul
tiroid yang besar, kadang disertai dengan adanya gejala penekanan pada oesofagus dan
trakea.8

Tabel 2.1 Stadium Tumor Menurut AJCC

6
2.1.7 Pemeriksaan Neoplasma Tiroid
A. Pemeriksaan Fisik
Nodul diidentifikasi berdasarkan konsistensinya keras atau lunak, ukurannya,
terdapat tidaknya nyeri, permukaan nodul rata atau berbenjol-benjol, berjumlah tunggal
atau ganda, memiliki batas yang tegas atau tidak, dan keadaan mobilitas nodul.8
B. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap fungsi tiroid kebanyakan pasien
dengan nodul tiroid biasanya menunjukkan angka normal. Kondisi hipotiroid maupun
hipertiroid lebih mengarah kepada gangguan fungsional dari tiroid, seperti pada nodul
toksik tiroid atau tiroiditis Hashimoto, dibandingkan kearah suatu kanker. Langkah
pertama yang dianjurkan adalah menentukan status fungsi tiroid dengan memeriksa
TSH. Pada kanker tiroid umumnya fungsi tiroid normal atau meningkat. Dapat
dilakukan juga pemeriksaan tiroglobulin, suatu glikoprotein yang diproduksi oleh sel
normal tiroid atau kanker tiroid berdiferensiasi baik, tetapi pemeriksaan tiroglobulin
tidak direkomendasikan pada awal tatalaksana karena tidak bisa memberikan gambaran
suatu tumor ganas atau jinak, kecuali pada kasus kadar tiroglobulin yang terlalu tinggi
seperti pada kasus kanker tiroid yang sudah bermetastasis.9
C. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mencari metastasis. Dilakukan foto paru
anteroposterior, foto polos jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral dengan
posisi leher hiperekstensi bila tumornya besar, esofagogram bila secara klinis terdapat
tanda-tanda adanya infiltrasi ke esofagus, dan bone scan bila ada tanda-tanda metastasis
ke tulang.9
D. Pemeriksaan Ultrasonografi
Kanker tiroid berdiferensiasi baik, khususnya tipe papiler, memiliki angka
penyebaran regional ke KGB leher sebesar 20-50% walaupun ukuran primer tumor
kecil dan intraitiroid. Frekuensi mikro-metastasis kurang dari <2 mm sebesar 9-%,
sehingga diperlukan pemeriksaan USG untuk menilai tumor primer dan penyebaran
KGB yang bersifat kecil. Di samping itu USG dapat dipakai untuk membedakan nodul
yang padat dan kistik, serta dapat dimanfaatkan untuk panduan dalam tindakan biopsi
aspirasi jarum halus (BAJAH). Evaluasi USG untuk tiroid dapat dibagi menjadi nodul
kecurigaan tinggi, kecurigaan sedang, kecurigaan rendah, kecurigaan sangat rendah, dan
jinak.9

7
2.1.8 Penatalaksanaan Neoplasma Tiroid
Pengobatan pilihan untuk neoplasma tiroid adalah pembedahan. Jenis
pembedahan ditentukan oleh ekstensi dari tumor. Dari indikasi pembedahan dapat
dipilih jenis pembedahan dari kelenjar gondok yang bersangkutan.
A. Untuk keganasan yang mengenai satu lobus dimana tidak ada fasilitas frozen
section, isthmulobektomi cukup. Jaringan dapat dikirim ke lembaga patologi
terdekat. Bila hasil menunjukkan adanya tumor multisentrik; karsinoma dengan
bagian-bagian anaplastik atau pinggir sayatan masih ada sisa tumor, tiroidektomi
total dapat saja dilakukan di kemudian hari. Bila ada fasilitas pemeriksaan
frozen section ini dapat dilakukan dalam satu tahap.
B. Untuk keganasan yang mengenai kelenjar gondok dengan kecurigaan metastasis
pada kelenjar getah bening leher.
1. Keganasan terbatas pada satu lobus dan pembesaran kelenjar getah bening leher
homolateral dilakukan ismu-lobektomi dan biopsi kelenjar getah bening leher.
Bila terbukti ganas dilakukan tiroidektomi total diikuti dengan seksi kelenjar
getah bening radikal leher yang bersangkutan satu atau dua tahap bergantung
dari fasilitas patologi.
2. Bila keganasan mengenai kedua lobus dan pembesaran kelenjar getah bening
belum ada – dilakukan tiroidektomi total.
3. Bila keganasan mengenai kedua lobus dan sudah ada pembesaran kelenjar getah
bening leher pada satu sisi, dalam hal ini dilakukan biopsi kelenjar getah bening
leher dulu, bila hasil positif suatu metastasis karsinoma tiroid dilakukan
tiroidektomi total dengan diseksi radikal kelenjar getah bening yang
bersangkutan.
4. Bila keganasan mengenai kedua lobus dan ada pembesaran kelenjar getah
bening leher bilateral, dalam hal ini dilakukan biopsi kelenjar getah bening leher
bilateral. Bila satu sisi positif metastasis dari karsinoma tiroid dilakukan total
tiroidektomi dengan diseksi radikal kelenjar getah bening pada sisi yang
bersangkutan. Bila kedua sisi kelenjar getah bening leher positif dengan
metastasis karsinoma tiroid dilakukan tiroidektomi total dengandiseksi radikal
kelenjar getah bening leher bilateral satu atau dua tahap.
C. Jika hasil pemeriksaan frozen section menunjukkan kista folikuler tiroid maka
lobus tiroid yang bersangkutan diangkat seluruhnya bersama dengan sinus tiroid.
Ismu-lobektomi. Hal ini dianjurkan oleh karena pada pemeriksaan patologi

8
frozen section sangat sulit untuk menentukan apakah tumor telah menembus
dinding kista atau belum.

2.2 Ismulobektomi
Lobektomi tiroid dengan isthmusektomi adalah teknik bedah standar untuk
menghilangkan nodul tiroid unilateral, dan melibatkan paparan alur trakeo-esofagus.
Ismusektomi tiroid adalah prosedur bedah yang hanya mengeksisi ismus tiroid. Hal ini
memungkinkan eksisi lesi tanpa pajanan terhadap alur trakeoesofageal. Isthmusektomi
tiroid adalah alternatif yang aman untuk lobektomi tiroid dengan isthmusektomi pada
pasien yang memiliki nodul yang terbatas pada isthmus dan lobus piramidal.
Meninggalkan manset jaringan tiroid normal, memiliki keuntungan tidak mengekspos
lekukan trakeo-esofagal, sehingga meminimalkan potensi kerusakan pada persarafan
laring dan paratiroid. Ahli bedah yang melakukan isthmusektomi harus berpengalaman
dalam prosedur bedah tiroid yang lebih kompleks.10
Indikasi untuk tiroidektomi subtotal menurun karena insiden goiter endemik
yang lebih rendah, baik koloid dan nodular, dan meningkatnya efektivitas terapi medis
pada pasien yang datang dengan tirotoksikosis, apakah ini disebabkan oleh penyakit
Graves atau gondok toksik nodular. Indikasi pasti untuk tiroidektomi subtotal adalah
pengangkatan nodul soliter pada orang muda, terutama wanita, ketika massa tidak
menggunakan radioiodide pada pemindaian tiroid dan karenanya dicurigai ganas.
Aspirasi jarum halus sederhana dapat menghasilkan sitologi yang mencurigakan.11
Intubasi endotrakeal lebih disukai, terutama jika ada tekanan jangka panjang
terhadap trakea, ekstensi substernal, atau tirotoksikosis parah. Untuk pasien yang sangat
toksik atau gelisah, barbiturat intravena kerja singkat dapat diberikan di kamar pasien
untuk menghindari kegembiraan yang tidak semestinya. Agen anestesi inhalasi umum
digunakan.11
Pasien ditempatkan di posisi yang lebih tinggi dengan kain yang dilipat di
bawah bahu sehingga kepala tersudut ke belakang. Sisi kepala meja dapat diturunkan
untuk hiperekstensi leher lebih jauh. Ahli anestesi harus memastikan bahwa kepala
sejajar sempurna dengan tubuh sebelum garis sayatan ditandai. Setiap penyimpangan ke
samping dapat menyebabkan ahli bedah membuat sayatan yang tidak akurat.11

9
Gambar 2.2 Operasi Ismulobektomi

Pasca operasi, pasien segera ditempatkan dalam posisi semi-duduk. Tindakan


pencegahan yang memadai harus dilakukan untuk mencegah hiperekstensi pada leher.
Terapi oksigen diberikan, 4 hingga 5 L per menit, sampai pasien bereaksi. Satu set
trakeostomi steril harus selalu tersedia jika terjadi kolaps trake akut. Cairan parenteral
diberikan sampai pasien dapat minum cairan yang cukup melalui mulut. Penambahan

10
natrium iodida dan kalsium glukonat tergantung pada kondisi umum pasien. Cairan
melalui mulut diizinkan sebagai ditoleransi. Opiat atau sedatif digunakan seperlunya.
Komplikasi awal termasuk perdarahan ke dalam luka, suara serak dan aphonia
sementara, kelumpuhan pita suara, dan thyroid storm pasca operasi. Gejala yang
menonjol dari krisis pasca operasi adalah demam tinggi, takikardia berat, kegelisahan
ekstrem, keringat berlebihan, sulit tidur, muntah, diare, dan delirium. Ice cap atau
selimut pendingin, sedasi, dan cairan berkalori tinggi parenteral, yang ditambahkan 1 g
natrium iodida dan 100 mg kortikoid. Dianjurkan pemberian lanjutan sekitar 15 mg
sediaan kortikoid per jam dalam infus intravena direkomendasikan. Oksigen, antipiretik,
dan sediaan multivitamin juga diberikan. Propanolol dapat diberikan untuk takikardia.11

2.3 Anestesi Umum


Anestesi Umum adalah hilangnya kesadaran yang diinduksi oleh obat selama
pasien tidak terangsang, bahkan oleh stimulasi yang menyakitkan. Kemampuan untuk
mempertahankan fungsi ventilasi secara independen sering terganggu. Pasien sering
memerlukan bantuan dalam mempertahankan jalan napas paten, dan ventilasi tekanan
positif mungkin diperlukan karena ventilasi spontan yang tertekan atau depresi yang
disebabkan obat dari fungsi neuromuskuler. Fungsi kardiovaskular mungkin
terganggu.12
Anestesi umum (GA) adalah keadaan yang diproduksi ketika seorang pasien
menerima obat-obatan untuk menghasilkan amnesia dan analgesia dengan atau tanpa
kelumpuhan otot reversibel. Seorang pasien yang teranestesi dapat dianggap berada
dalam keadaan tidak sadar yang terkendali dan dapat dikembalikan. Anestesi
memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang jika tidak akan
menimbulkan rasa sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis
yang ekstrem, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.13
Kombinasi agen anestesi yang digunakan untuk anestesi umum sering membuat pasien
dengan konstelasi klinis berikut:
 Tidak terpengaruh dengan rangsangan yang menyakitkan
 Tidak dapat mengingat apa yang terjadi (amnesia)

 Akibatnya, tidak dapat mempertahankan perlindungan jalan napas yang


memadai dan / atau ventilasi spontan karena kelumpuhan otot

11
 Perubahan kardiovaskular sekunder akibat efek stimulan / depresan agen
anestesi.13
Anestesi umum diinduksi dan dipertahankan menggunakan kombinasi agen
intravena dan inhalasi. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa anestesi umum
mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik; tergantung pada presentasi klinis pasien,
anestesi lokal atau regional mungkin lebih sesuai.13

2.3.1 Indikasi Anestesi Umum


1. Pada bayi dan dan anak usia muda
2. Pada orang dewasa yang memilih anestesi umum
3. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa
4. Pembedahannya luas atau ekstensif
5. Posisi pembedahan seperti miring, tengkurap, duduk atau litotomi
6. Penderita sakit mental
7. Pembedahan yang berlangsung lama
8. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
9. Riwayat penderita toksik atau alergi obat anestesi local
10. Penderita dengan pengobatan antikoagulantia.14

2.3.2 Pre-Operatif
Fase pra-operasi melibatkan persiapan pasien dari waktu operasi dijadwalkan
sampai pasien memasuki ruang operasi. Praktik anestesi yang aman dan efisien
membutuhkan personel bersertifikat, obat-obatan dan peralatan yang tepat, dan pasien
yang dioptimalkan. Persyaratan infrastruktur minimum untuk anestesi umum meliputi
ruang yang cukup terang dengan ukuran yang memadai; sumber oksigen bertekanan
(paling sering disalurkan melalui pipa); perangkat hisap yang efektif; monitor ASA
(American Society of Anesthesiologist) standar, pemantauan EKG terus-menerus,
tekanan darah (interval minimum 5 menit), oksimetri nadi kontinu, kapnografi, suhu;
dan konsentrasi oksigen yang diinspirasikan dan dihembuskan dan agen anestesi yang
berlaku. Di luar ini, beberapa peralatan dibutuhkan untuk mengantarkan agen anestesi.
Ini mungkin sesederhana jarum dan alat suntik, jika obat harus diberikan seluruhnya
secara intravena. Dalam sebagian besar keadaan, ini berarti ketersediaan mesin
pengiriman gas anestesi yang dirawat dengan baik. Serangkaian obat-obatan rutin dan
darurat, peralatan manajemen jalan nafas yang canggih, defibrillator jantung, dan ruang
pemulihan yang dikelola oleh individu yang terlatih diperlukan ketika anestesi umum
12
diberikan. Ketika agen yang diketahui memicu hipertermia maligna digunakan, obat
untuk mengobati kondisi ini, termasuk dantrolene natrium, harus segera tersedia.13
1. Persiapan Pasien
Rencana preoperatif menyeluruh harus dilakukan sebelum induksi anestesi
umum dan idealnya, sebelum hari operasi. Evaluasi anestesi pra operasi memungkinkan
untuk memperoleh tes laboratorium yang ditunjukkan, prosedur pencitraan, atau
konsultasi medis tambahan bila diperlukan. Riwayat lengkap harus diperoleh dengan
memperhatikan segala kondisi medis baru, sedang berlangsung, atau memburuk, reaksi
merugikan pribadi atau keluarga sebelumnya terhadap anestesi umum, penilaian
keadaan jantung dan paru fungsional, dan riwayat alergi dan pengobatan. Evaluasi pra
operasi juga membantu meredakan kegelisahan dari lingkungan bedah yang tidak
diketahui untuk pasien dan keluarga mereka serta mengurangi kemungkinan pembatalan
kasus pada hari yang sama. Secara keseluruhan, proses ini memungkinkan optimalisasi
pasien dalam pengaturan perioperatif. Pemeriksaan fisik yang terkait dengan evaluasi
pra operasi memungkinkan penyedia anestesi untuk fokus secara khusus pada kondisi
jalan nafas yang diharapkan, termasuk pembukaan mulut, gigi yang longgar atau
bermasalah, keterbatasan dalam rentang gerak leher, anatomi leher, dan presentasi
Mallampati. Dengan menggabungkan semua faktor, rencana yang tepat untuk intubasi
dapat diuraikan dan langkah-langkah tambahan, jika perlu, dapat diambil untuk
mempersiapkan bronkoskopi serat optik, laringoskopi video, atau berbagai intervensi
jalan napas sulit lainnya.13

Tabel 2.2 Status fisik ASA

13
2. Tatalaksana Jalan Napas
Berbagai sistem penilaian telah dibuat menggunakan pengukuran orofasial untuk
memprediksi kesulitan intubasi. Yang paling banyak digunakan adalah skor
Mallampati, yang mengidentifikasi pasien yang faringnya tidak divisualisasikan dengan
baik melalui mulut terbuka. Penilaian Mallampati idealnya dilakukan ketika pasien
duduk dengan mulut terbuka dan lidah keluar. Pada banyak pasien yang diintubasi
untuk indikasi yang muncul, jenis penilaian ini tidak mungkin. Penilaian kasar dapat
dilakukan dengan pasien dalam posisi terlentang untuk mendapatkan apresiasi dari
ukuran pembukaan mulut dan kemungkinan bahwa lidah dan orofaring mungkin
menjadi faktor dalam keberhasilan intubasi.13

Gambar 2.3 Skor Mallampati

Skor Mallampati yang tinggi telah terbukti sebagai prediksi intubasi yang sulit.
Namun, tidak ada sistem penilaian yang sepenuhnya dapat diprediksi dan penyedia
layanan juga harus mengantisipasi jalan napas sulit yang tidak terduga. Selain intubasi
selama operasi, beberapa pasien mungkin memerlukan intubasi awal pasca operasi yang
tidak diantisipasi. Sebuah penelitian berskala besar terhadap 109.636 pasien dewasa
yang menjalani operasi non-emergensi dan non-kardiak, mengidentifikasi faktor-faktor
risiko untuk intubasi pasca operasi. Prediktor independen termasuk komorbiditas pasien
seperti penyakit paru obstruktif kronik, diabetes tergantung insulin, gagal jantung
kongestif aktif, dan hipertensi. Tingkat keparahan operasi juga merupakan faktor risiko
14
yang diidentifikasi. Setengah dari intubasi trakea yang tidak terduga terjadi dalam 3 hari
pertama setelah operasi dan secara independen terkait dengan peningkatan mortalitas 9
kali lipat.13
3. Kebutuhan Lainnya
Untuk induksi anestesi umum, penting agar pasien berpuasa dengan benar untuk
mencegah kejadian yang tidak diinginkan seperti aspirasi paru. Tentu saja, kasus darurat
tidak ditunda sampai waktu puasa terpenuhi. Pasien harus diinstruksikan sesuai
pedoman ASA tentang puasa perioperatif. Waktu puasa yang terlalu lama harus
dihindari untuk mengurangi dehidrasi, hipotensi pascainduksi, dan ketidakpuasan
pasien. Pasien harus terus minum obat yang dijadwalkan secara teratur hingga dan
termasuk pagi hari sebelum operasi. Pengecualian dapat mencakup hal berikut:
 Antikoagulan untuk menghindari peningkatan perdarahan bedah
 Hipoglikemik oral (mis., Metformin adalah agen hipoglikemik oral yang
berhubungan dengan perkembangan asidosis metabolik dengan anestesi umum)
 Inhibitor monoamine oksidase
 Agen anti-hipertensi tertentu (mis., ACE inhibitor) yang dapat menjadi keadaan
hipotensi akibat anestesi

 Terapi beta blocker harus dilanjutkan secara perioperatif untuk pasien berisiko
tinggi yang menjalani operasi non-kardiak mayor
 Banyak obat tanpa resep, suplemen herbal, vitamin dapat mengganggu anestesi
dan pembedahan, terutama yang memiliki sifat antikoagulan (mis., Bawang
putih).13
4. Premedikasi
Tahap ini, yang biasanya dilakukan di bangsal bedah atau ruangan pra operasi,
berasal dari hari-hari awal anestesi, ketika morfin dan skopolamin secara rutin diberikan
untuk membuat penghirupan eter yang sangat menyengat dan uap kloroform lebih dapat
ditoleransi. Tujuan dari premedikasi adalah agar pasien tiba di ruang operasi dalam
kerangka pikiran yang tenang dan santai. Premedikasi yang paling umum digunakan
adalah midazolam, benzodiazepine kerja singkat yang memiliki manfaat memberikan
amnesia antegrade. Sirup midazolam oral sering diberikan kepada anak-anak untuk
memfasilitasi pemisahan yang tenang dari orang tua mereka sebelum anestesi. Untuk
mengantisipasi nyeri akibat bedah, obat antiinflamasi nonsteroid atau asetaminofen
dapat diberikan sebelumnya. Ketika ada riwayat refluks gastroesofagus, H 2-blocker dan
antasida dapat diberikan.
15
2.3.3 Intra-Operatif
1. Induksi
Induksi anestesi dapat dilakukan dengan menghirup gas anestesi atau dengan
menggunakan agen intravena, atau keduanya. Sebagian besar, praktik kontemporer
menyatakan bahwa pasien dewasa dan sebagian besar anak berusia setidaknya 10 tahun
diinduksi dengan obat intravena, ini menjadi pengalaman yang cepat dan minimal tidak
menyenangkan bagi pasien. Namun, sevoflurane, uap anestesi yang dapat ditoleransi
dengan baik, memungkinkan induksi inhalasi anestesi secara elektif pada orang dewasa.
Selain obat induksi, sebagian besar pasien menerima suntikan analgesik opioid. Agen
induksi dan opioid bekerja secara sinergis untuk menginduksi anestesi. Selain itu,
antisipasi terhadap peristiwa yang akan terjadi, seperti intubasi endotrakeal dan sayatan
kulit, umumnya meningkatkan tekanan darah dan detak jantung pasien. Analgesia
opioid membantu mengurangi respons yang tidak diinginkan ini, yang dapat menjadi
keadaan yang buruk pada pasien dengan penyakit jantung berat. Langkah selanjutnya
dari proses induksi adalah mengamankan jalan napas. Ini mungkin masalah sederhana
dengan memegang rahang pasien secara manual sehingga pernapasan alami tidak
terhalang oleh lidah, atau mungkin menuntut pemasangan alat saluran napas prostetik
seperti saluran napas laring (laryngeal mask airway / LMA) atau tabung endotrakeal
(endotracheal tube / ETT). Berbagai faktor dipertimbangkan ketika membuat keputusan
ini. Keputusan utama adalah apakah pasien memerlukan penempatan ETT. Indikasi
potensial untuk intubasi endotrakeal dengan anestesi umum dapat meliputi:
 Berpotensi untuk kontaminasi jalan nafas (perut penuh, refluks gastroesofagus
[GE], gastrointestinal [GI] atau perdarahan faring)
 Kebutuhan relaksasi otot untuk pembedahan
 Kesulitan yang dapat diprediksi dengan intubasi endotrakeal atau akses jalan
napas (mis. Posisi pasien lateral atau beresiko)
 Pembedahan di mulut atau wajah
 Prosedur bedah yang lama.
Jika operasi berlangsung di perut atau dada, obat penenang otot jangka
menengah atau panjang diberikan di samping agen induksi dan opioid. Ini akan
melumpuhkan otot-otot tanpa pandang bulu, termasuk otot-otot pernapasan. Oleh
karena itu, paru-paru pasien harus diventilasi di bawah tekanan, memerlukan tabung

16
endotrakeal. Orang-orang yang secara anatomis cenderung sulit untuk diintubasi
biasanya diintubasi secara elektif di awal prosedur, menggunakan teleskop yang
fleksibel atau kaku atau alat jalan nafas canggih lainnya.13
2. Pemeliharaan Anestesi
Selama prosedur, bidang anestesi dipertahankan menggunakan inhalasi terus
menerus atau agen intravena, baik sendiri atau dalam kombinasi. Untuk kasus-kasus
tertentu, lebih disukai menggunakan anestesi intravena total (mis., Operasi skoliosis).
Umumnya, pemeliharaan anestesi dilakukan dengan inhalasi gas anestesi terus menerus.
Ini dapat dihirup ketika pasien bernafas secara spontan atau dilahirkan di bawah tekanan
oleh setiap napas mekanik dari ventilator. Fase pemeliharaan biasanya merupakan
bagian paling stabil dari anestesi. Namun, memahami bahwa anestesi adalah rangkaian
kedalaman yang berbeda adalah penting. Tingkat anestesi yang memuaskan untuk
pembedahan pada kulit ekstremitas, misalnya, tidak memadai untuk operasi perut besar.

Gambar 2.4 Endotracheal Tube dan Laryngeal Mask Airway

Tingkat anestesi yang sesuai harus dipilih baik untuk prosedur yang
direncanakan maupun untuk berbagai tahapannya. Saat prosedur berlangsung, tingkat
anestesi disesuaikan untuk memberikan jumlah minimum anestesi yang diperlukan
untuk memastikan kedalaman anestesi yang memadai. Ini membutuhkan pengalaman
dan penilaian. Keistimewaan anestesiologi adalah mengembangkan metode yang dapat
diandalkan untuk menghindari kasus kesadaran di bawah pengaruh bius. Kedalaman
anestesi yang berlebihan, di sisi lain, dikaitkan dengan penurunan denyut jantung dan
17
tekanan darah, dan, jika ekstrim, dapat membahayakan perfusi ke organ vital. Efek
jangka pendek dari kesalahan serius ini, hasil kedalaman yang berlebihan membuat
kebangkitan lebih lambat dan lebih banyak efek buruk. Ketika prosedur pembedahan
hampir berakhir, perencanaan membangkitkan pasien dari pembiusan. Pengalaman dan
komunikasi yang erat dengan dokter bedah memungkinkan penyedia anestesi untuk
memprediksi waktu kapan operasi akan selesai. Relaksasi otot berlebih dibalik
menggunakan obat-obatan tertentu dan analgesik opioid kerja panjang yang memadai
untuk analgesia lanjutan pada periode pasca operasi. Pengangkatan alat bantu jalan
nafas dilakukan hanya setelah pasien telah memenuhi daftar panjang kriteria ekstubasi.13
3. Obat-obat Anestesi
 Agen induksi
Propofol, anestesi intravena non-barbiturat, telah menggantikan barbiturat dalam
banyak praktik anestesi.
 Agen inhalasi anestesi (gas)
Berupa klorofluorokarbon yang sangat kuat, yang dikirim dengan presisi dari
alat penguap dan langsung ke aliran gas inhalasi pasien. Dapat dicampur dengan nitro
oksida, gas anestesi yang jauh lebih lemah tetapi bermanfaat. Anestesi juga dapat
diinduksi dengan menghirup uap. Berdasarkan profil kimianya, sevoflurane paling
umum digunakan untuk tujuan ini. Agen inhalasi dikirim oleh vaporizer yang mengubah
anestesi cair menjadi gas untuk inhalasi. Setiap gas memerlukan alat penguapnya
sendiri yang unik untuk menghasilkan konsentrasi yang telah ditentukan sebelumnya
yang bervariasi berdasarkan pada sifat kimia zat yang digunakan. Konsentrasi (dosis)
gas anestesi yang diperlukan bervariasi berdasarkan sebagian besar berdasarkan usia
pasien dan pada tingkat yang lebih rendah pada faktor-faktor pasien fisiologis lainnya.
 Analgesik opioid tradisional
Morfin, meperidin, dan hidromorfon banyak digunakan dalam anestesi dan juga
di unit gawat darurat, ruang bedah, dan ruang obstetri. Selain itu, penyedia anestesi
memiliki berbagai opioid sintetis, yang, secara umum, menyebabkan lebih sedikit
fluktuasi tekanan darah dan bertindak lebih pendek. Ini termasuk fentanyl, sufentanil,
dan remifentanil.
 Relaksan otot
Suksinilkolin, relaksan otot depolarisasi kerja cepat, secara tradisional menjadi
obat pilihan ketika dibutuhkan relaksasi otot yang cepat. Relaksan otot non-depolarisasi
paling sering digunakan yang memberikan inhibisi reversibel di neuromuscular

18
junction. Durasi khas dosis tunggal adalah antara 30 dan 60 menit tetapi bervariasi
berdasarkan obat dan secara signifikan diperpanjang dalam pemberian berkelanjutan
atau berulang. Relaksan otot umumnya diekskresikan oleh ginjal, tetapi beberapa
dipecah oleh enzim plasma dan dapat digunakan dengan aman pada pasien dengan
gagal ginjal parsial atau total.13
4. Posisi
Ketika menginduksi anestesi umum, pasien tidak lagi dapat melindungi jalan
napas mereka, memberikan upaya pernapasan yang efektif, atau melindungi diri dari
cedera. Untuk alasan ini, posisi ideal untuk anestesi umum sangat penting dan dapat
membantu mencegah kemungkinan cedera dan konsekuensi yang dapat memperburuk
kondisi umum pasien.13

Gambar 2.5 Sediaan obat-obat anestesi: propofol, agen anestesi inhalan, fentanyl,
rocuronium dan atracurium.

 Posisi induksi
Ketika menginduksi pada anestesi umum, pasien tidak lagi dapat melindungi
jalan napas mereka atau memberikan upaya pernapasan yang efektif. Tujuan perawatan
adalah untuk menyediakan ventilasi dan oksigenasi yang memadai selama anestesi
umum. Pasien dievaluasi pada periode pra operasi untuk tanda-tanda ventilasi masker
yang sulit dan / atau intubasi. Pemosisian sangat penting pada pasien gemuk yang tidak

19
sehat. Habitus tubuh pasien ini dapat membuat mereka sulit untuk berventilasi dan
intubasi. Posisi masking dan intubasi yang ideal disebut posisi "sniffing". Ini diperoleh
dengan mengangkat dagu pasien ke atas (ketika terlentang) sehingga untuk melihat, dari
tampilan profil, bahwa pasien menghirup udara. Melakukan hal ini selain dengan
mengangkat mandibula ke depan (untuk mengeluarkan lidah dari orofaring)
memfasilitasi ventilasi masker yang paling mudah. Saat mencoba intubasi, tujuan
pemosisian adalah untuk menyelaraskan tragus telinga dengan sternum. Ini
meningkatkan kondisi intubasi dan menciptakan visualisasi langsung pita suara saat
melakukan laringoskopi langsung.
 Posisi saat anestesi umum
Ketika seorang pasien berada di bawah anestesi umum, semua refleks pelindung
hilang, jadi penyedia harus sangat berhati-hati untuk memposisikan pasien. Perhatian
utama dari penentuan posisi adalah cedera mata, cedera saraf perifer, cedera
muskuloskeletal, dan cedera kulit. Awalnya setelah induksi anestesi, kelopak mata
harus ditutup dengan lembut dalam posisi tertutup. Ini membantu mencegah cedera
kornea dengan goresan kornea yang tidak disengaja. Cedera okular lain yang dapat
dibuat lebih kecil kemungkinannya selama posisi bedah adalah untuk mencegah
kongesti vena okular, yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan perioperatif. Ini
sering terlihat pada pasien rawan yang mengalami peningkatan tekanan okular baik
melalui kekuatan mekanik pada mata atau peningkatan kongesti vena, terutama pada
operasi panjang yang ada kehilangan darah (mis., Skoliosis). Kekhawatiran lain selama
anestesi umum adalah cedera saraf perifer. Cedera saraf perifer yang paling umum
adalah saraf ulnaris, saraf peroneum yang umum, dan cedera pleksus brakialis. Ini dapat
dicegah dengan posisi yang tepat, bantalan, dan kewaspadaan selama anestesi umum.
Lengan harus kurang dari 90° dalam hubungannya dengan tubuh. Lapisan gel / busa
harus digunakan untuk saraf superfisial (mis., Saraf ulnaris). Cegah pemosisian
terhadap benda keras (mis., Logam, plastik). Cegah hiperekstensi / fleksi tulang
belakang atau leher.13

2.3.4 Post-Operatif
Setelah bangun, pasien biasanya pulih di unit pemulihan pasca anestesi
(recovery room / RR). Pada pasien yang lebih kritis, pemulihan dapat terjadi langsung
di unit perawatan intensif (ICU). Pasien pulih di unit pemulihan sampai mereka
memenuhi kriteria pelepasan ruang pemulihan. Kriteria pelepasan dari fase 1 ke fase 2
sering didasarkan pada skor Aldrete (dimodifikasi), yang mencakup aktivitas, sirkulasi,
20
saturasi oksigen kesadaran yang memadai, dan pemeliharaan respirasi. Fase 2 ruang
pemulihan harus dipenuhi sebelum pasien pulang. Ini termasuk kemampuan untuk
mempertahankan pembalut situs bedah yang tepat, kontrol nyeri yang memadai,
normotermia, kemampuan ambulasi, tidak adanya mual, dan menghilangkan dan tanda-
tanda vital yang stabil. Semua pasien yang menjalani anestesi umum minimal harus
memiliki catatan pasca operasi yang mendokumentasikan beberapa poin ini (tergantung
institusi). Idealnya, pasien harus ditanyai setelah kembali ke kognisi awal ketika
masalah yang lebih klandestin dapat diatasi (mis., Lecet kornea dan sangat jarang,
kesadaran di bawah anestesi).13

Gambar 2.6 Posisi supinasi, pronasi dan lateral

21
BAB 3
LAPORAN ANESTESI

3.1 Ilustrasi Kasus


Laporan kasus ini membahas pasien seorang perempuan, usia 31 tahun dengan
diagnosis Thyroid Neoplasma Suggest Malignant, jenis tindakan ismulobectomi +
imprint dengan rencana anastesi umum.

1. Identitas Pasien

Nama : LW
Umur : 31 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Protestan
Status : Menikah
Tinggi / Berat badan : 160 cm / 60 kg
No. RM : 01.08.80.65
Tanggal Masuk : 08 Juli 2019
Tanggal Operasi : 09 Juli 2019
Anamnesis
 Keluhan utama : Benjolan dileher
 Riwayat penyakit sekarang : Benjolan dileher dialami pasien ± 3 tahun
ini dan memberat 1 minggu ini. Awalnya benjolan tidak mengganggu tetapi
sekarang benjolan bertambah besar yang menyebabkan gangguan menelan pada
pasien tetapi sesak napas disangkal oleh pasien. Benjolan bergerak jika pasien
menelan. Benjolan tidak disertai rasa nyeri dan rasa panas. Keringat berlebihan
dan tangan bergetar disangkal oleh pasien. Buang air kecil dan buang air besar
dalam batas normal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat sakit serupa : disangkal
 Riwayat dirawat : disangkal
 Hipertensi : disangkal
 Asma : disangkal
22
 Alergi obat-obatan dan makanan : disangkal
 Alergi udara dingin : disangkal
 Diabetes : disangkal
 Penyakit jantung : disangkal
 Penyakit paru : disangkal
 Kejang : disangkal
 Penyakit hati : disangkal
 Penyakit ginjal : disangkal
 Riwayat operasi dan anestesi : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat kencing manis : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal

5. Riwayat Kebiasaan
 Merokok : dijumpai
 Minum alkohol : dijumpai
 Narkotik : disangkal
 Olahraga :-

6. Keadaan Pra Bedah (Follow Up Anestesi 08 Juli 2019)


B1 (Breath)
Airway : Clear
Frekuensi pernafasan : 20 x/i
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : (-)
Riwayat asma/sesak/batuk/alergi: -/-/-/-
B2 (Blood)
Akral : Hangat/merah
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/i
T/V : Cukup
23
Temperatur : 36,7oC
Konj.palp inferior pucat/hiperemis/ikterik : -/-/-
B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis
Refleks Cahaya : +/+
Pupil : Isokor
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Riwayat kejang/ muntah proyektil/ nyeri kepala/ pandangan kabur : -/ -/ -/ -
B4 (Bladder)
Urine :+
Volume : Cukup
Warna : Kuning jernih
Kateter :-
B5 (Bowel)
Abdomen : soepel (+), distensi (-), nyeri tekan (-)
Peristaltik : (+)
Mual/Muntah : -/-
BAB/Flatus : +/+
NGT :-
B6 (Bone)
Fraktur :-
Luka bakar :-
Oedem :-

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Hematologi
Hb : 13,40 gr/dl (N: 12-16 gr/dl)
Ht : 39,40 % (N : 37-47 %)
Eritrosit : 4,84 juta/ul (N: 4,3-6,0 juta/ul)
Leukosit : 8.440 /ul (N: 4800-10800/ul)
Trombosit : 274.000/ul (N: 150000-400000/ul)

 Koagulasi
24
INR : 0,92 detik
Waktu Protombin : 12,6 menit
APTT : 32,4 detik
 Kimia klinik
SGOT (AST) : 23,00 mU/dl (N: 0-32 mU/dl)
SGPT (ALT) : 30,00 mU/dl (N: 0-33 mU/dl)
Alkaline phosphatase : 95,00 mU/dl (N: 30,00-142,00 mU/dl)
Total bilirubin : 0,49 mg/dl (N: 0-1,2)
Bilirubin direct : 0,16 mg/dl (N: 0,05-0,30)
Ureum : 15,00 mg/dl (N: 20-50 mg/dl)
Creatinin : 0,52 mg/dl (N: 0,5-1,5 mg/dl)
Glukosa Darah adr : 131,00 mg/dl (N:<140 mgdl)
Natrium : 145 mmol/dl (N : 136-155 mmol/dl)
Kalium : 4,10 mmol/dl (N:3,5-5,5 mmol/dl)
Chlorida : 113 mmol/dl (N: 95-103 mmol/dl
 Profil Tiroid
T3 :2,13 nmol/L (N:0,92-2,33
T4 : 6,19 (N:4,70-9,39)
TSH : 0,66 (N:0,25-5,0)
 Rontgen Thorax : Tidak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo
 EKG : Sinus rhytem (low risk)
 USG Tiroid : Struma nodusa kiri 3.2 cm x 2.3 cm yang meluas sampai
ke isthmus kiri
 FNAB : Thy 2 (benign smear), kesan cystic colloid goiter

7. Diagnosa Kerja
Thyroid Neoplasma Suggest Malignant

8. Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA


ASA I

9. Rencana Tindakan
Ismulobectomy + Imprint

10. Rencana Anestesi


25
Anestesi Umum dengan Endotrakeal Tube Nafas Terkendali
Premedikasi : Fentanyl, Midazolam
Induksi : Propofol
Relaksan : Roculax

11. Kesimpulan
Pasien perempuan usia 31 tahun, berat badan 60 kg, status fisik ASA I,
diagnosis Thyroid Neoplasma Suggest Malignant yang akan dilakukan tindakan
ismulobectomy + imprint, rencana anastesi umum dengan endotrakeal tube
napas terkendali.

12. Dokumentasi

26
3.2 Persiapan Pasien
Sebelum Operasi (08 Juli 2019)
1. Pasien di konsultasikan ke spesialis anestesi dan spesialis bedah untuk menilai
kondisi fisik pasien, apakah pasien dalam kondisi fisik yang layak untuk dilakukan
tindakan operasi.
2. Setelah mendapatkan persetujuan dari spesialis anestesi dan spesialis bedah,
pasien di periksa 1 hari sebelum operasi (kunjungan pre-operatif), hasil dari kunjungan
pre-operatif ini telah dijabarkan sebelumnya.

Diruang perawatan (08 Juli 2019)


1. Informed consent
Bertujuan untuk memberitahukan kepada pasien dan keluarga pasien tindakan
medis apa yang akan dilakukan kepada pasien bagaimana pelaksanaannya,
kemungkinan hasilnya, resiko tindakan yang akan dilakukan.
2. Surat persetujuan operasi
Merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga pasien yang menunjukkan
persetujuan tindakan medis yang akan dilakukan sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan keluarga pasien tidak akan mengajukan tuntutan.
a. Pasien dipuasakan sejak pukul 00.00 WIB tanggal 09 Juli 2019, tujuannya
untuk memastikan bahwa lambung pasien telah kosong sebelum pembedahan
untuk menghindari kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang
akan membahayakan pasien.
b. Pengosongan kandung kemih pada pagi harinya pada pukul 06.00 WIB.
c. Pembersihan wajah dan kuku pasien dari kosmetik agar tidak mengganggu
pemeriksaan selama anastesi, misalnya bila ada sianosis. Gigi palsu dilepaskan
agar tidak mengganggu kelancaran proses intubasi dan bila ada perhiasan
sebaiknya diberikan kepada keluarga pasien.

Di Ruang Persiapan (09 Juli 2019)


1. Identifikasi Pasien
2. Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan.
3. Pemeriksaan fisik pasien di ruang persiapan : TD=110/70 mmHg, nadi =
80x/menit, suhu=36.70C, RR = 20x/menit

27
4. Pendataan kembali identitas pasien di ruang operasi. Anamnesa singkat kepada
keluarga yang meliputi BB, umur, riwayat penyakit, riwayat alergi, riwayat
kebiasaan, dan lainnya.
5. Pasien masuk kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi kemudian
dilakukan pemasangan EKG, manset, infus, dan oksimeter.
6. Pemeriksaan tanda tanda vital.

3.3 Persiapan Alat


 Laringoskop
 Stetoskop
 ETT no. 7
 Guedel (Oropharyngeal airway)
 Plester/Tape : Hypafix
 Mandrin
 Suction
 Ambu bag
 Spuit 3 cc, 5 cc dan 10 cc
 Gel lubricating
 Sarung tangan
 Face mask adult
 Pack
 Forcep Magill
 Mesin anestesi
 Komponen I : Sumber gas, flowmeter, dan vaporizer
 Komponen II : Sirkuit nafas / system ventilasi yaitu open,semiopen,
semiclose.
 Komponen III : Alat penghubung sistem ventilasi dengan pasien yaitu
sungkup muka dan pipa ombak.
 EKG monitor
 Sfigmomanometer digital
 Oksimeter/saturasi
 Infuse set
 Infuse set dan cairan infus – Ringer Laktat

28
 Abocath no.18 G
 Plester
 Alcohol swab
 Tourniquet

 Persiapan Obat-Obatan Anestesi


1. Premedikasi : Fentanyl 100 µg/2cc
Dosis : 1-2 µg/kgBB  50 -100 µg
Pemberian : 100 µg

Midazolam 5 mg/5cc
Dosis : 0,05-0,1 mg/kgBB 2,5 - 5 mg
Pemberian : 3 mg
2. Induksi Propofol 200 mg/20cc
: Dosis : 2-2,5 mg/kgBB 100 - 125 mg
Pemberian : 100 mg
4. Relaksan Roculax 50 mg/5cc
: Dosis : 0,6-1,2 mg/kgBB  30 - 60 mg
Pemberian : 50 mg
5. Maintenance Isoflurane 1%, N2O, O2
(rumatan)
:
Antibiotik -
:
Steroid -
:
Anti emetic selama op Ondansetron 8 mg
:
Obat reverse Sulfas atropine 0,75 mg : neostigmine 1,5
: mg
Anti emetic post op Ondansetron 8 mg/12 jam
:
Analgetik post op Ketorolac 30 mg/8 jam
:
Obat emergency  Sulfas Atropin dosis 0,25 mg-5
: mg IV
 Epinephrine dosis 1 mg atau

29
0.02 mg/kg larutan 1:10.000

3.4 Pelaksanaan Anestesi


Di Ruang Operasi
JAM (WIB)
09. 20  Pasien dari ruang tunggu masuk ke
ruang operasi
 Pindahkan pasien ke meja operasi
dengan posisi supinasi
 Pasang infus pada tangan kanan
menggunakan abocath no.18G dengan
cairan RL sejumlah 500 cc
 Memasang monitor EKG dan
oksimeter pulse
 Mengukur tekanan darah, nadi, saturasi
prainduksi (TD: 140/100 mmHg, Nadi :
90x/m, SPO2 : 99%)
 Pemberian obat analgetik fentanyl 100
mcg iv dan midazolam 3 mg iv
(premedikasi).
09.35  Induksi dengan propofol 100 mg iv.
 Memastikan pasien sudah tidak sadar dengan
cara memeriksa refleks bulu mata, kemudian
diberikan muscle relaksan yaitu roculax 50 mg
iv.
 Dilakukan preoksigenasi dengan sungkup
muka menggunakan O2 sebanyak 6 liter/menit,
kalau perlu nafas dibantu dengan menekan
balon nafas secara periodik ± 3 menit.
 Setelah relaksasi pasien diintubasi dengan ETT
no.7,0 cuff (+), pack (+), guedel (-), untuk
memastikan ETT terpasang dengan benar
dengarkan suara nafas dengan stetoskop bahwa

30
paru kanan dan kiri sama dan dinding dada
kanan dan kiri bergerak simetris pada setiap
inspirasi buatan, difiksasi menggunakan
plester.
 Tutup mata kanan dan kiri pasien dengan
plester.
 ETT dihubungkan dengan konektor ke sirkuit
nafas alat anestesi, kemudian N2O dibuka 2
liter/menit dan O2 2 liter/menit kemudian
isofluran dibuka 1%.
 Nafas pasien dikendalikan dengan respirator.
Inspirasi 400 ml dengan frekuensi 14 kali per
menit. (Bila menggunakan respirator setiap
inspirasi (volume tidal) diusahakan kurang
lebih 6-8 ml/kg BB dengan frekuensi 12-
20x/menit).
 Perhatikan apakah gerakan nafas pasien
simetris antara yang kanan dan kiri.
 TD: 130/80 mmHg, Nadi : 80x/m, SPO2 : 99%.
09.50 TD : 140/80 mmHg, nadi : 70x/menit SPO2 : 99%
10.10 TD : 130/90 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 99%
10.25 TD : 120/70 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 98%
10.40 TD : 110/70 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 98%
10.55 TD : 100/70 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 99%
11.10 TD : 100/70 mmHg, nadi : 70x/menit SPO2 : 99%
11.25 TD : 110/80 mmHg, nadi : 70x/menit SPO2 : 99%
11.30  Operasi selesai
 Pemberian obat anastesi dihentikan,
pemberian O2 dipertahankan
 TD 110/80 mmHg, Nadi 70x/menit,
SPO2 99%, ETT dan guedel dicabut
setelah pasien dapat dibangunkan.
Lendir dikeluarkan dengan suction lalu
pasien diberi oksigen murni selama 5
menit.
31
 Setelah semua peralatan dilepaskan
(EKG, manset tensimeter, oksimeter)
pasien dibawa ke ruang Recovery
Room.

Monitoring perdarahan
Perdarahan
Kassa basah : 10 x 15 cc = 150 cc
Kassa ½ basah : 5 x 10cc = 50 cc
Suction : 150 cc
Total : 250 cc
Infus RL o/t regio dorsum manus sinistra
Pre operasi : RL 500 ml 1 fls
Durante operasi : RL 500 ml 1 fls
Urine output : Kateter (-)
Post Operasi
Di Ruang Pemulihan
Setelah operasi selesai pukul 11.25, sekitar pukul 11.30 pasien dibawa ke ruang
Recovery Room, lalu diberikan oksigen via nasal canul sebesar 2 liter/menit, kemudian
dilakukan penilaian terhadap tingkat kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah
compos mentis, pasien tampak kesakitan. Dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital
ditemukan tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 78x/menit, respirasi 20x/menit dan
saturasi O2 100%.
Pasien di observasi di Recovery Room.
Instruksi Pasca Bedah :
 Bed rest, head up 300
 O2 2 L/i via nasal kanul
 Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam
 Injeksi Ondansentron 4 mg/12 jam
 Injeksi Ceftriaxone 2gr/24 jam
 Pantau vital sign per 15 menit selama 2 jam
BAB 4
PEMBAHASAN TEORI
TEORI KASUS

Indikasi Anestesi Umum


32
1. Pada bayi dan dan anak usia muda Pasien perempuan, usia 31 tahun
2. Pada orang dewasa yang memilih dengan diagnosis Thyroid Neoplasma
anestesi umum Suggest Malignant, akan dilakukan
3. Pasien gelisah, tidak kooperatif, tindakan ismulobectomy + imprint dengan
disorientasi dengan gangguan jiwa rencana anastesi umum akan tidak
4. Pembedahannya luas atau ekstensif memuaskan atau tidak praktis jika
5. Posisi pembedahan seperti miring, dilakukan anestesi lokal.
tengkurap, duduk atau litotomi
6. Penderita sakit mental
7. Pembedahan yang berlangsung lama
8. Pembedahan dimana anestesi lokal
tidak praktis atau tidak memuaskan
9. Riwayat penderita toksik atau alergi
obat anestesi local
10. Penderita dengan pengobatan
antikoagulantia

Komplikasi anestesi

1. Kerusakan fisik (pembuluh darah, Pada pasien ini tidak dijumpai komplikasi
intubasi) dari tindakan anestesi umum.

2. Pernapasan

3. Kardiovaskuler

4. Hati

5. Suhu tubuh

6. Persarafan

Klasifikasi
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai Pasien ini digolongkan dalam ASA 1
kebugaran fisik seseorang berasal dari The
American Society of Anesthesiologists
(ASA). Klasifikasi sebagai berikut :

33
ASA 1 : pasien sehat organik,
fisiologik, psikiatrik, biokimia

ASA 2 : pasien dengan penyakit


sistemik ringan dan sedang

ASA 3 : pasien dengan penyakit


sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas

ASA 4 : pasien dengan penyakit


sistemik berat yang tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan
penyakit merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat

ASA 5 : pasien sekarat yang


diperkirakan dangan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan
lebih dari 24 jam

Pada bedah cito atau emergency


biasanya dicantumkan huruf E.

BAB 5
KESIMPULAN

1. Pasien perempuan, usia 31 tahun dengan diagnosis Thyroid Neoplasma Suggest


Malignant, akan dilakukan tindakan ismulobectomy + imprint dengan rencana

34
anastesi umum akan tidak memuaskan atau tidak praktis jika dilakukan anestesi
lokal.
2. Pada pasien ini juga tidak dijumpai komplikasi dari tindakan anestesi umum
seperti kerusakan fisik (pembuluh darah dan intubasi), pernafasan,
kardiovaskular, hati dan suhu tubuh.
Pasien ini digolongkan dalam ASA 1.

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia. 2009. Pedoman Pendidikan Dokter


Spesialis Konsultan Bedah Onkologi Revisi Kedua. Bandung : Kolegium Bedah
Onkologi Indonesia
2. Brunicardi FC. 2015. Schwartz’s Principles of Surgery Tenth Edition. New York :
McGraw Hill
35
3. Zulfikar. 2014. Hubungan Antara Infiltrasi Limfosit Pada Kelenjar Tiroid Dengan
Kejadian Hipotiroid Pada Pasien Pasca Istmulobektomi di RSUP H. Adam Malik
Medan. Dikutip dari : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/45213
4. Gwinnutt M, Gwinnut C. 2017. Clinical Anaesthesia : Lecture Notes Fifth Edition.
West Sussex : Wiley Blackwell
5. Hardman JG, Hopkins PM, Struys MRM. 2017. Oxford Textbook of Anaesthesia
Volume 1. Oxford : Oxford University Press
6. Reksoprodjo S. 2018. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI. Jakarta : Binarupa
Aksara
7. Barret KE, Barman SM, Heddwen LB, Yuan J. 2019. Ganong’s Review of Medical
Physiology Twenty-Sixth Edition. New York : McGraw Hill
8. Ningsih C.A. 2009. Penanggulangan Efek Radioterapi Karsinoma Tiroid Dengan
Terapi Laser Low Level. Dikutip dari :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16845
9. Adham M, Aldino N. 2018. ORLI Vol. 48 No.2 : Diagnosis dan Tatalaksana
Karsinoma Tiroid Berdiferensiasi. Dikutip dari :
http://orli.or.id/index.php/orli/issue/view/22
10. Skilbeck C, Leslie A, Simo R. 2007. Thyroid Isthmusectomy : A Critical Appraisal.
Dikutip dari : https://www.cambridge.org/core/journals/journal-of-laryngology-
and-otology/article/thyroid-isthmusectomy-a-critical-
appraisal/A145623E87657AD39FDDE9B17F3982F6
11. Zollinger, Jr. RM, Ellison E.C. 2011. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations.
New York : McGraw Hill
12. American Society of Anesthesiologist. 2014. Continuum of Depth of Sedation :
Definition of General Anesthesia and Levels of Sedation/Analgesia. Dikutip dari :
https://www.asahq.org/standards-and-guidelines/continuum-of-depth-of-sedation-
definition-of-general-anesthesia-and-levels-of-sedationanalgesia
13. Adler AC. 2018. General Anesthesia. Dikutip dari :
https://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview
14. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R. 2004. Buku Ajar Anestesiologi
FKUI. Jakarta : Binarupa Aksara

36
37

Anda mungkin juga menyukai