Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia T
Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia T
Pengelolaan lingkungan bagi industri di bidang usaha tambang batubara merupakan hal
terpenting dari suatu kegiatan usaha yang harus dilakukan agar industri tetap berjalan
dan berkelanjutan. Pembangunan industri yang berkelanjutan mencakup tiga aspek
yaitu lingkungan (environment), ekonomi (economy) dan sosial/ kesempatan yang sama
bagi semua orang (equity) yang dikenal sebagai 3E. Aspek lingkungan tidak berdiri
sendiri namun sangat terkait dengan dua aspek lainnya. Dalam kegiatan internal
industri, peluang untuk memadukan aspek lingkungan dan ekonomi sangat besar,
tergantung cara mengelola lingkungan dengan bijak dan menguntungkan. Faktor sosial
yang sebagian besar menyangkut masyarakat sekitar atau di luar industri juga sangat
terkait dalam pengelolaan lingkungan.
Kaitan aspek lingkungan dengan ekonomi dan sosial dalam kegiatan industri tambang
batubara merupakan hal pokok dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan
dan keselamatan masyarakat sekitar. Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan
meningkatkan kualitas kehidupan, dengan meminimalkan pemakaian sumber daya alam
dan bahan-bahan beracun, memperkecil timbulan limbah dan pencemar selama daur
hidup produk sehingga tidak mengorbankan generasi mendatang dalam memenuhi
kebutuhannya (Purwanto, 2005).
Menurut Syafrudin (2005) dampak pencemaran terhadap badan air yang dihasilkan dari
limbah industri, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara
Pemerintah Indonesia memandang bahwa pengusahaan batubara masih diperlukan
untuk menunjang pembangunan, sehingga pengembangan tambang batubara masih
akan terus berlanjut. Pelaksanaan UU Mineral dan Batubara yang baru ditujukan untuk
mendorong realisasi hal itu. Di bawah ini adalah poin – poin penting dalam UU
tersebut:
Pasal 49 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) mengatur bahwa IUP diberikan
oleh Menteri, gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
2.2 Kebijakan Pemerintah Terhadap PETI
v Bagaimana Negara Mengatur Pertambangan Rakyat
Dibagian ini penulis ingin memaparkan secara singkat tentang pengaturan yang
dilakukan negara terhadap tambang-tambang rakyat. Pembahasan akan dibagi atas
periode Kolonial Belanda dengan Periode Republik Indonesia. Gambaran kedua periode
tersebut, secara tidak langsung memberikan gambaran kepada kita tentang
perbandingan kedua masa tersebut. Dalam perbandingan tersebut, terdapat perbedaan
dan kesamaan-kesamaan dan jika menganalisis sampai pada tataran paradigma
pengaturan tambang rakyat pada kedua zaman ini, maka pembahasan tentang
hubungan masyarakat adat dengan Negara dalam pengelolaan SDA yang dipaparkan
diatas akan menjadi relevan.
Seperti yang kita ketahui, sejak tahun 1709, VOC telah mengadakan transaksi jual beli
dengan Sultan Palembang, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penggalian timah di
pulau Bangka (1816), Pulau Belitung (1851), dan Pulau Singkep (1818). Pertambangan
Batubara di Indonesia pertama kali dilakukan oleh NV Oost Borneo Maatschapij pada
tahun 1849 di Pangaron, Kalimantan Timur. Pada tahun 1818 sebuah perusahaan swasta
Belanda melakukan kegiatannya di Pelereng, yang terletak 10 Km di tenggara
Samarinda. Pada tahun 1868-1873, dilakukan penyelidikan geologi di daerah Sungai
Durian, Sumatera Barat dan ditemukan suatu lapangan Batubara Ombilin yang
potensial. Pada tahun 1892, tambang batubara Ombilin di Sawahlunto mulai beroperasi
bersamaan dengan selesainya pembangunan kereta api pada tahun 1892.
Pada tahun 1899 pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan peraturan pokok
pertambangan diatur dalam Indonesische Mijwet tahun 1899 Staatsblad 241.
Indonesische Mijwet tahun 1899 Staatsblad 241 kemudian ditambah dan diubah pada
tahun 1910, 1918 dan 1906. Pada masa itu pertambangan-pertambangan besar seperti
pertambangan Batubara di Omblin dan pertambangan timah di Bangka dilakukan oleh
negara. Tetapi pihak swasta juga diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan
pertambangan seperti pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara .
Dalam beberapa kejadian, ditingkatan tertentu pemerintah Kolonial Belanda
mengikutsertakan masyarakat adat dalam proses pertambangan. Pada satu sisi,
pemerintah Kolonial Belanda merupakan penjajah yang ingin mendapatkan keuntungan
dari sumberdaya alam. Tapi disisi lain pemerintah Kolonial Belanda tidak mau
mengambil resiko dengan memasukkan secara paksa para penambang dalam areal
masyarakat adat.Terdapat kasus dimana pemerintah Kolonial Belanda mewajibkan
pengusaha pertambangan untuk mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian dengan
masyarakat adat pemilik wilayah adat tersebut setelah sipengusaha mendapat konsesi
pertambangan dari pemerintah colonial Belanda. Salah satu contoh menarik adalah di
Sawahlunto-Sumatera Barat. Wilayah yang diperjanjikan ini kemudian berkembang
menjadi wilayah pertambangan PT. BA-UPO di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Pada tanggal 27 Juli 1896 Emile Leunardus van Rouveroy van Nicuwaal, Asisten Residen
Tanah Datar yang sekaligus sebagai pelaksana tugas notaris keresidenan tersebut dan
daerah Vord Vander Capellen kedatangan tamu. Tamu tersebut terdiri dari seorang
pengusaha warganegara Belanda bernama Pieter Jacobus Scuuring bersama-sama dan
Djaar Gelar Sutan Pamuncak, wakil dari pangulu-pangulu suku di Laras Silungkang
dengan didampingi.
Kedua orang berlainan bangsa ini menginginkan perjanjian yang mereka buat
didaftarkan di notaris. Perjanjian tersebut berupa perjanjian antara Masyarakat Adat
Kelarasan Silungkang dengan Pieter Jacobus Scuuring tentang pengusahaan batubara
yang terdapat diwilayah masyarakat adat ini. Pokok perjanjiannya adalah:
Pembahasan tentang hak menguasai negara pada bagian ini sangatlah penting. Hak
Mengusai Negara merupakan dasar legitimasi konstitusional yang memberikan negara
kekuatan untuk mengatur, mengelola dan mengusahakan sumberdaya pertambangan.
Perdebatan tentang Hak Menguasai Negara (HMN) mendapat tempat yang lebar dalam
membahas hubungan Negara dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam
(PSDA) di Indonesia termasuk didalamnya pertambangan. Banyak penulis yang
konsernt terhadap hak-hak masyarakat dalam PSDA, menggugat dan mempertanyakan
kembali dasar filosofis, sosiologis dan yuridis HMN. Gugatan ini timbul karena bias
penguasaan yang dilakukan oleh Negara (pemerintah) terhadap SDA, telah
menimbulkan konflik-konflik land tenure dan land use antara pemerintah dengan
masyarakat.
HMN diadopsi dari dua akar konsep yaitu konsep Negara kesejahteraan dan konsep
ulayat yang dikenal dalam hukum adat. Sebagai kritik terhadap konsep Negara hukum
klasik yang dipengaruhi oleh paham liberalisme dan Negara hukum sosialis yang
dipengaruhi oleh paham marxisme .
Dalam konsep Negara kesejahteraan (welfare state) Negara tidak dipandang hanya
semata sebagai alat kekuasaan saja, tetapi Negara juga mempunyai fungsi sebagai alat
pelayanan (an agency of service). Ciri-ciri Negara kesejahteraan ini adalah;
UU No. 11 Tahun 1967 dilaksanakan melalui PP No. 32 Tahun 1969. Dalam ketentuan ini
ditentuakn bahwa pertambangan rakyat dapat dilakukan setelah mendapat Surat
Keputusan Izin Pertambangan Rakyat yang dikeluarkan oleh menteri. Dimana Surat
Keputusan Izin Pertambangan Rakyat adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh
Menteri kepada Rakyat setempat untuk melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-
kecilan dan dengan luas wilayah yang sangat terbatas.
Dari semua ketentuan tersebut terdapat dapat ditarik catatan penting tentang kebijakan
pemerintah yaitu :
Khalid Muhammad menulis bahwa Stigmatisasi PETI (Pertambangan Tanpa Ijin) juga
diberikan bagi para penambang emas yang rata-rata dilakukan dengan skala kecil dan
oleh masyarakat setempat ataupun pendatang dari daerah sekitar lokasi bahan tambang,
yang tergiur untuk mengadu nasip pada bahan tambang itu. Akhir-akhir ini berbagai
perhatian tertuju pada para penambang emas skala kecil, karena jumlah mereka dari
tahun ke tahun meningkat. Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Pengembangan
Teknologi Mineral (PPTM), saat ini terdapat 77.000 operasi penambangan kecil yang
menghasilkan hampir semua mineral untuk kegiatan industri yang bernilai sekitar US $
58 juta pertahun. Rendahnya jumlah penambang skala kecil yang mendapat ijin dari
pemerintah lebih disebabkan oleh persoalan birokrasi yang rumit dan bertele-tele dalam
memperoleh ijin penambangan .
Dalam nota keuangan diatas, PETI mendapat tempat strategis dimata pemerintah
sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab meningkat atau menurunnya
pendapatan negara dari sektor pertambangan. Dengan kenyataan ini, dalam rencana
kerja pemerintah tahun 2006, PETI menjadi salah satu prioritas yang harus ditangani
segera. Penetapan prioritas ini didasarkan pada pemikiran sebagai berikut;
Persoalan yang masih belum dapat dituntaskan dan menjadi tantangan adalah kasus-
kasus pertambangan tanpa ijin (PETI). Luasnya dimensi ekonomi, hukum dan sosial
dari kasus PETI ini membuat penanganannya harus hati-hati.
Salah satu sasaran pembangunan tahun 2006 adalah berkurangnya PETI dengan
kegiatan-kegiatan Evaluasi, pengawasan, dan penertiban kegiatan rakyat yang
berpotensi mencemari lingkungan khususnya penggunaan bahan merkuri dan sianida
dalam usaha pertambangan emas rakat termasuk pertambangan tanpa ijin (PETI) dan
bahan kimia tertentu sebagai bahan pembantu pada industri kecil.
Sangat menarik melihat salah satu sasaran pembangunan pertambangan pada tahun
1996 tersebut. Dimata pemerintah, PETI yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat
menjadi sebuah masalah yang cukup besar yang menyebabkan menurunnya pendapatan
negara. Tentu pencantuman PETI sebagai salah satu sasaran pembangunan
pertambangan akan menimbulkan dampak yang serius terhadap pertambangan-
pertambangan rakyat. Karena sebagian besar pertambangan rakyat dalam operasinya
tidak memiliki ijin resmi dari pemerintah.
Terjadi generalisasi pandangan terhadap kedua jenis PETI (versi lama dan baru). Tidak
ada pembahasan lebih jauh terhadap PETI versi lama (tradisonal) yang sebagian besar
adalah penambang-penambang tradisi seperti yang diungkap pada bagian-bagian awal
makalah ini. Persoalan-persoalan yang timbul dan menghadapkan negara dengan
penambang rakyat / PETI versi lama (tradisonal) yang seringkali tergusur ketika wilayah
penambangannya ditimpa oleh kontrak-kontrak penambangan besar, seperti dilupakan.
Sehingga dengan paradigma seperti ini, maka perlakukan terhadap PETI versi baru
dengan versi lama akan sama.
Dalam tingkatan tertinggi, terdapat upaya untuk mendorong wacana tentang HMN dan
pengakuan negara atas hak ulayat masyarakat adat kearah yang lebih menguntungkan
pihak pertambangan. UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dianggap oleh para pembuat
naskah akdemik ini menjadi sebuah hambatan bagi perkembangan pertambangan
khususnya pengaturan Hak Mengusai Negara yang tidak berarti dimiliki (penjelasan
umum angka I), pengakuan hak ulayat (Pasal 3 UUPA) dan kedudukan sederajat hak
atas tanah (Pasal 40) .
Jika dianalisa lebih mendalam, dari pokok-poko pemikiran yang tertuang dalam naskah
akademik RUU Minerba, terdapat upaya terselubung untuk semakin memperkuat
kekuasaan negara atas sumberdaya pertambangan. Terdapat keinginan untuk
mendorong hak-hak pertambangan memiliki posisi yang lebih tinggi dari hak-hak atas
tanah, salah satunya hak ulayat. Akan tetapi logika HMN yang ditawarkan oleh naskah
akademi RUU minerba menjadi inkonsisten dengan tawaran yang dimunculkan pada
pasal pengusahaan sumberdaya mineral dan batubara. Pembahasan ini akan relefan
untuk menjawab pertanyaan mengapa negara bisa melakukan kontrak-kontrak
pertambangan yang menjadi ranahnya hukum private. Tetapi wacana ini justru dijawab
dengan mekanisme perinjinan .
Kampanye intensif tentang perusakan lingkungan yang dilakukan oleh tambang rakyat,
meskipun mengandung beberapa kebenaran, sebaliknya kesan yang kuat muncul
menunjukkan kurangnya perhatian dan orientasi pembinaan terhadap mereka. Jika
keseriusan pembinaan terhadap pertambangan rakyat ada dan orientasi pengembangan
pertambangan membuka kesempatan yang luas dan setara terhadap penambangan
rakyat, maka kita dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain seperti Bolivia
dalam memperlakukan tambang emas rakyat. Untuk memperbaiki kualitas lingkungan
pada pertambangan emas rakyat skala kecil, pemerintah Bolivia mengadakan perjanjian
dengan pemerintah Swiss untuk menjalankan Program Manajemen Lingkungan Hidup
Terpadu Pada Usaha Pertambangan Skala Kecil (MEDMIN). Program ini dilaksanakan
oleh Dirjen Lingkungan Hidup, Politik dan Norma Kementerian Perencanaan dan
Pembangunan Berkesinambungan Bolivia. Medmin mengambangkan beberapa metode
dalam pengolahan emas dalam pengurangan emisi mercury dan telah berhasil
menurunkan emisi mercury tersebut sebanyak 5 ton per tahun .
Setelah menjelajah jauh kedalam satu bilik sejarah pertambangan rakyat, terdapat
beberapa catatan penting yang semestinya dapat menjadi pelita yang akan menerangi
jalan bagi pencarian-pencarian upaya terbaik untuk mendudukkan sumberdaya
pertambangan khususnya mineral dan batubara.
v Solusi Transisional
Tabel 1 di bawah ini menampilkan data aktual konsumsi energi primer Indonesia tahun
2008 dan prediksi konsumsi energi primer tahun 2025, sedangkan tabel 2 menunjukkan
komposisi pembangkitan listrik dari tahun 2005 sampai 2007. Pada komposisi energi
primer terlihat peningkatan rasio untuk batubara setiap tahunnya, dimana persentase
batubara yang hanya sebesar 18.3% pada tahun 2008, direncanakan meningkat hingga
33% pada tahun 2025. Rencana ini adalah berdasarkan Peraturan Presiden No 5 tahun
2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan peranan batubara sebesar
33% pada bauran energi nasional di tahun 2025. Peraturan ini menunjukkan dengan
jelas mengenai kebijakan untuk mendorong pengusahaan batubara, sebagai upaya untuk
mendukung konversi energi minyak ke batubara. Dalam pembangkitan listrik pun rasio
pemakaian batubara juga terus meningkat setiap tahunnya, dimana realisasi pada tahun
2007 mencatat angka sebesar 63%. Adapun rasio gas alam pada pembangkitan listrik
menurun karena adanya kebijakan peningkatan ekspor gas.
Tabel 1. Statistik energi primer
Sistem operasi produksi batubara Indonesia secara garis besar terbagi menjadi 4
kelompok, yaitu ① BUMN (PT Bukit Asam/PTBA), ② PKP2B atau Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (Coal Contract of Work/CCoW) yang terbagi
menjadi 3 generasi, ③ KP (Kuasa Penambangan), dan ④ KUD. PKP2B adalah
kelompok yang lahir dari hasil kebijakan pemerintah Indonesia dalam mendorong
pengusahaan batubara melalui upaya mengundang investasi asing secara agresif.
Tambang – tambang PKP2B memberikan kontribusi yang besar dalam menggenjot
jumlah produksi batubara Indonesia yang meningkat secara drastis sekarang ini. PTBA
memiliki tambang terbuka skala besar di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, serta
tambang bawah tanah di Ombilin, Sumatera Barat. Adapun tambang – tambang
berstatus KP umumnya adalah tambang investasi dalam negeri, sedangkan tambang –
tambang KUD biasanya berskala kecil.
Dengan diundangkannya UU No 4 tahun 2009, maka hanya kontrak PKP2B yang masih
terus berlanjut, sedangkan sistem yang lainnya tidak berlaku lagi.
Statistik jumlah produksi batubara Indonesia ditampilkan pada tabel 5 di bawah. Pada
tahun 2009, jumlah produksi mencapai 256 juta ton, yang sebagian besar dihasilkan
oleh 10 perusahaan tambang PKP2B generasi 1. Berdasarkan realisasi produksi tahun
2008, tambang – tambang dengan jumlah produksi melebihi 10 juta ton adalah Adaro
(38 juta ton), KPC (36 juta ton), Kideco Jaya Agung (22 juta ton), Berau Coal (13 juta
ton), Arutmin (16 juta ton), serta Indominco Mandiri (11 juta ton). Keseluruhan jumlah
produksi dari keenam tambang tersebut mendekati 60% dari total produksi batubara
nasional.
v Dampak Positif Pengusahaan Batubara dan Kebijakan Yang Perlu Diambil
Royalti dan pajak lainnya dari batubara merupakan sumber pendapatan yang
penting bagi negara maupun daerah.
Ekspor batubara menjadi sumber devisa yang penting.
Mendorong terciptanya lapangan kerja di daerah serta kemajuan bagi daerah.
Meskipun demikian, diperlukan kebijakan baru untuk menjamin pengusahaan batubara
ini ke depannya, misalnya penguatan pengawasan tambang terkait berpindahnya
mekanisme pengawasan ke daerah, penanganan masalah lingkungan, serta tindakan
tegas terhadap penambangan tanpa ijin (PETI) yang selalu saja menjadi masalah laten.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
UU Minerba yang baru mengatur kebijakan DMO, yang berarti memprioritaskan
pemenuhan kebutuhan dalam negeri dibandingkan ekspor. Sudah tentu hal ini menjadi
perhatian bagi negara – negara pengimpor batubara Indonesia, termasuk Jepang di
dalamnya. Tetapi pemerintah Indonesia menyatakan bahwa volume ekspor tidak akan
mengalami kendala dalam beberapa waktu ke depan, karena pertumbuhan konsumsi
dalam negeri diperkirakan masih lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat
pertumbuhan produksi batubara nasional. Selain itu, pemerintah juga mencanangkan
pengurangan emisi CO sebesar 26% sampai dengan tahun 2030 melalui tindakan
2
seperti pemakaian bio-fuel dan konversi ke energi panas bumi, meskipun kebijakan
konkretnya masih belum jelas. Dengan demikian, maka topik yang harus diperhatikan
bersama adalah jumlah kebutuhan energi dalam negeri Indonesia dan sumber energi
yang memasoknya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/berita-tambang-a-
energi/2097-uu-pertambangan-mineral-dan-batubara-uji-materiil-uu-minerba-molor-
walhi-ancam-somasi-mk.html
http://sanyata.blogspot.com/