Anda di halaman 1dari 12

Makalah

Etika Keperawatan
Judul : Aplikasi Penerapan Hukum
Dosen Pengampu :
Ns. Lukman Aziz, S.Kep, MARS

Disusun Oleh: Kelompok 6


1. Adhirajasa Wira M (1920042)
2. Amila Ihsana (1920024)
3. Anggi Pratama (1920039)
4. Mia Siti Sumiati (1920031)
5. Puspita Ainun Karvitiana (1920041)
6. Singgih Romadhon (1920040)

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

AKADEMI KEPERAWATAN AL-IKHLAS BOGOR

2019
A. tanggung jawab hukum dalam perdata
Arti tanggung jawab secara kebahasaan adalah keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan
sebagainya).Istilah tanggung jawab dapat dibedakan dengan pertanggungjawaban. Menurut
kamus besar bahasa indonesia, arti pertanggungjawaban adalah perbuatan bertanggung jawab
dan sesuatu yang dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian pada tanggung jawab lebih ditekankan pada adanya kewajiban
untuk menanggung yang dapat dikenakan, sedangkan pertanggungjawaban pada adanya
sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan, akibat dari dilakukannya suatu perbuatan atau
tindakan tertentu.

Tanggung jawab hukum adalah kewajiban menanggung suatu akibat menurut


ketentuan hukum yang berlaku. Di sini, ada norma atau peraturan hukum yang mengatur
tentang tanggung jawab. Ketika ada perbuatan yang melanggar norma hukum itu, maka
pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan norma hukum yang
dilanngarnya.

Tanggung jawab hukum dalam hukum perdata berupa tanggung jawab akibat
perbuatan melanggar hukum (onrechtsmatigedaad) dan tanggung jawab akibat perbuatan
ingkar janji (wanprestasi). Segala kesalahan atau kelalaian penjual yang dapat menimbulkan
kerugian kepada pembeli khususnya, atau kepada masyarakat umumnya haruslah
bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya ini. Tanggung jawab ini tidak hanya
berlaku untuk kerugian barang yang diperdagangkan, tapi juga bertanggung jawab terhadap
iklan-iklan barang dan/atau jasa yang diiklankan.

Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum diatur dalam Pasal 1365
KUHPerdata, dimana diperlukan persyaratan tertentu agar si pelanggar hukum dapat
dimintai pertanggungjawaban.

Bunyi dari Pasal 1365 KUHP perdata yaitu

“tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Sedangkan tanggung jawab akibat perbuatan wanprestasi sendiri yaitu merupakan


tanggung jawab berdasarkan kontrak. Dalam literatur dan referensi hukum perjanjian selalu
dikemukakan bahwa kontrak merupakan perjanjian dalam bentuk tertulis. Perjanjian atau
kontrak merupakan indikator adanya interaksi dan transaksi antarpihak. Sehingga tidak ada
kontrak, maka tidak ada hubungan hukum. Logika hukum semacam inilah yang menjadi
landasan atau dasar diakui dan diterimanya asas privity of contract dimana disyaratkan
adanya hubungan hukum terlebih dahulu dari pihak-pihak, tanpa itu berarti tidak dapat
memiliki hak atau menjadi pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum.

Pertanggungjawaban hukum dibidang perdata akan bersumber pada perbuatan


melawan hukum atau wanprestasi. Namun kedua batasan pelanggaran hukum tersebut tetap
tidak akan lepas dari pelaksanaan pelayanan kesehatan asisten perawat. Tindakan asisten
perawat dapat dikatan sebagai perbuatan melawan hukum apabila terpenuhinya usur-unsur
yang tertuang dalam pasala 1365 KUHP perdata, yakni adanya kerugian nyata yang diderita
sebagai akibat langsung dari perbuatan tersebut. Sementara pertanggungjawaban dalam
kategori wanprestasi apabila terpenuhi unsur-unsur wanprestasi dalam pasal 1234 KUHP
perdata. Pertanggungjawaban perawat bila dilihat dari ketentuan dalam KUHP perdata maka
dapat dikategorikan kedalam 4 (empat) prinsip yaitu sebagi berikut :

1) Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau vicarious liability atau let’s
the master answer maupun the captain of ship melalui Pasal 1367 KUHPerdata, yang
menyatakan: “Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di
bawah pengawasannya” dalam hal ini pertanggungjawaban akan muncul apabila
kesalahan terjadi dalam menjalankan tuganya. Sebagai bagian dari tim maupun orang
yang bekerja di bawah perintah dokter atau puskesmas, maka asisten perawat akan
bersama-sama bertanggung gugat kepada kerugian yang menimpa pasien.
2) Pertanggungjawaban dengan asas Zaakwarneming berdasarkan Pasal 1354 KUHPerdata
yaitu “Jika seseorang dengan sukarela tanpa ditugaskan, mewakili urusan orang lain,
dengan atau tanpa setahu orang itu, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk
meneruskan serta menyelesaikan urusan itu, Ia harus membebani diri dengan segala
sesuatu yang termasuk urusan itu. Ia juga harus menjalankan segala kewajiban yang
harus ia pikul jika ia menerima kekuasaan yang dinyatakan secara tegas”. Dalam hal ini
konsep pertanggungjawaban terjadi seketika bagi seorang asisten perawat yang berada
dalam kondisi tertentu harus melakukan pertolongan darurat dimana tidak ada orang lain
yang berkompeten untuk itu sehingga asisten perawat menggantikan tugas atau peran dari
orang yang seharusnya berkompeten melaksanakan tugas tersebut.
3) Pertanggungjawaban langsung berdasarkan pasal 1365 KUHP perdata “Tiap perbuatan
yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”
dan pasal 1366 KUHP perdata “Setiap orang bertanggungjawab, mewajibkan bukan
hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian
yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya”. Berdasarkan
ketentuan pasal tersebut maka menurut penulis apabila seorang asisten perawat dalam
melakukan praktik pelayanan kesehatan tersebut melakukan kesalahan sehingga
mengakibatkan kerugian nyata pada pasien dan pasien tersebut menggugatnya maka
asisten perawat wajib memikul tanggung jawab perdata secara langsung.

4) Pertanggung jawaban karena gugatan wanprestasi berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata,


dalam wanprestasi seorang asisten perawat akan dimintai pertanggungjawaban apabila
terpenuhi unsur-unsur wanprestasi yaitu : Tidak mengerjakan kewajibannya sama sekali;
mengerjakan kewajiban tetapi terlambat; mengerjakan kewajiban tetapi tidak sesuai
dengan yang seharusnya; mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan;
Menurut penulis berdasarkan Pasal 1234 tersebut, dalam tindakan pemberian pelayanan
kesehatan oleh asisten perawat di desa swadaya, penegakan hukum secara perdata dapat
dikenakan pada asisten perawat karena telah melakukan wanprestasi yaitu apabila asisten
perawat mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan olehnya dalam konteks ini,
melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan dan kompetensi sebagai seorang
asisten perawat. Menurut hukum perdata, dasar pertanggungjawaban dibagi menjadi dua
macam yaitu pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (lilability without based on fault)
dan atas dasar resiko atau tanpa kesalahan (lilability without fault ) atau dikenal dengan
tanggung jawab mutlak.
Prinsip dasar pertanggung jawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa
seorang harus bertanggungjawab karena ia melakukan kesalahan dan merugikan orang lain,
sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah bahwa konsumen penggugat tidak
diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat langsung bertanggungjawab sebagai risiko dari
usahanya. risiko dalam hal ini selalu dihubungkan dengan kemungkinan terjadi sesuatu yang
merugikan yang tidak diduga atau tidak diinginkan. Dengan demikian risiko mempunyai
karakteristik yaitu merupakan ketidakpastian atas terjadinya suatu peristiwa dan
ketidakpastian bila terjadi akan menimbulkan kerugian. Wujud dari risiko itu bermacam-
macam yaitu berupa kerugian atas harta atau kekayaan, penghasilan, misalnya diakibatkan
oleh kebakaran, pencurian, pengangguran dan sebagainya; berupa penderitaan seseorang
misalnya sakit atau cacat karena kecelakaan. Untuk dapat dipertanggungjawabkan orang
yang melakukan perbuatan melawan hukum, menurut pasal 1365 KUHP perdata yaitu :

a. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig) ;

b. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian ;

c. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan (kelalaian) ;

d. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.
Perbuatan melawan hukum harus dibuktikan lebih dahulu adanya dasar
malpraktik yang tersebut tidak terpenuhi maka ijin dapat ditarik kembali. Di dalam
Undang-Undang Tenaga Kesehatan Tahun 2014, hal mendasar yang berkaitan dengan
perizinan yaitu:

a. Digunakan Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan oleh MTKI yang

berlaku selama lima tahun ;

b. Untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi, pertama kali dilakukan uji

kompetensi oleh organisasi profesi (dengan sertifikat kompetensi) ;

c. Masa berlaku Surat Ijin Praktek sesuai dengan Surat Tanda Registrasi.
Dengan kata lain, bila masa berlaku Surat Tanda Registrasi sudah habis maka
Surat Ijin Praktek juga habis.
B. Pertanggung jawaban Hukum dalam Pidana
Dalam bahasa inggris pertanggungjawaban pidana disebut sebagai responsibility, atau
criminal liability. Konsep pertanggungjawaban pidana sesungguhnya tidak hanya menyangkut
soal hukum semata-mata melaikan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum
yang dianut oleh suatu masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat, hal ini
dilakukan agar pertanggungjawaban pidana itu dicapi dengan memenuhi
keadilan.Pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk untuk menentukan apakah seorang
tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang telah terjadi.
Dengan kata lain pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk yang menentukan apakah
seseornag tersebuut dibebasakn atau dipidana.

Menurut Roeslan Saleh pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya


celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat
untuk dapt dipidana karena perbuatannya itu. Apayang dimaksud dengan celaan objektif adalah
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tersebut merupakan perbuatan yang dilarang, perbuatan
dilarang yang dimaksud disini adalah perbuatan yang memang bertentangan atau dialarang oleh
hukum baik hokum formil maupun hukum materil. Sedangkan yang dimaksud dengan celaan
subjektif merujuk kepada sipembuat perbuatan terlarang tersebut, atau dapat dikatakan celaan
yang subjektif adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang atau bertentangan dengan
hukum. Apabila perbuatan yang dilakukan suatu perbuatan yang dicela atau suatu perbuatan
yang dilarang namun apabila didalam diri seseorang tersebut ada kesalahan yang yang
menyebabkan tidak dapat bertanggungjawab maka pertanggungjawaban pidana tersebut tidak
mungkin ada.

Dalam pertanggungjawaban pidana makan beban pertanggungjawaban dibebankan


kepada pelaku pelanggaran tindak pidana berkaitan dengan dasar untuk menjatuhkan sanksi
pidana. Seseorang akan memiliki sifat pertanggungjawaban pidana apabila suatu hal atau
perbuatan yang dilakukan olehnya bersifat melawan hukum, namun seseorang dapat hilang sifat
bertaanggungjawabnya apabila didalam dirinya ditemukan suatu unsur yang menyebabkan
hilangnya kemampuan bertanggungjawab seseorang.

Menurut Chairul Huda bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas,
sedangkan dapat dipidananya pembuat adalah atas dasar kesalahan, hal ini berarti bahwa
seseorang akan mempunya pertanggungjawaban pidana bila ia telah melakukan perbuatan yang
salah dan bertentangan dengan hukum. Pada hakikatnya pertanggungjawaban pidana adalah
suatu bentuk mekanisme yang diciptakan untuk berekasi atas pelanggaran suatu perbuatan
tertentu yang telah disepakati.

Unsur kesalahan merupakan unsur utama dalam pertanggungjawaban pidana. Dalam pengertian
perbuatan tindak pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban pidana , perbuatan pidana hanya
menunjuk kepada apakah perbuatan tersebut melawan hukum atau dilarang oleh hukum,
mengenai apakah seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut kemudian dipidana
tergantung kepada apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana tersebut memiliki unsur
kesalahan atau tidak.

1. Teori-Teori Pertanggungjawaban Pidana


Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu
liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir
semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin
meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian,
ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-
undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan
termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban
bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan
praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat
kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada
pertanggungjawaban politik.

2. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana


Pertanggungjawaban adalah bentuk untuk menenutukan apakah seseorangakan dilepas
atau dipidana atas tindak pidana yang telah terjadi, dalam hal ini untuk mengatakan bahwa
seseornag memiliki aspek pertanggung jawaban pidana maka dalam hal itu terdapat beberapa
unsur yang harus terpenuhi untuk menyatakan bahwa seseornag tersebut dapat dimintakan
pertanggungjawaban. Unsur-unsur tersebut ialah:

a. Adanya suatu tindak pidana

Unsur perbuatan merupakan salah satu unsur yang pokok pertanggungjawaban pidana,
karena seseornag tidak dapat dipidana apabila tidak melakukan suatu perbuatan dimana
perbuatan yang dilakukan merupan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang hal itu sesuai
dengan asas legalitas yang kita anut. Asas legalitas nullum delictum nulla poena sine praevia
lege poenali artinya tidak dipidana suatu perbuatan apabila tidak ada Undnag-Undang atau aturan
yang mengatur mengenai larangan perbuatan tersebut.

b. Unsur kesalahan

Kesalahan yang dalam bahasa asing disebut dengan schuld adalah keadaan psikologi
seseorang yang berhubungan dengan perbuatan yang ia lakukan yang sedemikian rupa sehingga
berdasarkan keadaan tersebut perbuatan tersebut pelaku dapat dicela atas perbuatannya.
Pengertian kesalahan di sini digunakan dalam arti luas. Dalam KUHP kesalahan digunakan
dalam arti sempit, yaitu dalam arti kealpaan sebagaimana dapat dilihat dalam rumusan bahasa
Belanda yang berada dalam pasal 359 dan 360.

c. Kesengajaan

Dalam tindak pidana kebanyakan di Indonesia memiliki unsur kesengajaan atau opzettelijik
bukan unsur culpa. Hal ini berkaitan bahwa orang yang lebih pantas mendapatkan hukuman
adalah orang yang melakukan hal tersebut atau melakukan tindak pidana dengan unsur
kesengajan. Mengenai unsur kesalahan yangdisengaja ini tidak perlu dibuktikan bahwa pelaku
mengetahui bahwa perbuatananya diancam oleh undnag-undang , sehingga tidak perlu
dibuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh

pelaku merupaka perbuatan yang bersifat “jahat”. Sudah cukup dengan membuktikan bahwa
pelaku menghendaki perbuatannya tersebut dan mengetahui konsekuensi atas perbuataannya. Hal
ini sejalan dengan adagium fiksi, yang menyatakan bahwa setiap orang dianggap mengetahui isi
undang-undang, sehingga di anggap bahawa seseorang mengetahui tentang hukum, karena
seseorang tidak dapat menghindari aturan hukum dengan alasan tidak mengetahui hukum atau
tidak mengetahui bahwa hal itu dilarang. Kesengajan telah berkembang dalam yurisprudensi dan
doktrin sehingga umumnya telah diterima beberapa bentuk kesengajaan, yaitu :

1. Sengaja sebagai maksud

Sengaja sebagai maksud dalam kejahatan bentuk ini pelaku benar-benar menghendaki
(willens) dan mengetahui (wetens) atas perbuatan dan akibat dari perbuatan yang
pelaku perbuatan. Diberi contoh A merasa dipermalukan oleh B, oleh karena itu A
memiliki dendam khusus terhadap B, sehingga A memiliki rencana untuk mencelakai
B, suatu hati A membawa sebilah pisau dan menikam B, menyebabkan B tewas,
maka perbuatan A tersebut dapat dikatakan adalah perbuatan yang benar-benar ia
kehendaki. Matinya B akibat tikaman pisau A juga dikehndaki olehnya.

2. Sengaja sebagi suatu keharusan

contoh A ingin mengambil tas yang berada dibelakang estalase took, untuk mencapai
tas tersebut maka A perlu memecahkan kaca estalase, maka pecahnya kaca tersebut
bukan kehendak utama yang ingin dicapi oleh A, namunperbuatan itu dilakukannya
demi mencapai tujuan yang lain.kesengajaan menghancurkan kaca merupakan
sengaja dengan kesadaran tenatang keharusan.

3. Sengaja Sebagi kemungkinan

Dalam sengaja sebagai kemungkinan, pelaku sebenarnaya tidak menghendaki akibat


perbuatanya itu, tetapi pelaku sebelumnya telah mengethaui bahwa akibat itu
kemungkinan juga dapat terjadi, namun pelaku tetap melakukan perbuatannya dengan
mengambil resiko tersebut. Scaffrmeister mengemukakan contoh bahwa ada seorang
pengemudi yang menjalankan mobilnya kearah petugas polisi yang sedang memberi
tanda berhenti. Pengemudi tetap memacu mobil dengan harapan petugas kepolisian
tersebut melompat kesamping, padahal pengemudi menyadari resiko dimanda petugas
kepolisian dapat saja tertabrak mati atau melompat kesamping.

d. Kealpaan (culpa)

Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur gecompliceerd yang


disatu sisi mengarah kepada perbuatan seseorang secara konkret sedangkan disisi lain
mengarah kepada keadaan batin seseorang. Kelalain terbagi menjadi dua yaitu kelalaian
yang ia sadari (alpa) dan kelalain yang ia tidak sadari (lalai). Kelalain yang ia sadari atau
alpa adalah kelalain yang ia sadari, dimana pelaku menyadari dengan adanay resiko
namun tetap melakukan dengan mengambil resiko dan berharap akibat buruk atau resiko
buruk tidak akan terjadi. Sedangkan yang dimaksud dengan kelalaiam yang tidak disadari atau
lalaiadalah seseornag tidak menyadari adanyaresiko atau kejadian yang burukakibat dari
perbuatan ia lakukan pelaku berbuat demikian dikarenan anatar lain karena kurang berpikir atau
juga bisa terjadi karena pelaku lengah denagn adanya resiko yang buruk. Kelalain yang disadari
adalah kelalaian yang disadri oleh seseorang apabila ia tidak melakukan suatu perbuatan maka
akan timbul suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana, sedangkan yang dimaksud dengan
kealpaan yang ia tidak sadri adalah pelaku tidak memikirkan akibat dari perbuatan yang ia
lakukan dan apabila ia memikirkan akibat dari perbuatan itu maka ia tidak akan melakukannya.
C. Tanggung Jawab Tata Usaha
Dalam ajaran hukum dikenal istilah tindakan hukum, yang menurut R.J.H.M.
Huisman, diartikan sebagai tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat
menimbulkan akibat hukum tertentu, atau suatu tindakan yang dimaksudkan untuk
menciptakan hak dan kewajiban. Istilah tindakan hukum ini semula berasal dari ajaran
hukum perdata (het woord rechtshandeling is ontleend aan de dogmatiek van het
burgerlijk recht), yang kemudian digunakan juga dalam Hukum Administrasi, sehingga
dikenal istilah tindakan hokum administrasi (administratieve rechtshandeling). Menurut
H.J. Romeijn, tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang
muncul dari organ administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan
akibat hukum dalam bidang hokum administrasi. Secara garis besar, perbuatan hukum
pemerintah itu dapat berbentuk perbuatan hukum di bidang peraturan perundang-
undangan (regeling), keputusan tata usaha negara (beschikking), dan perbuatan hukum
perdata (materiale daad).

Dalam konsepsi negara hukum, setiap perbuatan hukum itu harus sesuai dengan
hukum yang berlaku (rechtmatigheid). Negara hukum juga menghendaki agar ketika
terjadi perbuatan hukum yang menyimpang dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain
atau terlanggarnya hak-hak subyek hukum lain, maka perlu diselesaikan melalui lembaga
peradilan.Untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab ketika terjadi perbuatan
hukum yang menyimpang dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain atau terlanggarnya
hak-hak subyek hukum lain (masyarakat) oleh penyelenggara tugas-tugas pemerintahan
dan pelayanan, terlebih dahulu perlu dikemukakan tentang jabatan pemerintahan yang
dilekati fungsi dan kewenangan pemerintahan. Logemann mengatakan bahwa Negara dan
organisasi jabatan “de staat is ambtenorganisatie” dan dalam suatu Negara itu ada jabatan
pemerintahan, yakni lingkungan pekerjaan tetap yang dilekati dengan wewenang untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan, yakni semua tugas-tugas kenegaraan selain
bidang pembuatan undang-undang dan peradilan,”elke werkzaamheid van de overhead,
welke niet als wetgwving of alsrechtspraak is aan te merken” Tugas dan wewenang yang
melekat pada jabatan ini dijalankan oleh manusia (natuurlijke persoon), yang bertindak
selaku wakil jabatan dan disebut pemangku jabatan atau pejabat. Setiap penggunaan
wewenang oleh pejabat selalu disertai dengan tanggung jawab, sesuai dengan prinsip
“deen bevoegdheid zonder verantwoordenlijkheid” (tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban). Karena wewenang itu melekat pada jabatan, namun dalam
implementasinya dijalankan oleh manusia selaku wakil atau fungsionaris jabatan, maka
siapa yang harus memikul tanggung jawab hukum ketika terjadi penyimpangan harus
dilihat secara kasuistik karena tanggung jawab itu dapat berupa tanggung jawab jabatan
dan dapat pula berupa tanggung jawab dan tanggung gugat pribadi
1. Pengertian Tanggung jawab Jabatan
Berdasarkan ketentuan hukum, pejabat hanya menjalankan fungsi dan
wewenang, arena pejabat tidak memiliki wewenang. Yang memiliki dan dilekati
wewenang adalah jabatan. Dalam kaitan ini, Logemann mengatakan bahwa,
berdasarkan Hukum Tata Negara, jabatanlah yang dibebani dengan kewajiban, yang
diberi wewenang untuk melakukan perbuatan hukum. Hak dan kewajiban berjalan
terus, tidak peduli dengan pergantian pejabat. Karena kewenangan itu melekat pada
jabatan, sementara tanggungjawab dalam bidang publik itu terkait dengan
kewenangan, maka beban tanggungjawab itu pada dasarnya juga melekat pada
jabatan.

a. Tanggung jawab jabatan


ini berkenan dengan keabsahan tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan
oleh pejabat untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve). Menurut F.R. Bothlingk, baik
wakil maupun yang diwakili adalah pelaku, namun tidak berarti bahwa keduanya
mempunyai tanggung jawab. Berkenan dengan perbuatan hukum, jawabannya jelas.
Perbuatan hukum adalah pernyataan kehendak dan tanggung jawab secara khusus
tertuju kepada pihak yang kehendaknya dinyatakan, yakni pihak yang diwakili. Wakil
tidak menyatakan kehendaknya sendiri, karena itu meletakan tanggung jawab
kepadanya tidak pada tempatnya.
Meskipun kewenangan itu melekat pada jabatan yang membawa konsekwensi
melekatnya tanggung jawab pada jabatan yang bersangkutan, namun dapat saja dalam
pelakanaan kewenangan itu tanggung jawabnya dibebankan kepada pribadi (in
persoon) pejabat.

b. Tanggung jawab Pribadi


Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan maladministrasi dalam penggunaan
wewenang maupun public service. Seorang pejabat yang melaksanakan tugas dan
kewenangan jabatan atau membuat kebijakan akan dibebani tanggung jawab pribadi
jika ia melakukan tindakan maladministrasi. F.R.Bothlingk mengatakan bahwa
pejabat atau wakil itu bertanggung jawab sepenuhnya, ketika ia menyalahgunakan
situasi dengan melakukan tindakan amoralnya sendiri terhadap kepentingan pihak
ketiga. Seseorang bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga bilamana
ia telah bertindak secara moril sangat tercela atau dengan itikad buruk atau dengan
sangat ceroboh, yakni melakukan tindakan maladministrasi. Maladministrasi berasal
dari bahasa Latin malum (jahat, buruk, jelek) dan administrare (to manage, mengurus,
atau melayani), Maladministrasi berarti pelayanan atau pengurusan yang buruk atau
jelak. Berdasarkan pasal 1 angka (3) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia, yang dimaksud Maladministrasi adalah “ Perilaku atau perbuatan
melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain
dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian
kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh
penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil
dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan”. Dalam panduan
investigasi untuk Ombudsman Republik, disebutkan dua puluh macam
maladministrasi, yakni penundaan atas pelayanan (berlarut-larut), tidak menangani,
melalaikan kewajiban, persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil,
nyatanyata berpihak, pemalsuan, pelanggaran undang-undang, perbuatan melawan
hokum.
diluar kompetensi, tidak kompeten, intervensi, penyimpangan prosedur, bertindak
sewenangwenang, penyalahgunaan wewenang, bertindak tidak layak/tidak patut,
permintaan imbalan uang/korupsi, penguasaan tanpa hak, dan penggelapan barang bukti.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
didalamnya ada unsure maladministrasi dan merugikan warga Negara, tanggung jawab
dan tanggung gugatnya dibebankan kepada pribadi orang yang melakukan tindakan
maladministrasi tersebut. Di atas telah disebutkan bahwa UU No 5 Tahun 1986 tentang
PTUN dan peraturan pelaksanaannya menganut teori tanggung jawab jabatan, namun
dalam perkembangannya, khususnya setelah perubahan UU PTUN No 9 Tahun 2004
tentang Perubahan atas UU No 5 Tahun 1986, dianut pula tanggung jawab pribadi.
Berdasarkan Pasal 116 ayat (4) UU No 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa, “Dalam hal
tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa
berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif”, dan dalam ayat
(5) disebutkan bahwa “Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh
Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)”.
Dalam penjelasannya tidak disebutkan apakah ketentuan Pasal 116 ayat (4) dan (5) ini
merupakan tanggung jawab jabatan atau pribadi, namun jika dicermati dari latar belakang
dan semangat perubahan undang-undang ini tampak bahwa ketentuan pasal ini
dimaksudkan sebagai tanggung jawab pribadi. Dengan demikian, UU PTUN saat ini
menganut tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi. Adapun kapan tanggung
jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi itu diterapkan, tergantung pada dalam hal apa
dan bagaimana perbuatan atau tindakan pemerintahan itu dilakukan

Anda mungkin juga menyukai