Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah reaksi mukokutan akut yang ditandai


dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis luas, disertai rasa sakit dan dapat
menyebabkan kematian. Makula eritem, terutama pada badan dan tungkai atas,
berkembang progresif menjadi lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan
epidermis. SSJ diklasifikasikan menjadi 3 berdasarkan luasnya kerusakan
epidermal, yakni SSJ, SSJ overlap Nekrolisis Epidermal Toksik (NET), dan NET.
SSJ luasnya kerusakan epidermal kurang dari 10%, SSJ overlap NET luasnya
kerusakan epidermal antara 10-30%, dan NET luas kerusakan epidermal lebih dari
30%. 1,4,5
Obat merupakan penyebab tersering SSJ, 77-95% penyebab SJS dan oleh
obat. Selain obat, SSJ dapat disebabkan oleh infeksi, imunisasi, keganasan,
paparan bahan kimia dari lingkungan, dan radiasi. Obat tersering penyebab kasus
SSJ ialah antibiotik, antikonvulsan, non-steroidal antiinflammatory drugs
(NSAIDs), dan allopurinol. Dengan meningkatnya jumlah pasien human
immunodeficiency virus (HIV) dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
yang membutuhkan penggunaan obat anti-retroviral (ART), nevirapin merupakan
obat tersering penyebab SJS pada penderita HIV dan AIDS.1,5
Angka kematian SSJ cukup tinggi, dari data yang ada, angka kematian pada
kasus SSJ sekitar 1-5%. Berkaitan dengan tingginya angka kematian kasus SSJ,
dibutuhkan penatalaksanaan yang komprehensif yakni diagnosis yang cepat,
identifikasi obat penyebab yang cepat, perawatan di ruang perawatan intesif, dan
evaluasi terhadap prognosis.1,5

1
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. H.S
Umur : 59 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Banteng
Pekerjaan : Tidak bekerja (Pensiunan Pegawai BPOM)
Agama : Islam
Status : Sudah Menikah
Tanggal masuk RS : 08 April 2019

2. ANAMNESA (AUTOANAMNESA)
Keluhan Utama :
Bercak kemerahan di sekitar mata dan bibir
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan bercak kemerahan yang
muncul disekitar mata dan bibir yang dialami sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Menurut pasien, bercak awalnya muncul setelah pasien
mengonsumsi obat tardisional dengan merk “Tawon Liar” sebanyak 2
kapsul. 30 menit setelah konsumsi obat, bercak kemerahan muncul pertama
kali disekitar mata dan bibir kemudian muncul juga di pipi, kedua telapak
tangan, dan tungkai bawah. Pasien juga mengatakan terdapat bercak
kemerahan disekitar area genitalia dan anusnya. Pasien sempat merasakan
demam, batuk dan rasa terbakar diarea bercaknya. Merasa tidak nyaman,
pasien kemudian mengonsumsi obat anti nyeri (Natrium diklofenak).
Pada tahun 2015, pasien juga mengaku pernah merasakan hal yang
sama ketika mengonsumsi obat asam urat (Allopurinol). Menurut pasien,
bercak yang muncul saat ini persis dengan bercak kemerahan yang muncul 4
tahun lalu di lokasi yang sama. Menurut pasien, tidak ada anggota keluarga
atau kerabat dekat yang menderita keluhan atau penyakit yang sama. Pasien

2
memiliki riwayat kadar asam urat dan kolesterol yang tinggi. Pasien tidak
memiliki riwayat keganasan. Pasien juga mengatakan selalu menjaga
kebersihan tubuh serta pakaiannya.

3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis :
Kesadaran Umum : Sakit sedang
Status Gizi : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
b. Tanda-tanda Vital
TD :130/80 mmHg
Nadi : 86 x/ menit
Respirasi : 21 x/menit
Suhu : 37 °C
c. Kepala
Sklera : Ikterik (-)
Konjungtiva : Anemis (-)
Bibir : Sianosis (-)
d. Jantung/Paru : dalam batas normal
e. Abdomen : dalam batas normal
f. Ekstremitas : dalam batas normal
g. Kelenjar limfe : dalam batas normal

4. Status Dermatologis
 Lokasi : Lokasi bilateral, letaknya di palpebra superior dan
epicantus lateralis sinistra, labium oris superior et inferior, regio buccal,
regio palmaris dextra et sinistra, regio plantaris dextra et sinistra.
 Ukuran : Numular
 Effloresensi : Monomorfik (makula
eritematous)

3
5. Resume
Pasien perempuan usia 59 tahun masuk ke RS dengan keluhan bercak
eritematous yang muncul disekitar orbita dan labium oris yang dialami sejak
2 hari sebelum masuk rumah sakit. Bercak eritematous muncul 30 menit
setelah pasien mengonsumsi obat tardisional dengan merk “Tawon Liar”
sebanyak 2 kapsul. Bercak eritematous juga muncul di area buccal, palmar,
plantar, genitalia dan anus. Sempat febris, batuk dan rasa terbakar diarea
bercaknya. Pasien sempat mengonsumsi obat Natrium diklofenak. 4 tahun
yang lalu pasien pernah merasakan keluhan yang sama ketika konsumsi obat
Allopurinol. Pasien memiliki riwayat hiperurisemia dan hiperkolesterolemia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Tanda vital; TD 130/80 mmHg, Nadi
86x/ menit, Respirasi 21 x/menit, Suhu 37 oC. Dari status dermatologi
didapatkan ukuran effloresensi numular, monomorfik berupa makula
eritematous. Ukuran numular. Lokasi bilateral, letaknya di palpebra superior
dan epicantus lateralis sinistra, labium oris superior et inferior, regio buccal,
regio palmaris dextra et sinistra, regio plantaris dextra et sinistra.
Pemeriksaan penunjang: WBC= 5,8 RBC= 3,7 HGB = 12,5 HCT =
34,5 PLT= 214 GDS= 89

6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hasil pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Darah Nilai Rujukan Hasil
WBC 4.00 – 10.0 x 103/mm3 5,8
RBC 4.00 – 6.00 x 106/mm3 3,7
HGB 12.0 – 16.0 g/dl 12,5
HCT 37.0 – 47.0 % 34,5
MCV 80 – 100 µm3 93
MCH 27.0 – 32.0 pg 33,7
MCHC 32.0 – 36.0 g/dl 36,2
PLT 150 – 400 x 103/mm3 214

7. DIAGNOSIS BANDING

4
Erythema multiforme major, varicella, acute generalized exanthematous
pustulosis, generalized bullous fixed drug eruption, paraneoplastic pemphigus.

8. PENATALAKSANAAN
a. Sistemik :
 IVFD Ringer Lactat 20 tpm
 Injeksi dexamethasone 5mg/iv/8 jam
 Cetirizin 1x100mg
b. Topikal
 Kenalog oralbes cream
 Fuson cream

9. EDUKASI
a) Memberi penjelasan kepada penderita bahwa penyakit ini bisa timbul
lagi.
b) Menjaga kesehatan untuk mempertahankan sistem kekebalan tubuh.
c) Menjelaskan kepada penderita untuk menaati aturan terapi
d) Memperbaiki higene dalam kehidupan sehari – hari
e) Mengedukasikan kepada pasien mengenai faktor risiko terjadinya
penyakit ini ( mengonsumsi obat-obatan, jamu).

10. PROGNOSIS
Qua ad vitam : Dubia ad bonam
Qua ad functionam : Dubia ad bonam
Qua ad sanationam : Dubia ad bonam
Qua ad cosmetikam : Dubia

FOLLOW UP

5
Perawatan Hari ke-1 (Rabu, 10 April 2019)
S Pasien masih mengeluhkan rasa nyeri seperti terbakar di area lesi.
Demam (-), batuk berkurang.
O TD: 130/90 mmHg
N: 88x/menit
S: 36,7oC
R: 20 x/menit
Status dermatologis:
 Lokasi : Lokasi bilateral, letaknya di palpebra superior dan
epicantus lateralis sinistra, labium oris superior et inferior, regio
buccal, regio palmaris dextra et sinistra, regio plantaris dextra et
sinistra.
 Ukuran : Numular
 Effloresensi : Monomorfik (makula eritematous)
A Sindroma Stevens-Johnson
P Sistemik :
 IVFD Ringer Lactat 20 tpm
 Injeksi dexamethasone 5mg/iv/8 jam
 Cetirizin 1x100mg
Topikal
 Kenalog oralbes
 Fuson cream

Dokumentasi Kasus :

6
Gambar: Makula eritematous. Ukuran numular. Lokasi bilateral,
letaknya di palpebra superior dan epicantus lateralis sinistra, labium oris
superior et inferior, regio buccal, regio palmaris dextra et sinistra, regio
plantaris dextra et sinistra.

Perawatan Hari ke-2 (Kamis, 11 April 2019)


S Bercak pada wajah, bibir, telapak tangan dan kaki masih ada. Bercak

7
mulai berisi cairan dan bercak mulai mengelupas di area bibir. Demam
(-), batuk (-), nyeri dirasakan berkurang.
O TD: 130/90 mmHg
N: 85x/menit
S: 37oC
R:20 x/menit
Status dermatologi:
 Lokasi : Lokasi bilateral, letaknya di palpebra superior dan
epicantus lateralis sinistra, labium oris superior et inferior, regio
buccal, regio palmaris dextra et sinistra, regio plantaris dextra et
sinistra.
 Ukuran : Numular
 Effloresensi : Monomorfik (Plak hiperpigmentasi)
A Sindrom Stevens-Johnson
P Sistemik :
 IVFD Ringer Lactat 20 tpm
 Injeksi dexamethasone 5mg/iv/8 jam
 Cetirizin 1x100mg
Topikal
 Kenalog oralbes
 Fuson cream

Perawatan Hari ke-3 (Jum’at, 12 April 2019)


S Bercak pada wajah, bibir, telapak tangan dan kaki masih ada. Cairan
dalam bercak bertambah, terutama di bagian telapak tangan. Demam (-),
batuk (-), nyeri masih dirasakan.
O TD: 130/90 mmHg
N: 88x/menit
S: 37,2oC
R:20 x/menit
Status dermatologi:

8
 Lokasi : Lokasi bilateral, letaknya di palpebra superior dan
epicantus lateralis sinistra, labium oris superior et inferior, regio
buccal, regio palmaris dextra et sinistra, regio plantaris dextra et
sinistra.
 Ukuran : Numular
 Effloresensi : Monomorfik (plak hiperpigmentasi)
A Sindroma Stevens-Johnson
P Sistemik :
 IVFD Ringer Lactat 20 tpm
 Injeksi dexamethasone 5mg/iv/8 jam
 Cetirizin 1x100mg
Topikal
 Kenalog oralbes
 Fuson cream

9
Gambar: Plak hiperpigmentasi. Ukuran miliar, lentikular, numular.
Lokasi bilateral, letaknya di palpebra superior dan epicantus lateralis
sinistra, labium oris superior et inferior, regio buccal, regio palmaris
dextra et sinistra, regio plantaris dextra et sinistra.

PEMBAHASAN

Pasien perempuan usia 59 tahun masuk ke RS dengan keluhan bercak


eritema yang muncul disekitar orbita dan labium oris yang dialami sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Bercak eritema muncul 30 menit setelah pasien
mengonsumsi obat tardisional dengan merk “Tawon Liar” sebanyak 2 kapsul.
Bercak eritema juga muncul di area buccal, palmar, plantar, genitalia dan anus.
Sempat febris, batuk dan rasa terbakar diarea bercaknya. Pasien sempat

10
mengonsumsi obat Natrium diklofenak. 4 tahun yang lalu pasien pernah
merasakan keluhan yang sama ketika konsumsi obat Allopurinol. Pasien memiliki
riwayat hiperurisemia dan hiperkolesterolemia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Tanda vital; TD 130/80 mmHg, Nadi 86x/
menit, Respirasi 21 x/menit, Suhu 37 oC. Dari status dermatologi didapatkan
ukuran effloresensi numular, monomorfik berupa makula eritematous. Ukuran
numular. Lokasi bilateral, letaknya di palpebra superior dan epicantus lateralis
sinistra, labium oris superior et inferior, regio buccal, regio palmaris dextra et
sinistra, regio plantaris dextra et sinistra.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, ditegakkan diagnosis sindrom steven


johnson, dan di diagnosis banding dengan erythema multiforme major, varicella,
acute generalized exanthematous pustulosis, generalized bullous fixed drug
eruption, paraneoplastic pemphigus.

11
Sindrom steven johnson merupakan reaksi mukokutan akut yang ditandai
dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis luas, disertai rasa sakit dan dapat
menyebabkan kematian. Makula eritematous, terutama pada badan dan tungkai
atas, berkembang progresif menjadi lepuh flaksid akibat pengelupasan
epidermis.2,3,5 Pada pasien gejala yang tampak sesuai dengan definisi dari
sindroma steven johnson yakni pada pasien terjadi reaksi mukokutan
berupa makula eritema dan erosi pada kulit wajah, area sekitar mata dan
bibir, serta terdapat bercak di area genitalia dan anus yang merupakan trias
dari gejala Sindroma Stevens-Johnson.
Insiden SSJ (Sindroma Stevens-Johnson) jarang dijumpai. Keseluruhan
insidensi SSJ diperkirakan 2 sampai 7 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ
dapat terjadi pada semua usia tapi insidensinya bertambah pada usia diatas 40
tahun dan berdasarkan jenis kelamin, sering terjadi pada wanita. Penyakit
infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya SSJ, yaitu pada pasien
HIV dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi umum, dengan jumlah
hampir 1 kasus/seratus orang/tahun pada populasi HIV positif. Perbedaan regional
pada peresepan obat, latar belakang genetik dari pasien (HLA, enzim
metabolism), koeksistensi kanker, atau bersama dengan radioterapi dapat
berdampak pada insidensi SSJ. Mortalitas penyakit tersebut mencapai 10%. 2,3,6
Etiologi SSJ masih belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan
penelitian diketahui obat-obatan adalah etiologi utama yang dapat terjadi pada
orang dewasa atau anak-anak. Terdapat lebih dari 100 obat yang dikenal sebagai
penyebab SSJ. Sebuah penelitian case control mengevaluasi resiko SSJ yang
berhubungan dengan pengobatan. Antibiotik sulfonamide (khususnya
sulfametoksazol kombinasi dengan trimetoprim), karbamazepin, fenitoin,
fenobarbital, obat-obat antiinflamasi nonsteroid tipe oksikam, allopurinol,
klormezanon, aminopenisillin, sefalosporin, lamotrigin, nevirapin, kuinolon, dan
antibiotik siklik digolongkan sebagai obat yang berisiko tinggi mengakibatkan
terjadinya sindrom steven johnson.2,3,4 Pada kasus, pasien memiliki riwayat
mengonsumsi obat tawon liar 2 kapsul sebelum munculnya gejala. Dan
Pasien sempat kengonsumsi obat Natrium diklofenak. 4 tahun yang lalu

12
pasien pernah merasakan keluhan yang sama ketika konsumsi obat
Allopurinol.
Terdapat beberapa penelitian yang menduga terjadinya reaksi sitotoksik yang
diperantarai sel melawan keratinosit dan menyebabkan apoptosis yang masif.
Reaksi ini dicetuskan sel T CD4+ dan CD 8+ yang menghasilkan mediator
sitotoksik yang berakibat apoptosis keratinosit. Penelitian imunopatologis
dijumpai adanya CD8+ killer lymphocytes (sel NK) pada epidermis dan CD4+
pada dermis pada reaksi bulosa yang berat, dijumpai sel CD8+ pada epidermis.
Jumlah sel CD4+ ini dijumpai meningkat pada darah perifer penderita SSJ. Sel
sitotoksik CD8+ mengekspresikan reseptor α, ᵦ yang dapat membunuh melalui
perforin dan granzyme B, tidak melalui Fas atau Trail. Jadi ikatan obat dan
protein akan diproses, kemudian akan dipresentasikan oleh sel penyaji antigen
(APC) ke sel naive yang akan menghasilkan reaksi toleran atau reaksi efektor
seperti gejala hipersensitivitas. Ekspansi dari CD8+ ini spesifik terhadap obat,
MHC (major histocompatibility complex - restricted cytotoxic reactions) melawan
keratinosit.2,3,4 Pada pasien terjadi reaksi imunologi sebagai patogenesis dari
sindrom steven johnson.
Gejala SSJ biasanya dimulai dalam 8 hari stelah pemberian obat (biasanya
setelah 4-30 hari). Hanya beberapa kasus yang memberikan reaksi yang cepat
dalam beberapa jam. Biasanya terpapar oleh obat yang sama. Gejala non spesifik
(prodromal) seperti demam, sakit kepala, rhinitis, mialgia dapat terjadi 1-3 hari
sebelum timbul kelainan pada kulit. Timbul rasa nyeri menelan, konjungtiva
terasa gatal dan panas disertai silau bila terkena cahaya. Hal ini menandakan
gejala awal keterlibatan mukosa. Sepertiga pasien dimulai dengan adanya gejala
non spesifik, sepertiganya dengan gejala terlibatnya mukosa dan sepertiga lainnya
dengan keluhan eksantema. Fase prodromal atau demam, batuk, dan malaise dapat
mendahului perkembangan lesi kulit selama 2 minggu. Lesi kulit yang nyeri
sering pertama kali tampak ada badan dan kemudian menyebar cepat ke muka,
leher, dan ekstremitas dengan keterlibatan maksimal setelah 4 hari. Erupsi
biasanya simetris, terdistribusi pada wajah, tubuh bagian atas dan proksimal
ekstremitas, namun bisa sampai seluruh badan. 2,3,4

13
Lesi kulit awal dikarakteristikkan dengan makula eritematosa, merah
kehitaman bentuk ireguler yang bersatu secara progresif. Keterlibatan membran
mukosa (hampir selalu sedikitnya 2 tempat) diamati pada 90% kasus dan
mendahului atau diikuti erupsi pada kulit. Dimulai dengan eritema yang diikuti
oleh erosi mukosa bukal, mata, dan genital yang terasa nyeri. Biasanya diikuti
dengan gangguan pencernaan, fotofobia, sinekia konjungtiva dan nyeri saat BAK.
Kavitas oral dan batas bibir lebih banyak terkena dan gambaran erosi hemoragik
yang nyeri tertutup,grayish white pseudomembrane dan krusta pada
bibir.Stomatitis dan mucositis menyebabkan gangguan asupan oral sehingga
mengakibatkan malnutrisi dan dehidrasi. Pada 85% pasien terdapat lesi
konjungtiva, umumnya bermanifestasi hyperemia, erosi, edema pada konjungtiva,
fotofobia dan lakrimasi. Dapat memungkinkan terjadi shedding of eyelashes.
Bentuk yang berat dapat menyebabkan ulserasi kornea, uveitis anterior, pan
opthalmitis dan konjungtivitis purulen.2,3,4
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang dapat
menegakkan diagnosa SSJ. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan
anemia, limfopenia dan jumlah leukosit yang normal atau leukositosis ringan,
trombositopenia, eosinophilia jarang dan neutropenia dapat terjadi pada 1/3
pasien.Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah adalah
langkah pertama untuk dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Kelainan
hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada SSJ adalah gangguan
keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia, insufisiensi ginjal,
danazotemia.2,3,4
Penatalaksanaan pada sindrom steven johnson terbagi menjadi 3 yakni terapi
simptomatik, terapi spesifik, dan terapi sekuelenya. Terapi simptomatik berupa
menjaga keseimbangan cairan, termoregulasi, nutrisi, penanganan keluhan lelsi
pada mukosa dan kulit. Keseimbangan cairan perlu dijaga karena pada SSJ terjadi
erosi kulit yang luas dan mengakibatkan terjadinya dehidrasi. Pemenuhan cairan
pada pasien SSJ dapat diberikan lewat pemberian cairan infus, pemberian nutrisi
pada pasien SSJ dapat menggunakan naso gastric tube (NGT). Pada pasien

14
dengan gejala berupa gangguan pada mata dapat dikonsulkan ke ahli mata atau
dengan pemberian tetes mata antiseptik dan vitamin A. 2,3,4
Penatalaksaan spesifik berupa pemberian kortikosteroid sistemik. Pemakaian
kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi menemukan bahwa
pemberian kortikosteroid dapat mencegah perluasan penyakit bila diberikan pada
fase awal. Studi lain menyebutkan bahwa steroid tidak menghentikan
perkembangan penyakit dan bahkan dihubungkan dengan kenaikan mortalitas dan
efek samping, khususnya sepsis. Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam
pertama setelah onset untuk mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat
diberikan selama 3-5 hari diikuti penurunan secara bertahap (tapering off). Dosis
yang dapat diberikan adalah 30-40 mg sehari. Dapat digunakan deksametason
secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Tapering off
hendaknya cepat dilakukan karena pada umumnya penyebab SSJ adalah eksogen
(alergi). Pada SSJ, kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi, imunosupresif
dan anti apoptosis.2,3,4
Anjuran pemakaian immunoglobulin intravena dosis tinggi didasarkan pada
demonstrasi bahwa kematian sel yang diperantarai Fas dapat dibatalkan oleh
aktivitas anti-Fas yang ada dalam sejumlah immunoglobulin manusia normal.
IVIG mengandung antibodi imun yang mengganggu jalur apoptosis yang
diperantarai oleh FasL dan reseptor. Secara teoritis, yang paling baik pemberian
IVIG pada awal (24-72 jam setelah munculnya bulla pertama), sebelum Fas-L
dan reseptor berikatan, walaupun masih efektif jika bulla yang baru muncul.
Pasien dengan defisiensi Ig A akan terjadi anafilaksis akibat IVIG. Sangat baik
dilakukan pemeriksaan tingkat IgA sebelum pemberian namun menunggu
hasilnya dapat menyebabkan keterlambatan pengobatan. Hasil studi dari IVIG
pada SSJ dan NET masih diperdebatkan, dan IVIG tidak disarankan sebagai
pengobatan rutin. Namun jika diputuskan untuk menggunakan IVIG dengan
penyakit berat diberikan dosis 1 gr/kgBB perhari selama 3 hari berturut – turut )
pada fase awal penyakit yaitu dalam waktu 24-48 jam dari onset gejala. 2,3,4
Siklosporin merupakan suatu agen imunosupresif yang berguna dalam
pengobatan SSJ. Berbagai laporan kasus individual yang menggunakan dosis 3

15
hingga 5 mg/kg/hari secara intravena atau oral juga telah dipublikasikan
memperlambat perkembangan SJS tanpa toksisitas yang signifikan.Durasi
pengobatan bervariasi mulai dari 8 hingga 24 hari, biasanya hingga pasien
mengalami reepitelisasi.Efek samping termasuk peningkatan ringan dari serum
kreatinin, hipertensi dan infeksi.2,3,4
Dalam beberapa laporan kasus dengan pemberian infus tunggal 5 mg/kgbb
TNF- α menghentikan perluasan dan perkembangan dari SSJ dan memicu
epitelisasi. Pemberian etanercept 50 mg inj subkutan telah berhasil digunakan
dalam sejumlah kecil pasien.2,3,4
Pada kasus, pasien diberikan terapi sesuai dengan teori yakni terapi
simptomatik, dan terapi spesifik. Pada terapi simptomatik, pasien
mendapatkan terapi cairan untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Pada
terapi spesifik pasien diberikan kortikosteroid topical dan sistemik.
Kortikosteroid topical berupa kenalog oral base cream,. Sedangkan
kortikosteroid sistemik diberikan injeksi dexamethasone 5mg per 8 jam.
Pasien juga diberi terapi fuson cream sebagai antibiotik bakteriostatik dan
cetirizine sebagai antihistamin.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Valeyrie-Allanore L, Roujeau J.C. Epidermal necrolysis (Stevens-Johnson


Syndrome and toxic epidermal necrolysis). In: Fitzpatrick's T. Dermatology
in General Medicine. Ed 8. United States of America: McGraw Hill; 2012.
p:439-48. 
2. Verma S, Heffernan M.P. Stevens-Johnson Syndrome and toxic epidermal
necrolysis, In: Fitzpatrick's T. Dermatology in General Medicine. Ed 7th.
United States of America: McGraw Hill; 2008. p:137-40.
3. Breatnach S.M.Erythema Multiforme. Rook’s Book. Text Book of
Dermatology. Ed 8.Garsington, Oxford, Untited State of America: Wiley-
Balck Well. 2010. Chapter 76.8-21
4. James, D.W, Berger T.G, Elston D.M.Bullous drug reaction (Stevens-
Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). Andrew’s Disease of
The Skin: Clinical Dermatology.Ed Burns, Burns.,.Elsevier Saunders. Ed
10.Garsington, Oxford, Untited State of America: Wiley-Balck Well. 2005.
Chapter 15. p: 129-30
5. Habif T.P.The Stevens Johnson Syndrome/Toxic Epidermal Necrolysis
Spetrum of Disease, In Clinial Dermatology. A Color Guide to diagnose and
Therapy. Ed 8.United States of America:Dartmouth Medical School.
2004.p:. 630-4.

17
6. Hazin R, Ibrahimi O.A., Moustafa I.H., Kimyai-Asadi A.Stevens-Johnson
syndrome: Pathogenesis, diagnosis, and management. Anals of medicine,
Texas, USA. 2008; Vol 48. p:129-38

18

Anda mungkin juga menyukai