Anda di halaman 1dari 8

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM ERA GLOBALISASI

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
1. Alvina Rahmi 16.11.010
2. Anggun Trina 16.11.014
3. Dedek Sahfitri 16.11.032
4. Eka Yolanda 16.11.042
5. Eliza Isnani 16.11.044
6. Ema Hardianti Naibaho 16.11.046
7. Emma Riska Dayanti Br. Sbr 16.11.050
8. Khairatul Hikmah 16.11.094
9. Lulu Royahin 16.11.102
10. Melly Prayuki Sari 16.11.114

Dosen : Hengki Frengky Manulang. M.Pd

INSTITUT KESEHATAN DELI HUSADA DELI TUA


FAKULTAS KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
T.A 2019/2020
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM ERA GLOBALISASI

1.      PENDAHULUAN
Dilihat dari istilah yang digunakan dalam kurikulum PKn di Indonesia
penulis cenderung memaknai istilah kewarganegaraan sebagai terjemahan dari
citizenship. Dari penjelasan ensiklopedia itu dapat dimengerti bahwa istilah yang
paling dekat dengan istilah Ilmu dan Pendidikan Kewarganegaraan yang
digunakan dalam konteks pendidikan Indonesia sat ini adalah citizenship. Karena
istilah ini lebih ditujukan kepada pembicaraan tentang warga negara, serta hak,
kewajiban serta partisipasi dalam kehidupanbernegara, sedangkan civics lebih
banyak merujuk kepada tata pemerintahan (lembaga pemerintahan). Namun kedua
makna ini tidak dapat dipisahkan dan bahkan saling melengkapi dalam tataran
praktik pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan ini dimaksudkan untuk  memberikan pemahaman
yang  mendalam dan pembentukan komitmen yang kuat dari generasi muda
penerus bangsa terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan
Konstitusi Negara Indonesia. Lebih jauh ditegaskan oleh pengembang kurikulum
bahwa hakikat kewarganegaraan adalah sebagai mata pelajaran yang
memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio
cultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Bertolak dari batasan pengertian ini, sungguh relevan untuk mengkaji secara
lebih dalam bagaimana sebaiknya PKn di Indonesia dalam menghadapi tantangan
dalam era globalisasi. Perhatian ke dalam diri PKn itu bukan hanya persoalan
substansial isi tetapi juga persoalan metodologis atau pendekatan, dan bahkan
sampai  evaluasi yang bagaimana semestinya dikembangkan dalam PKn saat ini.
Dalam makalah singkat ini penulis akan lebih banyak menyoroti aspek
metodologis PKn dengan sedikit menyinggung sisi isi dan evaluasi. Untuk itu
bagian pertama  tulisan ini akan membicarakan sekilas sisi-sisi yang merupakan
tantangan bagi pendidikan dalam menghadapi globalisasi. Pada bagian berikutnya
akan membicarakan bentuk pendekatan PKn yang relevan untuk menghadapi
tantangan itu.

2.      TANTANGAN PENDIDIKAN DALAM ERA GLOBALISASI


Pemahaman terhadap globalisasi telah melahirkan berbagai definisi yang
beragam. Namun secara spesifik, globalisasi didefinisikan sebagai saling
keterkaitan antara entitas politik, hubungan ekonomi, dan bahkan jaring komputer.
Globalisasi pada dasarnya merujuk kepada cara-cara lembaga ekonomi dan politik
berinteraksi di berbagai lokasi di seluruh dunia tanpa memperdulikan batas
geografis.
Di balik pengertian itu, globalisasi adalah sebuah fenomena kehidupan
masyarakat dunia yang meliputi berbagai aspek kehidupan yaitu keluarga,
masyarakat, lembaga politik, dan juga lembaga pendidikan. Globalisasi dapat
diartikan sebagai sebuah kekuatan yang mempengaruhi dan membentuk dunia
(Friedman dalam Kluver, 1999: 1).
Ibarat gelombang, globalisasi bergerak terus dan mengalami percepatan
yang tidak dapat dihentikan.  John Mickletwhite dan Adrian Wooldridge (2000:
23-94) mengurai secara detail bagaimana kekuatan teknologi, pasar modal, dan
manajemen telah menjadi mesin yang menpercepat laju globalisasi.  Ketiga mesin
tersebut memiliki kekuatan yang amat ampuh dalam bergerak, dan bahkan dalam
tahun-tahun terakhir itu kekuatan itu bergabung menjadi satu.
Lingkaran perputaran mesin globalisasi terus bergerak. Akibatnya,
globalisasi akan terus bergulir dan membawa perubahan-perubahan struktural
dalam seluruh kehidupan negara bangsa, sehingga mempengaruhi fundamen-
fundamen dasar pengaturan hubungan antar manusia, organisasi-organisasi sosial,
dan pandangan-pandangan dunia.
Selain membawa perubahan, globalisasi juga membawa krisis dalam
kehidupan masyarakat global dan nasional. Capra (2000) mengidentifikasi krisis
ini dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spritual yang pada akhirnya
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan seperti kesehatan, lingkungan, ekonomi,
sosial, dan politik. Dalam konteks tradisi lokal seringkali globalisasi dilihat
sebagai sumber penyebab munculnya rasionalisasi, konsumerisme, dan
kemersialisasi budaya-budaya lokal yang kemudian mengakibatkan hancurnya
identitas budaya lokal (Trijono,1996: 139).
Pengaruh global terhadap kehidupan lokal dijelaskan oleh Capra (2000: 11)
dengan tesis “kebangkitan budaya” yang bersandar pada filsafat “tantangan dan
tanggapan”. Tantangan (dari alam, atau sosial), memancing tanggapan kreatif
dalam suatu masyarakat atau kelompok sosial yang mendorong masyarakat itu
memasuki proses peradaban. Hal itu terus tumbuh  ketika tanggapan terhadap
tantangan awal berhasil membangkitkan momentum budaya yang membawa
masyarakat keluar dari kondisi equilibirium memasuki suatu keseimbangan yang
berlebihan dan tampil sebagai tantangan  baru. Dalam proses transformasi ini
terdapat dua alur terpisah yang bergerak serempak (budaya baru dan budaya lama
yang kalah). Sisi yang kalah tetap dan tidak berubah namun berlatih dengan
kekalahannya sendiri, sedangkan tantangan baru terus menerus mengundang
tanggapan kreatif baru. Dalam perspektif historis seperti ini, kebudayaan dilihat
datang dan pergi, sedangkan upaya pelestarian tradisi budaya  mendapat tantangan
tersendiri, apakah masih menjadi tujuan atau tidak begitu penting karena tuntutan
dinamika kehidupan mastarakat.
Di sini terdapat tantangan bagi kalangan pendidikan (terutama pendidikan
yang selama ini dirancang sebagai sarana pelestarian nilai budaya, seperti PKn,
dan Pendidikan Ilmu Sosial). Tantangan itu adalah: 1) keragaman budaya,  2)
keragaman informasi, 3) daya saing.
Sebagaimana diidentifikasi dalam laporan UNDP (2004:88) bahwa dimensi
lain (di samping sosial ekonomi, dan lingungan) dari paradoks globalisasi adalah
persoalan budaya dan identitas yang tidak hanya menimbulkan kontroversi tetapi
dapat menyebabkan keretakan karena terkait dengan keberadaan masyarakat
asli.  Banyak orang mencemaskan negara mereka akan terpecah belah karena
pertumbuhan imigrasi yang besar dengan segala kebudayaannya, perdagangan
internasional, dan perluasan komunikasi media, yang semuanya dikhawatirkan
menyingkirkan budaya lokal.
Bagi bangsa Indonesia, tradisi dan nilai sosio budaya merupakan identitas
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Negara Kesatuan
RI pada hakikatnya lahir dan eksis dari kekuatan nilai-nilai sosio budaya. Justru di
sinilah menariknya tantangan ini, bagaimana bangsa Indonesia dalam era
globalisasi tetap kokoh dalam NKRI dengan nilai-budaya yang kuat tertanam
dalam kehidupan masyarakat, namun mampu bergerak seimbang dalam dinamika
global. PKn sebagai pendidikan kewarganegaraan mendapat porsi terbesar bahkan
mungkin seutuhnya untuk siap berbenah menghadapi tantangan ini.
Keragaman budaya berjalan seiring bahkan mendapat percepatan dengan
keragaman informasi karena arus teknologi yang semakin maju. Di sini
masyarakat dituntut untuk cepat tanggap dan kritis sehingga kestabilan kehidupan
tetap terjaga. Tidak jarang salah satu penyebab pertikaian dalam masyarakat yang
berlanjut dengan pertikaian panjang seperti di Maluku, Poso di waktu lalu, salah
satunya diperkuat oleh kurang mampunya masyarakat menyaring informasi yang
datang sehingga menimbulkan kecurigaan antar kelompok yang berujung pada
permusuhan laten dan setiap saat dapat meletus menjadi konflik terbuka antar
golongan yang berbeda (Moeis, 2009). Terakhir globalisasi juga menghadapkan
tantangan bagi pendidikan yaitu semakin tingginya daya saing antar negara dan
masyarakatnya untuk menjadi yang terdepan di kalangan masyarakat global. Pada
dasarnya dapat disimpulkan bahwa untuk menghadapi arus globalisasi diperlukan
pendidikan yang mempersiapkan anak didik menjadi warga negara dan warga
dunia yang berwawasan multicultural, berfikiran kritis, dan punya kecerdasan
serta komitmen moral yang tinggi. Artinya kualitas bangsa yang terdidik sebagai
produk PKn tidak hanya cerdas, tetapi juga bermoral dan berpandangan luas.
Mungkin ungkapan Mahatma Gandhi berikut ini cukup inspiratif untuk
dipertimbangkan dalam pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan pada  era
global.

3.      PKN DALAM ERA GLOBALISASI


Bertolak dari tantangan di atas, PKn perlu membangun respon strategis yang
dapat dijadikan acuan dalam pengembangan pendidikan ke depan. Untuk
menciptakan respon tidak cukup perubahan prilaku dan sikap secara tambal
sulam, tetapi perlu perubahan dalam paradigm dasar (Rosado, 1996). Untuk ini
ada empat pertanyaan pemandu yang berorientasi kepada pembentukan visi, misi,
nilai, dan tujuan. Pertanyaan itu adalah “where we are headed”  yang mengarah
kepada perumusan visi yang jelas ke mana PKn di arahkan? Kedua “why do we
exist? Pertanyaan yang mengarahkan kepada misi yang menunjukkan alasan-
alasan rasional mengapa PKn mesti ada? Apa yang menyebabkan kehadirannya ?
perlu jawaban yang kuat dari melalui perumusan misi yang tepat. Ketiga “what
are we becoming? Kemana dan apa bentuknya,  PKn dikembangkan. Ini
pertanyaan menyangkut value atau nilai. Terakhir how do we get threre? Ini
pertanyaan yang menghendaki rumusan strategi  PKn yang jelas.
Penulis memiliki anggapan bahwa seluruh pertanyaan itu berawal dari
jawaban pertanyaan tentang values, karena di sini tercakup tujuan PKn. Jika
tujuan jelas maka visi, dan misi Pkn akan mudah dikonkritkan. Jika tujuan PKn
cukup jelas pendekatan dan seluruh aspek operasional dari PKn dapat
dikembangkan.
Dalam Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, dinyatakan
bahwa pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran
dan wawasan siswa akan status, hak, dan kewajibanya dalam kehidupan.
Meskipun maksud ini dipaparkan dengan kalimat yang sangat umum dan ringkas,
tampak bahwa PKn diarahkan pada satu tujuan yaitu pembentukan kesadaran
warga negara. Oleh karena penulis beranggapan bahwa pembentukan kesadaran
adalah awal pembentukan karakter, pada gilirannya menjadi penggerak perubahan
dan pembaruan.
PKn sebagai bidang pelajaran yang diberi amanat oleh negara untuk
membina anak didik yang memiliki karakter, maka pada saat tantangan global
seperti saat ini sudah semestinya memiliki paradigm yang memuat pendekatan
yang mencerminkan warna pendidikan dinamis, egaliter, demokratis dan terarah
kepada pembentukan pribadi yang berkarakter. Paradigam pendidikan ini sering
juga disebut dengan pendekatan transformative. Dengan cara ini PKn akan
menjadi sarana untuk mendidik siswa sekaligus guru menjadi pribadi reflektif
yang mampu menilai kekurangan sekaligus potensi diri, untuk merencanakan
sebuah perubahan diri dan berdampak pada perubahan lingkungan (Moeis, 2006).
PKn dengan pendekatan transformative memiliki potensi untuk membentuk
pribadi yang berkarakter dan memiliki kapasistas berfikir secara kritis. Pada
dasarnya secara metodologis pendekatan transformative adalah pendekatan yang
humanis karena dimulai dari diri sendiri tanpa memaksakan kehendak terhadap
orang lain. Pribadi yang berkarakter pada gilirannya akan menjadi motor untuk
membuat perubahan pada lingkungan yang lebih luas.
Referensi :
Capra, Fritjof (2002) Titik Balik Peradaban. : Sains, Masyarakat dan
Kebangkitan
Kebudayaan. (edisi terjemahan). Jogjakarta: Bentang Budaya
Kluver, Randy (1999) Globalization, information, and Intercultural
Communication. RandyHomepage: Oklahama City University.
Mickletwhite, John & Wooldridge , Adrian (2000) A Future Perfect: The
Challenge
Moeis, Isnarmi (2006) Pendidikan Multikultural Transformatif dalam PIPS
(Sebuah Sarana menuju Masyarakat Madani). Prosiding Seminar Nasional
PIPS SPS UPI Bandung 5 Agustus 2006)
Moeis, Isnarmi (2009) Laporan Media Massa tentang Konflik antar Etnik di
Indonesia dan Implikasinya bagi Pendidikan Multikultural. Forum
Kependidikan Vol 28, Nomor 2, maret 2009
Rosado, Caleb (1996) Resstructuring Education for 21 st century. Hyperlink
http://www.edchange.org

Anda mungkin juga menyukai