Anda di halaman 1dari 3

Demokrasi Indonesia memang suatu jenis demokrasi yang khas di dunia, dengan ciri

pokok mengacu pada ilai-nilai Pancasila. Pertama-tama, secara formal dapat


dirumuskan bahwa demokrasi Pancasila mendasarkan diri pada kerakyatan namun
tidak hanya berarti kedaulatan rakyat, melainkan mencakup demokrasi politik,
ekonomi, hukum dan kebudayaan. Demokrasi diwujudkan dalam suatu proses
musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam prinsip itu terkandung kegotong
royongan. Demokrasi juga diwujudkan dalam sistem perwakilan. Adapun ciri
penting lainnya bahwa demokrasi tidak hanya merupakan prinsip yang mempunya
nilai tersendiri, tetapi juga merupakan alat untuk mencapai tujuan, yakni yang
tercemin dalam nila-nilai Pancasila. Misalnya, demokrasi harus mampu membentuk
manusia dan masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yang terwujud dalam kesadaran keagamaan yang tinggi. Untuk membangun
manusia demokrat dan itu sekaligus berarti membangun dan juga sebagian
bergantung pada mekanisme politik demokrasi, memanglah tidak mudah. Ia
bergantung pada bermacam faktor, baik yang datang dari dirinya sendiri seperti :
1. Kemampuan untuk mengakui bahwa dirinya tidak sempurna dan oleh karena itu
tidak mungkin memonopoli kebenaran.
2. Hadir dan berfungsinya lembaga-lembaga politik sesuai dengan kehendak ideologi
dan kontitusi masyarakat itu
3. Bergantung pada sifat dan peranan partsipasi politik masyarakat
4. Kebudayaan politik yang berlaku dalam masyarakat
5. Moral dan elit politik
6. Kemampuan masyarakat memahami perkembangan atau pertumbuhan diri dari
lingkungannya.
Proses pembangunan manusia demokrat dan proses bekerjanya mekanisme politik
yang demokratis, khususnya pada masyarakat yang sedang berkembang termasuk
Indonesia sangat sulit untuk dipenuhi dan diaktualisasikan. Bagi masyarakat
indonesia dalam membangun demokrasi Pancasila, bisa jadi belum serasinya
komuniaksi politik antara infra dengan supra struktur politik, belum mantapnya
mekanisme demokrasi Pancasila menurut ketentuan UUD 1945 oleh sebagian besar
rakyat Indonesia, masih rendahnya kesadaran politik dan disiplin nasional dari
bagian rakyat. Demokrasi pancasila adalah suatu sistem politik yang sedang
diperjuangkan melalui proses demokratisasi. Bahkan, dmokrasi pancasila suatu
demokrasi yang selalu dalam proses menuju kondisi ideal, dengan mengacu kepada
nilai-nilai Pancasila.
Jadi dengan terciptanya demokrasi Pancasila di Indonesia, hal tersebut tentu akan
berpengaruh kepada konfigurasi politik yang demokratis. Dengan adanya
konfigurasi politik yang demokratis maka akan tercipta karakter produk hukum yang
responsif.
Tahun 2018 dan 2019 menjadi tahun politik bangsa Indonesia. Tanggal 27 Juni mendatang,
rakyat Indonesia dari 171 kota, kabupaten, dan provinsi akan menghadapi pemilihan kepala
daerah serentak. Tahun depan pun, seluruh masyarakat Indonesia akan memilih pemimpin
dan para wakilnya di parlemen.

Namun, sayangnya dunia politik hari ini masih saja dipenuhi dengan kotoran berupa cacian,
makian, hinaan, hingga kampanye hitam. Rasanya, kurang afdal jika seseorang yang ingin
dipandang baik, tanpa yang lain buruk. Hal ini memperkeruh jalinan persaudaraan yang
selama ini begitu kuat.
Sejak dulu, para pendiri bangsa ini telah mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia itu
demokrasi Pancasila. Artinya, demokrasi yang berdasar pada moral sebagaimana kandungan
lima poin ideologi negara yang digali oleh Soekarno dan para perumus lainnya itu.

Dalam tulisannya di Kompas edisi 30 Juni 1977 yang dimasukkan dalam buku Kaleidoskop


Politik di Indonesia Jilid 1, KH Saifuddin Zuhri menulis demokrasi Pancasila hendaklah
diartikan sebagai wujud pelaksanaan Pancasila dalam politik, dalam ekonomi, dalam sosial
dan dalam budaya. Atau Pancasila dalam wujud demokrasi dalam praktek.

Dalam arti lain, Menteri Agama kesepuluh itu menyatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila harus teraplikasikan dalam kehidupan bangsa Indonesia pada segala
aspeknya. Lebih lanjut, Kiai Saifuddin menjelaskan bahwa demokrasi Pancasila merupakan
satu kesatuan makna yang tak terpisahkan. Keduanya sudah menjadi satu kata majemuk baru.

"Kata Pancasila dalam kata majemuk itu bukanlah embel-embel, akan tetapi dua kata
Demokrasi dan Pancasila yang menjadi satu pengertian yang tak terpisahkan," tulis kiai yang
menjabat Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada usia 35 tahun itu dalam
buku Kaleidoskop Politik Indonesia Jilid 1.

Padahal, kalau saja kita ingat sila pertama, maka mestinya kita mengerti nama Tuhan yang
sedang dipertaruhkan. Artinya, kita harusnya tidak berani melangkahi hukum-hukum yang
telah digariskan Tuhan demi tujuan yang ingin dicapai. Sebab, Kiai Saifuddin menegaskan
bahwa demokrasi (Pancasila) itu tidak akan menghalalkan semua jalan dan semua cara untuk
mencapai tujuan. Hukum Tuhan telah menetapkan di samping yang halal, masih amat banyak
yang haram.

Lebih-lebih, katanya, jika yang haram itu mendatangkan derita lahir maupun batin menurut
ukuran kemanusiaan yang adil dan beradab, yang diderita oleh sesama bangsa sendiri.
Apalagi kalau yang haram itu memperkosa hak kerakyatan karena tiadanya hikmat
kebijaksanaan. Ya, apalagi jika yang haram itu benih-benih yang mematikan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat.

Senada dengan Kiai Saifuddin, Roeslan Abdul Gani juga mencatat bahwa demokrasi
Pancasila tidak sama dengan pengertian demokrasi pada umumnya yang menafikan moral
dan maksud. Demokrasi ala Indonesia itu demokrasi dengan kepercayaan terhadap Tuhan,
kebangsaan, dan humanisme serta keadilan sosial.

"The democracy of Pantja Sila is Democracy with belief in the One God, with the Principle
of Nationality and Humanity and which has Social Justice," tulisnya dalam  makalah yang
berjudul Pantja Sila as The Starting Point of Guided Democracy yang termaktub dalam
buku Selected Documents, Some Aspects Concerning Progress and Principles of he
Indonesian Revolution, Book One.

Lebih lanjut, rektor pertama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung
(sekarang Universitas Pendidikan Indonesia/UPI) itu menjelaskan bahwa demokrasi tanpa
kepercayaan terhadap Tuhan akan kehilangan dasar moralnya. Padahal, itu merupakan
karakter keagamaan bangsa Indonesia.

Menteri Luar Negeri 1956-1957 itu juga menyatakan dalam makalah yang disampaikannya
pada seminar tentang Pancasila di Yogyakarta, 16-20 Februari 1959, itu demokrasi tanpa
prinsip kebangsaan akan membahayakan nasionalisme dan demokrasi tanpa keadilan sosial
akan meningkatkan kekuasaaan politik yang mutlak dan demokrasi liberal.

Penulis adalah Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), dan
jurnalis NU Online.

Anda mungkin juga menyukai