Namun, sayangnya dunia politik hari ini masih saja dipenuhi dengan kotoran berupa cacian,
makian, hinaan, hingga kampanye hitam. Rasanya, kurang afdal jika seseorang yang ingin
dipandang baik, tanpa yang lain buruk. Hal ini memperkeruh jalinan persaudaraan yang
selama ini begitu kuat.
Sejak dulu, para pendiri bangsa ini telah mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia itu
demokrasi Pancasila. Artinya, demokrasi yang berdasar pada moral sebagaimana kandungan
lima poin ideologi negara yang digali oleh Soekarno dan para perumus lainnya itu.
Dalam arti lain, Menteri Agama kesepuluh itu menyatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila harus teraplikasikan dalam kehidupan bangsa Indonesia pada segala
aspeknya. Lebih lanjut, Kiai Saifuddin menjelaskan bahwa demokrasi Pancasila merupakan
satu kesatuan makna yang tak terpisahkan. Keduanya sudah menjadi satu kata majemuk baru.
"Kata Pancasila dalam kata majemuk itu bukanlah embel-embel, akan tetapi dua kata
Demokrasi dan Pancasila yang menjadi satu pengertian yang tak terpisahkan," tulis kiai yang
menjabat Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada usia 35 tahun itu dalam
buku Kaleidoskop Politik Indonesia Jilid 1.
Padahal, kalau saja kita ingat sila pertama, maka mestinya kita mengerti nama Tuhan yang
sedang dipertaruhkan. Artinya, kita harusnya tidak berani melangkahi hukum-hukum yang
telah digariskan Tuhan demi tujuan yang ingin dicapai. Sebab, Kiai Saifuddin menegaskan
bahwa demokrasi (Pancasila) itu tidak akan menghalalkan semua jalan dan semua cara untuk
mencapai tujuan. Hukum Tuhan telah menetapkan di samping yang halal, masih amat banyak
yang haram.
Lebih-lebih, katanya, jika yang haram itu mendatangkan derita lahir maupun batin menurut
ukuran kemanusiaan yang adil dan beradab, yang diderita oleh sesama bangsa sendiri.
Apalagi kalau yang haram itu memperkosa hak kerakyatan karena tiadanya hikmat
kebijaksanaan. Ya, apalagi jika yang haram itu benih-benih yang mematikan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat.
Senada dengan Kiai Saifuddin, Roeslan Abdul Gani juga mencatat bahwa demokrasi
Pancasila tidak sama dengan pengertian demokrasi pada umumnya yang menafikan moral
dan maksud. Demokrasi ala Indonesia itu demokrasi dengan kepercayaan terhadap Tuhan,
kebangsaan, dan humanisme serta keadilan sosial.
"The democracy of Pantja Sila is Democracy with belief in the One God, with the Principle
of Nationality and Humanity and which has Social Justice," tulisnya dalam makalah yang
berjudul Pantja Sila as The Starting Point of Guided Democracy yang termaktub dalam
buku Selected Documents, Some Aspects Concerning Progress and Principles of he
Indonesian Revolution, Book One.
Lebih lanjut, rektor pertama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung
(sekarang Universitas Pendidikan Indonesia/UPI) itu menjelaskan bahwa demokrasi tanpa
kepercayaan terhadap Tuhan akan kehilangan dasar moralnya. Padahal, itu merupakan
karakter keagamaan bangsa Indonesia.
Menteri Luar Negeri 1956-1957 itu juga menyatakan dalam makalah yang disampaikannya
pada seminar tentang Pancasila di Yogyakarta, 16-20 Februari 1959, itu demokrasi tanpa
prinsip kebangsaan akan membahayakan nasionalisme dan demokrasi tanpa keadilan sosial
akan meningkatkan kekuasaaan politik yang mutlak dan demokrasi liberal.
Penulis adalah Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), dan
jurnalis NU Online.