Anda di halaman 1dari 3

 Filosofi Ekonomi Islam

Adiwarman Karim (2001) mengemukakan ada empat landasan filosofis sistem


ekonomi syariah yang menjadi pembeda utama dengan sistem ekonomi
konvensional, yaitu:

1)    Tauhid
Dalam sistem ekonomi syariah tauhid merupakan landasan fundamental, dengan
landasan ketauhidan ini segala sesutu yang ada merupakan ciptaan Allah swt . dan
hanya Allah pula yang mengatur segala sesuatunya terhadap ciptan-Nya tersebut,
termasuk mekanisme hubungan pengaturan rezeki terhadap hamba-hamba-Nya,
seperti pemilikannya, cara perolehannya dan pembelanjaannnya (Tauhid
rububiyyah). Untuk itu para pelaku ekonomi (manusia) harus mentaati segala kaidah
yang telah ditetapkan oleh Allah secara kaffah, termasuk dalam bidang aktivitas
perekonomian. Ketaatan tersebut bukan hanya dalam kehidupan sosial belaka,
tetapi meliputi hal-hal yang bersifat etik dan moral (Tauhid uluhiyyah).

2)    Keadilan dan keseimbangan


Sistem ekonomi syariah memandang keadilan dan keseimbangan merupakan
sesuatu hal yang mutlak untuk diamalkan olek pelaku ekonomi. Perlunya hal ini
berulangkali ditegaskan dalam Al-Quran. Keadilan dan keseimbangan merupakan
syarat mutlak untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Keadilan dan
keseimbangan ini harus teraplikasi sedemikian rupa antara anggota masyarakat
yang melakukan hubungan ekonomi. Artinya keadilan dan keseimbangan tersebut
bukan hanya pada tataran teoritis tetapi juga dalam tataran teknis. Misalnya dua
orang melakukan hubungan ekonomi (contohnya penjual-pembeli, pengusaha-
pekerja) berada pada tempat yang sejajar dan berkeadilan. Allah menegaskan
bahwa Ia sangat mencintai orang-orang yang berlaku adil (QS, 60: 8).

3)    Kebebasan
Dalam sistem ekonomi syariah, kebebasan merupakan hal pokok. Kebebasan disini
dimaksudkan bahwa manusia bebas untuk melakukan aktivitas ekonomi sepanjang
tidak ada larangan dari Allah swt. Dengan demikian pelaku ekonomi dalam sistem
ekonomi syariah diberikan keleluasaan untuk berkreatifitas dan berinovasi dalam
mengembangkan kegiatan ekonomi.

4)    Pertanggungjawaban
Dalam sistem ekonomi syariah manusia sebagai khalifah pemegang amanah Allah
di muka bumi. Dalam melakukan aktivitas (termasuk aktivitas ekonomi) diberikan
keleluasaan untuk memilih apa yang terbaik untuk dirinya. Namun demikian sebagai
hamba Allah kepadanya akan diminta pertanggungjawaban atas segala sesuatu
yang dilakukannya itu.

Dengan empat landasan filosofis tersebut menjadikan sistem ekonomi syariah


memiliki keistimewaan dibanding dengan sistem ekonomi konvensional. Sistem
ekonomi syariah tidak memandang manusia sebagai makhluk ekonomi yang
mendewakan materi, akan tetapi memandang manusia memiliki fitrah sebagai
makhluk yang memiliki kasih sayang. Dengan adanya rasa kasih sayang akan
melahirkan perbuatan tolong menolong antar sesama (ta’awun dan takaful). Apalagi
manusia memiliki sifat dasar yang senang memberi bantuan kepada orang lain.
Allah mengemukakan bahwa orang yang berkasih sayang digolongkan kepada
golongan kanan (QS, 90: 18).

Sumber Hukum Ekonomi Islam

Sumber Hukum Ekonomi Islam

Sebagai ajaran yang komprehensif, hukum ekonomi Islam dibangun atas dasar kaidah ushul fiqh
mu’amalah, qawa’id fiqh dan falsahah Hukum Islam dimana segala sesuatu yang tidak dilarang oleh
Quran dan Sunnah adalah halal. Dengan demikian sebagian besar ekonom Muslim memahami
ekonomi Islam sebagai suatu teori dan praktek ekonomi yang menghindari segala transaksi yang
mengandung dengan riba (bunga), maisir (judi) dan gharar (spekulasi), menghindari dilakukannya
peningkatan kesejahteraan seseorang dengan cara yang bathil atau merugikan orang lain,
menekankan pada aspek keadilan daripada efisiensi, tidak melakukan investasi dan transaksi pada
produk-produk yang dilarang, dan berupaya mewujudkan kesejahtaraan sosial yang didukung oleh
zakat dan amal sholeh lainnya.

1. Sumber hukum dari Al-Qur’an


Sumber hukum Islam yang abadi dan asli adalah kitab suci Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan amanat
sesungguhnya yang disampaikan Allah melalui ucapan Nabi Muhammad SAW untuk membimbing
umat manusia. Amanat ini bersifat universal, abadi dan fundamental.
Al-Quran tidak hanya memberi tuntutan dalam bidang keagamaan saja, Al-Qur’an juga menjelaskan
aturan dalam bidang sosial, politk bahkan juga dalam bidang ekonomi.
Al-Qur’an memberikan hukum – hukum ekonomi yang sesuai dengan tujuan dan cita – cita ekonomi
Islam itu sendiri. Al-Qur’an memberi hukum – hukum ekonomi yang dapat menciptakan kesetabilan
dalam perekonomian itu sendiri.
QS. Ar-Ruum: 39 “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yakan ng berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalaya).”
QS. Al-Baqarah: 278: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”

2. Sumber hukum dari Hadist dan As-sunnah


Dalam konteks hukum islam, sunnah yang secara harfiah berarti “cara, adat istiadat, kebiasaan
hidup” mengacu pada perilaku Nabi SAW yang dijadikan teladan; sunnah sebagian besar didasarkan
pada praktek normatif masyarakat di zamannya. Pengertian sunnah jadi mempunyai arti tradisi yang
hidup pada masing – masing generasi berikutnya.
Sebagai sumber hukum ekonomi Islam, sunnah memberi gambaran prilaku Rasulullah dalam
melakukan kegiatan ekonomi dalam kehidupan sehari – hari yang dilakukan Beliau, dan sesuai
dengan dengan tujuan syar’i.
Contoh hadist tentang kesucian hak milik:
Dari Abu Hurairah tentang seseorang yang bertanya pada Rasulullah: “Wahai Rasulullah !
Bagaimana pendapatmu jika ada orang yang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “ jangan
kamu berikan hartamu kepadanya!” ia bertanya lagi “jika ia menyerang untuk membunuhku?” Beliau
menjawab,”seranglah ia!” ia bertanya lagi, “bagaimana pendapat anda jika bila ia membunuhku?”
Beliau menjawab,” kamu adalah seorang yang syahid” ia bertanya lagi “bagaimana bila saya
membunuhnya?” Beliau menjawab,” ia masuk neraka”

3. Sumber hukum dari Ijma’


Ijma’ merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun para cendikiawan agama. Perbedaan
konseptual antara sunnah dan ijma terletak pada kenyataan bahwa sunnah pada pokoknya terbatas
pada ajaran – ajaran Nabi dan diperluas kepada para sahabat karena mereka merupakan sumber
bagi penyampaiannya, sedangkan ijma’ adalah suatu prinsip isi hukum baru yang timbul sebagai
akibat dalam melakukan penawaran dan logikanya menghadapi suatu masyarakat yang meluas
dengan cepat.
Setiap zaman memilik masalahnya sendiri – sendiri yang tentunya berbeda dengan zaman lainnya,
termasuk dalam masalah ekonomi. Bahkan bukan hanya setiap zaman, tetapi setiap kondisi memiliki
masalah ekonominya sendiri. Dari sini masyarakat ataupun cendikiawan ekonomi Islam yang ada
dalam kondisi tersebut melahirkan konsep baru yang sesuai dengan konisi yang ada tanpa keluar dari
tujuan ekonomi Islam itu sendiri.
4. Ijtihad dan Qiyas
Secara teknik, ijtihad berarti “meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya
kemungkinan suatu persoalan syariat. Pengaruh hukumnya ialah bahwa pendapat yang diberikannya
mungkin benar, walaupun mungkin saja keliru.
Ijtihad merupakan penafsiran kembali dasar hukum ekonomi Islam seperti Al-Qur’an dan hadits untuk
disesuaikan dengan kondisi yang ada. Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus
lainnya karena kesamaan illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa
secara murni.

5. Maslahah Mursalah
Tidak ada ketegasan hukum dalam Al-Qur’an dan Hadist sehingga kita dapat melihat apakah hal
tersebut lebih banyak maslahatnya atau mudharatnya.

6. Istishab dan Istishan


Memperlakukan hukum yang sudah berlaku atau kembali ke hukum asal sampai terdapat dali yang
menunujukkan perubahannya. Istishan adalah menghitung – hitung sesuatu dan menganggapnya
kebaikan menurut akal pada mujtahid.

7. Urf
Adat istiadat atau kebiasaan yang sudah seperti menjadi adat istiadat namun tetap tidak menyalahi
aturan Islam.

Anda mungkin juga menyukai