Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan pertumbuhan sosial dimasyarakat ditandai pula dengan tingkat


konsumtif masyarakat yang naik pula, salah satunya adalah dengan banyaknya
masyarakat yang memiliki kendaraan bermotor, kendaraan roda empat dan kendaraan
roda dua. Semakin terjangkaunya harga dari kendaraan bermotor serta banyaknya
lembaga-lembaga pembiayaan yang mudah dalam pelayanannya kepada masyarakat
untuk mendapatkan kendaraan dengan waktu yang cepat menjadi salah satu faktor
penunjang tingginya jumlah kendaraan bermotor yang ada di Kota dan Kabupaten.

Di sisi lain semakin banyaknya kendaraan bermotor menimbulkan masalah sosial


tersendiri di kalangan masyarakat. Dimana kondisi perekonomian Negara kita yang
sulit saat ini, mengakibatkan timbulnya kasus kriminalitas yang terjadi dalam
masyarakat yang dilatarbelakangi karena kebutuhan hidup yang mendesak yang
terjadi setiap hari dan dialami oleh masyarakat sebagai contohnya, penjambretan,
penodongan, pencurian, perampokan, penganiayaan, perkosaan, pembunuhan,
tawuran remaja, atau lebih dikenal dengan “kejahatan jalanan” atau “street crime”
menjadi tantangan bagi proses penegakan hukum. Kejahatan tidak akan dapat hilang
dengan sendirinya, sebaliknya kasus kejahatan semakin sering terjadi dan yang paling
dominan adalah jenis kejahatan terhadap harta kekayaan, khususnya yang termasuk di
dalamnya adalah tindak pidana penadahan. Kejahatan terhadap harta benda akan
tampak meningkat di Negara-Negara sedang berkembang. Kenaikan ini sejalan
dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Di setiap Negara tidak terkecuali
Negara yang paling maju sekalipun, pasti akan menghadapi masalah kejahatan yang
mengancam dan mengganggu ketentraman dan kesejahteraan penduduknya. Hal ini
menunjukkan bahwa kejahatan tidak hanya tumbuh subur diNegara miskin dan
berkembang, tetapi juga diNegara-Negara yang sudah maju.
Perkembangan kejahatan seperti diuraikan di atas bahwa hukum menempati
posisi yang penting untuk mengatasi adanya persoalan kejahatan ini. Perangkat
hukum diperlukan untuk menyelesaikan konflik atau kejahatan yang ada dalam
masyarakat. Salah satu usaha pencegahannya dan pengendalian kejahatan itu ialah
dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.

Hukum pidana terbagi atas dua bagian yaitu Hukum Pidana materiil yaitu
mengenai petunjuk da uraian tentang tindak pidana dan Hukum Pidana formil yaitu
cara Negara dengan perantara para pejabatnya menggunakan haknya untuk
memidana. Perbuatan yang melanggar aturan-aturan inilah yang disebut dengan
tindak pidana. Salah satu tindak pidana yang sering muncul dalam masyarakat
Indonesia yaitu pencurian yang diatur pada Pasal 362 KUHPidana, oleh karena itu
Negara merasa perlu melindungi hak warga Negaranya dalam kaitannya mengenai
harta benda.

Perlindungan atas hak milik berupa harta benda dipertegas, dalam Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat 4: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik
pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang- wenang oleh
siapa pun”. Keberadaan hukum dimaksudkan agar tercipta suatu keadaan yang
tenteram dan terciptanya suatu ketertiban di masyarakat. Terciptanya ketertiban tidak
lepas oleh peran serta masyarakat atau boleh dikatakan lebih dititik beratkan pada
kewajiban masyarakat, sedangkan ketenteraman lebih dititik beratkan pada hak-hak
masyarakat.
Oleh karena itu hukum itu sendiri harus bisa mengakomodir dan
mencerminkan perlindungan terhadap hak-hak dan kewajiban masyarakat. Tidak
dapat dipungkiri dalam menjalankan kehidupannya manusia memerlukan kedua hal
tersebut, harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Hal tersebut akan
menghindarkan dari sikap yang taotaliter akibat terlalu mengedepankan kewajiban
dan sikap yang cenderung akan membuka jalan menuju anarki akibat dari sikap yang
terlalu mengedapankan hak. Kejahatan dapat diartikan secara kriminologis dan
yuridis. Kejahatan dalam arti kriminologis yaitu perbuatan manusia yang menodai
norma-norma dasar dari masyarakat. Hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan unsur
yang menyalahi aturan-aturan yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Kejahatan secara yuridis yaitu perilaku jahat atau perbuatan jahat dalam arti
hukum pidana maksudnya bahwa kejahatan itu dirumuskan di dalam peraturan-peraturan
pidana. Masalah pidana yang paling sering terjadi di dalam masyarakat adalah tindak
pidana terhadap harta kekayaan (tindak pidana materiil), seperti pencurian, pemerasan,
penggelapan, penipuan, pengrusakan, dan penadahan. Salah satu tindak pidana terhadap
harta kekayaan yang masih sering menimbulkan perdebatan adalah tindak pidana
penadahan kendaraan bermotor yang berasal dari hasil pencurian.

Pencurian kendaraan bermotor semakin marak terjadi di lingkungan


masyarakat baik di kota maupun di daerah. Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri
bahwa salah satu penyebab semakin maraknya terjadi tindak pidana pencurian
kendaraan bermotor adalah karena semakin maraknya juga tindak pendahan
kendaraan bermotor hasil pencurian tersebut. Akibatnya pelaku pencurian tidak
kesulitan untuk memasarkan kendaraan hasil bermotor hasil curiannya. Faktor lain
yang mengakibatkan tindak pidana tersebut yang sering dijadikan alasan pihak pelaki
adalah masalah kebutuhan hidup dimana pelaku memang tidak mempunyai mata
pencaharian. Hal itulah yang melatarbelakangi meningkatnya jumlah pencurian
kendaraan bermotor yang kemudian berpotensi kepada meningkatnya jumlah
penadaham kendaraan bermotor.

Kendaraan bermotor merupakan sarana transportasi yang mempunyai mobilitas


tinggi, maka pelaku kejahatan ini merupakan kejahatan yang memiliki mobilitas nggi
juga dampak negatifnya terhadap masyarakat1.Selain itu kejahatan pencurian
kendaraan bermotor sudah merupakan kejahatan terorganisir, bersindikat, dimana ada
pihak-pihak yang dilapangan (pencuri) barang hasil kejahatan tersebut langsung
ditampung didalam kejahatan yang baru atau di kenal dengan penadahan sehingga

1
Lamintang PAF,.Fenomena Kehidupan Sosial dalam Ruang Lingkup Pidana,Sinar grafika 1990.
hlm.193-194.
para pelaku kejahatan merasa diuntungkan dan pihak kepolisian lebih sulit dalam hal
mengungkapkan kejahatan tersebut.

Tindak pidana penadahan diatur dalam Pasal 480 KUHP, Pasal 481 dan 482
KUHP . Tindak pidana penadahan merupakan tindakan yang dilarang oleh hukum,
karena penadahan di peroleh dari kejahatan, dapat dikatakan menolong atau
mempermudah tindakan kejahatan si pelaku dapat mempersukar pengusutan
kejahatan bersangkutan, dalam mengadilli terdakwa yang melakukan tindak pidana
penadahan karena, harus membuktikan terlebih dahulu apakah terdakwa tersebut
benar-benar melakukan kejahatan dikarenakan barang kejahatan tersebut didapat dari
hasil kejahatan juga dan penadahan disini menjadi pelaku kedua dalam hal
pelaksanaannya, maka pihak berwajib harus membutikan terlebih dahulu apakah
seseorang itu mampu untuk dipertanggung jawabkan dengan kata lain adanya unsur
kesalahan dan kesengajaan.2

Menurut Muhammad Ali penadahan ialah tindak pidana atau “strafbaarfeit”


asal kata tadah berarti menampung, menadah, penadah, orang yang menerima barang
gelap atau barang curian3. Penadahan berarti perbuatan menadah menampung. Tindak
pidana penadahan merupakan delik turunan. Artinya, harus ada delik pokok yang
membuktikan uang atau barang tersebut berasal dari tindak pidana4.

Tindak pidana penadahan di Kota Bandar lampung yang sering terjadi dapat
dilihat dari meningkatnya jumlah kasus tindak pidana penadahan yang telah terjadi
sepanjang tahun 2012-2014, pada tahun 2012 tindak pidana penadahan kendaraan
bermotor yang ditangani oleh Polresta Bandar lampung terdapat 5 kasus, pada tahun
2013 terdapat 7 dan pada tahun 2014 terdapat kasus sebanyak 11 kasus, yang ditangani
oleh Polresta Bandar lampung lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

2
Sholehudin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Doule Tracj Sistem dan Implementasinya), PT Raja
Grafindo Persada,Jakarta,2004.hlm.71
3
Ali Muhammad, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,2000
4
Hamzah Andi KUHP dan KUHAP, Rineka Cipta,Jakarta,1998
Tabel 1 Tindak Penadahan Kendaraan Bermotor di Bandar Lampung

No Tahun Tindak Pidana Jumlah Penegakan


hukumnya
Penadahan kendaraan bermotor TP

1 2012 Penadahan kendaraan bermotor 5 Di Proses sampai


Pengadilan Negeri
2 2013 Penadahan kendaraan bermotor 7 Di Proses sampai
Pengadilan Negeri
3 2014 Penadahan kendaraan bermotor 11 Proses Penyidikan
di Polresta
Jumlah 23

Sumber : Data dari Polresta Bandar Lampung Tahun 2014

Berdasarkan tabel diatas maka diketahui jumlah tindak pidana penadahan


kendaraan bermotor pada tahun 2013 dan 2014 mengalami peningkatan. Dari hasil
prariset di Polresta Bandar Lampung bahwa faktor penyebab Penadahan Kendaraan
Bermotor antara lain disebabkan oleh faktor ekonomi dan mudah untuk dijual
kembali.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji masalah


tersebut dengan mengambil judul : Analisis Kriminologis Terhadap Kejahatan
Penadahan Kendaraan Bermotor Hasil Pencurian ( Studi Di Polresta Bandar
Lampung).
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini
adalah :
a. Apakah faktor-faktor penyebab kejahatan penadahan kendaraan bermotor hasil
pencurian (Studi di Polresta Bandar Lampung)?
b. Bagaimanakah upaya Penanggulangan kejahatan penadahan kendaraan bermotor
hasil pencurian (Studi di Polresta Bandar Lampung)?

2. Ruang Lingkup
Untuk membatasi agar pembahasan tidak terlalu luas, maka ruang lingkup dibatasi
pada kajian hukum pidana, khususnya mengenai penadahan kendaraan bermotor hasil
pencurian dengan ruang lingkup tempat penelitian meliputi wilayah hukum kepolisian
kota besar Bandar Lampung dengan waktu penelitian pada tahun 2013.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kejahatan penadahan kendaraan
bermotor hasil pencurian (Studi di Polresta Bandar Lampung).
b. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh para pihak penegak hukum dan
masyarakat untuk menanggulangi nya.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis, untuk menambah dan memperluas ilmu pengetahuan dalam
bidang hukum pidana, khususnya tindak pidana penadahan.
b. Kegunaan Praktis, yaitu sebagai bahan masukan bagi Penegak hukum, khususnya
berkaitan dengan tindak pidana penadahan kendaraan hasil pencurian.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Teori Anomi
Teori kontrol sosial mempunyai pendekatan Berbeda: teori ini berdasarkan suatu asumsi
bahwa motifasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai
konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak
melakukan kejahatan. Teori-teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan
lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.
Teori-teori strain dan penyimpangan budaya keduanya berasumsi bahwa kelas sosial dan
tingkah laku kriminal berhubungan, tetapi berbeda dalam hal sifat hubungan tersebut. Para
penganut teori strain beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti satu set nilai-
nilai budaya yaitu nilai-nilai budaya kelas menengah. Satu nilai budaya terpenting adalah
keberhasilan ekonomi. Karena orang-orang dari kelas bawah tidak mempunyai sarana-sarana
yang sah (legitimate means) untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menjadi frustasi dan beralih
menggunakan sarana-sarana yang tidak sah (illegitimate means) di dalam keputusan tersebut.
Sangat berbeda dengan itu, teori-teori penyimpangan budaya mengklaim bahwa orang-orang dari
kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-
nilai dari kelas menengah. Sebagai konsekuensinya, manakala orang-orang kelas bawah
mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma
konvensional.
1.1. Konsep Anomie
Teori Anomi lahir, tumbuh,dan berkembang berdasarkan kondisi social Pada tahun 1930-
an telah terjadi perubahan besar khususnya masyarakat Eropa pada struktur masyarakat sebagai

akibat depresi yaitu, tradisi yang menghilang dan telah terjadi “deregulasi” di dalam masyarakat.
Anomie adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Emile Durkheim untuk
menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani 
“tanpa”, dan nomos: “hukum” atau “peraturan.5 Dalam buku the division of labor in society
Emile Durkheim mempergunakan istilah Anomi untuk mendeskripsikan keadaan “deregulation”
di dalam masyarakat yang di artikan sebagai tidak di taatinya aturan-aturan yang terdapat pada

5
http://bantuanhukumfakhrazi.wordpress.com/2012/05/08/kriminologi-teori-anomi/
masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang di harapkan dari orang lain dan keadaan ini
menyebabkan deviasi.
Riset Durkheim tentang “suicide” (1897) atau bunuh diri dilandaskan pada asumsi bahwa
rata-rata bunuh diri yang terjadi di masyarakat yang merupakan tindakan akhir puncak dari suatu
anomi: bervariasi atas dua keadaan sosial, yaitu social integration dan social regulation
Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau suicidie berasal dari dari 3 kondisi sosial
yang menakan (strees) yaitu;6
a. deregulasi kebutuhan atau anomi,
b. regulasi yang keterlaluan atau fatalisme,
c. kurangnya integrasi struktural atau egoisme.

1.2. Pemikiran Teori Anomie


Berikut beberapa ungkapan teori anomie menurut beberapa ilmuwan;
“a condition of hopelessness caused by a breakdown of rules of conduct, and loss of
belief and sense of purpose in society or in an individual” (Chambers 20th Century
Dictionary)
“as state of lawlessness existing at times of abrupt social change, and affecting in
particular the state of ‘normlessness’, which exists when the insatiable desires of
humans are no longer controlled by society”  (Durkheim, E., 1933, The Division of
Labour in Society, Glencoe, Illinois: Free Press).

1.2.1. Pemikiran Emile Durkheim tentang Anomie


Salah satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat dengan melihat pada bagian-
bagian komponennya dalam mengetahui bagaimana masing-masing berhubungan satu
sama lain, contoh kita melihat kepada struktur dari suatu masyarakat guna melihat
bagaimana ia berfungsi. Jika masyarakat stabil, maka bagian-bagiannya beroperasi
lancar, susunan-susunan sosial berfungsi. Masyarakat seperti itu ditandai oleh
kepaduan, kerja sama, dan kesepakatan. Namun, jika bagian-bagian komponennya
tertata dalam satu keadaan yang membahayakan keteraturan/ketertiban sosial,
susunan masyarakat itu disebut dysfunctional (tidak berfungsi). Demikianlah

6
http://oviefendi.wordpress.com/makalah/teori-anomie/
perspektif struktural functionalist yang dikembangkan oleh Emile Durkheim sebelum
akhir abad ke-19.7 
Durkheim meyakini bahwa jika sebuah masyarakat sederhana berkembang
menuju satu masyarakat modern dan kota maka, kedekatan (intimacy) yang
dibutuhkan untuk melanjutkan satu satu set norma-norma umum (a common set of
ruise) akan merosot. Kelompok-kelompok menjadi terpisah-pisah, dan dalam
ketiadaan satu set aturan-aturan umum, tindakan-tindakan dan harapan-harapan orang
di satu sektor mungkin bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain. Dengan
tidak dapat di prediksinya perilaku, sistem tersebut secara bertahap akan runtuh, dan
masyarakat itu berada dalam kondisi anomie.8
Ilustrasi terbaik dari konsep Durkheim tentang anomie adalah dalam satu diskusi
tentang bunuh diri (suicide) yang terjadi di negaranya, Prancis, dan bukan tentang
kejahatan. Ketika Durkheim menganalisa data statistik ia mendapati bahwa angka
bunuh diri meningkat selama perubahan ekonomi yang tiba-tiba (sudden economic
change), baik perubahan. Itu depresi hebat ataupun kemakmuran yang tidak terduga.
perubahan yang cepat orang tiba-tiba terhempas kedalam salah satu cara /jalan hidup
yang tidak dikenal (unfimiliar). Aturan-aturan (rules) yang pernah membimbing
tingkah laku tidak lagi dipegang. 
Adalah titik sulit untuk mengerti mengapa dalam keadaan seperti diatas
(kejatuhan ekonomi tiba-tiba) angka bunuh diri meningkat, tapi mengapa orang juga
jatuh dalam keputusannya seperti itu ketika terjadi kemakmuran mendadak? Menurut
Durkheim faktor-faktor yang sama telah bekerja dalam kedua situasi itu. Bukanlah
jumlah uang yang ada yang menyebabkan hal itu, melainkan sudden change
(perubahan mendadak). Orang yang tiba-tiba mendapatkan kekayaan lebih banyak
dari yang pernah mereka impikan memiliki kecenderungan meyakini bahwa tiada
satupun yang mustahil.
Menurut Emile, teori Anomi terdiri dari tiga perspektif, yaitu:
 Manusia adalah mahluk social
 Keberadaan manusia sebagai mahluk social

7
Santoso, Topo dan Achjani, Eva, “Kriminologi”, Rajawali Press, jakarta, 2005, Hal. 58
8
Ibid, hal. 59
 Manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan keberadaannya sangat
tergantung pada masyarakat tersebut sebagai koloni

Durkheim berpendapat bahwa kondisi Anomi dapat menjelaskan setidaknya 3 jenis


fenomena bunuh diri;
 Durkheim menemukan bahwa kenaikan tajam atau penurunan kesejahteraan
ekonomi masyarakat dikaitkan dengan tingkat peningkatan bunuh diri. Tingkat
bunuh diri terendah selama masa stabilitas ekonomi
 Salah satu lingkup kehidupan sosial bidang perdagangan dan industri sebenarnya
dalam keadaan kronis anomie (1951: 254., penekanan ditambahkan).
 Durkheim menganalisis bagaimana regulasi yang tidak memadai hasrat
seksualjuga bisa menghasilkan tingkat tinggi bunuh diri anomik antara
kelompok-kelompok sosial tertentu.
Durkheim mempercayai bahwa hasrat-hasrat manusia adalah tak terbatas, satu
"insatiable and bottomless abyss" (jurang yang tak pernah puas dan tak berdasar).
Karena alam tidak mengatur batas-batas biologis yang ketat untuk kemampuan
manusia sebagaimana ia mengatur makhluk lain. Akan tetapi, dengan satu ledakan
kemakmuran yang tiba-tiba, harapan-harapan orng menjadi berubah. Manakala
aturan-aturan lama tidak lagi menentukan bagaimana ganjaran/penghargaan
didistribusikan kepada anggota-anggota masyarakat itu, maka disana sudah tidak ada
lagi pengekang/pengendali atas apa yang orang inginkan. Sekali lagi sistem itu
menjadi runtuh. Jadi, "whether sudden change cause Great prosperity or a Great
depresion, the result is the same-anomie."

Adapun pemikiran Durkheim sebagai berikut:


 Kejahatan itu normal ada di semua masyarakat. Tidak mungkin menghilangkan kejahatan
 Terdapat tingkat kriminalit5555555555555555555555as tertentu yang akan sehat bagi
kualitas organisasi sosial masyarakat
 Kriminalitas menjadi tidak sehat apabila hukum tidak cukup lagi mengatur interaksi
antar berbagai elemen masyarakat
 Anomi selalu menghasilkan tingkat kejahatan yang berlebihan
 Umumnya, anomi terjadi akibat faktor pembagian kerja yang tidak seimbang antara
lain karena:
i. Kombinasi konflik industrial & finansial
ii. Pembagian kelas yg ketat dan tidak alamiah
iii. Pembagian kerja yang abnormal; pekerja menjadi teralienasi dari pekerjaannya
 Saat terjadi gejolak industrial & finansial, anomi terjadi, sebagai hasil dari kurangnya
norma atau aturan sosial terkait aspirasi dan kemauan manusia
 Kejahatan lalu dikaitkan dengan hilang atau melemahnya norma dan aturan sosial
selaku kontrol social

1.2. 2. Pemikiran Robert K. Merton tentang Anomie


Seperti halnya Durkheim, Robert Merton mengaitkan masalah kejahatan dengan
anomie. Tetapi konsepsi Merton tentang anomie agak berbeda dengan konsepsi
anomie dari Durkheim. Masalah sesungguhnya, menurut Merton, tidak di ciptakan
oleh sudden social change (perubahan sosial yang cepat) tetapi oleh social structure
(structure social) yang menawarkan tujuan-tujuan yang sama untuk semua
anggotanya tanpa memberi sarana yang merata untuk mencapainya. Kekurangpaduan
antara apa yang diminta oleh budaya (yang mendorong kesuksesan) dengan apa yang
diperbolehkan oleh struktur (yang mencegahnya memperoleh kesuksesan), dapat
menyebabkan norma-norma runtuh karena tidak lagi efektif untuk membimbing
tingkah laku. Merton meminjam istilah "anomie" dari Durkheim guna menjelaskan
keruntuhan sistem norma ini.
. Konsep Merton tentang Anomie berbeda dengan apa yang digunakan oleh
Durkheim, yang memberi batasan Anomie sebagai suatu keadaan tanpa norma atau
tanpa harapan (Normless). Tipologi. Merton tentang adaptasi pada Anomie dikenal
sebagai teori ketegangan. Teori ini menganggap bahwa kejahatan muncul. Sebagai
akibat apabila individu tidak dapat mencapai tujuan-tujuan mereka.melalui saluran
legal atau menarik diri dari pergaulan sosial karena kemarahannya (Agnew, 1991;
273)9

9
Irawan, Benny, “Mekanisme Penerimaan Penghukuman dan Pembinaan oleh terpidana Penjara (analogi terhadap
mekanisme penyesuian diri pada teori Anomie dan struktur social Robert K. Merton terhadap 2 orang Terpidana
dan 2 Orang Bekas Terpidana”, Universitas indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Jurusan Kriminologi
Merton berpendapat, bahwa dalam setiap masyarakat terdapat tujuan-tujuan
tertentu yang ditanamkan kepada seluruh warganya, untuk mencapai tujuan tersebut
terdapat sarana-sarana yang dapat dipergunakan. Karena dalam kenyataannya tidak
setiap orang dapat menggunakan sarana-sarana yang tersedia sehingga menimbulkan
keadaan yang tidak merata dalam sarana dan kesempatan untuk mencapai tujuan
tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya Merton tidak lagi menekankan pada tidak
meratanya sarana-sarana yang tersedia, tetapi lebih menekankan pada perbedaan-
perbedaan struktur kesempatan. Menurut Merton dalam setiap Masyarakat terdapat.
Struktur sosial yang berbentuk kelas-kelas dan ini menyebabkan perbedaan-
perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan (Lower class) mempunyai kesempatan
yang Lebih kecil dalam mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang
mempunyai kelas yang lebih tinggi (Uper Class). Keadaan ini menimbulkan
ketidakpuasan, frustasi dan munculnya penyimpangan-penyimpangan dikalangan
warga yang tidak mempunyai kesempatan mencapai tujuan tersebut. Situasi ini akan
menimbulkan keadaan para warga tidak lagi mempunyai ikatan yang kuat terhadap
sarana-sarana/kesempatan-kesempatan yang terdapat dalam masyarakat. Keadaan ini
yang dinamakan anomie.
Kondisi ini kemudian menimbulkan suatu pilihan dari para warga masyarakat
tersebut untuk menyesuaikan diri tunduk kepada kenyataan atau menolak salah satu
antara tujuan dan cara yang tersedia di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Robert Merton mengemukakan 5 (lima) model alternatif penyesuaian diri terhadap
keadaan anomie. Secara skema akan di sajikan dalam tabel berikut; tanda - (negatif /
min) sama dengan menolak, tanda +(tanda positif /plus) sama dengan menerima, dan
tanda ± (plus min) berarti tidak saja menolak selain itu juga menghendaki
perombakan menyeluruh/mengubah sistem yang ada.

Tipologi Adaptasi Individual Robert K. Merton

No Model Adaptasi Tujuan Cara yang

Program Pasca Sarjana, Depok, 2002. Hal 15


Kebudayaan melembaga
1. Conformity + +
2. Inovation + -
3. Ritualism - +
4. Retreatism - -
5. Rebelion ± ±

1. Conformity (conformitas), yaitu suatu keadaan dimana warga masyarakat tetap


menerima tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat karena adanya
tekanan moral.
2. Inovation (Inovasi), yaitu keadaan dimana tujuan yang terdapat di masyarakat
diakui dan dipelihara tetapi mereka mengubah sarana-sarana yang dipergunakan
untuk mencapai tujuan tersebut.
3. Ritualism (Ritualisme), yakni keadaan di mana warga masyarakat menolak tujuan
yang telah di tetapkan dan memilih sarana-sarana yang telah di tentukan.
4. Retreatism (Penarikan diri), yakni keadaan dimana warga masyarakat menolak
tujuan dan sarana-sarana yang telah tersedia dalam masyarakat.
5. Rebellion (Pemberontakan), yakni suatu keadaan di mana tujuan dan sarana-
sarana yang terdapat dalam $asyarakat ditolak dan berusaha untuk mengganti atau
mengubah seluruhnya.

Adapun Pemikiran Robert K. Merton mengennai anomie:

 Anomie terjadi ketika kebutuhan dan keinginan melampaui apa yang dapat dipenuhi

melalui “socially acceptable ways”

 Keinginan manusia sebenarnya didefinisikan oleh masyarakat itu sendiri. Setiap

masyarakat menciptakan hal-hal yang dianggap berharga dan layak diupayakan

pemenuhannya

 Bila masyarakat ingin tetap sehat, kesediaan seseorang untuk tetap mempergunakan

cara-cara yang sah perlu dihargai.

 Jika tekanannya pada tujuan tanpa kendali pada bagaimana mencapainya, situasi

anomik terjadi
 Selain kesenjangan antara cara dan tujuan, kriminalitas juga disebabkan oleh

perasaan diperlakukan tidak adil atau karena kesempatan berbeda

Merton secara tematis mengarahkan perhatian orang terhadap situasi aktual di mana
terjadi krisis dalam suatu konteks sosial budaya tertentu. Kontek yang melingkupi ini
dipisahkan secara analitis atas aspek struktur kultural di satu sisi, dan aspek struktur sosial
disisi lain. Di sini struktur kultural didefinisikan sebagai seperangkat nilai-nilai normatif
yang terorganisir yang mengatur perilaku umum bagi para anggota masyarakat atau
kelompok tertentu. Sedangkan struktur sosial adalah seperangkat hubungan sosial yang
terorganisir di dalam mana para anggota masyarakat atau kelompok tersebut terlibat.
Krisisnya muncul manakala nilai-nilai kultural yang mengatur pemilihan tujuan dan alat
yang ada terancam karena dalam kapasitas yang terstruktur. Secara sosial para anggota
masyarakat tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai-nilai normatif tersebut.
Kesenjangan di ataslah yang kemudian dipahami sebagai penyebab gejala anomie,
yaitu suatu kondisi relatif kekaburan norma di dalam suatu masyarakat. Yang terjadi
adalah kerusakan atau distorsi pada struktur kultural dalam mengatur perilaku umum
anggota masyarakat. Pemahaman praktisnya, dengan demikian, mengacu pada kehadiran
kendala-kendala dalam kondisi aktual sedemikian rupa sehingga mengakibatkan pemilihan
tujuan dan alat yang sesuai dengan aturan-aturan dan nilai-nilai normatif cenderung tidak
bisa dioreintasikan ataupun di wujudkan dalam tindakan orang-orang yang bersangkutan.10
Orientasi subjektif individu, sementara itu, telah menjelaskan hubungan antara
variabel tindakan voluntaristik dan variabel-variabel sosiologis lain, seperti strata sosial,
jenis kelamin dan lain-lain. Herbert H. Hyam menyebutkannya dengan istilah sistem nilai.
Individu, manakala dia menganalisa hubungan antara posisi yang rendah (lapisan sosial)
dan kelangkaan mobilitas ke atas, karena orang-orang lapisan kebawah pada gilirannya
justru malah mereduksi tindakan-tindakan voluntaristik yang akan memperbaiki posisinya
yang rendah, karena secara responsif mereka menurunkan tingkat orientasi mobilitas ke
atas. Proses pengambilan keputusan ini terjadi dalam orientasi subjektif yang melibatkan

10
Khanafi Zain, Imam, “Gejala Anomie dalam Orientasi Okupasional (Menelusuri Orientasi koneksi Anomik
Pelajar dan Lulusan beberapa SMA di Jakarta dalam menghadapi Krisis Transisi Status)”, Universitas Indonesia
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Depok 1992, hal 27 - 31
segala dimensinya, atau dalam perekayasaan sistem nilai individu, sehingga pada akhirnya
melahirkan tindakan praktis yang mungkin tipikal lapisan sosial tertentu. 
Hyman mencoba merevisi analisa Merton yang menekankan bahwa gejala anomie
lebih cenderung terjadi pada orang-orang lapisan bawah karena frustasi mereka dalam
mengejar tujuan kultural sukses ekonomis, sementara aksesibilitas atas dasar pemilikan
alat untuk itu terbatas. Hyman menyoroti asumsi Merton yang menyebutkan bahwa tujuan
kultural keberhasilan dalam aktualitasnya diserap dan dioreintasikan oleh individu-
individu lapisan bawah, sementara itu juga sepatutnya jika mereka sendiri menyadari
bahwa alat untuk tujuan itu tak tersedia pada mereka. Pada satu titik waktu tertentu, kata
Hyman menanggapi,hal itu memang benar. Namun tampaknya juga benar bahwa dalam
perseptif waktu yang lebih luas jika individu terus meyakini bahwa alat-alat untuk
keberhasilan di masa depan tetap tersedia atau menunggunya, maka frustasinya akan
berkurang dan perilaku menyimpannya mungkin tak terjadi. Sebaliknya jika individu
menekankan perhatian pada peluang-peluangnya sejauh yang bisa dimilikinya, dan
menyesuaikan tingkat penyerapan tujuan kultural tentang keberhasilan,maka tekanan ke
arah perilaku menyimpang juga berkurang. Relevansinya,dengan demikian,adalah pada
diferensial yang mungkin terjadi dalam tingkat penyerapan tujuan kultural tentang
keberhasilan diantara lapisan-lapisan sosial yang berbeda, juga diferensial dalam
aksebilitas relatif yang bisa diharapkan,berdasarkan perekayasaan. Orientasi subjektif atau
sistem nilai individual yang di lakukan dalam perspektif waktu tertentu.
Di atas masalah diferensiasi penyerapan tujuan kultural dan aksesibilitas
relatifnya,gejala anomie pada dasarnya tetap relevan diungkap sejauh norma-norma umum
yang ada dikalahkan oleh kepentingan pribadi yang mengejar kepuasan dengan jalan apa
pun asal efektif. Lebih-lebih dalam masyarakat perkotaan yang cenderung terkotak-kotak
dan penuh persaingan,pribadi-pribadi itu hidup dalam iklim yang sulit untuk mempercayai
satu sama lain dan tidak menunjang pada hubungan-hubungan antar manusia yang stabil.
Situasi anomik juga mengarah pada sulitnya untuk untuk bisa meramalkan perilaku-
perilaku orang lain, di samping munculnya keyakinan yang kuat akan faktor
keberuntungan. 
Gagasan tentang anomie justru telah secara berlebihan diperluas hingga mencakup
banyak variasi baik dari kondisi-kondisi sosial maupun keadaan-keadaan psikis:
disorganisasi personal, keretakan kultural, hilangnya saling percaya antar manusia
(reciprocal distrust), dan sebagainya.11

1.3.ANOMIE SEBAGAI KEKACAUAN PADA DIRI INDIVIDU

Anomie sangat umum terjadi apabila masyarakatsekitarnya mengalami perubahan-

perubahan yang besar dalam situasi ekonomi, entah semakin baik atau semakin buruk, dan lebih

umum lagi ketika ada kesenjangan besar antara teori-teori dan nilai-nilai ideologis yang

umumnya diakui dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pandangan Durkheim, agama-agama tradisional seringkali memberikan dasar bagi

nilai-nilai bersama yang tidak dimiliki oleh individu yang mengalami anomie. Lebih jauh ia

berpendapat bahwapembagian kerja yang banyak terjadi dalam kehidupan ekonomi modern

sejak Revolusi Industri menyebabkan individu mengejar tujuan-tujuan yang egois ketimbang

kebaikan komunitas yang lebih luas.

Robert King Merton juga mengadopsi gagasan tentang anomie dalam karyanya. Ia

mendefinisikannya sebagai kesenjangan antara tujuan-tujuan sosial bersama dan cara-cara yang

sah untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata lain, individu yang mengalami anomie

akan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama dari suatu masyarakat tertentu, namun tidak

dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan sah karena berbagai keterbatasan sosial.

Akibatnya, individu itu akan memperlihatkan perilaku menyimpang untuk memuaskan dirinya


sendiri.

1.4.ANOMIE SEBAGAI KEKACAUAN MASYARAKAT

Kata anomie telah digunakan untuk masyarakat atau kelompok manusia di dalam suatu
masyarakat, yang mengalami kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama
yang eksplisit ataupun implisit mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap
aturan-aturan yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan
bukan kerja sama.

11
Leo Srole, “Socila Integration and Certain colloaries: An exploratory Study,” dalam American Sociological
Review Vol. 30, hal 712-713
Friedrich Hayek dikenal menggunakan kata anomie dengan makna ini.Anomie sebagai
kekacauan sosial tidak boleh dikacaukan dengan “anarkhi“. Kata “anarkhi” menunjukkan tidak
adanya penguasa, hierarkhi, dan komando, sementara “anomie” menunjukkan tidak adanya
aturan, struktur dan organisasi. Banyak penentanganarkhisme mengklaim bahwa anarkhi dengan
sendirinya mengakibatkan anomi. Namun hampir semua anarkhis akan mengatakan bahwa
komando yang hierarkhis sesungguhnya menciptakan kekacauan, bukan keteraturan (lih.
misalnya Law of Eristic Escalation).

2.  TEORI STRAIN   (MARTIN K. MERTON)


“Individu-individu dari kelas sosial rendah menjadi frustasi oleh
ketidakmampuannya untuk beradaptasi dalam anugerah ekonomi masyarakat yang
lebih luas, akan mengarahkan kembali energi mereka ke  dalam kegiatan kriminal
sebagai suatu cara untuk memperoleh anugerah ini” (Merton, 1957)
Teori Strain atau Teori Ketegangan, memiliki fokus terhadap suatu konflik antara
tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Struktur sosial
merupakan akar dari masalah kejahatan, karena itu pendekatan dari   Teori Strain kadang
disebut a structural explanation.  Teori Strain  berasumsi bahwa pada dasarnya orang itu
taat hukum, tetapi dibawah tekanan besar mereka akan melakukan kejahatan; disparitas
antara tujuan dan sarana iniliah yang memberikan tekanan.
Hal ini terjadi karena adanya ketidak-seimbangan distribusi kekayaan dan kekuatan
(kekuasaan). Kondisi seperti ini menyebabkan frustasi bagi kalangan tertentu sehingga
berusaha mencari cara alternatif untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Ketika semua orang bergiat untuk mencapai kesuksesan, orang yang paling tidak
mungkin sukses melalui cara-cara yang sah adalah yang paling tertekan untuk (terpaksa)
mempergunakan kesempatan yang ilegal atau cara-cara yang tidak sah.

2.1.   Materi Teoro Strain


Para fungsionalis mengemukakan bahwa kejahatan merupakan suatu bagian alami
dalam masyarakat, bukan suatu penyimpangan atau unsur asing di tengah-tengah kita.
Nilai umum sesungguhnya menghasilkan kejahatan. Sosiolog Richard Cloward dan Lloyd
Ohlin (1960) mengidentifikasikan masalah utama dunia industri yaitu keperluan untuk
menemukan dan melatih orang-orang yang berbakat dalam tiap generasi—baik mereka
yang dilahirkan dalam kekayaan maupun kemiskinan—sehingga mereka dapat mengambil
alih pekerjaan teknis dalam masyarakat modern.
Dikala anak-anak dilahirkan, tidak seorangpun mengetahui siapa diantara mereka
yang akan memiliki kemampuan untuk menjadi dokter gigi, ahli fisika nuklir atau
insinyur. Untuk memperoleh orang yang berbakat agar bersaing satu sama lain,
masyarakat berupaya memotivasi setiap orang agar meraih sukses, masyarakat
melakukannya dengan jalan membangkitkan rasa tidak puas—menjadikan orang merasa
tidak puas—menjadikan orang merasa tidak puas dengan apa yang mereka miliki sehingga
mereka akan berupaya “memperbaiki” diri mereka.
Dengan demikian sebagian besar orang akhirnya memiliki hasrat besar untuk
mencapai tujuan budaya (cultural goal) seperti kekayaan atau status yang tinggi atau
untuk meraih sasaran apapun yang ditawarkan masyarakat kepada mereka. Namun tidak
semua orang memiliki akses setara ke sarana Instititusional (intitutionalized mean) dalam
masyarakat, yaitu cara yang sah untuk meraih sukses. Beberapa orang misalnya,
menemukan jalan mereka ke pendidikan dan pekerjaan dihalang-halangi. Orang ini
mengalami ketegangan (strain) atau frustasi yang dapat memotivasi mereka untuk
mengambil jalur menyimpang.
Persfektif ini yang dikenal sebagai teori ketegangan (Strain Theory),
dikembangkan oleh sosiolog Roberth King Merton. Menurut Merton, orang yang
mengalami ketegangan cenderung merasakan anomie, yaitu suatu perasaan ketiadaan
norma (normlessness), karena norma umum (pekerjaan, pendidikan) nampaknya tidak
mengantarkan mereka ke mana-mana, maka mereka mengalami kesulitan untuk
mengidentifikasikan diri dengan norma umum. Mereka bahkan dapat merasa diperlakukan
tidak adil oleh sistem, dan peraturannya dapat nampak tidak sah.
Tabel Bagaimana Orang mencocokkan Tujuan dengan Cara Mereka (Merton)
Apak Cara Tujuan Sarana
ah Mereka Adaptasi Budaya Institusional
Merasakan
Ketegangan
yang
Mengarah
ke Anomie?
Tidak Konformitas Meneri Meneri
ma ma
Meneri Menola
Inovasi
ma k
Menola Meneri
Ritualisme
k ma
Ya
Pengundura Menola Menola
n Diri k k
Pemberonta Menola Menola
kan k/ Mengganti k/ Mengganti

Tabel di atas membandingkan reaksi orang terhadap tujuan budaya dan cara
terinstitusionalisasi. Merton menganggap individu akan merespon dalam menghadapi
kegagalan untuk mencapai keberhasilan. Bagaimanapun mereka akan bereaksi juga,
bergantung pada posisi sosial mereka dalam masyarakat. Merton
mengidentifikasi lima tipe cara adaptasi individu terhadap situasi
tertentu, empat diantaranya merupakan perilaku menyimpang.
Reaksi pertama, yang menurut Merton paling lazim, ialah Konformitas (kepatuhan),
yaitu penggunaan cara yang secara sosial dibenarkan untuk mencapai tujuan budaya.
Dalam masyarakat industri, sebagian orang berupaya mendapatkan pekerjaan yang baik,
pendidikan yang baik dan seterusnya. Jika tidak ada pekerjaan yang berpenghasilan baik,
mereka menerima pekerjaan tersebut walaupun kurang diminati. Jika akses pendidikan
mereka ke Universitas Indonesia atau Universitas Pajajaran ditolak, mereka masuk
Universitas Cenderawasih saja, seperti kita sekarang ini  mengambil kelas petang
(ekstensi) atau kuliah di Sekolah Tinggi Umel Mandiri saja. Singkatnya sebagian besar
orang mengambil jalan yang secara sosial dibenarkan.
Empat reaksi selanjutnya yang tersisa merupakan jalur penyimpangan, mewakili
reaksi terhadap ketiadaan norma (anomie). Jalur penyimpangan pertama yaitu
inovasi (innovator), adalah orang yang menerima tujuan masyarakat namun menggunakan
cara yang tidak sah dalam upaya meraihnya. Para pengedar obat terlarang, misalnya,
menerima tujuan pencapaian kekayaan, namun mereka menolak jalur sah untuk
melakukannya. Contoh lainnya adalah para pelaku penggelapan, perampok dan
penipu. Contoh kasus, seorang mahasiswa yang baru kuliah 3 semester
di sebuah universitas, berhasil diterima menjadi dosen dan mengajar selama 3 tahun
di salah satu universitas dengan memakai ijazah palsu. Dalam kasus ini tujuan yang
hendak diraih adalah menjadi sarjana, sesuai dengan tujuan masyarakat, namun caranya
memalsukan ijazah adalah bertentangan dengan tujuan yang ditentukan masyarakat.
Jalur penyimpangan kedua ditempuh oleh orang yang putus asa dan menyerah
dalam upaya meraih tujuan budaya. Namun mereka masih berpegang pada peraturan
perilaku yang konvensional. Merton menamakan tanggapan ini Ritualisme (ritualism).
Meskipun para ritualis telah berhenti mencari keunggulan dan kemajuan kedudukan atau
status, namun mereka bertahan dengan jalan mengikuti peraturan dalam pekerjaan mereka.
Para guru yang idealismenya telah hancur, misalnya, tetap bertahan dalam kelas
dimana mereka mengajar tanpa gairah. Tanggapan mereka dianggap menyimpang karena
mereka tetap berpegang pada pekerjaan walaupun mereka telah meninggalkan tujuannya,
yang dapat berupa merangsang pikiran anak didik atau menjadikan dunia suatu tempat
yang lebih baik. Para guru yang tanpa gairah ini tetap mengajar sebatas melaksanakan
kewajiban saja, tanpa ada hasrat memotivasi para anak didik.
Contoh lainnya, seorang karyawan kelas menengah ke bawah yang tidak mau
mengejar sukses karena sudah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki, takut
mengalami kegagalan atau kekecewaan. Karena adanya sikap diatas maka usaha untuk
meraih sukses dipendam tetapi cara untuk meraih sukses tetap dipakai meskipun disertai
sikap menahan diri.
Jalur penyimpangan ketiga yaitu pengunduran diri (retreatism). Orang-orang yang
menolak baik tujuan budaya maupun sarana institusional untuk mencapainya. Mereka
yang meninggalkan pencarian kesuksesan dengan beralih ke alkohol dan obat-obatan,
adalah para pengundur diri. Orang-orang seperti itu bahkan berhenti berpura-pura seolah-
olah mereka masih menganut tujuan masyarakat.
Tipe terakhir tanggapan penyimpangan ialah pemberontakan (rebellion). Karena
yakin bahwa masyarakat mereka korup maka para pemberontak, seperti halnya para
pengundur dir, menolak baik tujuan masyarakat maupun sarana institusional. Namun
berbeda dengan para pengundur diri, para pemberontak berupaya menggantikan tujuan
yang ada dengan tujuan yang baru. Kaum revulusioner merupakan bentuk paling lazim
dari para pemberontak ini. Contoh: para pemimpin politik dengan cara mereka sendiri
berhasil menggulingkan tatanan politik yang ada dan menerapkan suatu tatanan politik
yang baru.
Singkatnya Teori Strain,  menggaris-bawahi prinsip sosiologis bahwa para
penyimpang adalah produk masyarakat. Karena lokasi sosial mereka maka beberapa orang
mengalami tekanan atau frustasi lebih besar dikala mereka berupaya mencapai tujuan
budaya yang ditentukan bagi mereka. Dengan tekanan yang lebih besar tersebut maka
mereka lebih cenderung menyimpang dari norma masyarakat. Hasilnya adalah keempat
tipe penyimpangan tersebut yaitu inovator, ritualis, pengundur diri dan pemberontak.
Konsepsi Merton ini dipengaruhi pemikiran dari Pitirin A. Sorokin (1928) dalam
bukunya Contemporary Sociological Theories dan Talcot Parsons (1937) dalam bukuThe
Structure of Social Action.
Menurut Merton, konsep anomie yang diredefinisinya adalah bahwa
ketidaksesuaian atau timbulnya diskrepansi/perbedaan antara cultural
goals dan institutional means sebagai akibat cara masyarakat diatur (struktur masyarakat)
karena adanya pembagian kelas. Karena itu, menurut John Hagan, teori 
Merton berorientasi pada kelas (“Merton is in exploring variations in crime and deviance
by social class”)
Masyarakat industri tidak mengalami kesulitan untuk mensosialisasikan orang
miskin agar mereka ingin memiliki sesuatu. Sebagaimana halnya  dengan orang kaya,
orang miskin pun dihujani pesan-pesan yang mengajak mereka untuk membeli berbagai
barang mulai dari celana jeans, pakaian bermerek dan pemutar DVD, hape Blackberry,
tablet Samsung Note sampai ke mobil mewah semacam ferrari. Televisi terutama tayangan
sinetron dan film menampilkan gambaran yang hidup mengenai orang dari golongan kelas
menengah yang menikmati kehidupan mewah. Gambaran ini memperkuat mitos bahwa
semua orang mampu menikmati berbagai barang dan jasa dalam kehidupan
bermasyarakat.
Sebaliknya, sistem sekolah, jalur paling lazim ke arah sukses, sering gagal melayani
orang miskin. Kelas menengah mengelolanya dan disana anak-anak orang miskin
dihadapkan pada suatu dunia yang bertentangan dengan latar belakang mereka.
Tatabahasa dan kosakata anak-anak miskin yang tidak baku ditaburi secara bebas dengan
apa yang dianggap kelas menengah sebagai kata-kata jorok. Ide kelas menengah mengenai
ketepatan waktu dan kerapihan, maupun kurangnya persiapan dalam keterampilan
menulis, tidak sesuai dengan lingkungan mereka yang baru. Karena mengalami hambatan
seperti itu maka orang miskin lebih cenderung putus sekolah daripada teman mereka yang
lebih mampu. Kegagalan di bidang pendidikan ini kemudian menutup pintu ke jalur-jalur
sah menuju kesuksesan finansial.
Namun tidak jarang terbuka pintu lain bagi orang miskin, yang oleh Richard
Cloward dan Lloyd Ohlin dinamakan struktur kesempatan tidak sah (illegitimate
opportunity structure). Tekstur kehidupan di daerah perkotaan misalnya, sarat dengan
perilaku penodongan, perampokan, pengedaran obat terlarang, pelacuran, permucikarian,
perjudian dan kejahatan lain yang menghasilkan uang, yang biasanya
dinamakan “hustles”.

Bagi banyak orang miskin, “hustles” merupakan suatu model peran—mempesona,


berkuasa, citra mengenai “uang gampang”—karena alasan itulah maka kegiatan ini
menarik sejumlah besar orang miskin. Geng merupakan suatu cara struktur kesempatan
tidak sah, memanggil kaum muda yang tidak beruntung.
Orang kaya atau orang yang termasuk kelas sosial yang lebih tinggi tidaklah berarti
bebas dari kejahatan, mereka menghadapi panggilan struktur kesempatan tidak sah dengan
cara berlainan dengan orang miskin. Orang kaya melakukan bentuk kejahatan lain yang
lebih tepat dilakukan bagi mereka. Para dokter misalnya, tidak menodong anggota
masyarakat, tetapi banyak melakukan kecurangan dengan jaminan kesehatan. Mungkin
kita pernah mendengar mengenai pegawai yang menipu atasan mereka.
Dengan kata lain, alih-alih melakukan penodongan, pemucikarian dan perampokan,
orang yang lebih mampu memiliki “kesempatan” untuk menghindari pajak penghasilan,
menyogok pejabat publik, melakukan penggelapan dan sebagainya. Edward Sutherland
menamakan istilah kejahatan kerah putih (white collar crime) untuk menunjuk kejahatan
yang dilakukan orang terhormat dan berstatus tinggi dalam rangka pekerjaan dan
pencapaian tujuan mereka.
Teori Strain beranggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang selalu
memperkosa hukum atau melanggar hukum, norma-norma dan peraturan-peraturan
setelah terputusnya antara tujuan dan cara mencapainya menjadi demikian besar
sehingga baginya satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui saluran
yang tidak legal.
Teori Strain   memiliki fokus terhadap suatu konflik antara tujuan dan cara-cara
yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya
ketidakseimbangan distribusi kekayaan dan kekuatan (kekuasaan). Kondisi seperti ini
menyebabkan frustasi bagi kalangan tertentu sehingga berusaha mencari cara alternatif
untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.  Ketika terjadi suatu kondisi frustasi terhadap
norma atau aturan-aturan konvensional, seseorang atau kelompok tertentu mencari cara
lain yang bertentangan dengan norma dan aturan yang ada, yang biasanya menjadi tingkah
laku kejahatan.
Paradigma yang digunakan adalah paradigma yang memiliki fokus pada pencarian
jawaban mengapa timbul suatu tingkah laku kejahatan. Karena hubungan sebab akibat
tersebut, yaitu tingkah laku adalah hasil dari hubungan sebab akibat antara individu
dengan aspek tertentu dari lingkungan mereka, kejahatan dipandang sebagai obyek dan
yang harus dicari adalah faktor-faktor yang dapat mengungkapkan tingkah laku kriminal
dengan memusatkan perhatian kepada pelaku kejahatan sebagai suatu gejala yang mesti
dipelajari.
Menurut Merton, suatu masyarakat menanamkan pada anggota-anggotanya suatu
hasrat untuk mencapai cita-cita tertentu dan kemudian menggariskan cara-cara yang sah
melalui mana cita-cita itu dapat dicapai. Hal itu beralasan apabila seseorang dihalang-
halangi dalam usahanya baik itu wanita atau pria untuk mencapainya melalui berbagai
manuver atau cara yang tidak legal.
Individu-individu dari kelas sosial rendah menjadi frustasi oleh
ketidakmampuannya untuk beradaptasi dalam anugerah ekonomi masyarakat yang lebih
luas, akan mengarahkan kembali energi mereka ke  dalam kegiatan kriminal sebagai
suatu cara untuk memperoleh anugerah ini.
Teori Strain memandang manusia dengan sinar atau cahaya yang optimis. Dengan
perkataan lain, manusia itu pada dasarnya baik, karena kodisi sosial lah yang
menciptakan tekanan atau stress, ketegangan dan akhirnya kejahatan. Mengingat adanya
kenyataan bahwa kesempatan legitimasi tidak tersebar merata dalam masyarakat, Teori
Strain  ini mengusulkan adanya suatu mata rantai kuat antara kejahatan dan kelas sosial
(Merton, 1957).
Dalam membahas dasar-dasar atas fondasi Teori Strain  ini, Merton
mempertahankan pendapatnya bahwa tekanan yang lebih berat atas tujuan dan cara yang
digunakan untuk mencapainya serta restriksi atau pembatasan peluang-peluang
legitimasi yang ada bagi sebagian penduduk merupakan kondisi yang diperlukan dalam
mengembangkan rasa anomi dan ketegangan, yang selanjutnya memberikan sumbangan
bagi problem kejahatan suatu masyarakat.
Menurut Merton, ketegangan (strain) dapat berupa:
a. Struktural : ini mengacu pada proses di tingkat masyarakat dan
mempengaruhi individu memandang kebutuhannya, yaitu jika struktur
sosial tertentu pada dasarnya tidak memadai atau ada peraturan yang tidak
memadai, hal ini dapat mengubah persepsi individu untuk sarana dan
peluang , atau
b.  Individu: ini mengacu pada friksi dan nyeri yang dialami oleh seseorang
karena ia mencari cara untuk memuaskan kebutuhannya, yaitu jika tujuan
dari suatu masyarakat menjadi signifikan benar-benar tercapai, menjadi
lebih penting daripada sarana diadopsi.
Merton menggunakan Amerika Serikat sebagai contoh untuk mengilustrasikan
teorinya. Masyarakat Amerika mengembangkan gagasan dari 'American Dream'. Filosofi
dibalik 'American Dream' adalah bahwa siapa pun, tanpa memandang latar belakang sosial
seseorang, bisa mencapai kesuksesan finansial. Seperti biasa untuk mencapai keberhasilan
materi adalah melalui kerja keras, pendidikan, dan ambisi.
Di Amerika sudah melembaga suatu cita-cita dan tujuan untuk mengejar kesuksesan
semaksimal mungkin, yang mana diukur berdasarkan jumlah harta kekayaan. Namun pada
kenyataannya,  tidak semua orang mampu untuk berhasil. Ada pemenang dan ada
pecundang. Tidak semua masyarakat di Amerika dapat mencapai cita-cita tersebut melalui
cara yang dibenarkan. Oleh karena itu, terdapat individu-individu yang berusaha mencapai
tujuannya dengan melakukan pelanggaran. Umumnya, individu ini berasal dari golongan
kelas bawah dan golongan minoritas.
 Argumen Merton adalah bahwa tekanan dari masyarakat untuk mencapai
kesuksesan finansial secara aktif mendorong individu (yang kalah) untuk melakukan
kejahatan dan karena itu adalah penyebab dari perilaku menyimpang. Merton
mengatakan, struktur sosial dan budaya menghasilkan tekanan untuk perilaku sosial
menyimpang pada orang dengan berbagai terletak di bawah struktur.
Dengan kata lain, masyarakat Amerika menghasilkan keinginan untuk harta benda,
terutama karena keberhasilan diukur dengan pencapaian harta tersebut. Dalam masyarakat
yang materialistis, mereka yang tidak bisa berhasil dengan cara yang sah akan memakai
cara licik untuk melakukannya.
Kendatipun Teori Strain  ini telah menghasilkan sejumlah besar penyelidikan-
penyelidikan empiris, banyak dari studi ini telah memberikan hasil yang sangat tidak
konsisten dengan hipotesa Merton. Riset terhadap kelas sosial, ketidaksamaan dan akibat
putus sekolah, misalnya, banyak mempertanyakan dukungan pendapat dan ajaran para
teoritisi tegang. Hasil pelbagai studi riset yang terdahulu mengenai kelas sosial dan
kejahatan, konsisten dengan perkiraan bahwa lebih banyak orang dengan latar belakang
sosio-ekonomi rendah dibandingkan dengan sosio ekonomi tinggi, yang melibatkan diri
dalam pelbagai bentuk kegiatan ilegal.
Penyelidikan yang dilakukan lebih belakangan ini, khususnya yang telah
memanfaatkan data pelaporan sendiri, telah memperlihatkan pertalian antara kelas sosial
dan kejahatan menipis apabila tidak sepele, kendatipun secara kontroversil terus
mengelilingi atau mengepung asosiasi yang dimaksud antara kelas sosial dan kejahatan
(Braithwate, 1981). Riset atas pendapatan penghasilan yang tidak sama, sementara itu
meyakinkan juga cenderung untuk tidak konsisten dengan formulasi Merton.
Beberapa studi mengenai sekolah dan kejahatan menyarankan bahwa putus sekolah
pada umumnya menjurus pada tingkat peningkatan dan bukannya penurunan seperti 
Teori Strain   telah meramalkannya perilaku anti sosial.
Dalam dukungan sebagian teori Merton tentang kriminalitas, Brennan dan Huizinga
(1975) menemukan bahwa persepsi kaum muda mengenai terbatasnya peluang, anomie,
tekanan kawan sebaya dan pengecapan negatif atau dicap jelek mencapai 31% dari variasi
mengenai frekuensi melaporkan sendiri perbuatan delinkuensi dalam 730 anak remaja.
Cernkovichd dan Giordano (1979) melihat bahwa sementara delinkuen pria dan wanita
menyatakan rasa sangat diblokir kesempatannya daripada pria dan wanita yang non
delinkuen, variabel ini menjelaskan hanya 10% dari perbedaan dalam perilaku delinkuen.
Dalam usaha menyelidiki pendapat primer Teori Strain secara langsung, Steven
Stack (1983) membandingkan angka yang dilaporkan tentang pembunuhan dari kajahatan
atas harta benda melalui indeks Paglin Gini mengenai ketidaksamaan penghasilan bagi
semua 50 negara bagian. Mengenai terjadinya agresifitas sekelompok pelajar ibukota di
awal tahun 1993, menarik untuk dikaji dengan pendekatan teori tegang ini.
Suatu analisa regresi atau kemunduran berganda mengenai data ini mengungkapkan
bahwa ketidaksamaan penghasilan ada kaitannya dengan pembunuhan tapi bukan
kejahatan terhadap harta benda. Stack melaporkan lebih jauh  bahwa suatu analisa
pendahuluan tentang data yang dihimpun terhadap 29 negara, memberikan hasil serupa.
Penemuan ini menimbulkan sejumlah problema bagi Teori Strain, karena Merton
mempertentangkan bahwa penghasilan yang tidak sama harus menjurus pada
meningkatnya tingkat kejahatan yang diorientasikan pada ekomomi. Para teoritis dan
pakar riset yang bersifat kritis terhadap Teori Strain mempertentangkan bahwa model ini
menderita kelebihan sepanjang yang menyangkut komitmen tujuan tanpa adanya cara-cara
yang berlainan dalam mencapai tujuan, dapat mengakibatkan terlibatnya seseorang dalam
kegiatan kriminal (Johnson, 1979).
Hirschi (1969) mampu mendemonstrasikan bahwa, komitmen bagi tujuan-tujuan
konvensional cukuplah untuk menjelaskan keterlibatan kriminal dan bahwa faktor-faktor
tambahan seperti halnya yang dianut para teoritisi Teori Strain, sangat berlebihan bagi
hubungan “kejahatan tujuan”.
Pada suatu analisa tentang pasangan data berganda yang dilakukan Liska (1971),
tiba pada kesimpulan serupa. Dengan mencari kesalahan penyelidikan Hirschi dan Liska,
Margaret dan Michael Leiber (1989) memperdebatkan bahwa terputusnya mata rantai
antara tujuan ekonomi dan cara pendidikan merupakan ujian yang lebih memadai
mengenai teori tegang daripada diskontinuitas atas terputusnya hubungan yang lebih
umum dilakukan antara aspirasi pendidikan dan harapan-harapan.
Dengan menerapkan logika ini kepada sampel lebih dari 1.600 kaum remaja yang
lebih tua usianya di Seatle, daerah Metropolitas Washington, Farnworth dan Leiber
melihat adanya kaitan yang moderat antara terputusnya hubungan dan kaum utilitarian
atau kejahatan yang ditujukan pada harta benda dan tipis, tetapi bagaimanapun menyolok
juga kaitan antara terputusnya hubungan dan delinkuensi bukan utilitarian.
Meskipun penemuan-penemuan ini nampak memberikan dukungan bagi teori yang
dikembangkan para teoritisi TEORI STRAIN, yaitu bahwa perasaan kesempatannya
diblokir menjurus kepada keterlibatan kriminal, ciri korelasi penyelidikan ini
menimbulkan problem penafsiran karena itu dapat dengan mudah sekali dipertentangkan
bahwa tujuan ekonomi tinggi dan harapan pendidikan rendah merupakan akibat dan
bukan penyebabnya keterlibatan kriminal.
Disamping problem-problem dengan validitas atau keabsahan empirisnya, TEORI
STRAIN juga telah mendapat kecaman karena dianggap terlampau umum dan tidak
cermat (Bachr, 1979) gagal dalam memperhatikan kriminalitas orang-orang yang
dibesarkan dalam keluarga kelas menengah (Elliot dan Voss, 1975) dan meremehkan
perbedaan penting individu dalam perilaku (Wilson dan Herrnstein, 1985). Selain itu,
sangat tidak berhasil dalam memberikan penjelasan mengapa sebagian besar pemuda kelas
pekerja tidak pernah mengambil jalan atau terlibat kejahatan atau mengapa banyak
delinkuen meninggalkan cara hidup kriminal pada saat mereka menginjak usia dewasa
(Hirschi, 1969). Kekurangan atau kelemahan adalah bahwa berlawanan dengan
ramalan TEORI STRAIN, aspirasi tinggi dikalangan kaum muda kelas pekerja cenderung
untuk berkorelasi secara kebalikannya dengan delikuensi kemudian.
Sebagai respon atas banyak kecaman yang dilontarkan pada TEORI STRAIN ini,
para penyelidik telah berusaha mengintegrasikannya dengan model-model perilaku
kriminal lain. Cloward dan Ohlin, 1960, misalnya berusaha untuk
mengintegrasikan TEORI STRAIN dengan pendekatan asosiasi diferensiasi Sutherland,
dengan mengargumentasikan bahwa pengaruh TEORI STRAIN tidak akan beroperasi
terkecuali apabila orang juga memiliki peluang untuk belajar dari kawan-kawan delinkuen
sebayanya.
Betapapun dalam test empiris atas teori ini, Elliot dan Voss (1974) memperoleh
konfirmasi bagi komponen model asosiasi diferensiasi namun akhirnya tidak memperoleh
dukungan bagi komponen tegang dan anomie. Pada akhirnya Elliot, Ageton dan Canter
(1979) berusaha meningkatkan relevansi antara TEORI STRAIN melalui mensintesakan
dengan teori kontrol sosial Hirschi (1969).
Sementara integrasi Elliot dan rekan nampak mengemukakan banyak pendapat yang
diremehkan oleh TEORI STRAIN, namun bagaimanapun masih harus dievaluasi dengan
cermat dari segi pandangan empiris. Akibatnya, hal tersebut tetap merupakan
kemungkinan yang menarik serta menunggu analisa selanjutnya. Dari riset yang ditinjau
kembali akan nampak bahwa TEORI STRAIN hanya sedikit sekali pengaruhnya bagi
kita yang tertarik untuk mengungkapkan misteri kejahatan. Dari segi kemampuannya
untuk menjelaskan gaya hidup seorang kriminal mungkin bisa
dibenarkan. Betapapun TEORI STRAIN dapat terbukti lebih berguna dalam
menguraikan aspek kejahatan dalam masyarakat secara keseluruhan.
Keributan di daerah Overtown Miami, Floroda, suatu lingkungan utama kelas
rendah orang kulit hitam dalam bulan Januari 1989 merupakan kasus pokok. Kendatipun
dimungkinkan bahwa beberapa dari individu yang berpartisipasi dalam kericuhan
gangguan keamanan ini merupakan para kriminal dengan gaya hidupnya, sebagian besar
terdiri dari warga yang frustasi dan murka bertahun-tahun karena ketidaksamaan ekonomi
dan persepsi yang tumbuh bahwa mereka merasa diberikan kesempatan-kesempatan
berdasarkan hukum untuk mencapai kemajuan. Begitu kericuhan tadi selesai,
bagaimanapun juga sebagian besar individu-individu ini kembali kepada keluarga mereka,
teman maupun pekerjaan dan bukannya meneruskan perbuatan tidak legal mereka, ini
memberikan kenyataan bahwa sementara TEORI STRAIN mungkin bermanfaat dalam
memberikan penjelasan secara menyeluruh tentang tingkat kejahatan, itu hanya berbuat
sedikit sepanjang yang menyangkut data tingkat (level), kendatipun wajar sekali bagi
Merton, teori tegang ini sama sekali tidak pernah ditujukan bagi prediksi tingkat individu
(Bernard, 1987).
TEORI STRAIN  Merton berbeda dengan Asosiasi Diferensial pada karir
personal. Apabila Sutherland berusaha merumuskan proses perkembangan seseorang
menjadi kriminal melalui belajar di tengah asosiasi yang beraneka ragam, maka Merton
dalam  TEORI STRAIN lebih menekankan pada terjadinya peristiwa situasional dimana
seseorang karena “ketegangan” yang terlalu berpengaruh menjadi tanpa kendali dan
berbuat kejahatan.
Dalam peristiwa kekacauan massal maka peran individual yang didorong massal
lebih bersifat temporer dan tidak membekas menjadi kriminal karir. Oleh karena itu tidak
menghemat bahwa sementara pakar dan peneliti mengkombinasikan TEORI STRAIN ini
dengan teori-teori lain seperti dengan teori kontrol sosial, teori asosiasi diferensial dan lain
sebagainya. Pendekatan teori yang lebih bersifat psikologis betapapun dapat menjawab
mengapa seseorang terlibat kejahatan di suatu waktu dan tempat tertentu. Sebenarnya
tekanan lebih terletak pada peristiwa insidentil yang cukup menggetarkan.

2.2. Kritik terhadap TEORI STRAIN


Meskipun teori  Merton terus memainkan peran dalam teorisasi sosiologis
kejahatan, namun ada keterbatasan teori kejahatan yang telah diidentifikasi. Kritik pertama
dari teori ini,  dikemukakan oleh Albert Cohen,  membahas fakta bahwa ada jumlah cukup
kejahatan / perilaku nakal yang "non-utilitarian, berbahaya, dan negativistic" (O'Grady,
2011), yang menyoroti bahwa tidak semua kejahatan yang dijelaskan dengan
menggunakan teori Merton. Meskipun Merton dapat menjelaskan kejahatan seperti
penipuan dan pencurian atas dasar inovasi, ia tidak dapat menjelaskan kejahatan remaja
yang sering terlibat dalam status sosial daripada akuisisi material. Selanjutnya, teori ini 
gagal untuk merespon isu-isu seperti ras dan gender. Selain itu, TEORI STRAIN  tidak
dapat menjelaskan fenomena kejahatan kerah putih.
Robert Dubin (1959) melihat penyimpangan sebagai fungsi dari masyarakat,
mempertanyakan asumsi bahwa adaptasi menyimpang untuk situasi anomie yang selalu
merugikan masyarakat. Sebagai contoh, seorang individu diadaptasi ritualistik masih
bermain sesuai aturan dan mengambil bagian dalam masyarakat. Penyimpangan hanya
terletak pada meninggalkan satu atau lebih tujuannya budaya diresepkan. Dubin
mengatakan bahwa fokus Merton pada hubungan antara tujuan masyarakat ditekankan,
dan sarana yang ditentukan dilembagakan tidak cukup.
Dubin merasa bahwa perbedaan lebih lanjut harus dibuat antara tujuan budaya,
sarana kelembagaan dan norma kelembagaan karena individu memandang norma
subyektif, menginterpretasikannya dan bertindak atas mereka berbeda. Pengalaman
pendidikan pribadi, nilai, dan sikap dapat mempengaruhi individu untuk menginternalisasi
norma satu cara. Individu lain dengan pengalaman yang berbeda sah internalisasi norma
yang sama secara berbeda. Keduanya dapat bertindak secara rasional dalam hal mereka
sendiri, tetapi perilaku yang dihasilkan berbeda.
Dubin juga berpikir bahwa perbedaan harus dibuat antara perilaku sebenarnya dari
aktor dan nilai-nilai yang mendorong perilaku. Daripada Inovasi, Dubin diusulkan Inovasi
Perilaku dan Inovasi Nilai. Demikian pula, dalam ritualisme, ia mengusulkan ritualisme
Perilaku dan ritualisme Nilai (Dubin, 1959: 147-149). Merton (1959: 177-189)
mengomentari revisi Dubin, mengklaim bahwa meskipun Dubin memang membuat
kontribusi yang valid, mereka mengambil fokus dari penyimpangan.
Pada tahun 1992, Robert Agnew menegaskan bahwa TEORI STRAIN bisa
menjadi sentral dalam menjelaskan kejahatan dan penyimpangan, tetapi itu diperlukan
revisi sehingga tidak terikat pada kelas sosial atau variabel budaya, tetapi kembali
berfokus pada norma-norma. Untuk tujuan ini, Agnew mengajukan TEORI
STRAIN Umum yang bukan struktural maupun antarpribadi melainkan individu dan
emosional, memberikan perhatian utama terhadap lingkungan sosial individu. Dia
berargumen bahwa seseorang yang sebenarnya atau diantisipasi kegagalan untuk
mencapai tujuan positif dihargai, penghapusan aktual atau yang diantisipasi dari
rangsangan positif dihargai, dan presentasi yang sebenarnya atau yang diantisipasi dari
rangsangan negatif semua hasil pada galur.Kemarahan dan frustrasi mengkonfirmasi
hubungan negatif. 
Pola-pola perilaku yang dihasilkan akan sering ditandai oleh lebih dari bagian
mereka dari tindakan sepihak karena seorang individu akan keinginan alami untuk
menghindari penolakan tidak menyenangkan, dan tindakan sepihak (terutama ketika
antisosial) akan lebih berkontribusi untuk keterasingan individu dari masyarakat. Jika
penolakan tertentu yang umum ke dalam perasaan bahwa lingkungan yang tidak
mendukung, emosi negatif lebih kuat dapat memotivasi individu untuk terlibat dalam
kejahatan. Hal ini kemungkinan besar untuk menjadi kenyataan bagi individu muda, dan
Agnew menyarankan bahwa penelitian fokus pada besarnya, kebaruan, durasi, dan
pengelompokan seperti kejang-peristiwa terkait untuk menentukan apakah seseorang
berupaya dengan ketegangan dengan cara pidana atau sesuai. 
Temperamen, kecerdasan, keterampilan interpersonal, self-efficacy, kehadiran
dukungan sosial konvensional, dan tidak adanya hubungan dengan teman sebaya,
antisosial (misalnya, kriminal) dan status oleh Agnew diidentifikasikan adalah sebagai
menguntungkan.
Akers (2000: 159) telah dioperasionalkan versi Agnew dari TEORI
STRAIN, sebagai berikut: Kegagalan untuk mencapai tujuan positif dinilai dari: 
1.    kesenjangan antara harapan dan prestasi yang sebenarnya akan berasal dari
tujuan pribadi jangka pendek dan jangka panjang, dan beberapa dari tujuan tersebut tidak
akan pernah terwujud karena situasi darurat termasuk kelemahan yang melekat dan
peluang diblokir oleh orang lain.
2.    perbedaan antara pandangan dari apa yang seseorang percaya hasilnya
seharusnya dan apa yang sebenarnya menyebabkan meningkatkan kekecewaan
pribadi. Frustrasi belum tentu karena adanya campur tangan luar dengan tujuan dihargai,
tetapi efek langsung terhadap kemarahan, dan memiliki efek tidak langsung pada
kejahatan serius dan agresi. 
Agnew dan White (1992) telah menghasilkan bukti empiris yang menunjukkan
bahwa TEORI STRAIN umum dapat menghubungkan penjahat dan pengguna narkoba,
dan bahwa efek paling kuat pada penjahat yang dipelajari adalah kenakalan teman-teman
mereka. Mereka tertarik pada penggunaan narkoba karena tampaknya tidak mewakili
upaya untuk marah atau sakit hati,  pelarian diri, tetapi "digunakan terutama untuk
mengelola dampak negatif yang disebabkan oleh ketegangan".
Sampai saat ini, TEORI STRAIN telah peduli dengan jenis strain (ketegangan)
daripada sumber strain(ketegangan), sedangkan tekanan atas suatu peristiwa dapat terbukti
mengganggu pencapaian harapan dan hasil yang adil. Ini mungkin peristiwa penting yang
menumpuk dari waktu ke waktu. 
Frustrasi menyebabkan ketidakpuasan, dendam, amarah, dan semua emosi yang
lazim berhubungan dengan ketegangan dalam kriminologi. Maka  wajar bagi individu
untuk merasa tertekan ketika mereka kecewa atas upaya mereka hanya diberi sedikit
apresiasi,  bila dibandingkan dengan apresiasi yang diberikan kepada orang lain lebih
besar untuk hasil upaya yang serupa.
 Agnew (1992) memperlakukan kemarahan sebagai emosi yang paling penting
karena hampir selalu keluar diarahkan dan sering terkait dengan kerusakan dalam
hubungan. Penelitian menunjukkan bahwa hubungan stres dan kejahatan adalah sangat
dekat. Terlepas dari perasaan bersalah, usia, dan kapasitas saat peristiwa terjadi baik
secara bersamaan atau secara berurutan.

2.3.  KAITAN DENGAN REALITAS


Perbuatan Kriminal yang dilakukan Remaja Kota Jayapura
Problema remaja merupakan topik pembicaraan di negara mana pun di seluruh
dunia. Negara-negara super modern pun masih saja mempunyai persoalan dengan
perkembangan remajanya. Pada kenyataannya negara-negara berkembang termasuk di
Indonesia, problema remaja cukup ruwet. Hal ini disebabkan banyak faktor, terutama
sekali para remaja di negara berkembang yang belum siap menerima perubahan yang
begitu cepatnya. Sementara itu lingkungan budaya yang begitu kukuh berakar dalam
pribadi telah menentukan sikap tertentu terhadap perubahan tersebut. Akan tetapi keadaan
jiwa remaja yang masih dalam keadaan transisi menunjukkan sikap labil dan gampang
sekali terpengaruh terhadap sesuatu yang datang pada dirinya, sehingga kadang-kadang
timbul konflik pada diri dengan lingkungannya. Hal ini memancar kepada tingkah laku
yang mengandung problema terhadap lingkungan dan terhadap dirinya sendiri.
Perkembangan teknologi dan menjamurnya produk produk industri yang
menawarkan kenikmatan dan kemewahan kerap memancing orang untuk dengan seketika
memiliki dan menikmatinya. Hal ini kian menjadi karena dibarengi oleh zaman yang
banyak mengedepankan paham hedonisme dan materialisme, hidup serba instant dan
mengedepankan faktor-faktor kenikmatan. Pelaku kriminalitas  tidak saja dilakukan oleh
orang dewasa/tua melainkan juga banyak dilakukan oleh anak-anak remaja.
Perbuatan kriminal diidentifikasi sebagai perbuatan yang menimbulkan ketakutan,
keresahan, ketidaktentraman, masyarakat, sehingga perbuatan tersebut merupakam
perbuatan yang merugikan oleh karenanya perbuatan tersebut di kelompokan menjadi
tindak pidana yang pelakunya dapat diancam dengan hukuman tertentu dalam
KUHP Indonesia.
Kejahatan yang terjadi dimasyarakat, baik yang dilakukan oleh orang dewasa
maupun remaja dirasakan sangat menimbulkan keresahan dan mengangganggu keamanan
dan ketertibaban. Akan tetapi jika kriminalitas yang dilakukan oleh remaja trennya
meningat terus baik kuantitas maupun kualitasnya dan dirasakan kian massif hal tersebut
sudah memenuhi derajat mengkhawatirkan, sebagaimana terjadi belakangan ini karena:
1. Kejahatan tersebut dilakukan oleh generasi muda yang diharapkan akan menjadi pribadi-
pribadi yang sehat dan berkualitas, karena di benaknya akan ada tanggung jawab yang
diemban sebagai pemimpin masyarakatnya pada masa mendatang.
2. Remaja dengan semangat dan emosional yang besar sesunggungguhnya merupakan
potensi yang besar untuk dimanfaatkan pada hal-hal yang positif. Akan tetapi
sumberdaya yang besar tersebut jika disalahgunakan  maka akan menimbulkan dampak
kerugian yang besar pula.

Menyikapi hal tersebut tentu menarik untuk mengetahui secara teoretik


kriminologis, mengapa individu terutama remaja dapat terdorong terjerumus melakukan
kriminaliatas.
Secara terminologi kejahatan kaum remaja adalah terjemahan dari istilah juvenile
delinquency, yakni kejahatan yang dilakukan oleh individu usia remaja yakni antara usia
11 tahun hingga 19 tahun. Kejahatan tersebut umumnya terjadi di kota kota besar dan
Negara industri. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan hal seperti itu terjadi juga
dikota yang sedang tumbuh berkembang seperti Kota Jayapura ini.
Menurut Sofyan S. Willis, kenakalan remaja itu adalah disebabkan kegagalan
mereka dalam memperoleh penghargaan dari masyarakat dimana remaja itu tinggal.
Penghargaan yang diharapkan remaja itu ialah dalam bentuk tugas dan tanggung jawab
seperti orang dewasa. Mereka menuntut suatu peranan sebagaimana yang dilakukan orang
dewasa.
Sementara itu Fuad Hassan mendefinisikan kenakalan remaja sebagai kelakuan atau
perbuatan anti sosial dan anti normative.  Sedangkan menurut Kusumanto, “Juvenile
Deliquency” atau kenakalan remaja ialah tingkah laku individu yang bertentangan dengan
syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik oleh suatu
lingkungan atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan.
Kesimpulan Yesmil Anwar dan Adang dalam bukunya yang berjudul Kriminologi,
bahwa kenakalan remaja adalah tindak perbuatan para remaja yang bertentangan dengan
hukum, agama dan norma-norma mesyarakat sehingga akibatnya dapat merugikan orang
lain, mengganggu ketentraman umum dan juga merusak dirinya sendiri.

Menurut Yesmil Anwar dan Adang, kenakalan remaja dibagi menjadi empat jenis :
1.    Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian,
perkosaan, pembunuhan, dan lain-lain.
2.    Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan, pencurian,
pencopetan, pemerasan dan lain-lain.
3.    Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain:
pelacuran, penyalahgunaan obat
4.    Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status orang tua dengan
cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya.
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh kriminolog dalam menjelaskan faktor-
faktor  yang menyebabkan remaja melakukan perbuatan kriminal, termasuk salah satunya
adalah TEORI STRAIN yang dikemukakan oleh Merton.
Merton berpendapat kejahatan ini disebabkan tidak pararelnya antara kebudayaan
yang mendorong masyaraktat untuk memperoleh sukses yang setinggi-tingginya dalam
kehidupan. Sementara sumber daya yang tersedia untuk mencapainya secara konvensional
tidak memadai. Sukses dalam pengertian remaja diukur dari hasil pencapaian prestasi
belajar, mempunyai barang-barang mewah seperti baju dan tas merk ternama serta model
terkini, handphone bermerk, ipad, sepeda motor jenis racing dan sebagainya yang memang
menjadi impian kaum muda ini.
Bagi anak remaja yang orang tuanya dari golongan ekonomi menengah kebawah
yang hidup secara pas-pasan, tentunya apa yang  diidamkan tadi akan selalu tertanam
dalam pikiran dan hasrat untuk memiliki kian hari kian besar. Remaja yang berpikirian
pendek karena tidak ditanamkan pendidikan agama, akan berupaya untuk mewujudkan
semua hasratnya dengan cara yang dikategorikan sebagai penyimpangan menurut teori
Merton. Maka para remaja ini pun baik secara disadari atau pun tidak, telah terlibat dalam
suatu perbuatan kriminal.
Jenis-jenis perbuatan kriminal yang terjadi belakangan ini di Kota Jayapura yang
melibatkan remaja diantaranya meliputi, pemalakan, pencurian, penjambretan,
pencopetan, pembegalan, dan lain-lain. Media masa baik cetak maupun elektronik, hampir
tiap hari memberitakan adanya peristiwa kriminal tersebut.
Mengutip hasil liputan Tabloid JUBI edisi Maret 2012, bahwa menurut Psiokolog
Muda Asri Parante S.pg  sejauh ini kenakalan remaja yang terjadi  di Kota Jayapura dapat
dikategorikan ke dalam perilaku penyimpangan moral. Dalam perspektif perilaku,
menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai
aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Kenakalan di
kalangan remaja terjadi karena adanya faktor-faktor yang di indikasikan sebagai penyebab
terjadinya kenakalan remaja.
Diantaranya kurangnya kasih sayang orang tua, kurangnya pengawasan dari orang
tua, pergaulan dengan teman yang tidak sebaya, peran dari perkembangan iptek yang
berdampak negatif, tidak adanya bimbingan kepribadian dari sekolah, dasar-dasar agama
yang kurang, tidak adanya media penyalur bakat dan hobinya, kebebasan yang berlebihan,
dan masalah yang dipendam. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber
masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Di jayapura baru baru ini
ditemukkan sejumlah remaja yang masih mengenakkan seragam SMA ditemukkan pesta
minuman keras.
Fakta yang paling memprihatinkan adalah semakin banyaknya remaja di Kota
Jayapura yang mulai kenal dengan narkotika dan psikotropika pada usia yang sangat
muda, yaitu: menghisap rokok pada usia sekolah dan menggunakan obat-obat/
heroin/ narkotika dan psikotropika jenis lain. Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian
yang serius adalah semakin meningkatnya populasi penderita HIV/AIDS di kalangan
pecandu narkotika dan psikotropika dengan cara suntikan.
Jika dianalisa menurut Teori Strain  Merton :
2. Ada keinginan atau tujuan untuk memiliki atau pun menjadi sesuatu
3. Ada penghalang berupa keterbatasan ekonomi karena belum memiliki
penghasilan sendiri, tergolong remaja broken home.
4. Ada dorongan yang kian lama kian kuat
5. Timbul frustasi karena adanya hambatan, namun keinginan tetap ada sehingga ada
perasaan tegang.
6. Ada pilihan cara untuk mendapatkan atau mewujudkan semua hasratnya t
7. Remaja ini memilih cara yang tidak sah atau cara menyimpang dari norma yang
ada dalam masyarakat
8. Dipilihlah cara penyimpangan tersebut, sehingga terjadilah suatu bentuk
kejahatan yang dilakukan remaja.
2.4.    Kesimpulan Teori Strain
Perbuatan kriminal remaja disebabkan adanya dorongan untuk mendapatkan
kesuksesan dengan identitas memiliki akses pada kenikmatan hidup seorang remaja, pada
sisi lain ketidakmampuan mendapatkannya disebabkan oleh keterbatasan sarana untuk
mencapainya secara sah, sehingga dapat mendorong seorang remaja menggunakan cara-
cara yang illegal.
TEORI STRAIN dapat digunakan untuk  memaparkan penyebab kenakalan remaja
khususnya yang terjadi di Kota Jayapura. Adanya ketidakseimbangan yang menimbulkan
ketegangan pada remaja. Kondisi seperti ini menyebabkan frustasi bagi remaja sehingga
berusaha mencari cara alternatif untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Bagaimanapun perbuatan kriminal yang dilakukan remaja merupakan suatu hal
yang memprihatinkan, siapapun pelakunya selalu menimbulkan keresahan dan ketakutan,
permasalahan ini tidak pernah hilang lenyap dari permukaan bumi dari zaman dahulu kala
hingga sekarang ada bersamaan dengan adanya manusia. Dengan mengetahui faktor-faktor
timbulnya kejahatan yang dilakukan oleh remaja secara teoritis, penting artinya dan besar
manfaatnya untuk merumuskan cara-cara mencegah dan cara-cara untu
menanggulanginya.
55555555555

Anda mungkin juga menyukai