PENDAHULUAN
Hukum pidana terbagi atas dua bagian yaitu Hukum Pidana materiil yaitu
mengenai petunjuk da uraian tentang tindak pidana dan Hukum Pidana formil yaitu
cara Negara dengan perantara para pejabatnya menggunakan haknya untuk
memidana. Perbuatan yang melanggar aturan-aturan inilah yang disebut dengan
tindak pidana. Salah satu tindak pidana yang sering muncul dalam masyarakat
Indonesia yaitu pencurian yang diatur pada Pasal 362 KUHPidana, oleh karena itu
Negara merasa perlu melindungi hak warga Negaranya dalam kaitannya mengenai
harta benda.
Perlindungan atas hak milik berupa harta benda dipertegas, dalam Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat 4: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik
pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang- wenang oleh
siapa pun”. Keberadaan hukum dimaksudkan agar tercipta suatu keadaan yang
tenteram dan terciptanya suatu ketertiban di masyarakat. Terciptanya ketertiban tidak
lepas oleh peran serta masyarakat atau boleh dikatakan lebih dititik beratkan pada
kewajiban masyarakat, sedangkan ketenteraman lebih dititik beratkan pada hak-hak
masyarakat.
Oleh karena itu hukum itu sendiri harus bisa mengakomodir dan
mencerminkan perlindungan terhadap hak-hak dan kewajiban masyarakat. Tidak
dapat dipungkiri dalam menjalankan kehidupannya manusia memerlukan kedua hal
tersebut, harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Hal tersebut akan
menghindarkan dari sikap yang taotaliter akibat terlalu mengedepankan kewajiban
dan sikap yang cenderung akan membuka jalan menuju anarki akibat dari sikap yang
terlalu mengedapankan hak. Kejahatan dapat diartikan secara kriminologis dan
yuridis. Kejahatan dalam arti kriminologis yaitu perbuatan manusia yang menodai
norma-norma dasar dari masyarakat. Hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan unsur
yang menyalahi aturan-aturan yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Kejahatan secara yuridis yaitu perilaku jahat atau perbuatan jahat dalam arti
hukum pidana maksudnya bahwa kejahatan itu dirumuskan di dalam peraturan-peraturan
pidana. Masalah pidana yang paling sering terjadi di dalam masyarakat adalah tindak
pidana terhadap harta kekayaan (tindak pidana materiil), seperti pencurian, pemerasan,
penggelapan, penipuan, pengrusakan, dan penadahan. Salah satu tindak pidana terhadap
harta kekayaan yang masih sering menimbulkan perdebatan adalah tindak pidana
penadahan kendaraan bermotor yang berasal dari hasil pencurian.
1
Lamintang PAF,.Fenomena Kehidupan Sosial dalam Ruang Lingkup Pidana,Sinar grafika 1990.
hlm.193-194.
para pelaku kejahatan merasa diuntungkan dan pihak kepolisian lebih sulit dalam hal
mengungkapkan kejahatan tersebut.
Tindak pidana penadahan diatur dalam Pasal 480 KUHP, Pasal 481 dan 482
KUHP . Tindak pidana penadahan merupakan tindakan yang dilarang oleh hukum,
karena penadahan di peroleh dari kejahatan, dapat dikatakan menolong atau
mempermudah tindakan kejahatan si pelaku dapat mempersukar pengusutan
kejahatan bersangkutan, dalam mengadilli terdakwa yang melakukan tindak pidana
penadahan karena, harus membuktikan terlebih dahulu apakah terdakwa tersebut
benar-benar melakukan kejahatan dikarenakan barang kejahatan tersebut didapat dari
hasil kejahatan juga dan penadahan disini menjadi pelaku kedua dalam hal
pelaksanaannya, maka pihak berwajib harus membutikan terlebih dahulu apakah
seseorang itu mampu untuk dipertanggung jawabkan dengan kata lain adanya unsur
kesalahan dan kesengajaan.2
Tindak pidana penadahan di Kota Bandar lampung yang sering terjadi dapat
dilihat dari meningkatnya jumlah kasus tindak pidana penadahan yang telah terjadi
sepanjang tahun 2012-2014, pada tahun 2012 tindak pidana penadahan kendaraan
bermotor yang ditangani oleh Polresta Bandar lampung terdapat 5 kasus, pada tahun
2013 terdapat 7 dan pada tahun 2014 terdapat kasus sebanyak 11 kasus, yang ditangani
oleh Polresta Bandar lampung lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
2
Sholehudin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Doule Tracj Sistem dan Implementasinya), PT Raja
Grafindo Persada,Jakarta,2004.hlm.71
3
Ali Muhammad, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,2000
4
Hamzah Andi KUHP dan KUHAP, Rineka Cipta,Jakarta,1998
Tabel 1 Tindak Penadahan Kendaraan Bermotor di Bandar Lampung
2. Ruang Lingkup
Untuk membatasi agar pembahasan tidak terlalu luas, maka ruang lingkup dibatasi
pada kajian hukum pidana, khususnya mengenai penadahan kendaraan bermotor hasil
pencurian dengan ruang lingkup tempat penelitian meliputi wilayah hukum kepolisian
kota besar Bandar Lampung dengan waktu penelitian pada tahun 2013.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kejahatan penadahan kendaraan
bermotor hasil pencurian (Studi di Polresta Bandar Lampung).
b. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh para pihak penegak hukum dan
masyarakat untuk menanggulangi nya.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis, untuk menambah dan memperluas ilmu pengetahuan dalam
bidang hukum pidana, khususnya tindak pidana penadahan.
b. Kegunaan Praktis, yaitu sebagai bahan masukan bagi Penegak hukum, khususnya
berkaitan dengan tindak pidana penadahan kendaraan hasil pencurian.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Teori Anomi
Teori kontrol sosial mempunyai pendekatan Berbeda: teori ini berdasarkan suatu asumsi
bahwa motifasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai
konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak
melakukan kejahatan. Teori-teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan
lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.
Teori-teori strain dan penyimpangan budaya keduanya berasumsi bahwa kelas sosial dan
tingkah laku kriminal berhubungan, tetapi berbeda dalam hal sifat hubungan tersebut. Para
penganut teori strain beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti satu set nilai-
nilai budaya yaitu nilai-nilai budaya kelas menengah. Satu nilai budaya terpenting adalah
keberhasilan ekonomi. Karena orang-orang dari kelas bawah tidak mempunyai sarana-sarana
yang sah (legitimate means) untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menjadi frustasi dan beralih
menggunakan sarana-sarana yang tidak sah (illegitimate means) di dalam keputusan tersebut.
Sangat berbeda dengan itu, teori-teori penyimpangan budaya mengklaim bahwa orang-orang dari
kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-
nilai dari kelas menengah. Sebagai konsekuensinya, manakala orang-orang kelas bawah
mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma
konvensional.
1.1. Konsep Anomie
Teori Anomi lahir, tumbuh,dan berkembang berdasarkan kondisi social Pada tahun 1930-
an telah terjadi perubahan besar khususnya masyarakat Eropa pada struktur masyarakat sebagai
akibat depresi yaitu, tradisi yang menghilang dan telah terjadi “deregulasi” di dalam masyarakat.
Anomie adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Emile Durkheim untuk
menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani
“tanpa”, dan nomos: “hukum” atau “peraturan.5 Dalam buku the division of labor in society
Emile Durkheim mempergunakan istilah Anomi untuk mendeskripsikan keadaan “deregulation”
di dalam masyarakat yang di artikan sebagai tidak di taatinya aturan-aturan yang terdapat pada
5
http://bantuanhukumfakhrazi.wordpress.com/2012/05/08/kriminologi-teori-anomi/
masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang di harapkan dari orang lain dan keadaan ini
menyebabkan deviasi.
Riset Durkheim tentang “suicide” (1897) atau bunuh diri dilandaskan pada asumsi bahwa
rata-rata bunuh diri yang terjadi di masyarakat yang merupakan tindakan akhir puncak dari suatu
anomi: bervariasi atas dua keadaan sosial, yaitu social integration dan social regulation
Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau suicidie berasal dari dari 3 kondisi sosial
yang menakan (strees) yaitu;6
a. deregulasi kebutuhan atau anomi,
b. regulasi yang keterlaluan atau fatalisme,
c. kurangnya integrasi struktural atau egoisme.
6
http://oviefendi.wordpress.com/makalah/teori-anomie/
perspektif struktural functionalist yang dikembangkan oleh Emile Durkheim sebelum
akhir abad ke-19.7
Durkheim meyakini bahwa jika sebuah masyarakat sederhana berkembang
menuju satu masyarakat modern dan kota maka, kedekatan (intimacy) yang
dibutuhkan untuk melanjutkan satu satu set norma-norma umum (a common set of
ruise) akan merosot. Kelompok-kelompok menjadi terpisah-pisah, dan dalam
ketiadaan satu set aturan-aturan umum, tindakan-tindakan dan harapan-harapan orang
di satu sektor mungkin bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain. Dengan
tidak dapat di prediksinya perilaku, sistem tersebut secara bertahap akan runtuh, dan
masyarakat itu berada dalam kondisi anomie.8
Ilustrasi terbaik dari konsep Durkheim tentang anomie adalah dalam satu diskusi
tentang bunuh diri (suicide) yang terjadi di negaranya, Prancis, dan bukan tentang
kejahatan. Ketika Durkheim menganalisa data statistik ia mendapati bahwa angka
bunuh diri meningkat selama perubahan ekonomi yang tiba-tiba (sudden economic
change), baik perubahan. Itu depresi hebat ataupun kemakmuran yang tidak terduga.
perubahan yang cepat orang tiba-tiba terhempas kedalam salah satu cara /jalan hidup
yang tidak dikenal (unfimiliar). Aturan-aturan (rules) yang pernah membimbing
tingkah laku tidak lagi dipegang.
Adalah titik sulit untuk mengerti mengapa dalam keadaan seperti diatas
(kejatuhan ekonomi tiba-tiba) angka bunuh diri meningkat, tapi mengapa orang juga
jatuh dalam keputusannya seperti itu ketika terjadi kemakmuran mendadak? Menurut
Durkheim faktor-faktor yang sama telah bekerja dalam kedua situasi itu. Bukanlah
jumlah uang yang ada yang menyebabkan hal itu, melainkan sudden change
(perubahan mendadak). Orang yang tiba-tiba mendapatkan kekayaan lebih banyak
dari yang pernah mereka impikan memiliki kecenderungan meyakini bahwa tiada
satupun yang mustahil.
Menurut Emile, teori Anomi terdiri dari tiga perspektif, yaitu:
Manusia adalah mahluk social
Keberadaan manusia sebagai mahluk social
7
Santoso, Topo dan Achjani, Eva, “Kriminologi”, Rajawali Press, jakarta, 2005, Hal. 58
8
Ibid, hal. 59
Manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan keberadaannya sangat
tergantung pada masyarakat tersebut sebagai koloni
9
Irawan, Benny, “Mekanisme Penerimaan Penghukuman dan Pembinaan oleh terpidana Penjara (analogi terhadap
mekanisme penyesuian diri pada teori Anomie dan struktur social Robert K. Merton terhadap 2 orang Terpidana
dan 2 Orang Bekas Terpidana”, Universitas indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Jurusan Kriminologi
Merton berpendapat, bahwa dalam setiap masyarakat terdapat tujuan-tujuan
tertentu yang ditanamkan kepada seluruh warganya, untuk mencapai tujuan tersebut
terdapat sarana-sarana yang dapat dipergunakan. Karena dalam kenyataannya tidak
setiap orang dapat menggunakan sarana-sarana yang tersedia sehingga menimbulkan
keadaan yang tidak merata dalam sarana dan kesempatan untuk mencapai tujuan
tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya Merton tidak lagi menekankan pada tidak
meratanya sarana-sarana yang tersedia, tetapi lebih menekankan pada perbedaan-
perbedaan struktur kesempatan. Menurut Merton dalam setiap Masyarakat terdapat.
Struktur sosial yang berbentuk kelas-kelas dan ini menyebabkan perbedaan-
perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan (Lower class) mempunyai kesempatan
yang Lebih kecil dalam mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang
mempunyai kelas yang lebih tinggi (Uper Class). Keadaan ini menimbulkan
ketidakpuasan, frustasi dan munculnya penyimpangan-penyimpangan dikalangan
warga yang tidak mempunyai kesempatan mencapai tujuan tersebut. Situasi ini akan
menimbulkan keadaan para warga tidak lagi mempunyai ikatan yang kuat terhadap
sarana-sarana/kesempatan-kesempatan yang terdapat dalam masyarakat. Keadaan ini
yang dinamakan anomie.
Kondisi ini kemudian menimbulkan suatu pilihan dari para warga masyarakat
tersebut untuk menyesuaikan diri tunduk kepada kenyataan atau menolak salah satu
antara tujuan dan cara yang tersedia di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Robert Merton mengemukakan 5 (lima) model alternatif penyesuaian diri terhadap
keadaan anomie. Secara skema akan di sajikan dalam tabel berikut; tanda - (negatif /
min) sama dengan menolak, tanda +(tanda positif /plus) sama dengan menerima, dan
tanda ± (plus min) berarti tidak saja menolak selain itu juga menghendaki
perombakan menyeluruh/mengubah sistem yang ada.
Anomie terjadi ketika kebutuhan dan keinginan melampaui apa yang dapat dipenuhi
pemenuhannya
Bila masyarakat ingin tetap sehat, kesediaan seseorang untuk tetap mempergunakan
Jika tekanannya pada tujuan tanpa kendali pada bagaimana mencapainya, situasi
anomik terjadi
Selain kesenjangan antara cara dan tujuan, kriminalitas juga disebabkan oleh
Merton secara tematis mengarahkan perhatian orang terhadap situasi aktual di mana
terjadi krisis dalam suatu konteks sosial budaya tertentu. Kontek yang melingkupi ini
dipisahkan secara analitis atas aspek struktur kultural di satu sisi, dan aspek struktur sosial
disisi lain. Di sini struktur kultural didefinisikan sebagai seperangkat nilai-nilai normatif
yang terorganisir yang mengatur perilaku umum bagi para anggota masyarakat atau
kelompok tertentu. Sedangkan struktur sosial adalah seperangkat hubungan sosial yang
terorganisir di dalam mana para anggota masyarakat atau kelompok tersebut terlibat.
Krisisnya muncul manakala nilai-nilai kultural yang mengatur pemilihan tujuan dan alat
yang ada terancam karena dalam kapasitas yang terstruktur. Secara sosial para anggota
masyarakat tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai-nilai normatif tersebut.
Kesenjangan di ataslah yang kemudian dipahami sebagai penyebab gejala anomie,
yaitu suatu kondisi relatif kekaburan norma di dalam suatu masyarakat. Yang terjadi
adalah kerusakan atau distorsi pada struktur kultural dalam mengatur perilaku umum
anggota masyarakat. Pemahaman praktisnya, dengan demikian, mengacu pada kehadiran
kendala-kendala dalam kondisi aktual sedemikian rupa sehingga mengakibatkan pemilihan
tujuan dan alat yang sesuai dengan aturan-aturan dan nilai-nilai normatif cenderung tidak
bisa dioreintasikan ataupun di wujudkan dalam tindakan orang-orang yang bersangkutan.10
Orientasi subjektif individu, sementara itu, telah menjelaskan hubungan antara
variabel tindakan voluntaristik dan variabel-variabel sosiologis lain, seperti strata sosial,
jenis kelamin dan lain-lain. Herbert H. Hyam menyebutkannya dengan istilah sistem nilai.
Individu, manakala dia menganalisa hubungan antara posisi yang rendah (lapisan sosial)
dan kelangkaan mobilitas ke atas, karena orang-orang lapisan kebawah pada gilirannya
justru malah mereduksi tindakan-tindakan voluntaristik yang akan memperbaiki posisinya
yang rendah, karena secara responsif mereka menurunkan tingkat orientasi mobilitas ke
atas. Proses pengambilan keputusan ini terjadi dalam orientasi subjektif yang melibatkan
10
Khanafi Zain, Imam, “Gejala Anomie dalam Orientasi Okupasional (Menelusuri Orientasi koneksi Anomik
Pelajar dan Lulusan beberapa SMA di Jakarta dalam menghadapi Krisis Transisi Status)”, Universitas Indonesia
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Depok 1992, hal 27 - 31
segala dimensinya, atau dalam perekayasaan sistem nilai individu, sehingga pada akhirnya
melahirkan tindakan praktis yang mungkin tipikal lapisan sosial tertentu.
Hyman mencoba merevisi analisa Merton yang menekankan bahwa gejala anomie
lebih cenderung terjadi pada orang-orang lapisan bawah karena frustasi mereka dalam
mengejar tujuan kultural sukses ekonomis, sementara aksesibilitas atas dasar pemilikan
alat untuk itu terbatas. Hyman menyoroti asumsi Merton yang menyebutkan bahwa tujuan
kultural keberhasilan dalam aktualitasnya diserap dan dioreintasikan oleh individu-
individu lapisan bawah, sementara itu juga sepatutnya jika mereka sendiri menyadari
bahwa alat untuk tujuan itu tak tersedia pada mereka. Pada satu titik waktu tertentu, kata
Hyman menanggapi,hal itu memang benar. Namun tampaknya juga benar bahwa dalam
perseptif waktu yang lebih luas jika individu terus meyakini bahwa alat-alat untuk
keberhasilan di masa depan tetap tersedia atau menunggunya, maka frustasinya akan
berkurang dan perilaku menyimpannya mungkin tak terjadi. Sebaliknya jika individu
menekankan perhatian pada peluang-peluangnya sejauh yang bisa dimilikinya, dan
menyesuaikan tingkat penyerapan tujuan kultural tentang keberhasilan,maka tekanan ke
arah perilaku menyimpang juga berkurang. Relevansinya,dengan demikian,adalah pada
diferensial yang mungkin terjadi dalam tingkat penyerapan tujuan kultural tentang
keberhasilan diantara lapisan-lapisan sosial yang berbeda, juga diferensial dalam
aksebilitas relatif yang bisa diharapkan,berdasarkan perekayasaan. Orientasi subjektif atau
sistem nilai individual yang di lakukan dalam perspektif waktu tertentu.
Di atas masalah diferensiasi penyerapan tujuan kultural dan aksesibilitas
relatifnya,gejala anomie pada dasarnya tetap relevan diungkap sejauh norma-norma umum
yang ada dikalahkan oleh kepentingan pribadi yang mengejar kepuasan dengan jalan apa
pun asal efektif. Lebih-lebih dalam masyarakat perkotaan yang cenderung terkotak-kotak
dan penuh persaingan,pribadi-pribadi itu hidup dalam iklim yang sulit untuk mempercayai
satu sama lain dan tidak menunjang pada hubungan-hubungan antar manusia yang stabil.
Situasi anomik juga mengarah pada sulitnya untuk untuk bisa meramalkan perilaku-
perilaku orang lain, di samping munculnya keyakinan yang kuat akan faktor
keberuntungan.
Gagasan tentang anomie justru telah secara berlebihan diperluas hingga mencakup
banyak variasi baik dari kondisi-kondisi sosial maupun keadaan-keadaan psikis:
disorganisasi personal, keretakan kultural, hilangnya saling percaya antar manusia
(reciprocal distrust), dan sebagainya.11
perubahan yang besar dalam situasi ekonomi, entah semakin baik atau semakin buruk, dan lebih
umum lagi ketika ada kesenjangan besar antara teori-teori dan nilai-nilai ideologis yang
nilai-nilai bersama yang tidak dimiliki oleh individu yang mengalami anomie. Lebih jauh ia
mendefinisikannya sebagai kesenjangan antara tujuan-tujuan sosial bersama dan cara-cara yang
sah untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata lain, individu yang mengalami anomie
akan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama dari suatu masyarakat tertentu, namun tidak
dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan sah karena berbagai keterbatasan sosial.
Kata anomie telah digunakan untuk masyarakat atau kelompok manusia di dalam suatu
masyarakat, yang mengalami kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama
yang eksplisit ataupun implisit mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap
aturan-aturan yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan
bukan kerja sama.
11
Leo Srole, “Socila Integration and Certain colloaries: An exploratory Study,” dalam American Sociological
Review Vol. 30, hal 712-713
Friedrich Hayek dikenal menggunakan kata anomie dengan makna ini.Anomie sebagai
kekacauan sosial tidak boleh dikacaukan dengan “anarkhi“. Kata “anarkhi” menunjukkan tidak
adanya penguasa, hierarkhi, dan komando, sementara “anomie” menunjukkan tidak adanya
aturan, struktur dan organisasi. Banyak penentanganarkhisme mengklaim bahwa anarkhi dengan
sendirinya mengakibatkan anomi. Namun hampir semua anarkhis akan mengatakan bahwa
komando yang hierarkhis sesungguhnya menciptakan kekacauan, bukan keteraturan (lih.
misalnya Law of Eristic Escalation).
Tabel di atas membandingkan reaksi orang terhadap tujuan budaya dan cara
terinstitusionalisasi. Merton menganggap individu akan merespon dalam menghadapi
kegagalan untuk mencapai keberhasilan. Bagaimanapun mereka akan bereaksi juga,
bergantung pada posisi sosial mereka dalam masyarakat. Merton
mengidentifikasi lima tipe cara adaptasi individu terhadap situasi
tertentu, empat diantaranya merupakan perilaku menyimpang.
Reaksi pertama, yang menurut Merton paling lazim, ialah Konformitas (kepatuhan),
yaitu penggunaan cara yang secara sosial dibenarkan untuk mencapai tujuan budaya.
Dalam masyarakat industri, sebagian orang berupaya mendapatkan pekerjaan yang baik,
pendidikan yang baik dan seterusnya. Jika tidak ada pekerjaan yang berpenghasilan baik,
mereka menerima pekerjaan tersebut walaupun kurang diminati. Jika akses pendidikan
mereka ke Universitas Indonesia atau Universitas Pajajaran ditolak, mereka masuk
Universitas Cenderawasih saja, seperti kita sekarang ini mengambil kelas petang
(ekstensi) atau kuliah di Sekolah Tinggi Umel Mandiri saja. Singkatnya sebagian besar
orang mengambil jalan yang secara sosial dibenarkan.
Empat reaksi selanjutnya yang tersisa merupakan jalur penyimpangan, mewakili
reaksi terhadap ketiadaan norma (anomie). Jalur penyimpangan pertama yaitu
inovasi (innovator), adalah orang yang menerima tujuan masyarakat namun menggunakan
cara yang tidak sah dalam upaya meraihnya. Para pengedar obat terlarang, misalnya,
menerima tujuan pencapaian kekayaan, namun mereka menolak jalur sah untuk
melakukannya. Contoh lainnya adalah para pelaku penggelapan, perampok dan
penipu. Contoh kasus, seorang mahasiswa yang baru kuliah 3 semester
di sebuah universitas, berhasil diterima menjadi dosen dan mengajar selama 3 tahun
di salah satu universitas dengan memakai ijazah palsu. Dalam kasus ini tujuan yang
hendak diraih adalah menjadi sarjana, sesuai dengan tujuan masyarakat, namun caranya
memalsukan ijazah adalah bertentangan dengan tujuan yang ditentukan masyarakat.
Jalur penyimpangan kedua ditempuh oleh orang yang putus asa dan menyerah
dalam upaya meraih tujuan budaya. Namun mereka masih berpegang pada peraturan
perilaku yang konvensional. Merton menamakan tanggapan ini Ritualisme (ritualism).
Meskipun para ritualis telah berhenti mencari keunggulan dan kemajuan kedudukan atau
status, namun mereka bertahan dengan jalan mengikuti peraturan dalam pekerjaan mereka.
Para guru yang idealismenya telah hancur, misalnya, tetap bertahan dalam kelas
dimana mereka mengajar tanpa gairah. Tanggapan mereka dianggap menyimpang karena
mereka tetap berpegang pada pekerjaan walaupun mereka telah meninggalkan tujuannya,
yang dapat berupa merangsang pikiran anak didik atau menjadikan dunia suatu tempat
yang lebih baik. Para guru yang tanpa gairah ini tetap mengajar sebatas melaksanakan
kewajiban saja, tanpa ada hasrat memotivasi para anak didik.
Contoh lainnya, seorang karyawan kelas menengah ke bawah yang tidak mau
mengejar sukses karena sudah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki, takut
mengalami kegagalan atau kekecewaan. Karena adanya sikap diatas maka usaha untuk
meraih sukses dipendam tetapi cara untuk meraih sukses tetap dipakai meskipun disertai
sikap menahan diri.
Jalur penyimpangan ketiga yaitu pengunduran diri (retreatism). Orang-orang yang
menolak baik tujuan budaya maupun sarana institusional untuk mencapainya. Mereka
yang meninggalkan pencarian kesuksesan dengan beralih ke alkohol dan obat-obatan,
adalah para pengundur diri. Orang-orang seperti itu bahkan berhenti berpura-pura seolah-
olah mereka masih menganut tujuan masyarakat.
Tipe terakhir tanggapan penyimpangan ialah pemberontakan (rebellion). Karena
yakin bahwa masyarakat mereka korup maka para pemberontak, seperti halnya para
pengundur dir, menolak baik tujuan masyarakat maupun sarana institusional. Namun
berbeda dengan para pengundur diri, para pemberontak berupaya menggantikan tujuan
yang ada dengan tujuan yang baru. Kaum revulusioner merupakan bentuk paling lazim
dari para pemberontak ini. Contoh: para pemimpin politik dengan cara mereka sendiri
berhasil menggulingkan tatanan politik yang ada dan menerapkan suatu tatanan politik
yang baru.
Singkatnya Teori Strain, menggaris-bawahi prinsip sosiologis bahwa para
penyimpang adalah produk masyarakat. Karena lokasi sosial mereka maka beberapa orang
mengalami tekanan atau frustasi lebih besar dikala mereka berupaya mencapai tujuan
budaya yang ditentukan bagi mereka. Dengan tekanan yang lebih besar tersebut maka
mereka lebih cenderung menyimpang dari norma masyarakat. Hasilnya adalah keempat
tipe penyimpangan tersebut yaitu inovator, ritualis, pengundur diri dan pemberontak.
Konsepsi Merton ini dipengaruhi pemikiran dari Pitirin A. Sorokin (1928) dalam
bukunya Contemporary Sociological Theories dan Talcot Parsons (1937) dalam bukuThe
Structure of Social Action.
Menurut Merton, konsep anomie yang diredefinisinya adalah bahwa
ketidaksesuaian atau timbulnya diskrepansi/perbedaan antara cultural
goals dan institutional means sebagai akibat cara masyarakat diatur (struktur masyarakat)
karena adanya pembagian kelas. Karena itu, menurut John Hagan, teori
Merton berorientasi pada kelas (“Merton is in exploring variations in crime and deviance
by social class”)
Masyarakat industri tidak mengalami kesulitan untuk mensosialisasikan orang
miskin agar mereka ingin memiliki sesuatu. Sebagaimana halnya dengan orang kaya,
orang miskin pun dihujani pesan-pesan yang mengajak mereka untuk membeli berbagai
barang mulai dari celana jeans, pakaian bermerek dan pemutar DVD, hape Blackberry,
tablet Samsung Note sampai ke mobil mewah semacam ferrari. Televisi terutama tayangan
sinetron dan film menampilkan gambaran yang hidup mengenai orang dari golongan kelas
menengah yang menikmati kehidupan mewah. Gambaran ini memperkuat mitos bahwa
semua orang mampu menikmati berbagai barang dan jasa dalam kehidupan
bermasyarakat.
Sebaliknya, sistem sekolah, jalur paling lazim ke arah sukses, sering gagal melayani
orang miskin. Kelas menengah mengelolanya dan disana anak-anak orang miskin
dihadapkan pada suatu dunia yang bertentangan dengan latar belakang mereka.
Tatabahasa dan kosakata anak-anak miskin yang tidak baku ditaburi secara bebas dengan
apa yang dianggap kelas menengah sebagai kata-kata jorok. Ide kelas menengah mengenai
ketepatan waktu dan kerapihan, maupun kurangnya persiapan dalam keterampilan
menulis, tidak sesuai dengan lingkungan mereka yang baru. Karena mengalami hambatan
seperti itu maka orang miskin lebih cenderung putus sekolah daripada teman mereka yang
lebih mampu. Kegagalan di bidang pendidikan ini kemudian menutup pintu ke jalur-jalur
sah menuju kesuksesan finansial.
Namun tidak jarang terbuka pintu lain bagi orang miskin, yang oleh Richard
Cloward dan Lloyd Ohlin dinamakan struktur kesempatan tidak sah (illegitimate
opportunity structure). Tekstur kehidupan di daerah perkotaan misalnya, sarat dengan
perilaku penodongan, perampokan, pengedaran obat terlarang, pelacuran, permucikarian,
perjudian dan kejahatan lain yang menghasilkan uang, yang biasanya
dinamakan “hustles”.
Menurut Yesmil Anwar dan Adang, kenakalan remaja dibagi menjadi empat jenis :
1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian,
perkosaan, pembunuhan, dan lain-lain.
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan, pencurian,
pencopetan, pemerasan dan lain-lain.
3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain:
pelacuran, penyalahgunaan obat
4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status orang tua dengan
cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya.
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh kriminolog dalam menjelaskan faktor-
faktor yang menyebabkan remaja melakukan perbuatan kriminal, termasuk salah satunya
adalah TEORI STRAIN yang dikemukakan oleh Merton.
Merton berpendapat kejahatan ini disebabkan tidak pararelnya antara kebudayaan
yang mendorong masyaraktat untuk memperoleh sukses yang setinggi-tingginya dalam
kehidupan. Sementara sumber daya yang tersedia untuk mencapainya secara konvensional
tidak memadai. Sukses dalam pengertian remaja diukur dari hasil pencapaian prestasi
belajar, mempunyai barang-barang mewah seperti baju dan tas merk ternama serta model
terkini, handphone bermerk, ipad, sepeda motor jenis racing dan sebagainya yang memang
menjadi impian kaum muda ini.
Bagi anak remaja yang orang tuanya dari golongan ekonomi menengah kebawah
yang hidup secara pas-pasan, tentunya apa yang diidamkan tadi akan selalu tertanam
dalam pikiran dan hasrat untuk memiliki kian hari kian besar. Remaja yang berpikirian
pendek karena tidak ditanamkan pendidikan agama, akan berupaya untuk mewujudkan
semua hasratnya dengan cara yang dikategorikan sebagai penyimpangan menurut teori
Merton. Maka para remaja ini pun baik secara disadari atau pun tidak, telah terlibat dalam
suatu perbuatan kriminal.
Jenis-jenis perbuatan kriminal yang terjadi belakangan ini di Kota Jayapura yang
melibatkan remaja diantaranya meliputi, pemalakan, pencurian, penjambretan,
pencopetan, pembegalan, dan lain-lain. Media masa baik cetak maupun elektronik, hampir
tiap hari memberitakan adanya peristiwa kriminal tersebut.
Mengutip hasil liputan Tabloid JUBI edisi Maret 2012, bahwa menurut Psiokolog
Muda Asri Parante S.pg sejauh ini kenakalan remaja yang terjadi di Kota Jayapura dapat
dikategorikan ke dalam perilaku penyimpangan moral. Dalam perspektif perilaku,
menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai
aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Kenakalan di
kalangan remaja terjadi karena adanya faktor-faktor yang di indikasikan sebagai penyebab
terjadinya kenakalan remaja.
Diantaranya kurangnya kasih sayang orang tua, kurangnya pengawasan dari orang
tua, pergaulan dengan teman yang tidak sebaya, peran dari perkembangan iptek yang
berdampak negatif, tidak adanya bimbingan kepribadian dari sekolah, dasar-dasar agama
yang kurang, tidak adanya media penyalur bakat dan hobinya, kebebasan yang berlebihan,
dan masalah yang dipendam. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber
masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Di jayapura baru baru ini
ditemukkan sejumlah remaja yang masih mengenakkan seragam SMA ditemukkan pesta
minuman keras.
Fakta yang paling memprihatinkan adalah semakin banyaknya remaja di Kota
Jayapura yang mulai kenal dengan narkotika dan psikotropika pada usia yang sangat
muda, yaitu: menghisap rokok pada usia sekolah dan menggunakan obat-obat/
heroin/ narkotika dan psikotropika jenis lain. Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian
yang serius adalah semakin meningkatnya populasi penderita HIV/AIDS di kalangan
pecandu narkotika dan psikotropika dengan cara suntikan.
Jika dianalisa menurut Teori Strain Merton :
2. Ada keinginan atau tujuan untuk memiliki atau pun menjadi sesuatu
3. Ada penghalang berupa keterbatasan ekonomi karena belum memiliki
penghasilan sendiri, tergolong remaja broken home.
4. Ada dorongan yang kian lama kian kuat
5. Timbul frustasi karena adanya hambatan, namun keinginan tetap ada sehingga ada
perasaan tegang.
6. Ada pilihan cara untuk mendapatkan atau mewujudkan semua hasratnya t
7. Remaja ini memilih cara yang tidak sah atau cara menyimpang dari norma yang
ada dalam masyarakat
8. Dipilihlah cara penyimpangan tersebut, sehingga terjadilah suatu bentuk
kejahatan yang dilakukan remaja.
2.4. Kesimpulan Teori Strain
Perbuatan kriminal remaja disebabkan adanya dorongan untuk mendapatkan
kesuksesan dengan identitas memiliki akses pada kenikmatan hidup seorang remaja, pada
sisi lain ketidakmampuan mendapatkannya disebabkan oleh keterbatasan sarana untuk
mencapainya secara sah, sehingga dapat mendorong seorang remaja menggunakan cara-
cara yang illegal.
TEORI STRAIN dapat digunakan untuk memaparkan penyebab kenakalan remaja
khususnya yang terjadi di Kota Jayapura. Adanya ketidakseimbangan yang menimbulkan
ketegangan pada remaja. Kondisi seperti ini menyebabkan frustasi bagi remaja sehingga
berusaha mencari cara alternatif untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Bagaimanapun perbuatan kriminal yang dilakukan remaja merupakan suatu hal
yang memprihatinkan, siapapun pelakunya selalu menimbulkan keresahan dan ketakutan,
permasalahan ini tidak pernah hilang lenyap dari permukaan bumi dari zaman dahulu kala
hingga sekarang ada bersamaan dengan adanya manusia. Dengan mengetahui faktor-faktor
timbulnya kejahatan yang dilakukan oleh remaja secara teoritis, penting artinya dan besar
manfaatnya untuk merumuskan cara-cara mencegah dan cara-cara untu
menanggulanginya.
55555555555