Anda di halaman 1dari 5

Transkrip Kuliah

Selamat datang kembali dalam “Kuliah Pedagogi Kritis dan Pendidikan Antikorupsi”.

Minggu ke-5 “Berbagai Perspektif dalam Menjelaskan Korupsi:

Pada sesi ini, kita akan berdiskusi mengenai berbagai perspektif untuk menjelaskan korupsi.

Kuliah ini akan diawali dengan pembahasan mengapa kita perlu mempelajari kajian korupsi.

Pembahasan selanjutnya adalah berbagai perspektif tentang korupsi dari beberapa disiplin ilmu.

Mari kita mulai kuliah kali ini.

Banyak yang melihat bahwa korupsi adalah permasalahan moral.

Namun faktanya, banyak lembaga yang seharusnya menjunjung tinggi moral justru terlibat dalam
korupsi.

Banyak juga yang berpendapat bahwa korupsi hanya semata permasalahan penegakan hukum.

Namun, kenyataan menunjukkan bahwa banyak lembaga penegak hukum yang juga terjangkit
korupsi.

Pendapat lainnya mempercayai bahwa korupsi dilakukan karena kebutuhan ekonomi.

Namun, banyak korupsi dilakukan oleh mereka yang sudah memiliki penghasilan tinggi.

Kalau begitu, bagaimana kita melihat korupsi?

Kuliah ini akan menjelaskan tentang berbagai macam perspektif dalam melihat korupsi.

Tujuannya, agar kita tidak terjebak menggunakan satu perspektif saja dalam melawan korupsi.

Korupsi menjadi pembahasan berbagai dispilin keilmuan dari budaya, ekonomi, hukum, ilmu politik,
manajemen publik, anthropologi, sosiologi, dan lain-lainnya.

Dalam kajian korupsi, terkadang tidak ada batasan jelas antara disiplin satu dengan yang lainnya.

Terkadang juga terjadi tumpang tindih karena peneliti menggunakan konsep dan metodologi yang
sama untuk bidang studi yang berbeda.

Pendekatan berdasarkan disiplin ilmu tertentu memiliki kelemahan dan kelebihannya tersendiri.

Korupsi sering dibahas secara multidispiliner karena satu perspektif saja tidak mampu menjelaskan
fenomena korupsi secara utuh.

Kita akan membahas beberapa pendekatan displiner utama dalam pembahasan korupsi.

Di antaranya pendekatan Etika Publik, Hukum, Ekonomi, Politik, Manajemen Publik, dan Sosiologi.

Perspektif budaya melihat korupsi sebagai suatu tindakan yang tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakatnya, bukan semata-mata oleh aturan hukum.
Pendekatan ini, termasuk yang paling kritis terhadap perspektif legal atau hukum yang melihat
korupsi sebatas pada pelanggaran aturan formal.

Sekalipun korupsi tetap dianggap sebagai suatu yang negatif, namun kelemahan pendekatan ini
memberi peluang terhadap tafsir yang berbeda tentang korupsi, tergantung nilai-nilai yang dianut
masyarakatnya.

Misalnya, dalam budaya tertentu, pemberian hadiah bisa dianggap sebagai suatu yang wajar, namun
dalam masyarakat yang lain ini digolongkan sebagai penyuapan.

Kelebihan pendekatan ini, kita bisa melihat korupsi lebih mendalam, mengacu pada data-data
sejarah atau pun kebudayaan sesuai konteksnya.

Dengan pendekatan ini kita bisa mengetahui bahwa korupsi sudah sedemikian mentradisi di
Indonesia, sehingga tidak akan cukup diatasi melalui penindakan hukum.

Implementasi dari pendekatan ini untuk melawan korupsi adalah dengan melakukan pendidikan anti
korupsi.

Pendidikan dalam hal ini harus diorientasikan sampai bisa mengubah nilai-nilai budaya masyarakat
agar tidak lagi permisif terhadap perilaku korupsi.

Dengan pendekatan ini, seorang koruptor, tidak cukup hanya mendapat hukuman pidana, tetapi
juga harus diberi sanksi sosial.

Perspektif hukum melihat korupsi sebagai persoalan lemahnya aturan dan penegakan hukum.

Oleh karena itu, pendekatan ini berusaha mengatasi korupsi dengan memperbaiki aturan, membuat
aturan dan penguatan penegakkan hukum.

Perspektif ini mempercayai bahwa pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan cara membuat
aturan-aturan baru, meningkatkan sanksi hukum, hingga membentuk lembaga antikorupsi.

Sebagai contoh, Indonesia membuat undang - undang antikorupsi, membentuk KPK dan undang-
undangnya, memaksimalkan kerja Kepolisian dan Kejaksaan, dan membuat Pengadilan Tipikor.

Kelemahan dari perspektif ini adalah berbagai upaya hukum telah dilakukan, namun korupsi terus
terjadi. Pada saat bersamaan, korupsi mewabah di lembaga-lembaga penegakkan hukum.

Kenyataannya, pendekatan hukum semata tidak akan memadai dalam upaya memerangi korupsi.

Sebagaimana telah kita pelajari, pasca reformasi pemerintah Indonesia telah melakukan reformasi
hukum yang cukup signifikan dengan membentuk sejumlah Undang Undang antikorupsi, melakukan
penguatan dan membentuk lembaga khusus untuk pemberantasan korupsi, dan bahkan membentuk
peradilan khusus untuk menangani tindak pidana korupsi.

Sudah banyak koruptor dipidana dan dijatuhi vonis penjara, bahkan ada yang mendapatkan vonis
penjara seumur hidup dan hukuman denda yang mencapai nilai miliaran rupiah.

Akan tetapi seringkali penindakan hukum terhadap para pelaku korupsi gagal menimbulkan efek
jera. Korupsi masih terus terjadi, termasuk korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum.
Persepektif ekonomi dalam korupsi menjelaskan hakikat dari korupsi yang secara fundamental
merupakan kejahatan yang rasional dan dapat dikalkulasi, bukan dianggap sebagai kejahatan yang
diukur dari standar moral atau kejahatan yang lahir dari dendam kesumat sebagaimana dalam kasus
pembunuhan.

Kajian korupsi dalam perpektif ekonomi juga menyinggung motif ekonomi yang menyebabkan orang
melakukan korupsi/penyuapan, diantaranya karena pendapatan yang tidak memadai, tidak ingin
membayar dengan nilai yang semestinya, atau untuk mengatasi berbagai macam prosedur yang
semestinya harus dilalui demi alasan efisiensi.

Seorang ekonom neoliberal bernama Gary Becker yang menerapkan teori pilihan rasional dalam
bidang kriminalitas.

Dalam teorinya dikatakan bahwa setiap orang selalu bertindak dalam cara yang sejauh mungkin
rasional.

Karena itu ia mencoba memaksimalkan kegunaan atau keuntungan yang diperoleh melalui
perhitungan dan biaya.

Menurut Becker, kecenderungan seseorang untuk berbuat jahat, seperti tindakan korupsi
ditentukan oleh keuntungan yang diharapkan versus biaya yang ditimbulkan apabila tertangkap.

Jika keuntungan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan, pilihan yang rasional adalah bertindak atau
melakukan kejahatan.

Sebagai contoh, jika menerima suap memungkinkan mendapatkan sejuta dollar, dan hukuman ketika
ditangkap hanya bernilai setengah juta dollar, maka pilihan rasional adalah menerima suap, dengan
pendapatan dalam skenario paling buruk adalah setengah juta dollar.

Sesuai bidang ilmunya, perspektif politik dalam melihat korupsi sangat banyak memperhatikan
masalah korupsi politik.

Korupsi selalu dilihat sebagai upaya memanipulasi kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Sedangkan aktor yang terlibat korupsi adalah pejabat publik, politisi, dan aktor di luar negara yang
memiliki kekuatan modal yang berupaya mempengaruhi kebijakan publik.

Implementasi dari perspektif ini dalam mengatasi korupsi adalah dengan mengurangi sentralisasi
kekuasaan, misalnya melalui otonomi daerah.

Asumsinya, dengan terbaginya kekuasaan ke tingkat yang lebih rendah, kekuasaan itu akan lebih
mudah dikontrol dan diawasi.

Kenyataannya, dalam kasus otonomi daerah di Indonesia, korupsi justru menyebar luas di daerah-
daerah.

Pendekatan politik dalam melihat korupsi mengedepankan adanya titik keseimbangan yang stabil
antar berbagai lembaga yang berkuasa.

Dikenal dengan strategi membangun mekanisme checks and balances. Asumsinya, kekuasaan sulit
untuk diselewengkan apabila ada saling kontrol antara seluruh pemegang kekuasaan yang ada
sehingga tidak ada satu lembaga pun yang memonopoli distribusi sumber daya.

Manajemen Publik merupakan studi terkait tata kelola pemerintahan yang meliputi institusi dan
tradisi dalam lembaga pemerintahan.
Sebagaimana kita ketahui, salah satu tugas negara adalah menjamin kesejahteraan dan keamanan
warganya.

Tugas ini mengakibatkan kegiatan pemerintah berkembang demikian luas, baik untuk membangun
infratruktur maupun memberikan pelayanan publik, seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan,
pertanian, perekonomian, dan lain sebagainya.

Ada dua ide pokok dalam pendekatan ini. Pertama, gagasan tentang perbaikan managerial dan
restrukturasi manajemen pemerintahan, seperti desentralisasi, penyebaran wewenang, dan
penyederhanaan.

Kedua, penekanan pada pasar dan kompetisi, termasuk mendelegasikan penyelenggaraan pelayanan
pemerintahan pada swasta dan diadopsinya pendekatan manajemen sektor swasta dalam praktik
manajemen pemerintahan.

Konsep tata kelola pemerintahanan yang baik mensyarakatkan minimnya korupsi dalam institusi
publik. Menurut UNESCO ada delapan karakteristik pemerintahan yang baik:

1) partisipasi politik,
2) transparansi publik,
3) institusi publik yang responsif,
4) rule of law
5) akuntabiltas otoritas publik,
6) adanya konsensus sosial minimum, 7) keadilan dan inklusi sosial,
8) efektifitas dan efisiensi.

Pendekatan ini harus dilihat secara kritis karena dalam banyak kasus tidak berjalan sebagaimana
teori mengingat kelemahan dari pendekatan reformasi kelembagaan adalah hanya dapat berjalan
dalam sebuah negara yang korupsinya tidak sistemik.

Dalam kasus di Indonesia dimana korupsi sudah sangat menyebar dan menjadi jebakan social, perlu
ada cara lain yang dirumuskan untuk memutus rantai korupsi.

Sosiologi mendekati kejahatan dengan pandangan menjelaskan konteks sosial sebuah perilaku.

Penyimpangan indvidu dari hukum formal atau norma-norma yang berlaku merupakan akibat dari
faktor-faktor eksternal seperti tekanan kelompok, pengalaman hidup, kontak jaringan,kelas sosial,
kesempatan dalam kehidupan, daan keakraban dengan kejahatan.

Dalam penjelasan sosiologi, kriminalitas terjadi antara lain karena kurangnya adaptasi pelaku
kejahatan dengan sistem sosial.

Dalam pendekatan interaksi simbolik para ahli sosiologi lebih menekankan pentingnya komunikasi
simbolik dalam memahami interaksi manusia. Interaksi simbolik lebih berfokus pada interaksi antara
pemikiran internal serta emosi seseorang dan perilaku sosialnya.

Individu dilihat sebagai orang yang aktif mengkonstruksi tindakannya sendiri dengan
menginterpretasi, mengevaluasi, mendefinisikan dan memetakan tindakannya sendiri bukan sebagai
mahluk pasif yang lebih ditentukan oleh struktur di luar dirinya.

Kerangka teoritis ini sangat berguna untuk menjelaskan berbagai bentuk perilaku korupsi, seperti
suap dan nepotisme. Dalam interaksi sehari-hari, seorang pegawai atau pejabat pemerintah akan
mencari keuntungan bagi keluarga dan teman-temannya dengan mengabaikan aturan maupun
regulasi dalam pekerjaannya.

Tindakan nepostik itu sangat dipengaruhi oleh factor praktek social yang berkembang dan dianggap
wajar, serta tradisi yang telah berlangsung berabad-abad sehingga menciptakan sistem nilai yang
spesifik.

Interaksi simbolik memainkan peran yang vital dalam menyelidiki bagaimana pihak-pihak yang
terlibat dalam korupsi memilih dan menyetujui makna simbol-simbol, model pertukaran
kepentingan, dan cara maupun sarana dalam bertindak.

Tidak ada resep yang tunggal dalam memberantas korupsi. Itu karena situasi korupsi bisa sangat
spesifik, berbeda-beda antar satu negara dengan negara yang lain.

Resep anti-korupsi yang generik terbukti tidak cukup ampuh untuk mengurangi korupsi di negara-
negara tertentu karena konteks dan faktor-faktor utama korupsi yang berbeda pula.

Strategi anti-korupsi yang tailor-made dan multi dispilineer jauh lebih menjanjikan dibandingkan jika
kita mengimpor cara melawan korupsi dari negara lain.

Oleh karena itu, berbagai perspektif yang berkaitan langsung dengan masalah korupsi bisa
digunakan sebagai pisau analisa untuk membedah korupsi dan menawarkan strategi antikorupsi
yang lebih relevan.

Demikian akhir kuliah kita kali ini.

Terima kasih atas perhatiannya dan sampai jumpa.

Referensi:

1. Diman, Eugen & Schulte, Thorben. The Nature of Corruption: An Interdisciplinary Perspective.
Bisa diunduh di
https://static1.squarespace.com/static/56330ad3e4b0733dcc0c8495/t/56b9128ab6aa60c97
1d60b31/1454969484150/PDF_Vol_17_No_01_05_Dimant%26Schulte_FINAL.pdf

2. Disch, Arne et al. 2009. Anti-Corruption Approaches: A Literature Review. Norad-Norway.


Bisa diunduh di
http://www.sida.se/contentassets/3f5c8afd51a6414d9f6c8f8425fb935b/anti-corruption-
approaches-a-literature-review_3153.pdf

3. Jancsics, David. 2014. Interdisciplinary Perspectives on Corruption. Sociology Compass 8/4, p


358–372.

Anda mungkin juga menyukai