Anda di halaman 1dari 3

Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia

Oleh : Agustianto
Sejarah pergerakan ekonomi Islam di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak tahun
1911, yaitu sejak berdirinya organisasi Syarikat Dagang Islam yang dibidani oleh para
entrepreneur dan para tokoh Muslim saat itu. Bahkan jika kita menarik sejarah jauh ke
belakang, jauh sebelum tahun 1911, peran dan kiprah para santri (umat Islam) dalam
dunia perdagangan cukup besar. Banyak penelitian para ahli sejarah dan antropologi yang
membuktilan fakta tersebut.
Dalam buku Pedlers and Princes, (1955), Clifford Geertz, antropolog AS terkemuka,
menyatakan bahwa di Jawa, para santri reformis mempunyai profesi sebagai pedagang
atau wirausahawan dengan etos entrepreneurship yang tinggi. Sementara dalam buku
“The Religion of Java” (1960), Geertz menulis, “Pengusaha santri (muslim) adalah
mereka yang dipengaruhi oleh etos kerja Islam yang hidup di lingkungan di mana mereka
bekerja. Fakta ini merupakan hasil studi, Clifford Geertz, dalam upaya untuk menyelidiki
siapa di kalangan muslim yang memiliki etos entrepreneurship seperti “Etik
Protestantisme”, sebagaimana yang dimaksud oleh Max Weber. Dalam penelitian itu,
Geertz menemukan, etos itu ada pada kaum santri yang ternyata pada umumnya memiliki
etos kerja dan etos kewiraswastaan yang lebih tinggi dari kaum abangan yang
dipengaruhi oleh elemen-elemen ajaran Hindu dan Budha.
Dapatlah dikatakan perkembangan ekonomi syariah yang marak dewasa ini merupakan
cerminan dan kerinduan ummat Islam Indonesia untuk kembali menghidupkan semangat
para entrepreneur muslim masa silam dalam dunia bisnis dan perdagangan, sebagaimana
juga menjadi ajaran Nabi Muhammad Saw dan sunnah yang diteladankannya kepada
umatnya.

Dalam masa yang panjang peran umat Islam dalam dunia bisnis dan perdagangan di
Indonesia cendrung termarginalkan. Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia mulai
mendapatkan momentumnya untuk tumbuh kembali, semenjak didirikannya Bank
Muamalat Indonesia pada tahun 1992, setelah mendapat legitimasi legal formal dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dua tahun setelah
BMI berdiri, berdiri pula Asuransi Syariah Takaful di tahun 1994. Berbarengan dengan
itu, tumbuh pula 78 BPR Syariah. Pada tahun 1996 berkembang pula lembaga keuangan
mikro syariah BMT. Namun Lembaga Perguruan Tinggi yang mengajarkan ekonomi
syariah masih sangat langka. Tercatat, IAIN-SU Medan menjadi Perguruan Tinggi
pertama di Indonesia yang membuka Program Studi D3 Manajemen Bank Syari’ah
sebagai hasil kerja Forum Kajian Ekonomi dan Bank Islam (FKEBI) yang lahir tahun
1990 sebagai realisasi kerjasama dengan IIUM Malaysia. Tazkia, SEBI dan STIE
Jogyakarta belum berdiri saat itu.

Setelah terjadi krisis 1997, hampir seluruh bank konvensional dilkuidasi karena
mengalami negative spread, kecuali bank yang mendapat rekap dari pemerintah melalui
BLBI dalam jumlah besar mencapai Rp 650 triliun. Bank-bank konvensional itu bisa
diselamatkan dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Krisis tersebut membawa hikmah bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia.
Pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-Undang No 7/1992. Pasca UU tersebut sejumlah bank konversi
kepada syariah dan membuka unit usaha syariah. Perkembangan itu selanjutnya diikuti
oleh lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya, seperti asuransi syariah, pasar modal
syariah, reksadana syariah. obligasi syariah, pegadaian syariah dan sebelumnya telah
berkembang lembaga keuangan mikro syariah BMT.

Dari perkembangan lembaga perbankan dan keuangan syariah tersebut perlu dicatat.
Pertama, bank syari’ah telah menunjukkan ketangguhannya dalam masa krisis moneter.
Ketika bank-bank konvensional mengalami likuidasi, bank syariah dapat bertahan, karena
sistemnya bagi hasil, sehingga tidak wajib membayar bunga pada jumlah tertentu kepada
nasabah sebagaimana pada bank konvensional. Kedua, pemerintah telah mengorbankan
kepentingan rakyat untuk membantu bank-bank raksasa agar bisa bertahan dengan BLBI
yang disusul dengan pembayaran bunga obligasi dan SBI dalam jumlah ratusan triliunan
rupiah. Secara ekonomi kenegaraan, Bank-bank konvensional ribawi sesungguhnya
adalah parasit bagi perekonomian negara, karena bank riba tersebut telah menguras dana
APBN setiap tahun dalam jumlah yang sangat besar. Ketiga, bank-bank syariah
sepeserpun tidak dibantu pemerintah, sementara bank konvensional telah menguras kocek
keuangan negara mencapai Rp 650 triliunan. Keempat, NPL (kredit bermasalah) bank-
bank konvensional sangat tinggi, di atas 20 %. Bahkan NPL bank terbesar mencapai 24
%. Jauh dari ketentuan Bank Indonesia yakni 5%, Sementara NPL bank syariah sangat
kecil, sekitar 2 % an. Ini menunjukkan keunggulan bank syariah. Kelima, FDR bank
syariah senantiasa tinggi, dalam masa yang panjang bertengger di atas 100 %. Ini
menunjukkanbahwa dana pihak ketiga bersifat produktif/diinvestasikan kepada usaha
masyarakat. Sementara bank konvensional cukup lama bertengger di angka 30-40 %.
Walaupun kini LDRnya di atas 50-60 % namun secara riil, fungsi intermediasinya masih
sangat rendah. Hal ini sekaligus menjadi beban negara, karena penempatan dananya di
SBI meniscayakan bunga. Membayar bunga SBI tetap menjadi beban rakyat Indonesia
yang mayoritas miskin.

Berdasarkan kinerja bank-bank syariah dan lembaga keuangan syariah yang sangat
bagus, sementara lembaga-lembaga perbankan konvensional telah mendatangkan
mafsadat dan mudarat dengan sistem riba, maka menjadi keniscayaan bagi bangsa
Indonesia untuk menjadikan ekonomi Islam sebagai solusi ekonomi Indonesia untuk
kelujar dari krisis dan lebih resistenm dalam menghadapi gejolak krisis.
Sistem ekonomi ribawi bersama perangkat-perangkatnya berupa maysir, gharar dan batil,
telah terbukti membawa penderitaan yang memilukan bagi bangsa Indonesia.
Sehubungan dengan itu upaya pembumian ekonomi syariah menjadi sebuah keniscayaan
yang tak terbantahkan.
Sehubungan dengan itu, perlu diperhatikan. Pertama, peranan pemerintah menjadi
penting, tidak saja dari segi regulasi dan legal formal, tetapi juga keberpihakan yang riil
kepada lembaga perbankan dan keuangan syari’ah dalam kebijakan ekonomi dan
pembangunan, seperti suntikan modal, pembiayaan proyek pembangunan, tabungan dan
setoran haji, pendirian Asuransi dan Bank BUMN Syariah, dsb. Kedua, Harus diakui
bahwa, pembumian ekonomi syariah, tidak hanya bisa bergantung pada lembaga
keuangan syariah itu sendiri, tidak juga hanya bergantung pada peran pakar seperti IAEI
(Ikatan Ahli Ekonomi Islam), tetapi semua steakholder harus bekerjasama dan bersinergi
secara solid, sistimatis dan terencana baik pemerintah, ulama, parlemen (DPR/DPRD),
perguruan tinggi, pengusaha (hartawan muslim), ormas Islam dan masyarakat Islam pada
umumnya. Mereka harus bersinergi melakukan berbagai upaya terobosan untuk
mempercepat perkembangan ekonomiah. Ketiga, Sosialisasi dan edukasi masyarakat
tentang ekonomi syariah harus terus-menerus dilakukan, karena tingkat pemahaman dan
pengetahuan masyarakat tentang ekonomi syariah masih sangat rendah. Di sinilah peran
strategis Indonesia Syariah Expo (ISE) yang digelar oleh Masyarakat Ekonomi Syariah
bersama elemen-elemen Ekonomi Syariah lainnya, seperti DSN, IAEI, PKES dan
ASBISINDO.
ISE diharapkan menjadi ajang promosi ekonomi syariah paling akbar bagi lembaga
perbankan, keuangan serta segala bentuk bisnis syariah.
Selain itu, momentum ISE diharapkan menjadi sarana perekat silaturrahmi produktif dan
aliansi strategis bagi para praktisi, akademisi, ulama dan pemerintah dalam
mempromosikan dan membumikan ekonoimi syari’ah di Indonesia. Untuk itulah MES
menggelar MUNAS Pertama pada momentum tersebut yang mengambil tempat di arena
ISE tersebut. Selain itu Ikatan Ahli Ekonomi islam IndonEsia juga menggelar Forum
Silaturrahmi Nasional pengurus IAEI untuk membicarakan berbagai agenda penting,
antara lain Arsitektur Ekonomi Syariah Indonesia yang akan segera diserahkan kepada
Presiden dan Wapres RI.
Penutup
Alhamdulillah Indonesia Syariah Expo yang telah digelar sebanyak dua kali berjalan
dengan lancar dan sukses serta membawa manfaat dan dampak positif bagi
pengembangan dan pembumian ekonomi syariah di Indonesia, Semoga masa depan
Indonesia menjadi negara yang sejahtera makmur dan penuh keadilan dalam koridor
syariah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur
DIPOSTING OLEH Agustianto | April 28, 2008

Anda mungkin juga menyukai