Anda di halaman 1dari 4

Salah satu hadits yang paling populer terutama

menjelang datangnya bulan Ramadhan, karena


selalu diulang-ulang di tiap pengajian atau acara
penyambutan Ramadhan (belakangan populer
disebut tarhib) adalah hadits yang menjamin orang
akan diharamkan dari api neraka, apabila dia
bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan.
Petikan nashnya demikian :
ِ ‫ان َح َّر َم هللاُ َج َس َدهُ َعل َى النِّ ْي َر‬
‫ان‬ َ ‫ض‬ ِ ‫َم ْن فَ ِر َح بِ ُد ُخ‬
َ ‫ول َر َم‬
Siapa bergembira dengan masuknya bulan
Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya
masuk neraka.
Para penceramah asyik sekali mengutip hadits ini,
tanpa tahu dari mana sebenarnya teks ini berasal.
Pokoknya, siapa yang bergembira dengan
datangnya bulan Ramadhan, maka dijamin dia pasti
akan aman dari siksa api neraka, karena Allah SWT
sudah mengahramkan jasadnya dari api neraka.
Boleh jadi karena ungkapan inilah banyak orang
yang melakukan berbagai aktifitas menjelang bulan
Ramadhan, ada yang bersih-bersih rumah, bahkan
sampai mengecat ulang, atau menambahi bagian
rumah disana-sini.
Sebagian masyarakat ada yang kalau menjelang
Ramadhan tidak pernah lepas dari membakar
petasan dan kembang api, seolah-olah bentuk
kegembiraan itu belum sah tanpa petasan dan
kembang api. Mungkin dianggapnya itu bagian dari
upaya agar hati bergembira, biar tidak dibakar
neraka, entahlah dan tidak jelas. Yang pasti, tukang
bikin petasan dan penjualnya, sudah pasti
berbahagia.
Sebagian masyarakat yang lain ada yang
memborong bahan makanan dan kue-kue sejak
sebelum Ramadhan, termasuk baju-baju yang nanti
sebulan lagi mau dikenakan saat lebaran.
Intinya, banyak orang yang berupaya menyambut
bulan Ramadhan dengan keceriaan dan
kebahagiaan, dan semakin mantap ketika dibumbui
dengan hadits di atas.
Dari Mana Sumbernya?
Sebuah pertanyaan yang mendasar, kalau memang
ungkapan di atas itu sebuah hadits, lalu siapa
perawinya dan di kitab hadits yang mana bisa kita
dapatkan?
Pertanyaan seperti ini kalau kita sampaikan kepada
para penceramah itu, biasanya mereka bilang, yang
penting kita mengamalkan isinya, urusan haditsnya
shahih atau tidak, tidak terlalu penting, toh isinya
kan baik. Masak sih masuk bulan Ramadhan, kita
tidak boleh bergembira? Bukankah bulan Ramadhan
itu bulan pengampunan, amal-amal dilipat-
gandakan, malamnya lebih baik dari seribu bulan?
Masak kita malah sedih?
Begitu biasanya jawaban dari para penceramah,
yang pada dasarnya tidak punya jawaban pasti dari
mana dia dapat hadits itu.
Dosen saya, Prof. KH. Ali Musthafa Ya’qub MA,
dalam bukunya, Hadits-hadits Bermasalah di Bulan
Ramadhan, menuliskan bahwa hadits dengan teks
seperti di atas itu terdapat dalam kitab Durroh al-
Nashihin karya Utsman al-Khiubbani.
Kitab ini termasuk kitab favorit para guru ngaji,
ustadz dan ustadzah kalau mengajar pakai kitab ini,
bisa bercerita panjang lebar. Dan para jamaahnya
juga senang dibacakan hadits-hadits yang ada di
dalam kitab ini, karena haditsnya bombastis. Amal-
amal yang kecil, sederhana dan sepele, seringkali
dihargai dengan balasan yang besar, berlipat ganda
dan tidak main-main.
Sayangnya kitab ini oleh para ahli hadits disebut-
sebut sebagai kitab yang penuh dengan hadits-
hadits palsu dan kisah imajinasi. Dalam kitab itu,
hadits ini disebutkan siapa perawinya dan apa
kualitasnya. Kitab Durroh al-Nashihin sendiri bukan
termasuk kitab hadits. Ia termasuk kitab akhlak yang
berisi nasehat-nasehat untuk berperilaku luhur.
Memang, di dalamnya ada ayat-ayat al-Quran dan
hadits-hadits yang shahih, tetapi bersama dengan
ayat dan hadits shahih, tersebar juga hadits-hadits
yang palsu dan kisah-kisah imajinasi. Sayangnya,
para pembaca kitab ini tidak dapat menyeleksi
mana hadits yang shahih, dan mana Hadits yang
palsu, karena sama sekali tidak dijelaskan.
Semuanya bercampur aduk menjadi satu, kemudian
menyebar begitu saja lewat berbagai macam
pengajian.
Prof. KH. Ali Musthafa Ya’qub MA sendiri mengaku
telah mencoba melacak hadits tersebut di kitab-
kitab rujukan hadits, untuk mengetahui siapa
rawinya, kemudian diteliti apa kualitasnya. Namun
sayang, sampai hari ini beliau tetap tidak
mendapatkan apa yang beliau cari itu, sehingga
beliau tidak berani menyatakan bahwa ungkapan
tersebut di atas adalah sebuah hadits Nabi SAW. 
Karenanya, paling tidak untuk sementara sampai
ditemukan rawi dan kualitasnya, beliau menegaskan
bahwa ungkapan tersebut bukan sebuah hadits
Nabi SAW. Dan beliau menyatakan tidak tahu siapa
yang pertama kali mengucapkan ungkapan itu. Yang
jelas, bila ungkapan itu dinisbahkan kepada Nabi
SAW, maka hal itu menjadi hadits palsu.

Anda mungkin juga menyukai