CEREBRAL PALSY
Oleh:
Azka Amana Rosyida
G991902009
Pembimbing:
dr. Udi Herunefi Hancoro, Sp.B, Sp.OT(K)
A. DEFINISI
Cerebral palsy merupakan kumpulan gejala kelainan perkembangan motorik dan
postur tubuh yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak sejak dalam kandungan
atau di masa kanak-kanak. Kelainan tersebut biasanya disertai dengan gangguan sensasi,
persepsi, kognisi, komunikasi, tingkah laku, epilepsi, dan masalah muskuloskeletal.
Cerebral berarti bahwa penyebab kesulitannya berada di otak, bukan di otot. Palsy dapat
berarti memiliki kesulitan dengan pergerakan dan postur tubuh.
Gejala cerebral palsy mulai dapat diamati pada anak-anak di bawah umur 3 tahun,
yaitu manifestasi berupa hipotonia awal pada 6 bulan pertama hingga 1 tahun dan
umumnya diikuti spastisitas. Cerebral palsy merupakan penyakit yang tidak progresif.
Pengaruh gangguan otak terhadap pergerakan dan postur tidak hilang. Namun, efeknya
pada tubuh bisa menjadi lebih atau kurang jelas seiring berjalannya waktu. Misalnya pada
penderita cerebral palsy yang dapat menjadi semakin lebih baik dalam mengelola
kesulitan mereka sebagai hasil dari intervensi terapi.
B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi cerebral palsy secara global berkisar antara 1-1,5 per 1.000 kelahiran
hidup dengan insiden meningkat pada kelahiran prematur. Di negara maju, prevalensi
cerebral palsy dilaporkan sebesar 2-2,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup sedangkan di
negara berkembang berkisar antara 1,5-5,6 kasus per 1.000 kelahiran hidup.
Beberapa instansi kesehatan di Indonesia sudah mulai bisa mendata kasus cerebral
palsy, antara lain yaitu YPAC (Yayasan Pendidikan Anak Cacat) cabang Surakarta
jumlah anak dengan kondisi cerebral palsy pada tahun 2001 berjumlah 313 anak, tahun
2002 berjumlah 242 anak, tahun 2003 berjumlah 265 anak, tahun 2004 berjumlah 239
anak, sedangkan tahun 2005 berjumlah 118 anak, tahun 2006 sampai dengan bulan
Desember berjumlah 112 anak, sedangkan tahun 2007 sampai dengan bulan Desember
yaitu berjumlah 198 anak. Pada klinik tumbuh kembang Rumah Sakit dr. Kariadi
Semarang sepanjang tahun 2005 mencatat kunjungan pasien anak dengan diagnosis
cerebral palsy sebanyak 2,16%.
C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Penyebabnya dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu prenatal, perinatal, dan pascanatal.
1. Prenatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan menyebabkan kelainan pada janin,
misalnya oleh lues, toksoplasmosis, rubella, dan penyakit inklusi sitomegalik.
Kelainan yang mencolok biasanya gangguan pergerakan dan retardasi mental.
Anoksia dalam kandungan, terkena radiasi sinar x, dan intoksikasi kehamilan
dapat menimbulkan cerebral palsy.
2. Perinatal
a. Anoksia/hipoksia
Penyebab yang terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah
trauma kepala. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal
ini terdapat pada keadaan presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalo-
pelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan
instrumen tertentu, dan lahir dengan seksio kaesar.
b.Perdarahan otak
Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama sehingga sukar
membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak,
mengganggu pusat pernapasan, dan peredaran darah sehingga terjadi
anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang subarakhnoid akan
menyebabkan penyumbatan cairan serebrospinal sehingga mengakibatkan
hidrosefalus. Perdarahan di ruang subdural dapat menekan korteks serebri
sehingga timbul kelumpuhan spatis.
c. Prematuritas
Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan
otak lebih banyak dibandingkan bayi cukup bulan karena pembuluh darah,
enzim, faktor pembekuan darah, dan lain-lain masih belum sempurna.
d.Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan
otak yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada
kelainan inkompatibilitas golongan darah.
e. Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat
pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa cerebral palsy.
3. Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat
menyebabkan cerebral palsy. Misalnya pada trauma kapitis, meningitis,
ensefalitis, dan luka parut pada otak pasca-operasi.
D. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan keterlibatan alat gerak atau ekstremitas, yaitu:
a. Monoplegia, hanya satu anggota tubuh yang terserang (jarang terjadi).
b.Hemiplegia, yang terserang adalah tangan dan kaki tetapi hanya satu sisi.
c. Triplegia, menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah satu kaki.
d.Diplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang tetapi lebih berat pada
bagian di bawah pinggang.
e. Quadriplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang semuanya.
E. PATOFISIOLOGI
Presentasi klinik yang tampak dapat disebabkan oleh abnormalitas struktural yang
mendasar pada otak; cedera yang terjadi pada prenatal awal, perinatal atau postnatal
karena vascular insufficiency; toksin atau infeksi risiko–risiko patofisiologi dari kelahiran
prematur. Bukti–bukti yang ada menunjukkan bahwa faktor–faktor prenatal berperan
dalam 70 – 80 % kasus cerebral palsy. Dalam banyak kasus, penyebab yang pasti belum
diketahui, tetapi hampir sebagian besar kasus disebabkan oleh multifaktor. Selama
periode prenatal, pertumbuhan yang abnormal dapat terjadi kapan saja (dapat karena
abnormalitas yang bersifat genetik, toksik atau infeksi, atau vascular insufficiency).
Menurut Volpe, dalam perkembangan otak manusia terdapat beberapa waktu
penting, dan waktu–waktu puncak terjadinya, sebagai berikut:
1. Primary neurulation – terjadi pada 3 – 4 minggu kehamilan.
2. Prosencephalic development – terjadi pada 2 – 3 minggu kehamilan.
3. Neuronal proliferation – penambahan maksimal jumlah neuron terjadi pada
bulan ke 3 – 4 kehamilan.
4. Organization – pembentukan cabang, mengadakan sinaps, kematian sel, eliminasi
selektif, proliferasi, dan diferensiasi sel glia terjadi bulan ke 5 kehamilan sampai
beberapa tahun setelah kelahiran.
5. Myelination – penyempurnaan sel–sel neuron yang terjadi sejak kelahiran sampai
beberapa tahun setelah kelahiran.
Karena kompleksitas dan kerentanan otak selama masa perkembangannya,
menyebabkan otak sebagai subjek cedera dalam beberapa waktu. Cerebral ischemia yang
terjadi sebelum minggu ke–20 kehamilan dapat menyebabkan defisit migrasi neuronal,
antara minggu ke–24 sampai ke–34 menyebabkan periventricular leucomalacia (PVL)
dan antara minggu ke–34 sampai ke–40 menyebabkan focal atau multifocal cerebral
injury.
Cedera otak akibat vascular insufficiency tergantung pada berbagai faktor saat
terjadinya cedera, antara lain distribusi vaskular ke otak, efisiensi aliran darah ke otak
dan sistem peredaran darah, serta respon biokimia jaringan otak terhadap penurunan
oksigenasi.
Kelainan tergantung pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak. Pada
keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemik yang
menyeluruh. Pada keadaan yang lebih ringan terjadi patchy necrosis di daerah
paraventrikular substansia alba dan dapat terjadi atrofi yang difus pada substansia grisea
korteks serebri. Kelainan dapat lokal atau menyeluruh tergantung tempat yang terkena.
Stres fisik yang dialami oleh bayi yang mengalami kelahiran prematur seperti
imaturitas pada otak dan vaskularisasi serebral merupakan suatu bukti yang menjelaskan
mengapa prematuritas merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian
cerebral palsy. Sebelum dilahirkan, distribusi sirkulasi darah janin ke otak dapat
menyebabkan tendensi terjadinya hipoperfusi sampai dengan periventrikular white matter.
Hipoperfusi dapat menyebabkan haemorrhage pada matrik germinal yang berhubungan
dengan kejadian diplegia spastik.
Pada saat di mana sirkulasi darah ke otak telah menyerupai sirkulasi otak dewasa,
hipoperfusi kebanyakan merusak area batas air korteks (zona akhir dari arteri cerebral
mayor), yang selanjutnya menyebabkan fenotip spastik quadriplegia. Ganglia basal juga
dapat terpengaruh dengan keadaan ini, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya
ekstrapiramidal (seperti koreoatetoid atau distonik). Kerusakan vaskular yang terjadi pada
saat perawatan seringkali terjadi dalam distribusi arteri serebral bagian tengah yang
menyebabkan terjadinya fenotip spastik hemiplegia.
Tidak ada hal–hal yang mengatur di mana kerusakan vaskular akan terjadi, dan
kerusakan ini dapat terjadi lebih dari satu tahap dalam perkembangan otak janin.
Autoregulasi peredaran darah serebral pada neonatal sangat sensitif terhadap asfiksia
perinatal yang dapat menyebabkan vasoparalysis dan cerebral hyperemia. Terjadinya
kerusakan yang meluas diduga berhubungan dengan vaskular regional dan faktor
metabolik, serta distribusi regional dari rangsangan pembentukkan sinaps.
Pada waktu antara minggu ke-26 sampai dengan minggu ke-34 masa kehamilan,
area periventricular white matter yang dekat dengan lateral ventricles sangat rentan
terhadap cedera. Apabila area ini membawa fiber yang bertanggung jawab terhadap
kontrol motorik dan tonus otot pada kaki, cedera dapat menyebabkan spastik diplegia
(yaitu spastisitas utama dan kelemahan pada kaki, dengan atau tanpa keterlibatan lengan
dengan derajat agak ringan). Saat lesi yang lebih besar menyebar sebelum area fiber
berkurang dari korteks motorik, hal ini dapat melibatkan centrum semiovale dan corona
radiata, yang dapat menyebabkan spastisitas pada ekstremitas atas dan ekstremitas
bawah.
Suatu pengetahuan tentang urutan fase embrionik dan perkembangan otak janin,
dapat ditentukan kapan waktu terjadinya kerusakan otak. Suatu penemuan tentang
kelainan migrasi (disordered migration), seperti lissencephaly atau heterotopia grey
matter, mengindikasikan bahwa kerusakan yang terjadi sebelum 22 minggu masa gestasi
akan mengganggu migrasi neuronal normal. Periventricular leucomalacia (PVL)
menunjukkan kerusakan pada white matter. PVL pada umumnya simetris dan diduga
disebabkan oleh iskemik white matter pada anak–anak prematur. Cedera asimetrik pada
periventrikular white matter dapat menyebabkan salah satu sisi tubuh lebih kuat daripada
yang lainnya. Keadaan ini menyebabkan gejala yang menyerupai spastik hemiplegia
tetapi karakteristiknya lebih menyerupai spastik diplegia. Matriks kapiler germinal dalam
daerah periventrikular, sebagian rentan terhadap cedera akibat hipoksik-iskemik. Hal ini
disebabkan karena lokasinya yang terletak pada zona batas vaskular di antara zona akhir
striate dan arteri thalamik.
Kerentanan otak janin terhadap PVL bervariasi tergantung pada usia gestasi,
mencapai puncak pada usia gestasi 22 minggu dengan satu langkah penurunan pada awal
kematian postnatal dan setelah PVL. PVL akan tampak sebagai diplegia dan sekitar 70%
bayi yang mengalami cerebral palsy dilahirkan sebelum usia gestasi mencapai 32 minggu
dan 30% bayi yang mengalami cerebral palsy lahir tepat waktu (cukup bulan).
Volpe mengklasifikasikan sistem tingkatan untuk periventricular-intraventricular
hemorrhages, sebagai berikut :
1. Grade I adalah hemorrhage yang berdampak hanya perdarahan pada
subependymal (<10% dari area periventrikular terisi dengan darah).
2. Grade II adalah hemorrhage yang melibatkan 10 – 50% area periventrikular.
3. Grade III adalah hemorrhage yang melibatkan >50% area periventrikular
4. Beberapa ahli lain mengemukakan grade IV, yaitu ada tidaknya darah
parenchymal. Hal ini diduga tidak berhubungan dengan ekstensi pendarahan
ventrikular. Tetapi sebaliknya, hemorrhagic infarction dapat berhubungan dengan
periventricular-intraventricular hemorrhage.
Hiperbilirubin encephalopathy akut dapat menyebabkan bentuk cerebral palsy
diskinetik (atau ekstrapiramidal) yang dapat terjadi baik pada bayi lahir cukup bulan yang
ditandai dengan hiperbilirubinemia atau pada bayi prematur tanpa ditandai
hiperbilirubinemia. Kern ikterus mengacu pada encephalopathy dari hiperbilirubinemia
yang termasuk di dalamnya noda kelompok nuclear yang spesifik dan nekrosis neuronal.
Efek–efek ini utamanya melibatkan ganglia basalia, sebagian globus pallidus dan
subthalamic nucleus; hippocampus; substantia nigra; beberapa nervus cranial nuclei –
sebagian oculomotor, vestibular, cochlear dan facial nerve nuclei; saraf batang otak
seperti formasi retikular pada pons; saraf olivary inferior, saraf cerebellar seperti pada
dentate dan horn cells anterior dari tulang belakang.
Hal–hal yang memberikan distribusi kerusakan dalam kernikterus, kehilangan
pendengaran dan kelainan gerakan (terutama koreoathetosis atau distonia) adalah ciri–ciri
utama hiperbilirubin encephalopathy. Dengan perbaikan dalam manajemen awal
hiperbilirubinemia, banyak kasus cerebral palsy diskinetik (atau ekstrapiramidal) tidak
berhubungan dengan riwayat hiperbilirubinemia tetapi sebaliknya diduga berhubungan
dengan hypoxic injury pada ganglia basal. Dalam ketidakhadiran hiperbilirubinemia,
prematuritas, atau hipoksia, kemungkinan suatu kelainan metabolik atau neurodegeneratif
sebagai dasar fenotip perlu dipertimbangkan.
Cerebral palsy diskinetik berjumlah kurang lebih 10% dari semua bentuk cerebral
palsy, umumnya terjadi pada bayi cukup bulan. Kernikterus akibat haemolitik pada bayi
baru lahir terjadi akibat Rhesus isoimmunisation yang menjelaskan peningkatan insiden
pada dekade terakhir. Sosialisasi kebijakan antenatal untuk memberikan antibodi anti-D
pada ibu dengan Rhesus negatif setelah kelahiran bayi dengan Rhesus positif telah
menunjukkan eradikasi pada seluruh bentuk cerebral palsy.
Status marmoratus adalah suatu akibat neuropatologi yang ditimbulkan oleh
neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy dan diduga lebih banyak terjadi pada bayi
cukup bulan daripada bayi prematur. Lesi ini adalah keadaan khusus munculnya
gumpalan karena suatu abnormalitas pembentukan myelin. Lesi ini merusak ganglia basal
dan thalamus yang menyebabkan fenotip cerebral palsy diskinetik.
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinisnya tampak gangguan motorik berupa kelainan fungsi dan
lokalisasi serta kelainan bukan motorik yang menyulitkan gambaran klinis cerebral
palsy. Kelainan fungsi morik terdiri dari:
1. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan
refleks Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak
hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama
derajatnya pada suatu gabungan otot, karena itu tampak sikap yang khas dengan
kecenderungan terjadi kontraktur, misalnya lengan dalam adduksi, fleksi pada
sendi siku, dan pergelangan tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi
sehingga posisi ibu jari melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap
adduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam plantar fleksi, dan telapak
kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex dan refleks neonatal menghilang pada
waktunya. Kerusakan biasanya terletak di traktus kortikospinalis. Golongan
spastisitas ini meliputi ⅔ – ¾ penderita cerebral palsy.
Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung pada letak dan besarnya
kerusakan, yaitu:
a. Monoplegia/monoparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi salah satu anggota gerak
lebih hebat dari yang lainnya.
b.Hemiplegia/hemiparesis
Kelumpuhan lengan dan tungkai di sisi yang sama.
c. Diplegia/diparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat
daripada lengan.
d.Tetraplegia/tetraparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi lengan lebih atau sama
hebatnya dibandingkan dengan tungkai.
2. Tonus otot yang berubah
Bayi pada golongan ini pada usia bulan pertama tampak flaksid dan
berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower
motor neuron. Menjelang usia 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari
rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak flaksid dan sikapnya
seperti kodok terlentang tetapi bila dirangsang atau mulai diperiksa tonus ototnya
berubah menjadi spastik. Refleks otot yang normal dan refleks Babinski negatif
tetapi yang khas ialah refleks neonatal dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan
biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh asfiksia perinatal atau
ikterus. Golongan ini meliputi 10-20% dari kasus cerebral palsy.
3. Koreo-atetosis
Kelainan yang khas ialah sikap yang abnormal dengan pergerakan yang
terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak
bayi flaksid tetapi sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks neonatal
menetap dan tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat timbul juga gejala
spastisitas dan ataksia. Kerusakan terletak pada ganglia basal dan disebabkan oleh
asfiksia berat atau ikterus kern pada masa neonatus. Golongan ini meliputi 5-15%
dari kasus cerebral palsy.
4. Ataksia
Ataksia ialah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya
flaksid dan menunjukkan perkembangan motorik yang terlambat. Kehilangan
keseimbangan tampak bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan
semua pergerakan canggung dan kaku. Kerusakan terletak di cerebellum.
Terdapat kira-kira 5% dari kasus cerebral palsy.
5. Gangguan pendengaran
Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nada tinggi sehingga
sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada golongan koreo-atetosis dan pada 5-
10% anak dengan cerebral palsy.
6. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan
yang terjadi dengan sendirinya di bibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol
otot-otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak
anak berliur.
7. Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan
refraksi. Pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak. Hampir 25%
penderita cerebral palsy menderita kelainan mata.
G. DIAGNOSIS
Anamnesis
Anak dengan cerebral palsy dapat hadir setelah gagal memenuhi tahap
perkembangan yang diharapkan atau gagal untuk menekan refleks primitif wajib. Tahun
2003, American Academy of Neurology (AAN) menyarankan parameterpraktek skrining
untuk potensi serebral palsi berikut terkait defisit pada penilaian awal:
1. Mental retardasi
2. Ophthalmologic dan gangguan pendengaran
3. Gangguan Bicara dan bahasa
4. Disfungsi Oromotor
Diagnosis dimulai dengan riwayat keterlambatan perkembangan motorik kasar pada
tahun pertama kehidupan. Cerebral palsy sering bermanifestasi sebagai hipotonia awal
untuk 6 bulan pertama sampai 1 tahun kehidupan, diikuti dengan spastik. Otot yang
abnormal adalah gejala yang paling sering diamati. Anak mungkin hadir sebagai baik
hipotonik atau, lebih umum, hipertonik dengan resistensi baik menurun atau meningkat
menjadi gerakan pasif, masing-masing. Anak-anak dengan cerebral palsy mungkin
memiliki periode awal hipotonia diikuti oleh hypertonia. Semakin lama periode
hipotonia sebelum hypertonia, semakin besar kemungkinan bahwa hypertonia akan lebih
parah.
Tangan preferensi tertentu sebelum usia 1 tahun adalah bendera merah
untuk kemungkinan hemiplegia. Merangkak asimetris atau kegagalan merangkak juga
mungkin menyarankan cerebral palsy. Gangguan pertumbuhan sering dicatat padaanak
dengan cerebral palsy, terutama gagal tumbuh. Riwayat medis umum harus mencakup
kajian sistem untuk mengevaluasi untuk komplikasi beberapa yang dapat terjadi dengan
cerebral palsy.
1. Riwayat Prenatal
Riwayat prenatal harus memasukkan informasi tentang kehamilan ibu,
seperti paparan pralahir untuk obat-obatan terlarang, racun, atau infeksi, diabetes
ibu; penyakit ibu akut, trauma, paparan radiasi, perawatan pra-natal dan gerakan
janin.
Riwayat awal aborsi spontan sering, kekerabatan orangtua, dan
riwayatkeluarga penyakit neurologis (misalnya, penyakit neurodegenerative
keturunan) juga penting.
2. Riwayat Perinatal
Riwayat perinatal harus mencakup usia kehamilan anak (yaitu,
derajatprematuritas) saat lahir, presentasi anak dan jenis persalinan, berat lahir,
skor Apgar,dan komplikasi pada periode neonatal (misalnya, waktu intubasi,
adanya perdarahanintrakranial, kesulitan makan, apnea, bradikardia, infeksi, dan
hiperbilirubinemia).
3. Riwayat Perkembangan
Riwayat perkembangan anak harus meninjaunya dari segi motorik
kasar,motorik halus, bahasa, dan sosial dari lahir sampai saat evaluasi.
Perhatian motorik kasar dengan cerebral palsy termasuk kontrol kepala
padausia 2 bulan, berguling pada usia 4 bulan, duduk di usia 6 bulan, dan berjalan
padausia 1 tahun. Bayi dengan cerebral palsy mungkin signifikan tertunda
motorik kasar atau menunjukkan preferensi tangan dini pada usia kurang dari 1,5
tahun, menunjukkan kelemahan relatif dari satu sisi.
Hadirnya regresi dijelaskan akan lebih sugestif dari penyakit keturunan
neurodegenerative dari cerebral palsy.
Keterampilan sosial saat ini, prestasi akademis dan partisipasi dalam
programintervensi awal (jika <3 tahun) atau dukungan sekolah (jika> 3 tahun)
harus ditinjau ulang, termasuk bantuan sumber daya ruang; fisik, pekerjaan, dan
terapi bicara danbahasa, dan adaptif fisik pendidikan. Pengujian kognitif dan
pendidikan standar dan rencana pendidikan individualsaat ini dapat digunakan
untuk menentukan apakah terapi wicara, terapi okupasi, danterapi fisik berada di
tempat atau apakah arahan untuk ini diperlukan.
Pemeriksaan Fisik
Indikator fisik cerebral palsy termasuk kontraktur sendi sekunder untuk otot
spastik, hipotonik untuk tonus otot spastik, keterlambatan pertumbuhan, dan reflex
primitif persisten. Presentasi awal cerebral palsy termasuk hipotonia awal, diikuti dengan
kekejangan. Umumnya, kelenturan tidak terwujud sampai setidaknya 6 bulan sampai1
tahun kehidupan. Evaluasi neurologis meliputi pengamatan dekat dan pemeriksaan
neurologis formal.
Sebelum pemeriksaan fisik formal, observasi dapat mengungkapkan leher abnormal
atau tonus otot trunkal (menurun atau meningkat, tergantung pada usia
dan jenis cerebral palsy); postur asimetris, kekuatan, atau gaya berjalan; atau koordinasi
abnormal. Pasien dengan cerebral palsy dapat menunjukkan refleks meningkat,
menunjukkan adanya lesi upper motor neuron. Kondisi ini juga dapat hadir sebagai
persistensi refleks primitif, seperti Moro (refleks kejut) dan refleks leher asimetristonik
(yaitu, postur dengan leher berubah dalam arah yang sama ketika satu lengan
diperpanjang dan yang lain tertekuk). Tonik leher simetris, genggaman palmar,labirin
tonik, dan refleks penempatan kaki juga dicatat. Refleks Moro dan labirin tonik
seharusnya hilang pada saat bayi sudah berusia 4-6 bulan, refleks pegangpalmaris pada 5-
6 bulan, refleks tonik leher asimetris dan simetris pada 6-7 bulan,dan penempatan refleks
kaki sebelum 12 bulan. Cerebral palsy juga termasuk keterbelakangan atau tidak adanya
refleks postural atau protektif (memperpanjanglengan ketika duduk).
Pola kiprah keseluruhan harus diamati dan masing-masing bersama diekstremitas
bawah dan ekstremitas atas harus dinilai, sebagai berikut:
1. Panggul
Fleksi berlebihan, adduksi, dan anteversion femoralis membentuk polamotorik
dominan. Scissoring kaki adalah umum pada cerebral palsy spastik.
2. Lutut
Fleksi dan ekstensi dengan valgus atau varus terjadi.
3. Foot
Equinus atau berjalan dengan jari kaki dan varus atau valgus dari
4. Hindfoot
Sangat umum di cerebral palsy. Kelainan gaya berjalan mungkin termasuk
posisiberjongkok dengan fleksor pinggul ketat dan paha belakang, paha depan
lemah, dan / atau dorsofleksi berlebihan.
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis cerebral palsy umumnya dibuat berdasarkan gambaran klinis, namun,
beberapa penulis mengemukakan bahwa diagnosis harus ditunda sampai anak usia 2
tahun atau lebih. Karena otak terus berkembang setelah lahir, kelainan tonus motor atau
gerakan di beberapa minggu pertama atau bulan setelah kelahiran secarabertahap dapat
membaik selama tahun pertama kehidupan (atau bahkan nanti). Collaborative Perinatal
Project menemukan bahwa hampir 50% orang yang didiagnosis dengan cerebral palsy
dan 66% anak didiagnosis dengan diplegia spastik, ditemukan secara sugestif cerebral
palsy pada usia 7 tahun. Yang lain tidak mensugestikan tanda-tanda nyata motorik dari
gangguan ini hingga usia 1-2 tahun.
Kondisi lain yang harus dipertimbangkan ketika mengevaluasi pasien dengancerebral
palsy yang dicurigai termasuk penyakit metabolik dan genetik, paraplegiaskejang
herediter, sindrom Rett, dan kelainan sumsum tulang belakang.
Pada Tahun 2003, American Academy of Neurology (AAN) mengemukakan praktek
parameter pada cerebral palsy menyarankan pemeriksaan laboratorium jika:
1. Riwayat klinis atau temuan dari neuroimaging tidak menunjukkan kelainan
struktural tertentu,
2. Fitur tambahan dan atipikal yang hadir dalam riwayat atau pemeriksaan klinis,
atau
3. Suatu kelainan otak yang terdeteksi pada anak dengan cerebral palsy. Selain
itu, tes diagnostik untuk gangguan koagulasi dianjurkan jika infark serebral
terlihat, namun data yang tersedia tidak cukup untuk membimbing apastudi
tepat harus dipesan.
Jika tersangka diagnosis gangguan herediter atau neurodegenerative, penyaringan
untuk kelainan metabolik atau genetik yang mendasari harus dilakukan. Namun,
penelitian tertentu tidak direkomendasikan oleh parameter praktek AAN, sebagai studi
tersebut harus berpedoman pada gambaran klinis.
Parameter praktek AAN tidak merekomendasikan sebuah electroencephalogram
(EEG) kecuali kecurigaan untuk epilepsi atau sindrom epilepsi hadir, tapi
itumerekomendasikan neuroimaging "untuk menetapkan bahwa kelainan otak ada
padaanak dengan cerebral palsy, yang mungkin, pada gilirannya, menyarankan etiologi
dan prognosis". Perhatikan bahwa studi pencitraan otak normal tidak berarti bahwaanak
tidak memiliki cerebral palsy, karena diagnosis selalu hanya berdasarkan temuan
pemeriksaan fisik.
H. PENATALAKSANAAN
Prinsip terapi:
1. Meningkatkan kualitas hidup pada anak-anak yang terkena cerebral palsy
2. Memberikan fasilitas rehabilitasi dini
3. Meningkatkan kapasitas fungsional anak untuk menjadi mandiri
4. Menurunkan komplikasi cerebral palsy
Intervensi:
1. Mengurangi spastisitas otot
2. Mengontrol kejang karena kebanyakan resisten terhadap pengobatan antiepilepsi
yang konvensional
3. Mencegah masalah ortopedi seperti subluksasi panggul, skoliosis, deformitas
equina, dan lain-lain.
4. Meningkatkan kognitif, pembelajaran, dan memori untuk penerimaan yang lebih
baik
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simptomatik. Pada keadaan ini perlu kerja sama
yang baik dan merupakan suatu tim antara dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata,
dokter THT, ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi, occupational therapist, pekerja sosial,
guru sekolah luar biasa, dan orang tua penderita.
Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut membantu
program latihan di rumah untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita
pada waktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara
tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi ini dilakukan sepanjang penderita hidup.
Pembedahan
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk dilakukan
pembedahan otot, tendon, atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut. Pembedahan
stereotaktik dianjurkan pada penderita dengan pergerakan koreo-atetosis yang berlebihan.
Pendidikan
Penderita cerebral palsy dididik sesuai dengan tingkat kecerdasannya di sekolah
luar biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal.
Mereka sebaiknya diperlakukan sama seperti anak yang normal, yaitu pulang ke rumah
dengan kendaraan bersama-sama sehingga mereka tidak merasa diasingkan, hidup dalam
suasana normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk ini
pekerja social dapat membantu di rumah dengan nasehat seperlunya.
Farmakoterapi
Pada penderita dengan kejang diberikan obat antikonvulsan rumat yang sesuai
dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin, dan sebagainya. Pada
keadaan tonus otot yang berlebihan, obat dari golongan benzodiazepine dapat menolong,
misalnya diazepam, klordiazepoksid (Librium), nitrazepam (mogadon). Pada keadaan
koreoatetosis diberikan artan. Imipramine (tofranil) diberikan kepada penderita dengan
depresi.
I. PENCEGAHAN
Beberapa penyebab CP dapat dicegah atau diterapi, sehingga kejadian CP pun bisa
dicegah. Adapun penyebab CP yang dapat dicegah atau diterapi antara lain:
1. Pencegahan terhadap cedera kepala dengan cara menggunakan alat pengaman
pada saat duduk di kendaraan dan helm pelindung kepala saat bersepeda, dan
eliminasi kekerasan fisik pada anak. Sebagai tambahan, pengamatan optimal
selama mandi dan bermain.
2. Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada bayi baru lahir dengan
fototerapi, atau jika tidak mencukupi dapat dilakukan transfusi tukar.
Inkompatibilitas faktor rhesus mudah diidentifikasi dengan pemeriksaan darah
rutin ibu dan bapak. Inkompatibilitas tersebut tidak selalu menimbulkan masalah
pada kehamilan pertama, karena secara umum tubuh ibu hamil tersebut belum
memproduksi antibodi yang tidak diinginkan hingga saat persalinan. Pada
sebagian besar kasus-kasus, serum khusus yang diberikan setelah kelahiran dapat
mencegah produksi antibodi tersebut. Pada kasus yang jarang, misalnya jika pada
ibu hamil antibodi tersebut berkembang selama kehamilan pertama atau produksi
antibodi tidak dicegah, maka perlu pengamatan secara cermat perkembangan bayi
dan jika perlu dilakukan transfusi ke bayi selama dalam kandungan atau
melakukan transfusi tukar setelah lahir.
3. Rubella, atau campak jerman, dapat dicegah dengan memberikan imunisasi
sebelum hamil.
J. KOMPLIKASI
1. Komplikasi gastrointestinal dan gizi meliputi:
a. Gagal tumbuh karena kesulitan makan dan menelan sekunder untuk
kontroloromotor yang buruk; pasien mungkin memerlukan tabung
gastrostomy (G-tabung) atau tabung jejunostomy (J-tabung) untuk
menambah gizi.
b.Gastroesophageal reflux dan terkait pneumonia aspirasi
c. Sembelit
d.Gigi karies.
Masalah gigi juga termasuk disgenesis enamel, maloklusi, dan hiperplasia
gingiva. Maloklusi dua kali lebih umum seperti dalam populasi
normal.Insiden peningkatan masalah gigi sering sekunder untuk
penggunaan obat, khususnya obat diberikan pada bayi prematur dan agen
antiepilepsi.
2. Komplikasi pernapasan meliputi:
a. Meningkatnya risiko pneumonia aspirasi karena disfungsi oromotor
b.Penyakit paru kronis/displasia bronkopulmonalis
c. Bronchiolitis/asma
3. Komplikasi neurologis meliputi:
a. Epilepsi.
b.Gangguan pendengaran (terutama pada pasien yang mengalami
ensefalopati bilirubin akut [kernikterus], juga terlihat pada pasien yang
lahir prematur atauyang terkena obat ototoxic)
c. Penglihatan
i. Kelainan medan penglihatan karena cedera kortikal
ii. Strabismus
4. Komplikasi kognitif/psikologis/perilaku meliputi berikut ini:
a. Keterbelakangan mental (30-50%), paling sering dikaitkan dengan
quadriplegia kejang
b.Defisit perhatian/gangguan hiperaktivitas
c. Disabilitas belajar
d.Dampak pada kinerja akademik dan harga diri
e. Peningkatan prevalensi depresi
f. Kesulitan integrasi sensorik
g.Peningkatan prevalensi gangguan perkembangan progresif atau autisme
yang berhubungan dengan diagnosis bersamaan cerebral palsy
5. Komplikasi orthopedi
a. Kontraktur
Diawali dengan kontraktur dinamik, yang lama kelamaan menjadi statis
(kontraksi otot yang berkelanjutan menyebabkan pemendekan) dan
pertumbuhan (pertumbuhan tulang terjadi pada kecepatan longitudinal
yang lebih cepat daripada otot di cerebral palsy spastik)
b.Deformitas ekstremitas atas
Dapat terjadi:
i. Forearm-pronation
Kombinasi dari pronasi lengan bawah dan kontraktur fleksi siku
ii. Wrist-flexion deformity
Pergelangan tangan biasanya fleksi dan terjadi deviasi ulna.
Berhubungan dengan ekstensi pergelangan dan pronasi lengan
bawah yang lemah.
iii. Thumb-in-palm deformity
Jempol fleksi ke arah telapak tangan sehingga mengganggu gerak
menggenggam dan mencubit.
iv. Finger-flexion deformity
Terjadi akibat kekakuan otot intrinsik dan ekstrinsik yang menarik
ekstensor jari
Hallux valgus
iii. EquinoPlanoValgus
Terjadi akibat kombinasi ootot peroneal spastik, tibialis posterior
yang lemah, dan heel cord spastik pada ligament kaki yang lemah.
menyebabkan disfungsi lengan pengungkit pada saat berjalan.
Berakibat tumpuan berat pada garis medial kaki dan capur talus.
Eksternal rotasi dari kaki menyebabkan ketidakseimbangan saat
gerak mendorong.
EquinoPlanoValgus
iv. EquinoCavoVarus
Umum pada hemiplegia spastik. Deformitas equinus dari pedis
bersamaan dengan deformitas supinasi dari kaki tengah dan kaki
atas.
EquinoCavoVarus
f. Kelainan gait
g.Fraktur
K. PROGNOSIS
Prognosis penderita dengan gejala motorik yang ringan adalah baik; makin banyak
gejala penyertanya (retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan penglihatan dan
pendengaran) dan makin berat gejala motoriknya, makin buruk prognosisnya.
DAFTAR PUSTAKA