PENDAHULUAN
dapat semakin berat apabila tidak diimbangi dengan asupan tinggi zat besi. Oleh karena itu,
anemia gizi besi merupakan jenis anemia yang paling banyak menyerang ibu hamil. Anemia gizi
besi disebabkan akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga
penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang, yang pada akhirnya akan mengakibatkan
berkurangnya pembentukan hemoglobin (Bakta, 2006). Hal ini dapat menyebabkan berbagai
komplikasi. Pada ibu hamil dengan anemia terjadi gangguan penyaluran oksigen dan zat
makanan dari ibu ke plasenta dan janin, yang mempengaruhi fungsi plasenta sehingga dapat
mengakibatkan gangguan tumbuh kembang janin. Gangguan tumbuh kembang janin, abortus,
partus lama, sepsis puerperalis, kematian ibu dan janin (Cunningham et al., 2005), meningkatkan
risiko berat badan lahir rendah (BBLR) (Karasahin et al, 2006; Simanjuntak, 2008), asfiksia
neonatorum, dan prematuritas (Karasahin et al., 2006) merupakan berbagai komplikasi akibat
anemia pada ibu hamil.
WHO melaporkan bahwa setengah ibu hamil mengalami anemia, secara global 55%
dimana secara bermakna trimester III lebih tinggi mengalami anemia dibandingkan dengan
trimester I dan II. Masalah ini disebabkan kurangnya defesiensi zat besi dengan defisiensi zat
gizi lainnya (WHO, 1999).
Di Amerika, terdapat 12% wanita usia subur (WUS) 15-49 tahun, 11% wanita hamil usia
subur mengalami anemia. Sementara persentase wanita hamil dari keluarga miskin terus
meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan ( 8% anemia di trimester 1, 12% anemia di
trimester II, dan 29% anemia pada trimester III). Anemia pada wanita masa nifas
(pascapersalinan) juga umum terjadi, sekitar 10% dan 22% terjadi pada wanita postpartum dari
keluarga miskin. (Fatmah, 2007).
Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 26,4%
wanita usia subur (WUS) di Indonesia mengalami anemia (Hb < 12 g/dl). Prevalensi anemia
teringgi pada WUS yang lebih tua, umur 40 – 49 tahun (28,7%), kemudian diikuti oleh WUS
umur 15 – 19 tahun (26,5%). Data ini menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada WUS masih
tinggi dan masih berada di atas target nasional 4 yaitu sebesar 20% dengan persentase bumil
mendapatkan tablet Fe sebesar 70%, jumlah tersebut tertinggi pada wilayah Sumatera, Jawa dan
Bali serta wilayah Sulawesi dan wilayah Kawasan Timur (Depkes RI, 2004).
Anemia pada ibu hamil dapat diatasi dengan pemberian tablet besi, pemberian makanan
tinggi zat besi, pemberian suplemen vitamin A, pengobatan antimalaria, pengobatan anti parasit,
3
dan transfusi darah pada kasus-kasus anemia yang mengancam jiwa. Anemia pada ibu hamil
dapat dicegah dengan pemberian tablet besi, modifikasi diet tinggi zat besi, dan menjaga
higienitas pribadi. Pencegahan harus dilakukan sedini mungkin untuk menghindari komplikasi
akibat anemia.
Kejadian ini mungkin disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan mereka mengenai
pencegahan anemia gizi besi sehingga menyebabkan kurangnya upaya dalam mencegah hal
tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat pengetahuan, sikap serta upaya
ibu hamil terhadap pencegahan anemia gizi besi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti merangkup terdapat beberapa faktor yang
berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil, diantaranya status gizi, paritas, usia,
pengetahuan, serta perilaku pencegahan anemia. Berdasarkan tingginya angka kejadian anemia
pada ibu hamil di Puskesmas Mengwi 1, disertai tinjauan faktor-faktor yang mempengaruhi,
peneliti kemudian melakukan studi deskriptif dengan judul “Gambaran Karakteristik Ibu Hamil
dengan Anemia di Puskesmas Mengwi 1 Periode Bulan Oktober – Bulan Desember 2018”. Hasil
dari penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan untuk melaksanakan penyuluhan sebagai
upaya menurunkan prevalensi anemia defisiensi besi pada ibu hamil.
3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan masukan dalam
penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kesehatan ibu hamil.