Anda di halaman 1dari 29

A.

Fraktur
1. Definisi Penyakit
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu
tulang.Jika terjadi fraktur maka jaringan lunak disekitarnya juga seringkali
terganggu.Radiografi (sinar-x) dapat menunjukan keberadaan cedera tulang,
tetapi tidak mampu menunjukan otot atau ligament yang robek, saraf yang
putus, atau pembuluh darah yang pecah yang dapat menjadi komplikasi
pemulihan klien. (Black & Hawks, 2014)
Fraktur adalah terputusnya kerusakan kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya (Brunner dan Suddarh’s, 2001).
Fraktur atau patah tulang merupakan gangguan penuh atau sebagian
pada kontinuitas struktur tulang.Fraktur terjadi dikarenakan hantaman
langsung sehingga sumber tekanan lebih besar daripada yang bisa diserap.
Dan ketika tulang mengalami fraktur maka struktur sekitarnya akan ikut
terganggu (Smeltzer, 2013).

2. Epidemologi
WHO mencatat, kejadian fraktur ekstremitas akibat kecelakaan lalu
lintas tahun 2011 sebanyak 1,3 juta jiwa. Sebanyak 67% merupakan
penduduk usia produktif. Estimasi kecelakaan lalu lintas di Indonesa per
100.000 populasi mencapai 17,7% (WHO, 2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013, tercatat sebanyak 4.888 jiwa (5,8%) mengalami fraktur (BPPK,
2013). Hal ini dapat disimpulkan bahwa masalah kesehatan akibat fraktur
masih cukup besar. Kejadian fraktur akibat kecelakaan lalu lintas di dominasi
oleh fraktur pada ekstremitas sebanyak 79,8% (Ike, 2012). Hasil survey
Depkes RI didapatkan 25% penderita fraktur mengalami kematian, 45%
mengalami cacat fisik, 15% mengalami stress psikologis karena cemas
bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan dengan baik (Rizqiyah,
Isyti'aroh, dan Nurlaela, 2012). Gambaran komplikasi akibat fraktur diatas
menimbulkan dampak yang sangat signifikan terhadap masa penyembuhan
pasien fraktur.

1
3. Etiologi
Menurut Marlene (2011), fraktur terjadi ketika kekuatan (tekanan) yang
diberikan pada tulang melebihi kemampuan tulang untuk meredam syok.
Tiga kategori penyebab:
1. Cedera traumatic mendadak: pukulan, tekanan, puntiran langsung yang
mendadak.
2. Cedera stres atau penggunaan berlebih, seperti yang terjadi pada kaki
pemain basket dan tulang kering pada pelari.
Patologi / gangguan tulang yang melemahkan integritas tulang: infeksi,
kista, tumor, osteoporosis, atau penyakit paget, dan penggunaan
inhibitor pompa proton atau steroid.

4. Patofisiologi dan Pathway


Keparahan dari fraktur bergantung dari gaya yang menyebabkan fraktur.
Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang
mungkin hanya retak saja dan bukan patah.Jika gayanya sangat ekstrem,
seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping.Saat
terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu.Otot
dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar
posisi.Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat dan
bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian
proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal
dapat bergeser karena gaya penyebab patah maupun spasme pada otot-otot
sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser kesamping, pada suatu sudut
(membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat
berotasi atau berpindah (Black & Hawks, 2014).
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum
dari tulang yang patah juga terganggu.Sering terjadi cedera jaringan
lunak.Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera pada
tulang itu sendiri.Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara
fragmen-fragmen dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi
fraktur akan mati dan menciptakan respon peredangan yang hebat. Akan

2
terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan
leukosit.Serta infiltrasi sel darah putih.Respon patofisiologis ini juga
merupakan tahap awal dari penyembuhan tulang (Black & Hawks, 2014).
Pathway Fraktur

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tulang Nyeri akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan pigment tulang

Tekanan sumsung tulang lebih tinggi dari kapiler


Pergeseran fragment tulang Spasme otot

deformitas Peningkatan tekanan kapiler


Melepaskan ketokolamin

Gangguan fungsi ekstremitas Pelepasan metabolisme asam lemak


Pelepasan histamin

Hambatan mobilitas fisik Protein plasma hilang Bergabung dengan trombosit

Laserasi kulit edema emboli

Penekanan pembuluh darahMenyumbat pembuluh darah

Putus vena / arteri Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer


Kerusakan integritas kulit
Resiko infeksi

5. Klasifikasi Kehilangan volume cairan Resiko syok


pendarahan
3
Fraktur dapat diklasifikasikan berdasarkan berntuk patahan tulangnya,
kondisi patahan (tertutup atau terbuka) dan lokasi dari tulang yang patah.
Keparahan dari fraktur biasanya bergantung pada gaya yang menyebabkan
fraktur tersebut. Jika ambang fraktur tulang hanya sedikit terlewati, maka
tulang hanya retak dan bukan patah.Jika gayanya ekstrem, seperti pada
tabrakan mobil atau luka tembak, tulang dapat hancur berkeping-keping.Jika
tulang patah sehingga ada fragmen fraktur yang menembus keluar kulit atau
ada luka luar yang memenetrasi hingga tulang yang patah, fraktur ini disebut
fraktur terbuka, tipe fraktur ini umumnya serius, kerena begitu kulit telah
terbuka, maka dapat terjadi infeksi diluka dan tulang.(Black & Hawks, 2014).
Menurut Brunner & suddarth (2001), Fraktur juga digolongkan sesuai
pergeseran anatomis fragmen tulang – fraktur bergeser / tidak bergeser.
a. Greenstick – fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi
lainnya membengkok.
b. Transversal – fraktur sepanjang garis tengah tulang
c. Oblik – fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak
stabil disbanding transversal).
d. Spiral – fraktur memuntir seputar batang tulang.
e. Kominutif – fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
f. Depresi – fraktur dengan patahan terdorong kedalam (sering terjadi
pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
g. Kompresi – fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada
tulang belakang)
h. Patologi – fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista
tulang, penyakit paget, metastasis tulang, tumor)
i. Avulsi – tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendo pada
perlekatannya
j. Apifiseal – fraktur melalui epifisis
k. Impaksi – fraktur dimana fragmen tulang terdorong kefragmen tulang
lainnya.
Cedera pada struktur skelet dapat bervariasi dari fraktur linear
sederhana sampai cedera remuk berat.Penatalaksanaan terapeutik

4
ditentukan berdasar jenis dan lokasi fraktur dan beratnya kerusakan struktur
disekitarnya.Penyembuhan fungsional maksimal merupakan tujuan
penatalaksanaan.(Brunner & suddarth, 2001).
Menurut LeMone,& Bauldoff (2016 hal.1635), fraktur terdiri dari:
a. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi akibat dari jatuh atau pukulan
langsung.Pasien harus dikaji untuk perubahan neurologic dan semua
kehilangan kesadaran harus didokumentasikan.Pengkajian neurologic
lengkap dilakukan; tingkat kesadaran (level consciousness, LOC) dan
orentasi terhadap orang, tempat dan waktu, reaksi pupil terhadap
cahaya, gerakan dan kekuatan semua ekstremitas, serta keluhan mual
dan muntah dicatat.Fraktur tengkorak yang berpindah, yang disebut
juga sebagai menekan, dapat menekan otak dan menyebabkan
kerusakan neurologic.
b. Fraktur wajah
Fraktur tulang wajah dapat berasal dari pukulan langsung.Pasien
menunjukan hematoma, nyeri edema dan deformitas tulang. Fraktur
yang nondisplaced dimonitor untuk memastikan jalan nafas tidak
menurun, pasien diobservasi untuk semua deficit neurologic. Keparahan
fraktur displaced atau fraktur wajah multiple ditangani dengan orif
disertai kabel atau lempeng.
c. Fraktur Spina
Spina dapat mengalami cedera pada banyak cara, termasuk cedera
akibat olahraga, jatuh, dan kecelakaan kendaraan bermotor. Fraktur
servikal dan lumbal paling sering terjadi, tetapi toraks dan spina sacral
juga dapat mengalami fraktur.Komplikasi fraktur spinal yang paling
berat adalah cedera pada korda spinal. Fraktur displaced atau tidak
stabil pada vertebra dapat memberi tekanan pada korda spinal. Tekanan
ini pada korda spinal dapat menyebabkan iskemia dan paralisis
permanen.
d. Fraktur Klavikula

5
Fraktur klavikula (tulang kolar) merupakan cedera yang sering
terjadi akibat jatuh atau hantaman langsung kebahu.Cedera kepala atau
korda spinalis yang menyertainya sering terjadi bersama dengan fraktur
ini.Cedera pada klavikula dapat terjadi akibat fraktur tengkorak dan
fraktur servikal. Fraktur klavikula displaced dapat merusak pembuluh
subklavia, menyebabkan hemoragi, atau paru, dengan menyebabkan
pneumothoraks. Cedera pada pleksus brakial dapat menyebabkan baal
dan penurunan gerakan lengan pada sisi yang terkena.Malunion fraktur
klavikula dapat menyebabkan asimetrisitas bahu.
Klavikula membantu mengangkat bahu keatas, keluar, dan
kebelakang toraks. Maka, bila klavikula patah, pasien akan terlihat
dalam posisi melindungi – bahu jatuh kebawah dan mengimobilisasi
lengan untuk menghindari gerakan bahu.
Komplikasi fraktur klavikula meliputi trauma saraf pada pleksus
brakhialis, cedera vena atau arteri subklavia akibat fragmen tulang, dan
malunion (penyimpangan penyatuan).
e. Fraktur Humerus
Keparahan fraktur humerus dan terapi yang tepat ditentukan
berdasarkan lokasi fraktur, adanya pergeseran, dan adanya penurunan
neurovascular. Terapi focus pada imobilisasi tulang yang mengalami
fraktur pada posisi anatomic yang normal. Komplikasi umum fraktur
humeral, Antara lain kerusakan saraf dan ligament, pembekuan atau
kekakuan sendi, dan malunion. Intervensi dini dapat mencegah
kerusakan permanen.
Fraktur nondisplaced sederhana pada humerus proksimal (dekat
kepala humeral) dengan pengkajian neurovascular normal dapat secara
aman ditangani dengan imobilisasi. Risiko gangguan rentang gerak
(range of motion, ROM) bahu meningkat dengan keparahan fraktur dan
kerusakan jaringan lunak. Tindakan rehabilitasi focus pada
meningkatkan ROM.
Jika fraktur batang humerus adalah fraktur sederhana dan
nondisplaced, gips lengan menggantungkan dipasang. Gips ini

6
mempertahankan kesejajaran fraktur dengan menggunakan kekuatan
menarik gravitasi.Fraktur diimobilisasi dengan traksi skeletal
eksternal.Traksi ini menempatkan lengan yang cedera pada posisi tegak
melebihi wajah dan berat digantung pada bagian distal humerus.
f. Fraktur Siku
Lokasi fraktur siku yang paling umum adalah humerus
distal.Fraktur siku biasanya akibat dari jatuh atau pukulan langsung
kesiku.Pasien melindungi ekstremitas yang cedera, menahan tangan
secara kaku pada posisi fleksi atau posisi ekstensi.Karena radius, ulna,
atau humerus dapat terlibat pada fraktur siku, keriga tulang harus
divisualisasikan dengan sinar-X.
Komplikasi fraktur siku, Antara lain kerusakan saraf atau arteri dan
hemartrosis, pengumpulan darah disendi siku. Komplikasi yang paling
serius pada fraktur siku adalah kontraktur Volkman, yang terjadi akibat
dari oklusi arteri dan iskemia otot.Pasien mengeluh nyeri lengan bawah,
penurunan sensasi, dan kehilangan fungsi motoric.
Fraktur siku nondisplaced ditangani dengan mengimobilisasi
fraktur dengan belat atau gips posterior. Fraktur displaced pertama kali
direduksi kemudian diimobilisasi.
g. Fraktur Radius dan/atau Ulna
Fraktur radius dan ulna dapat terjadi akibat dari cedera tidak
langsung, seperti memutar atau menarik lengan, atau cedera langsung,
seperti akibat dari jatuh.Terapi fraktur yang biasa bergantung pada
lokasi.Kepala radial proksimal dapat mengalami fraktur akibat jatuh
pada tangan yang diulurkan.Darah biasanya berkumpul disendi siku dan
harus diasprasi. Jika fraktur nondisplaced, sling dipasang. Fraktur
displaced diperbaiki dengan pembedahan dan belat plaster posterior
dipasang.
Ketika kedua tulang hancur, fraktur biasanya displaced. Pasien
mengeluh nyeri dan tidak dapat melakukan supinasi tangan (membalik
telapak tangan). Fraktur nondisplaced dipasang gips selama 6 minggu,

7
diikuti dengan pemasangan gips yang lebih pendek atau rungkup selama
6 minggu. Fraktur displaced diperbaiki secara bedah dengan ORIF.
Komplikasi setelah fraktur radius dan/atau ulna, Antara lain sindrom
kompartemen, penyembuhan tertunda, dan penurunan gerakan
pergelangan tangan dan jari. Setelah pembedahan, pasien juga memiliki
peningkatan resiko infeksi.
h. Fraktur Pergelangan Tangan dan Tangan
Fraktur pergelangan tangan seringkali terjadi akibat dari terjatuh
diatas tangan yang diulurkan atau ke belakang tangan.Jenis fraktur
pergelangan tangan yang umum terjadi adalah fraktur Colles, yaitu
fraktur radius distal setelah jatuh diatas tangan yang diulurkan.Pasien
yang mengalami fraktur pergelangan tangan menunjukan deformitas
tulang, nyeri, baal, kelemahan, dan penurunan ROM jari, Capillary Refill
dan sensasi tangan harus dikaji.
Perbandingan sinar-X pada pergelangan tangan yang cedera dan
tidak cedera serta tangan dapat dilakukan untuk mengidentifikasikan
fraktur.Komplikasi fraktur pergalangan tangan dan tangan adalah
sindrom kompartemen, kerusakan saraf, kerusakan ligamen, dan union
tertunda. Fraktur pergelangan tangan biasanya ditangani dengan
reduksi tertutup, pemasangan gips, dan peninggian ekstremitas yang
mengalami cedera. Fraktur tangan dibelat dan ditinggikan.
i. Fraktur Iga
Fraktur iga biasanya akibat dari trauma tumpul pada dada.Lokasi
fraktur dan keterlibatan organ yang menyertai menentukan keparahan
cedera.Fraktur iga pertama dan iga ketiga dapat merusak arteri atau
vena subklavia.Fraktur iga bawah dapat menyebabkan cedera limpa dan
hati. Pasien biasanya menunjukan riwayat trauma dada saat ini dan
keluhan nyeri disepanjang porsi lateral Iga. Palpasi iga menunjukan
deformitas tulang dan meningkatkan nyeri.Inspirasi dalam juga
meningkatkan nyeri.Kulit diatas tempat fraktur dapat menjadi ekimosis
(memar).

8
Dada Gail, akibat dari fraktur dua atau lebih iga yang berdekatan
pada dua tempat atau lebih serta pembentukan segmen mengapung
bebas yang bergerak pada arah berlawanan sangkar iga. Ketidak stabilan
tulang mengganggu respirasi. Terapi bertujuan pada menstabilkan
segmen gail dan membantu pernapasan.
Kemungkinan komplikasi fraktur iga, Antara lain kontusio paru,
pneumothoraks, dan/atau hemotoraks. Fraktur iga dapat menusuk paru
dan mencederainya.Iga bawah dapat menusuk hati atau limpah,
menyebabkan perdarahan intra-abdomen.Pneumonia juga dapat terjadi
dari pembersihan sekresi pernapasan yang tidak efektif.
j. Fraktur Panggul
Fraktur panggul seringkali disebabkan oleh trauma, seperti
terjatuh atau kecelakaan automobile.Fraktur panggul dapat terjadi dari
jatuh dengan posisi berdiri pada orang lansia. Hemoragi dengan
perdarahan yang banyak dan kerusakan pada organ yang terdapat
dalam panggul (mis., kandung kemih, uretra, organ reproduksi, dan
usus) merupakan risiko penting terkait fraktur panggul. Trauma pada
organ ekstra panggul seperti ginjal umum terjadi.
Pasien yang mengalami fraktur panggul mengalami nyeri
dipunggung atau area pinggul.Fraktur tunggal dalam panggul ditangani
secara konservatif dengan analgesia dan pembatasan aktivitas.Log
rolling meningkatkan kenyamanan pasien.
Sling pasien digunakan untuk menstabilkan fraktur panggul yang
tidak stabil menunda reduksi pembedahan dan fiksasi. Jika diperlakukan,
fiksator eksternal dapat dipasang untuk menstabilkan panggul.
k. Fraktur Batang Femur

Pasien yang mengalami fraktur batang femoral sering kali


berkaitan dengan trauma multiple.Fraktur batang femoral
dimanifestasikan dengan edema, deformitas, paha yang terasa
nyeri.Pasien tidak dapat menggerakan pinggul atau lutut.Pengkajian
awal focus pada sirkulasi dan sensasi yang terjadi diekstremitas yang

9
terkena.Nadi pedal dan capillary refill pada ekstremitas yang terkena
dibandingkan dengan ekstremitas yang tidak terkena. Komplikasi batang
fraktur femoral, Antara lain hypovolemia akibat perdarahan (yang dapat
sebesar 1,0 hingga 1,5 L), emboli lemak, dislokasi pinggul atau lutut,
atrofi otot, dan kerusakan ligament.
Terapi fraktur batang femur awalnya mencakup traksi skeletal
untuk memisahkan fragmen tulang dan reduksi serta mengimobilisasi
fraktur.Bergantung pada lokasi dan keparahan fraktur, traksi dapat
diikuti dengan fiksasi eksternal atau fiksasi internal.Kekuatan
ekstremitas yang terkena dipertahankan melalui latihan gluteal dan
kuadrisep.Latihan ROM pada ekstremitas yang tidak terkena penting
dalam mempersiapkan ambulasi.
l. Fraktur Pinggul
Fraktur pinggul merujuk ke fraktur femur pada kepala, leher atau
area trokanterik.Fraktur pinggul diklasifikasikan sebagai intrakapsular
atau ekstra kapsular.Fraktur intrakapsular melibatkan kepala atau leher
femur; fraktur ekstrakapsular melibatkan area trokanterik.Mayoritas
fraktur pinggul melibatkan leher atau area trokanterik.Kepala dan leher
femoral berada dengan kapsul sendi dan tidak ditutupi periosteum;
dengan demikian, mereka tidak memiliki suplai darah yang besar.Fraktur
pada lokasi ini biasanya fragmen, kemudian menurunkan suplai darah
dan meningkatkan risiko non union dan nekrosis avascular.Area
trokanterik ditutupi periosteum dan dengan demikian memiliki suplai
darah yang lebih banyak dibandingkan kepala atau leher.
Temuan pengkajian umum yang terkait dengan fraktur pinggul
adalah nyeri, ketidak mampuan untuk berjalan, dan memperpendek dan
rotasi eksternal pada ekstremitas bawah yang terkena.Jika fraktur tidak
tampak pada pemeriksaan sinar-X, pemindaian tulang atau MRI dapat
dilakukan untuk menegaskan adanya fraktur.
Fraktur pinggul dapat ditangani dengan traksi untuk mengurangi
spasme otot, diikuti dengan pembedahan; atau pembedahan dapat
dilakukan segera atau dalam 24 jam pertama.Tujuan pembedahan

10
adalah mengurangi dan menstabilkan fraktur, dengan demikian
meningkatkan mobilitas, menurunkan nyeri, dan mencegah
komplikasi.Pembedahan biasanya terdiri atas ORIF fraktur, Fiksasi
mangkok logam.Penggantian kepala femur atau asetabulum dengan
prosthesis disebut hemiartroplasti.
m. Fraktur Tibia dan/atau Fibula
Fraktur ekstremitas bawah sering kali terjadi akibat jatuh dengan
kaki yang fleksi, pukulan langsung atau gerakan memutar.Pasien
menunjukan edema, nyeri, deformitas tulang, dan hematoma pada
tingkat cedera.
Sirkulasi dan sensasi dikaji untuk meniadakan komplikasi fraktur,
termasuk kerusakan pada saraf peroneal atau arteri tibia, sindrom
kompartemen, hemartrosis, dan kerusakan ligament.Ketidak mampuan
untuk menitikan jari kaki pada sisi yang terkena keatas dapat
mengindikasikan kerusakan saraf peroneal.Tidak adanya nadi dorsalis
pedis pada sisi yang terkena dapat mengindikasikan kerusakan arteri
tibia. Kemungkinan manifestasi sindrom kompartemen, Antara lain nyeri
pada gerakan pasif dan parestesia. Edema lutut dapat
mengidentifikasikan pengumpulan darah pada sendi lutut.Kerusakan
ligament dapat terjadi jika pasien tidak dapat menggerakan lutut
dan/atau pergelangan kaki.
Jika fraktur tertutup, reduksi tertutup dan gips sering kali dipasang.
Gips tungkai panjang yang memungkinkan penyanggaan beban parsial
biasanya diberikan dalam 10 hari fraktur. Gips tungkai pendek akan
diberikan pada 3 hingga 4 minggu. Jika fraktur terbuka, fiksasi eksternal
atau ORIF akan dilakukan. Setelah pembedahan, gips dapat terpasang
dan penyangga beban mulai berdasarkan instruksi dokter, biasanya
pada sekitar 6 minggu.
n. Fraktur pada Pergelangan Kaki dan Kaki
Pasien yang mengalami frakur pergelangan kaki menunjukkan
nyeri, keterbatasan ROM, hematoma, edema, dan kesulitan ambulasi.
Sebagian besar fraktur pergelangan kaki ditangani dengan reduksi

11
tertutup dan gips. Fraktur terbuka ditangani dengan intervensi
pembedahan dan pembelatan.
Pasien yang mengalami fraktur kaki menunjukan gejala serupa;
akan tetapi, ROM pergelangan kaki biasanya tidak terkena. Sebagian
besar fraktur nondisplaced dan ditangani dengan reduksi tertutup dan
gips. Fraktur kaki displaced yang lebih hebat dapat memerlukan
pembedahan dan pemasangan kawat untuk mempertahankan reduksi
fraktur.

6. Manifestasi Klinis
Menurut Black & Hawks (2014), Mendiagnosis fraktur harus
berdasarkan maifestasi klinis klien, riwayat, pemeriksaan fisik, dan temuan
radiologis. Beberapa fraktur sering langsung tampak jelas; beberapa lainnya
terdeteksi hanya dengan rontgen (sinar-x).Pengkajian fisik dapat
menemukan beberapa hal berikut.
a. Deformitas
Pembengkakan dari perdarahan local dapat menyebabkan deformitas
pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan
tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi
b. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa
pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah kejaringan sekitar.
c. Memar (akimosis)
Memar dapat terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur
d. Spasme otot
Sering mengiringi fraktur, spasme otot involuntar sebenarnya berfungsi
sebagai bidal alami untuk mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen
fraktur.
e. Nyeri
Nyeri akan selalu mengiringi fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri
akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri biasanya terus menerus,
meningkat jika fraktur tidak diimobilisasi.Hal ini terjadi karena spasme

12
otot, fragmen fraktur yang bertindihan, atau cedera pada struktur
sekitarnya.
f. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
g. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau
karena hilangnya fungsi pengungkit – lengan pada tungkai yang
terkena.Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.
h. Gerakan abnormal dan krepitasi
Terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan Antara
fragmen fraktur yang menciptakan sensasi deritan.
i. Perubahan neurovascular
Cedera neurovascular terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau
struktur vascular yang terkait.Klien dapat mengeluh rasa kebas atau
kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur.
j. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah.Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.

7. Komplikasi
Menurut Black & Hawks (2014), komplikasi fraktur trdiri dari :
a. Komplikasi setelah fraktur
1) Syok hipovolemik
2) cedera saraf
3) sindroma kompartemen
4) kontraktur Volkmann
5) sindroma emboli lemak
6) thrombosis vena dalam dan emboli paru
7) sindroma Gips
b. Komplikasi jangka panjang dari fraktur
1) kaku sendi atau artritis traumatic
2) nekrosis avascular

13
3) penyatuan nonfungsional
4) malunion
5) penyatuan terhambat
6) non-union
7) penyatuan fibrosa
8) sindroma nyeri regional kompleks (CRPS)

8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Hurst (2011), pemeriksaan penunjang fraktur terdiri dari :
a. Sinar-X, merupakan alat diagnostic pertama yang digunakan ketika
diduga terjadi fraktur. Pencitraan lainnya dapat memperlihatkan
gambaran fraktur serta cedera jaringan lunak disekitar bagian yang
patah.
b. CT (computed tomography)
c. MRI (Magnetic resonance imaging)
Pemindaian tulang menggunakan zat radioaktif tidak hanya dapat
mengidentifikasi fraktur yang tidak jelas, tetapi patologi tulang yang
dapat menjadi penyebab fraktur.
Sedangkan Menurut Burke & Bauldoff (2016), pemeriksaan penunjang
fraktur terdiri dari :
a. Artrosentsis
b. Artoskopi
c. Scan tulang
d. Computed tomography (CT) scan – tulang dan sendi, spina
e. Elektromiogram (EMG)
f. Magnetic resonance imaging (MRI)
g. Sinar-X skeletal
h. Somatosensory evoked potential (SSEP)
i. Kepadatan tulang (blood density, BD)
1) Absorpsiometri sinar-X dual energy (dual energy x-ray
absorptiometry, DEXA)
2) Ultrasonografi kuantitatif (quantitative ultrasound, QUS)

14
3) Kepadatan mineral tulang (bone mineral densty, BMD)
4) Absorpsiometri tulang
j. Kimia darah
1) Alkali fosfatase (ALP)
2) Kalsium (Ca)
3) Fosfor (P) fosfat (PO₄)
4) Factor rheumatoid (RF)
5) Asam urat
6) Antigen leukosit manusia
7) Kreatinin kinase (creatinine kinase, CK)

9. Penatalaksanaan Medis
Menurut Burke & Bauldoff (2016),Fraktur memerlukan terapi untuk
menstabilkan tulang yang mengalami fraktur, mempertahankan kesejajaran
tulang, mencegah komplikasi, dan mengembalikan fungsi. Diagnose fraktur
terutama berdasarkan pada pemeriksaan fisik dan sinar-X.
a. Perawatan darurat
Perawatan darurat pada pasien yang mengalami fraktur, Antara
lain mengimobilisasi fraktur, mempertahankan perfusi jaringan. Dan
mencegah infeksi.Pada kasus trauma serius, spina servikal diimobilisasi
dan kesejajaran tubuh normal dipertahankan. Ketika pasien pada lokasi
yang aman, ia dikaji untuk ketidakstabilan atau deformitas tulang. Jika
semua deformitas atau ketidakstabilan dideteksi, ekstremitas
diimobilisasi.Luka terbuka ditutup dengan balutan steril dan perdarahan
dikendalikan dengan balut tekan.Ekstremitas dikaji untuk adanya dan
kesamaan nadi, gerakan dan sensasi.Sendi diatas dan dibawah
deformitas diimobilisasi.
Fraktur dibelat untuk mempertahankan kesejajaran anatomic
normal dan mencegah fraktur dari dislokasi.Membelat meredakan nyeri
dan mencegah kerusakan lebih lanjut kearteri, saraf, dan tulang.Nadi,
gerakan, dan sensasi dievaluasi kembali setelah dibelat.
b. Diagnosis

15
Diagnosis fraktur biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan
radiografi. Sinar-X dan scantulang digunakan untuk mengidentifikasi
fraktur. Pemeriksaan kimia darah, hitung darah lengkap, (complete
blood count, CBC), dan pemeriksaan koagulasi dapat digunakan untuk
mengkaji perdarahan, fungsi ginjal, kerusakan otot, dan risiko
perdarahan atau pembekuan berlebihan.
c. Medikasi
Sebagian besar pasien yang mengalami fraktur pada awalnya
memerlukan analgesia untuk meredakan nyeri.Pada kasus fraktur
multiple atau fraktur tulang panjang.Opioid diberikan pada
awalnya.NSAID diprogramkan untuk mengurangi inflamasi dan
suplemen analgesia.
Antibiotic dapat diberikan secera profilaksis, terutama pada
pasien yang mengalami fraktur terbuka atau kompleks.Antikoagulan
dapat diprogramkan untuk mencegah DVT, terutama jika pembedahan
atau imobilisasi lama diperlukan.Pelunak feses dapat diberikan untuk
mengurangi risiko konstipasi akibat narkotik dan imobilitas.Pasien yang
mengalami trauma terus-menerus sering kali ditempatkan pada
medikasi antiulkus atau antacid.
d. Terapi
Sebelum tulang mengalami fraktur distabilkan untuk
penyembuhan, fraktur direduksi atau dikembalikan kesejajaran
normal.Pada reduksi tertutup, tulang diposisikan kembali menggunakan
manipulasi eksternal.Anastesia local atau regional atau sedasi kesadaran
biasanya diberikan sebelum reduksi tertutup.Fraktur kemudian
diimobilisasi dengan belat, gips, atau traksi.Sinar-X dapat dilakukan
untuk memverifikasi posisi yang tepat, dan nadi, gerakan, serta sensasi
dikaji distal kefraktur.Reduksi terbuka dilakukan pada pembedahan.
Tulang dipajankan dan disejajarkan kembali; paku atau mur dapat
digunakan untuk mempertahankan posisinya.

16
e. Traksi
Spasme otot biasanya meneyertai fraktur dan dapat
memindahkan kesejajaran tulang.Traksi memberikan kekuatan untuk
meluruskan atau menarik guna mengembalikan atau mempertahankan
tulang yang mengalami fraktur pada posisi anatomic yang normal. Jenis
traksi sebagai berikut;
1) Traksi manual memberikan dorongan secara fisik pada ekstremitas.
Traksi manual sering kali diguanakan untuk mereduksi fraktur atau
disklokasi.
2) Traksi kulit (juga dikenal traksi lurus) digunakan untuk
mengendalikan spasme otot dan untuk mengimobilisasi bagian
tubuh selama memindahkan atau sebelum pembedahan, dengan
traksi mencengkram dan menarik melalui kulit pasien. Traksi kulit
merupakan tindakan noninvasive dan relative nyaman untuk pasien.
Jenis traksi kulit yang paling umum adalah traksi Buck, digunakan
untuk mengimobilisasi tungkai sebelum pembedahan untuk
memperbaiki pinggul atau fraktur femur proksimal. Traksi buck
menggunakan pita traksi atau foam boot yang diberikan ketungkai
bawah dan melekat kepenyangga yang tergantung bebas untuk
mengimobilisasi tungkai.
3) Traksi keseimbangan suspense melibatkan lebih dari satu kekuatan
menarik untuk meninggikan dan meyokong ekstremitas yang cedera
pada tempat tidur dan mempertahankan kesejajarannya. Traksi
keseimbangan suspense meningkatkan mobilisasi seraya
mempertahankan posisi tulang. Traksi ini juga membuat lebih
mudah untuk mengganti linen dan melakukan perawatan
punggung.
4) Pada traksi skeletal kekuatan menarik diberikan secara langsung
melalui pin yang dimasukan kedalam tulang. Anastesi local, spinal,
atau umum diberikan selama pemasangan pin. Satu kekuatan
menarik atau lebih dapat diberikan dengan traksi skeletal. Traksi
skeletal memungkinkan lebih banyak beban digunakan untuk

17
mempertahankan kesejajaran anatomic yang tepat. Akan tetapi,
risiko infeksi lebih besar dan dapat menyebabkan lebih banyak
ketidaknyamanan. Beban digunakan untuk traksi skeletal tidak
dipindahkan oleh perawa.
f. Gips
Gips merupakan alat kaku yang digunakan untuk mengimobilisasi
tulang yang mengalami cedera dan meningkatkan penyembuhan. Gips
mengimobilisasi sendi diatas dan sendi dibawah tulang yang mengalami
fraktur sehingga tulang tidak akan bergerak selama penyembuhan.
Fraktur pertama kali direduksi secara manual dan gips kemudian
dipasang. Gips dipasang pada pasien yang memiliki fraktur yang relative
stabil.
Gips, yang dapat terbuat dari plaster atau fiberglass, diberikan diatas
bantalan tipis dan dibentuk untuk kontur normal tubuh. Gips harus
tetap kering sebelum semua tekanan diberikan; melakukan palpasi
sederhana gips yang basah dengan ujung jari akan meninggalkan
lekukan yang dapat meninggalkan ulkus tekan. Gips plaster dapat
memerlukan waktu selama 48 jam untuk kering, sedangkan gips
fiberglass kering dalam hitungan jam. Jenis gips yang diberikan
ditentukan berdasar lokasi fraktur.
g. Pembedahan
Pembedahan di indikasikan untuk fraktur yang memerlukan
visualisasi langsung dan perbaikan, fraktur dengan komplikasi jangka
panjang yang umum, atau fraktur yang remuk hebat dan mengancam
suplai vascular.
Jenis pembedahan tersederhana adalah pemasangan alat fiksator
eksternal. Fiksator eksternal terdiri atas kerangka yang dihubungkan ke
pin yang dipasang perpendicular keaksis panjang tulang. Jumlah pin
yang dipasang beragam dengan jenis dan tempat fraktur; secara umum,
jumlah pin yang sama dipasang diatas dan dibawah garis fraktur. Pin
memerlukan perawatan yang serupa dengan yang diberikan untuk pin
traksi skeletal. Pasien dimonitor untuk infeksi dan pengkajian

18
neurovascular yang sering dilakukan.Fiksator meningkatkan kemandirian
seraya mempertahankan imobilisasi.
Fiksasi internal diselesaikan melalui prosedur pembedahan yang
disebut reduksi terbuka dan fiksasi internal (open reduction and internal
fixation, ORIF).Pada prosedur ini, fraktur direduksi (diletakkan pada
kesejajaran anatomic yang tepat) dan paku, skrup, lempeng, atau pin
dimasukkan untuk menahan tulang pada tempatnya. Fraktur terbuka
pada ekstremitas paling sering diperbaiki dengan cara ini. Fraktur
pinggul pada pasien lansia sering kali diperbaiki dengan ORIF untuk
mencegah komplikasi dan memungkinkan rehabilitasi dini.
h. Fiksasi Tulang Elektrik
Stimulasi tulang elektrik memberikan aliran listrik pada tempat
fraktur.Ini merupakan metode penanganan fraktur yang tidak
menimbulkan nyeri yang tidak sembuh secara cepat.Tekanan listrik
meningkatkan migrasi osteoblast dan osteoklas ketempat
fraktur.Deposisi mineral meningkat, meningkatkan penyembuhan
tulang.Stimulasi tulang elektrik dapat diselesaikan secara invasive atau
noninvasive.Pada metode invasive, dokter bedah memasukan katode
dan kabel sadapan pada tempat yang mengalami fraktur. Kabel sadapan
dilekatkan kegenerator internal dan eksternal, yang memberikan listrik
ke katode 24 jam sehari. Pada stimulasi induksi noninvasive, gulungan
terapi melingkari gips atau kulit secara langsung diatas tempat yang
mengalami fraktur. Gulungan dilekatkan keregenerator eksternal yang
menyalakan baterai.Listrik mengalir melalui kulit ketempat fraktur.
Periode waktu untuk stimulasi eksternal dapat beragam dari 3 hingga 10
jam setiap hari. Pasien dapat diajarkan simulasi listrik noninvasive yang
dilakukan sendiri.Stimulasi tulang elektrikal di kontra indikasikan pada
adanya infeksi dan untuk ekstremitas atas jika pasien terpasang
pacemaker.

19
B. Pengkajian
Menurut Burke & Bauldoff (2016), pengkajian sistem gangguan
musculoskeletal pada pasien fraktur terdiri dari:

1. Riwayat kesehatan; usia, riwayat kejadian traumatis, riwayat kejadian


muskuluskeletal sebelumnya, kesakitan kronik, medikasi.
2. Pengkajian fisik; nyeri saat bergerak, nadi, edema, warna kulit dan suhu,
deformitas, rentan gerak dan sentuhan. 5 P pengkajian neuromuscular
seperti berikut
a. Nyeri (pain), kaji nyeri diekstremitas yang cedera dengan meminta
pasien membuat tingkatan pada skala 0 hingga 10, dengan sekala 10
sebagai nyeri yang paling hebat.
b. Nadi (pulse), pengkajian nadi distal dimulai dengan ekstremitas yang
tidak terkena. Dibadingkan dengan kulaitas nadi yang ekstremitas yang
terkena dengan ekstremitas yang tidak terkena.
c. Kepucatan (palor), obserfasi dan warna kulit yang cedera. Pucat dan
dingin dapat mengidentifikasikan penurunan arteri, sedangakan hangat
dan warna kebiruan dapat mengidentifikasikan genangan darah vena.
Kaji capillary refil dibandingkan ekstremitas yang terkena dan yang tidak
terkena.
d. Paralisis (paresis), kaji kemampuan untuk memindahkan bagian tubuh
distal ketempat fraktur. Ketidak mampuan untuk berpindah
mengidentifikasikan paralisis. Kehilangan kekuatan otot (kelemahan)
ketika bergerak adalah paresis. Temuan keterbatasan retang gerak
dapat mengarahkan kepengenalan dini masalah seperti kerusakan saraf
dan paralisis.
e. Parestesia. Tayakan pasien ada atau tidak adanya perubahan dalam
sensasi seperti terbakar, baal, perasaan berduri, atau menyengat terjadi.
Kaji sensasi distal terhadap cedera, termasuk kemampuan untuk
membedakan sentuhan tajam dan tumpul untuk membedakan dua titik.

20
C. Nursing Care Plan
1. Nyeri akut
Data yang mendukung :
a. Melaporkan nyeri dengan isyarat, misalnya menggunakan skala nyeri
b. Melaporkan nyeri
c. Respon otonom, misalnya diaphoresis, perubahan tekanan darah,
pernapasan atau denyut jantung atau dilatasi pupil
d. Perilaku distraksi, misalnya mondar mandir, mencari atau aktifitas lain,
aktifitas berulang,
e. Perilaku ekspresif, misalnya gelisah, merintis, menangis, kewaspadaan
lebih eka terhadap rangsang
f. Wajah topeng
g. Sikap melindungi
h. Focus menyempit, misalnya gangguan persepsi waktu, gangguan proses
piker, interaksi dengan orang lain atau lingkungan menurun
i. Bukti nyeri yang dapat diamati
j. Posisi nyeri yang dapat menghindari nyeri
k. Perilaku menjaga dan sikap melindungi
l. Gangguan tidur
Hasil yang diharapkan :
a. Klien akan merasa nyaman setelah diberikan tindakan (pembedahan)
yang ditunjukkan dengan bergerak tanpa meringis, meminta analgesic
tidak melebihi dosis, menggunakan analgesic semakin sedikit setiap hari
b. menyatakan bahwa nyerinya dapat ditoleransi dan tidak mengganggu
fisioterapinya

Intervensi Rasional

Manajemen nyeri :
□ Evaluasi keluhan nyeri atau □ Untuk memulihkan pengawasan
ketidaknyamanan, keefektifan intervensi, tingkat
perhatikan lokasi,  ansietas dapat mempengaruhi
karakteristik nyeri dan kaji persepsi atau reaksi terhadap

21
tingkat nyeri dengan standar nyeri.
PQRST
□ Dorong pasien untuk □ Membantu dalam menghilangkan
mendiskusikan masalah ansietas.
sehubungan dengan cidera.
□ Jelaskan prosedur sebelum
memulai tindakan □ Memungkinkan pasien untuk siap
secara mental dalam aktivitas,
begitu juga berpartisipasi dalam
mengontrol tingkat
□ Lakukan dan awasi latihan ketidaknyamanan.
rentang gerak aktif atau □ Mempertahankan kekuatan atau
pasif. mobilitas otot yang sakit dan
memudahkan resolusi inflamasi
pada jaringan yang cidera.
□ Berikan alternatif tindakan
kenyamanan. Contoh : □ Meningkatkan sirkulasi perifer.
pijatan, perubahan posisi,
relaksasi, nafas dalam,
imajinasi dan sentuhan
terapeutik.
□ Monitor tanda-tanda vital,
observasi kondisi umum □ Untuk mengetahui perkembangan
pasien dan keluhan pasien. kesehatan klien.
□ Atur posisi yang nyaman dan
aman
□ Pertahankan imobilisasi pada □ Mengurangi nyeri dan pergerakan.
bagian yang sakit. □ Nyeri dan spasme dikontrol
□ Kolaborasi dalam pemberian dengan imobilisasi.
analgetik sesuai indikasi. □ Menurunkan nyeri atau spasme
otot.

22
2. hambatan mobilitas fisik
Data yang mendukung :
a. Penurunan waktu reaksi
b. Kesulitan membolak-balik posisi tubuh
c. Asyik dengan aktifitas lain sebagai pengganti pergerakan, mis.
Peningkatan perhatian terhadap aktifitas orang lain.
d. Despnea saat beraktifitas
e. Perubahan cara berjalan, mis. Penurunan aktifitas dan kecepatan
berjalan.
f. Pergerakan menyentak
g. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motoric halus.
h. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motoric kasar
i. Keterbatasan rentang pergerakan sendi
j. Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
k. Ketidak stabilan postur tubuh
l. Melambatnya pergerakan
m. Gerakan tidak teratur dan tidak terkoordinasi
Hasil yang diharapkan :
a. Klien dapat menunjukkan perbaikan mobilitas fisik yang dibuktikan
dengan berkurangnya kebutuhan untuk dibantu saat berpindah kekursi,
keranjang, keberdiri.
b. berkurang penggunaan walker atau kruk dan mampunya klien berjalan
dengan jarak fungsional. Bagi klien dengan keterbatasan gerak
sebelumnya, perhatian lebih diberikan hanya pada mobilitas diranjang

Intervensi Rasional

□ Kaji keadaan imobilisasi dan □ Informasi yang benar dapat


persepsi pasien terhadap meningkatkan kemajuan
imobilisasi. kesehatan.
□ Bantu pasien dalam rentang □ Meningkatkan aliran darah ke otot,
gerak, latih dan bantuROM tulang dan mencegah kontraktur.
(Range Of Motion)

23
pasif/aktif. □ Meningkatkan kekuatan otot dan
□ Bantu dan dorong pasien sirkulasi serta kesehatan diri.
dalam aktivitas perawatan □ Menurunkan risiko komplikasi
diri. tirah baring (decubitus).
□ Bantu dan dorong pasien □ Mengawasi adanya hipotensi
dalam mobilisasi. postural karena tirah baring, posisi
□ Observasi tekanan darah elevasi dapat mengurangi edema.
dan atur posisi elevasi □ Mencegah atau menurunkan
tungkai. insiden komplikasi kulit dan
pernafasan.
□ Ubah posisi secara periodik
dan dorong pasien untuk □ Meminimalkan nyeri dan
latihan batuk efektif dan mencegah salah posisi.
nafas dalam.
□ Pertahankan tirah baring
dan melatih tangan serta □ Mobilisasi menurunkan komplikasi.
ekstremitas yang sakit □ Berguna dalam pembuatan
dengan lembut. aktivitas program latihan
□ Beri bantuan dalam mobilisasi.
menggunakan alat gerak.
□ Kolaborasi dengan ahli
terapi fisik untuk melatih
pasien.

3. Resiko infeksi
Data yang mendukung :
a. Penyakit kronis (mis. Diabetes Melitus, dan Obesitas)
b. Rupture membrane amnion lama
c. Rokok
d. Statis cairan tubuh
e. Jaringan mengalami trauma (mis. Trauma atau kerusakan jaringan)
f. Pertahanan sekunder tidak adekuat

24
g. Penurunan hemoglobin
h. Penekanan respon inflamasi
i. Faksinasi tidak adekuat
j. Malnutrisi
Hasil yang diharapkan :
a. Klien terbebas dari infeksi apapun yang ditunjukkan oleh Sel darah putih
(WBC) dalam batas normal
b. Kondisi tidak demam
c. Tidak ada drainase Luka yang bernanah
d. Tidak ada nyeri yang meningkat pada luka
e. Tidak ada peradangan pada luka selama 72 jam

Intervensi Rasional

□ Pantau kondisi umum pasien □ Mengetahui perkembangan


dan monitor tanda-tanda kesehatan pasien.
vital, kaji tanda-tanda
infeksi.
□ Inspeksi kulit terhadap □ Mencegah terjadinya kerusakan
adanya iritasi. kulit yang lebih luas.

□ Kaji sisi pen dan kulit. □ Untuk mengidentifikasi timbulnya


Perhatikan adanya keluhan infeksi lokal.
peningkatan nyeri
□ Observasi keadaan luka □ Mengetahui tanda-tanda infeksi
terhadap pembentukan gas gangren.
bulla, krepitasi dan bau
drainase yang tidak enak.
□ Kaji tonus otot dan reflek □ Kekakuan otot, spasme tonus otot
tendon. rahang menunjukkan tanda
tetanus.
□ Inspeksi kulit terhadap □ Mencegah terjadinya kerusakan
adanya iritasi. kulit yang lebih luas.

25
□ Selidiki adanya nyeri yang □ Merupakan indikasi terjadinya
muncul secara tiba-tiba, osteomyelitis.
perhatikan adanya keluhan
peningkatan nyeri.
□ Berikan perawatan dengan
teknik septik dan aseptik □ Dapat mencegah kemungkinan
pada pen kawat steril dan terjadinya infeksi.
alat-alat yang terpasang
pada pasien (kateter, infus)
□ Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian antibiotik
dan vitamin C. □ Program pengobatan untuk
mencegah infeksi, untuk menjamin
keseimbangan Nitrogen positif dan
meningkatkan proses
penyembuhan.

4. Gangguan integritas kulit


Data yang mendukung :
a. Zat kimia
b. Ekskresi dan sekresi
c. Usia ektrem muda dan ekstrem tua
d. Kelembaban
e. Hipertermia
f. Hipotermia
g. Factor mekanis
h. Perubahan pigmentasi
i. Perubahan turgor kulit
j. Factor perkembangan
k. Ketidak seimbangan nutrisi
l. Factor imonologis
m. Gangguan sirkulasi

26
n. Gangguan sensasi
o. Factor fisiko genik
p. Penonjolan tulang
Hasil yang diharapkan :
a. Klien akan menunjukkan kulit yang utuh yang ditunjukkan dengan tidak
adanya ulkus diatas penonjolan tulang atau tumit
b. tidak adanya pengelupasan epidermal dibawah plaster yang digunakan
untuk melekatkan perban
Intervensi Rasional

□ Kaji/catat ukuran, warna, □ Untuk menentukan intervensi


kedalaman luka, perhatikan selanjutnya, mengetahui indikasi,
jaringan nekrotik dan keefektifan intervensi dan terapi
kondisi di sekitar luka. yang diberikan.
□ Massase kulit dan
penonjolan tulang. □ Menurunkan tekanan pada area
□ Ubah posisi pasien dengan yang peka.
sering. □ Meminimalkan risiko terjadinya
□ Kaji posisi cincin bebat pada kerusakan kulit (decubitus).
otot traksi. □ Posisi yang tidak tepat dapat
□ Beri bantalan di bawah kulit menyebabkan cidera kulit.
yang terpasang traksi. □ Meminimalkan tekanan pada area
□ Lakukan perawatan pada yang terpasang gips atau traksi.
area kulit yang terpasang □ Mencegah terjadinya kerusakan
gips atau traksi ataupun kulit.
yang dilakukan tindakan
bedah.
□ Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian obat- □ Mempercepat proses
obatan topikal. penyembuhan.
□ Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk pemberian diit.. □ Mempercepat proses
penyembuhan.
27
D. Evidance Based Practice
Amik, (2016) pernah meneliti tentang pengaruh edukasi dan mobilisasi dini
terhadap tingkat kecemasan dan kemandirian pasien post total knee
replacement di RSO Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta dan RSK Bedah Karima
Utama Surakarta, diperoleh hasil Terdapat perbedaan yang signifikan pada
tingkat kemandirian dan kecemasan pada pasien sebelum dan sesudah
diberikan edukasi mobilisasi dini. Hasil uji independent t-test pada tingkat
kecemasan diperoleh p value (0,000) < 0,05, terdapat perbedaan signifikan
kecemasan dan kemandirian pada pasien yang diberikan edukasi denganpasien
yang tidak diberi edukasi mobilisasi dini. Kesimpulannya adalah Terdapat
peningkatan kemandirian dan penurunan kecemasan pada pasien yang
dilakukan operasi Total Knee Replacement setelah dilakukan edukasi mobilisasi
dini, dan terdapat perbedaan tingkat kemandirian dan kecemasan pada
kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Sehingga disarankan perawat
melakukan edukasi mobilisasi dini untuk mengurangi kecemasan dan
meningkatkan kemandirian pasien.
Copyanto (2013), meneliti tentang factor-faktor yang berhubungan dengan
status fungsional paska open reduction internal fixation (ORIF) fraktur
extremitas di di RS Ortopedi Prof Soeharso Surakarta, diperoleh hasil fall-
efficacy (r = -0,490 dan nilai p=0,003) merupakan faktor yang berhubungan.
Model multivariat memiliki nilai p=0,015 dan jenis fraktur, nyeri, dan fall-efficacy
mampu menjelaskan 28,2 % status fungsional dengan nyeri sebagai faktor yang
paling besar untuk memprediksi status fungsional setelah dikontrol fall-efficacy
dan jenis fraktur. Penelitian ini merekomendasikan melakukan latihan
meningkatkan status fungsional terintegrasi manajemen nyeri dan fall-efficacy.

Daftar Pustaka
Amik (2016), pengaruh edukasi dan mobilisasi dini terhadap tingkat kecemasan
dan kemandirian pasien post total knee replacement di RSO Prof. Dr.

28
R. Soeharso Surakarta dan RSK Bedah Karima Utama Surakarta.
www.id.123dok.com pada tanggal 24 Juli 2018

Joyce M. Black & Jane Hokanson Hawks, Ed. 8, 2014. Buku Keperawatan Medikal
Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil Yang Diharapkan. Singapura,
Elsevier Inc.

Brunner dan Suddarh’s, Ed. 8 Vol. 3. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. EGC , Jakarta
Smeltzer, S. C. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth.Edisi
12.EGC. Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riskesdas 2013 dalam Angka.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Marlene Hurst, RN, MSN, FNP-R, CCRN-R, vol. 2. 2011. Medical-Surgical Nursing
Review. The McGraw-Hill Companies, China
Priscilla LeMone, Karen M. Burke, & Gerene Bauldoff. ed. 5 vol. 4. 2016. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta,

Judith. M. Wilkinson, Ed. 10. 2016. Diagnosa Keperwatan : NANDA-I Intervensi


NIC, Hasil NOC. EGC, Jakarta,

Adeleye M. Awolola1, Laura Campbell1, Andrew Ross1, 02 Dec. 2015. Pain


management in patients with long-bone fractures in a district
hospital in KwaZulu-Natal, South Africa

Ropyanto C.B., Sitorus R., Eryando T (2013) Analisis Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Status Fungsional Paska Open Reduction
Internal Fixation (ORIF)Fraktur Ekstremitas, diperoleh dari
www.jurnal.unimus.ac.id pada tanggal 24 Juli 2018

29

Anda mungkin juga menyukai