PENDAHULUAN
2.1 DEFINISI
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau penyakit
yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human
Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir
dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)
2.2 EPIDEMIOLOGI
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari 25 juta
jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan
mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta
penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV
sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi
pada anak-anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS.
(WHO,2010 )
Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun 1990,
jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini, jumlahnya sudah
mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67% diantaranya disumbangkan oleh
odha di kawasan sub Sahara, Afrika. (WHO, 2010)
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di Indonesia.
Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual. Kemudian jumlah kasus
baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat
peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.
(Djoerban Z dkk, 2006)
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi
(dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks
(WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur
telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of
epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized epidemic).
( Mustikawati DE dkk, 2009)
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru AIDS
yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat
dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia.
Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada
tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110
kasus. (Mustikawati DE dkk, 2009 ).
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember 2008, sekitar
74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan
48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada homoseksual dan
2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok
homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun
hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada
kelompok usia 20–29 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 30–39 tahun. (Depkes RI, 2008)
Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah kumulatif
kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888 kasus, disusul DKI Jakarta dengan
2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan masing-masing jumlah
kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus AIDS. (Depkes
RI,2008)
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir Desember 2008
adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk Indonesia 227.132.350
jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar
20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus,
diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata 1.146
kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus. (Depkes RI,2008)
2.3 ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang
termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun atas beberapa
lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada
permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam
terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai
RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme). ( Merati TP dkk,2006)
Gambar 1: struktur virus HIV-1
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global terutama
disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya. Tipe yang
terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang berhubungan erat
dengan Afrika Barat. (Merati TP dkk,2006)
Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan cairan darah
sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat tusukan jarum atau luka
karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan akibat
terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV pada mukosa sebesar 0,09%. (Djauzi S dkk, 2002)
2.5 PATOGENESIS
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi kehilangan
fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif. (Djoerban Z dkk,
2006)
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro dan
invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular dendritik,
mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit
CD8, sel retina dan epitel ginjal. (Merati TP dkk, 2006)
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV dengan
bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks molekul adhesi
pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell specific
intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui
bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor
penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan
dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CXCR5, dan dengan mediasi antigen gp41
virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka dan
RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim transkriptase reversi.
Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim
integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi,
provirus ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi
mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur sampai
terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik RNA dan protein
virus ini akan membentuk partikel virus yang nantinya akan menempel pada bagian luar sel.
Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang
dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi imun,
akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan
hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada berbagai
antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di
sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali
sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela.
Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk
antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat
mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan respon imun
selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang sebagian besar adalah sel T
CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan
terus laju replikasi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)
Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan
progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu,
terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien
HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus. (Djoerban Z dkk, 2006)
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang masuk
tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun,
dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan
kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang
kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk,
2006)
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala
infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6 minggu.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam,
diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z
dkk, 2006)
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang berlangsung
selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat,
dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan
memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.
Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV
2.7 DIAGNOSIS
2.7.1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke
sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar
mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi
HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya.
Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik
riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).
Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya dilakukan jika
ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman atau penggunaan narkotika
suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil,
mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil
pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan.
Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C yakni confidential (rahasia),
disertai dengan counselling (konseling), dan hanya dilakukan dengan informed consent.
(Djoerban Z dkk,2006)
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki sensitivitas
tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang reaktif, maka
pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi
oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot
(WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan
kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum
tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini
dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18
bulan. (Djoerban Z dkk,2006)
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes
konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pemeriksaan
WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan
strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan
pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali
positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama missal
hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau apabila hasil tes
pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate
dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila
orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan
dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).
Table 8 : Algoritma pemeriksaan HIV
Sumber : Depkes,2007
2.7.4 Penilaian Klinis
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi penentuan
stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa
lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan,
mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi
pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi. (Djauzi S
dkk,2002)
2.7.5 Stadium Klinis
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik),
stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS), lihat
table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan
sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau
mengubah terapi ARV.
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja merasa
sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut, system imun
individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan mereka terus menerus
menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang tidak
memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang tua yang
terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare. Penderita AIDS
dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas.
Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak,
sering sariawan di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika
diuraikan tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum yang
lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai dengan gejala-
gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala
AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.
2.8 PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun data
selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan
menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma
kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta
juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang
lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan
kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.
1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru
dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai
penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat
ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4
tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau
III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada
pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini
belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV
adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit
akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi
dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV
sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk
memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien
dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi
ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3.
Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk
memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan
memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai
pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang
aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan
fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin
(AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan
lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu
setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga
untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes RI, 2007)
BAB III
DATA VCT dan HIV/AIDS DI RSU KARDINAH TEGAL
A. Tahun 2014
Tabel 3.1 Data kunjungan pasien laki-laki ke poli VCT dan yang menerima perawatan HIV di RSU
kardinah tahun 2014
No Variabel Laki -laki
<4 5-14 15-19 20-24 25-49 >50 Total
1 Jumlah orang yang 14 2 49 191 700 210 1166
berkunjung
2 Jumlah orang yang diberi 5 2 49 191 700 210 1157
konseling pre tes
3 Jumlah orang yang di 14 2 49 191 700 210 1166
test HIV
4 Jumlah orang yang diberi 13 2 49 191 700 210 1166
konseling post tes dan
menerima hasil
5 Jumlah orang yang HIV 2 0 1 2 27 1 33
positif
6 Jumlah orang dengan 2 0 1 2 27 1 33
HIV positif yang dirujuk
ke PDP (CST)
7 Pasangan bumil yang 0 0 0 0 0 0 0
positif HIV
8 Jumlah orang yang 5 7 2 28 153 14 209
berkunjung ke perawatan
HIV
9 Jumlah ODHA pengguna 0 4 1 4 62 4 75
ARV
10 Jumlah ODHA yang 2 1 0 2 36 3 44
meninggal
Pada tahun 2014 didapatkan data pasien laki-laki yang berkunjung ke poli VCT sebanyak
1166 pasien yaitu, usia <4 tahun sebanyak 14 (1,2%) pasien, usia 5-14 tahun sebanyak 2 (0,1%)
pasien, usia 15-19 sebanyak 49 (4,2%) pasien, usia 20-24 sebanyak 191 (16,3%) pasien, usia 25-
49 tahun sebanyak 700 (60%) pasien, dan usia >50 tahun sebanyak 210 (18,2%) pasien.
Sebanyak 1157 (99%) pasien mendapatkan konseling pre tes. Seluruh pasien melakukan tes
HIV,menerima konseling post tes dan menerima hasil. Terdapat 33 (2,8%) pasien dengan hasil
HIV positif dan seluruhnya langsung dirujuk ke PDP. Hasil tes yang dilakukan terhadap
pasangan ibu hamil didapatkan negatif.
Selama tahun 2014 terdapat 209 pasien laki-laki yang berkungjung ke perawatan HIV.
Sebanyak 75 (35,8%) pasien yang datang menggunakan ARV. Jumlah pasien laki-laki yang
meninggal dunia tahun 2014 didapatkan sebanyak 44 pasien.
Tabel 3.2 Data kunjungan pasien perempuan ke poli VCT dan yang menerima perawatan
HIV di RSU Kardinah tahun 2014
No Variabel Perempuan
<4 5-14 15-19 20-24 25-49 >50 Total
1 Jumlah orang yang 5 4 92 262 281 87 731
berkunjung
2 Jumlah orang yang diberi 5 4 92 262 277 87 727
konseling pre tes
3 Jumlah orang yang di 5 4 92 262 281 87 731
test HIV
4 Jumlah orang yang diberi 5 4 92 262 281 87 731
konseling post tes dan
menerima hasil
5 Jumlah orang yang HIV 2 0 0 2 11 0 15
positif
6 Jumlah orang dengan 0 0 0 2 11 0 13
HIV positif yang dirujuk
ke PDP (CST)
7 Ibu hamil yang tes HIV 0 0 1 11 13 0 25
dan menerima hasil
8 Ibu hamil yang positif 0 0 0 0 0 0 0
HIV
9 Jumlah orang yang 0 4 2 28 90 4 128
berkunjung ke perawatan
HIV
10 Jumlah ODHA pengguna 0 1 1 12 31 2 47
ARV
11 Jumlah ODHA yang 0 2 0 2 16 1 21
meninggal
Pada tahun 2014 didapatkan data pasien perempuan yang berkunjung ke poli VCT
sebanyak 731 pasien yaitu, usia < 4 tahun sebanyak 5 (0,6%) pasien, usia 5-14 tahun sebanyak 4
(0,5%) pasien, usia 15-19 tahun sebanyak 92 (12,5%) pasien, usia 20-24 tahun sebanyak 262
(35,8%) pasien, usia 25-49 tahun sebanyak 281(38,4%) pasien dan pasien usia > 50 tahun
sebanyak 87 (12,2%) pasien. Sebanyak 727 (99%) psaien mendapatkan konseling pre tes.
Seluruh pasien yang berkunjung menjalankan tes HIV, mendapatkan konseling post tes dan
menerima hasil tes. Hasil tes HIV pada pasien perempuan didapatkan 15 (2%) pasien dengan
HIV positif. Sebanyak 13 (86,7%) pasien HIV positif dirujuk ke PDP. Ibu hamil yang
menjalankan tes sebanyak 25 pasien dan seluruhnya berhasilkan negatif.
Selama tahun 2014 terdapat 128 pasien perempuan yang berkunjung ke perawatan HIV
RSU Kardinah. Sebanyak 47 (36,7%) pasien menggunakan ARV. Selama 2014 sebanyak 21
pasien ODHA meninggal dunia.