TUGAS
Disusun oleh:
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2020
KATA PENGANTAR
Penulis menyadari tugas ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik dosen pembimbing maupun
teman-teman sejawat. Segala bantuan, budi baik dan uluran tangan berbagai pihak
yang telah penulis terima tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Tangerang,july2020
Penulis
Rangga bimo
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
ii
BAB VI Konsep muamalah dalam islam...........................................................35
6.1 menjelaskan mengenai gadai................................................................35
6.2 menjelaskan mengenai syirkah............................................................36
6.3 Muzara’ah dan Mukhabarah...............................................................39
6.4 Jual beli..................................................................................................41
6.5 Sewa menyewa.......................................................................................42
iii
BAB I
Sistem ekonomi syariah
1
komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah. Selain itu, dalam
rangka melindungi keseimbangan individual dan sosial dalam aktivitas
ekonomi umat, maka Sistem Ekonomi Islam membuat proteksi yang tinggi
dan segala penyimpangan perilaku ekonomi yang mengancam dan
membahayakan keseimbangan tersebut.3 Lebih dan itu, Sistem Ekonomi
Islam tidak hanya menjaga keseimbangan antara hak individu dan hak
sosial, bahkan antara hak Khaliq dan hak makhluq. Karenanya, Ekonomi
Islam disebut sebagai Ekonomi Wasathiyah (Ekonomi Pertengahan) yaitu
sistem ekonomi yang menjaga tawazun (keseimbangan) antara : Hak Allah
dan Hak Manusia, Hak Dunia dan Hak Akhirat, Hak Individu dan Hak
Sosial, Hak Rakyat dan Hak Negara.
2. Ekonomi Konvensional
Pada krisis ekonomi yang sering terjadi ditengarai adalah ulah dari
sistem ekonomi konvensional. Karena ekonomi konvensional selalu
mengedepankan sistem bunga sebagai instrumen provitnya. Berikut
dibawah ini adalah hasil daripada Sistem Konvensional yang penulis
dapatkan dari beberapa referensi : a) Zionis dan Riba Kalangan Zionis
Yahudi mengharamkan "Transaksi Riba" antar sesama Yahudi, namun
mewajibkannya terhadap selain Yahudi. Zionislah yang pertama
menciptakan "Sistem Perbankan Ribawi" untuk tujuan penaklukan semua
bangsa-bangsa secara ekonomi dan keuangan. Zionis jugalah yang
menciptakan IMF dan World Bank sebagai sentral transaksi keuangan
Dunia, sekaligus yang mengontrol dan mengendalikan seluruh Bank Riba
di atas muka Bumi, sehingga seluruh keuntungan Bank Riba dan berbagai
negara akan terns mengalir ke perbendaharaan Zionis Internasional.
2
Iklan Mahal
Bebas Pakai
Dana Bank
Kerja Bank
Kredit Bank
Bisnis Maksiat
Daya tarik dan keunggulan daripada bank Syari'ah adalah sebagai berikut :
3
Memberikan Kesempatan yang Luas
Meningkatkan Produksi dan Memperlancar Arus Barang
Pinjaman Lunak
4
BAB II
Kepemilikan dalam islam
5
Kepemilikan Negara adalah “harta yang merupakan hak seluruh kaum
muslim, sementara pengelolaannya menjadi wewenang Negara. Asy Syari’
telah menentukan harta-harta sebagai milik Negara; Negara berhak
mengelolanya sesuai denga pandangan dan ijtihad. Yang termasuk harta
Negara adalah fai, Kharaj, Jizyah dan sebagainya. Sebab syariat tidak
pernah menentukan sasaran dari harta yang dikelola. Perbedaan harta
kepemilikan umum dan Negara adalah, harta kepemilikan umum pada
dasarnya tidak dapat di berikan Negara kepada individu. Sedang harta
kepemilikan Negara dapat di berikan kepada individu sesuai dengan
ketentuan yang telah disepakati”.
4. Sebab-Sebab Kepemilikan
Harta (al maal) adalah “apa saja yang bisa menjadi kekayaan, apapun
bentuknya. Sedang, yang dimaksud dengan sebab kepemilikan (sabab at
tamalluk) adalah sebab yang bisa menjadikan seseorang memiliki harta, yang
sebelumnya bukan memjadi miliknya. Adapun sebab-sebab pengembangan
kepemilikan adalah perbanyakan kuantitas harta yang sudah dimiliki”.
1. Bekerja
Kata bekerja sangat luas maknanya, beraneka ragam jenisnya,
bermacam-macam bentuknya. Allah telah menentukan bentuk-bentuk kerja dan
jenisnya yang layak untuk di kerjakan sebagai sebab kepemilikan. Dalam
hukum-hukum syariat sudah sangat jelas ketentuan-ketentuan terkait hal ini.
2. Warisan
Warisan adalah “salah satu sebab-sebab seseorang memiliki harta
kepemilikan. Sifat dari kepemilikan harta ini diperoleh secara turun-temurun
kepemilikan dari orang tua ke ahli waris yang berhak didasarkan prinsip-
prinsip kewarisan Islam”. Allah berfirman:
“Allah mensyariatkan kepada kalian tentang (pembagian harta
pusaka untuk anak-anak kalian, yaitu: bagian seorang anak laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan; jika anak itu
semuanya wanita lebih dari dua orang maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan.” (QS. An Nisa : 11)
6
satu hal yang dapat menjamin seseorang untuk hidup adalah denga bekerja,
untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
7
Santunan untuk Khalifah atau orang-orang yang disamakan statusnya”
8
“Dalam Islam, muamalat dalam bentuk utang-piutang adalah sesuatu yang
dibolehkan”.“Bai dayn adalah salah satu kontrak jual beli dimana kreditor menjual hak
“utang”nya kepada debitur itu sendiri atau pihak lain”
9
BAB III
Riba dalam perspektif agama dan sejarah
3.1 Definisi riba
Di dalam “Kamus Bahasa Indonesia, pengertian riba adalah pelepas uang, lintah
darat, bunga uang dan rente”. Sehingga tidak dapat diambil kesimpulan yang
konklusif (simpul) tentang riba, dan tidak ditemui perbedaan yang tegas antara riba
dengan bunga.
Sementara itu, “Riba menurut bahasa berarti tambahan (ziyadah). Secara
linguistik, riba juga berarti tumbuh dan besar”. Sedangkan menurut syara’,
riba adalah tambahan yang diperoleh dari seseorang yang meminjam (barang
atau uang) dengan tempo atau batas waktu. Menurut Ali bin Muhammad al-
Juijani, riba adalah tambahan yang tidak menjadi imbalan bagi sesuatu
yang disyaratkan bagi salah seorang yang meminjam dan yang memberi
pinjaman. “Riba menurut istilah tadi barangkali terlalu sempit. Istilah yang
lebih baik dikemukakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman Taj, yaitu setiap tambahan
pada salah satu pihak (dalam) akad mu’awwadlah tanpa mendapat imbalan, atau
tambahan itu diperoleh karena penangguhan”. Adapun menurut “istilah teknis, riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil”
10
dikatakan tentang pelarangannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam.
“Beberapa pemikir Islam berpendapat bahwa riba tidak hanya dianggap sebagai
sesuatu yang tidak bermoral melainkan sesuatu yang menghambat aktifitas
perekonomian masyarakat. Sehingga orang kaya akan semakin kaya sedangkan
orang miskin akan semakin miskin dan tertindas”.
11
Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih
dan terhadap orang-orang jahat”.
Karena tidak secara tegas menolak bunga, maka timbul beberapa persepsi dan
tafsiran tentang boleh tidaknya praktek bunga. “Para pendeta Kristen di Abad I
hingga abad XII dengan tegas menolak dan mengharamkan bunga. Namun pada
abad XII hingga abad XVI, beberapa pendeta muda mulai mengajukan usulan
diperbolehkannya bunga. Dan pada abad XVI sampai dengan tahun 1836, atas
pandangan beberapa reformis Kristen, para pendeta Kristen sudah mulai
merealisasikan penghalalan system riba”.
Pendapat ulama fiqh, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Sura’i Abdul Hadi
(1993) membagi riba menjadi dua macam, yaitu ribâ fad.l dan riba an-nasî'ah.
Ribâ fad.l adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh para
ulama fiqh dengan “kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan
dengan ukuran syara”, yang dimaksud dengan ukuran syara’ adalah “timbangan atau
ukuran tertentu. Misalnya, satu kilogram beras dijual dengan satu seperempat
kilogram. Kelebihan ¼ kg tersebut disebut ribâ fad.l. Jual beli semacam ini disebut
dengan barte”r.
Sedangkan riba an-nasî'ah adalah “kelebihan atas piutang yang diberikan orang
berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila
waktu tempo telah tiba, ternyata orang yang berutang tidak sanggup membayar
hutang dan kelebihannya, maka waktu bisa diperpanjang dan utangnya pun
bertambah”.
Sehubungan dengan dua macam jenis riba tersebut, para ulama fiqh berbeda
pendapat. Menurut ulama mazhab Hanafi dalam salah satu riwayat imam Ahmad
bin Hanbal, “ribâ fadl ini hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang
sejenis, bukan terhadap nilai harta, maka kelebihan yang terjadi tidak termasuk
ribâ fadl”.
Sementara itu, mazhab Maliki dan Syafi’i berpendirian bahwa ‘illat keharaman
ribâ fadl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari
sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk. Intinya apapun bentuk emas dan
perak apabila sejenis, tidak boleh diperjualbelikan dengan cara menghargai yang
satu lebih banyak dari yang lain. Pelarangan ribâ an-nasî'ah mempunyai pengertian
12
bahwa penetapan keuntungan positif atas uang yang harus dikembalikan dari suatu
pinjaman sebagai imbalan karena menanti, pada dasarnya tidak diizinkan syari’ah,
intinya penetapan keuntungan positif di muka yang menurut syari’ah pembayaran
kembali pinjaman tidak dengan sendirinya menghasilkan justifikasi atas keuntungan
positif dimaksud.
Adapun yang dimaksud dengan “jenis barang ribawi menurut para ahli fiqh
Islam, meliputi:
A. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk
lainnya;
B. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan
makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan”.
Menurut “Antonio Syafei, larangan riba yang terdapat dalam Al-Qr’an tidak
diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap”.
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT
mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang
memakan riba.
13
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah,
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka
Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda
orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.“
Tahap keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun
jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang
diturunkan menyangkut riba.
14
pelarangan riba dalam hadits lebih terinci. Banyak hadits yang menguraikan
masalah riba. Di antaranya adalah:
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak
yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari tubuh),
ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku
bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab,
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk menerima
uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan, beliau juga
melaknat pekerjaan pembuat tato dan yang minta ditato, menerima dan
memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.” (Shahih al-
Bukhari no. 2084 kitab Al-Buyu’)
15
Riba memberikan dampak negatif bagi akhlak dan jiwa pelakunya. Jika
diperhatikan, maka kita akan menemukan bahwa mereka yang
berinteraksi dengan riba adalah individu yang secara alami memiliki
sifat kikir, dada yang sempit, berhati keras, menyembah harta, tamak
akan kemewahan dunia dan sifat-sifat hina lainnya.
Riba merupakan akhlaq dan perbuatan musuh Allah, Yahudi.
Allah ta’ala berfirman:
16
Memakan riba menunjukkan kelemahan dan lenyapnya takwa dalam
diri pelakunya. Hal ini menyebabkan kerugian di dunia dan akhirat.
Allah ta’ala berfirman:
17
Pemakan riba diancam dengan neraka jika tidak bertaubat. Allah ‘Azza
wa Jalla berfirman,
Allah tidak akan menerima sedekah yang diperoleh dari riba, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Allah itu baik dan tidak akan menerima sesuatu kecuali yang
baik.” (HR. Muslim 2/3 nomor 1014)
Do’a seorang pemakan riba tidak akan terkabul. Rasullullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menceritakan bahwa ada seorang yang
bersafar kemudian menengadahkan tangannya ke langit seraya berdo’a,
“Ya Rabbi, ya Rabbi!” Akan tetapi makanan dan minumannya berasal
dari yang haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan oleh barang
yang haram. Maka bagaimana bisa do’anya akan dikabulkan?! (HR.
Muslim nomor 1014)
Memakan riba menyebabkan hati membatu dan memasukkan “ar
raan” ke dalam hati. Allah ta’ala berfirman,
Riba melunturkan rasa simpati dan kasih sayang dari diri seseorang.
Karena seorang rentenir tidak akan ragu untuk mengambil seluruh harta
orang yang berhutang kepadanya. Oleh karena itu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah sifat kasih sayang itu diangkat kecuali dari seorang yang
celaka.” (HR. Abu Dawud nomor 4942, Tirmidzi nomor 1923 dan
hadits ini dishahihkan oleh al ‘Allamah Al Albani dalam Shahih
Tirmidzi, 2/180)
18
Riba menimbulkan permusuhan dan kebencian antar individu dan
masyarakat serta menumbuhkembangkan fitnah dan terputusnya jalinan
persaudaraan.
Masyarakat yang berinteraksi dengan riba adalah masyarakat yang
miskin, tidak memiliki rasa simpatik. Mereka tidak akan saling tolong
menolong dan membantu sesama manusia kecuali ada keinginan
tertentu yang tersembunyi di balik bantuan yang mereka berikan.
Masyarakat seperti ini tidak akan pernah merasakan kesejahteraan dan
ketenangan. Bahkan kekacauan dan kesenjangan akan senantiasa terjadi
di setiap saat.
Perbuatan riba mengarahkan ekonomi ke arah yang menyimpang dan
hal tersebut mengakibatkan ishraf (pemborosan).
Riba mengakibatkan harta kaum muslimin berada dalam genggaman
musuh dan hal ini salah satu musibah terbesar yang menimpa kaum
muslimin. Karena, mereka telah menitipkan sebagian besar harta
mereka kepada bank-bank ribawi yang terletak di berbagai negara kafir.
Hal ini akan melunturkan dan menghilangkan sifat ulet dan kerajinan
dari kaum muslimin serta membantu kaum kuffar atau pelaku riba
dalam melemahkan kaum muslimin dan mengambil manfaat dari harta
mereka.
Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu
kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari
Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka
sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk
diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim 2/37, beliau menshahihkannya dan
disetujui oleh Adz Dzahabi. Syaikh Al Albani menghasankan hadits ini
dalam Ghayatul Maram fii Takhrij Ahaditsil Halal wal Haram hal. 203 nomor
344)
19
Maraknya praktek riba sekaligus menunjukkan rendahnya rasa simpatik antara
sesama muslim, sehingga seorang muslim yang sedang kesulitan dan
membutuhkan lebih “rela” pergi ke lembaga keuangan ribawi karena sulit
menemukan saudara seiman yang dapat membantunya.
BAB IV
Zakat dan pajak dalam sistem ekonomi nasional
4.1 Definisi zakat
Istilah zakat merupakan istilah khusus yang ada dalam agama Islam yang
diambil dari bahasa Arab yaitu “zakaa” yang berarti bertambah atau berkembang.
Secara istilah syariat, zakat merupakan kewajiban yang diperintah oleh Allah SWT
untuk mengeluarkan harta tertentu kepada pihak tertentu. Dengan pengertian
demikian, zakat sering kali dibandingkan dengan pajak atau pungutan agama wajib. Jika
dimaknai demikian, maka bukan hanya agama Islam yang menerapkan kewajiban
mengeluarkan harta, namun juga agama samawi lain, seperti Yahudi atau Kristen.
Untuk itu, di bawah ini akan dibahas apa pengertian zakat dan bagaimana agama
menerapkan zakat dan perbedaan zakat dengan sedekah.
Secara bahasa, “zakat merupakan kata dasar (masdar) zaka yang berarti tumbuh,
bersih dan baik”. Jika zakat ditujukan kepada seseorang, itu berarti untuk
meningkat, untuk menjadi lebih baik. Maka, orang berzakat dimaknai orang tersebut
diberkahi, tumbuh, bersih dan baik. Istilah ini digunakan dalam Al-Quran maupun
Hadis. Zakat secara istilah ini dapat ditemukan pada beberapa ayat Al-Quran, seperti
makna tumbuh berkembang (QS Al-Kahfi (18):81), suci atau bersih hatinya (QS
Maryam (19):13), suci atau bersih dari kemungkaran (QS An-Nur (24):21) dan
menyucikan (QS At-Taubah (9):103).
Berikut ini “pandangan ulama dari empat mazhab utama dalam memaknai
zakat”:
1. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki mendefinisikan zakat dengan mengeluarkan sebagian yang
khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas
20
yang wajib dizakatkan) kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq).
Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan
barang tambang dan pertanian.
2. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi mendefinisikan zakat dengan menjadikan sebagian harta yang
khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan
oleh syariah karena Allah SWT. Penjelasan: yang dimaksud dengan kata
”menjadikan sebagian harta yang khusus” dalam definisi di atas dimaksudkan
sebagai penghindaran dari kata ibahah (pembolehan). Dengan demikian, seandainya
seseorang memberi makan seorang yatim dengan niat mengeluarkan zakat, maka
zakat dengan cara kepada anak yatim tersebut seperti halnya ketika dia memberikan
pakaian kepadanya, dengan syarat kepemilikan harta itu dikaitkan kepadanya
(yakni, orang yang menerimanya). Jika harta yang diberikan itu hanya dihukumi
sebagai nafkah kepada anak yatim, syarat-syarat tersebut tidak diperlukan.
3. Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i mendefinisikan zakat adalah “ungkapan untuk keluarnya
harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus. Cara khusus adalah terkait dengan
21
cara dalam pengambilan dari harta yang tertentu menurut sifat- sifat tertentu
(untuk diberikan) kepada golongan yang tertentu dan dengan niat tertentu”.
4. Madhzab Hambali
Mazhab Hambali mendefinisikan zakat ialah “hak yang wajib (dikeluarkan) dari
harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula”. Dari pengertian zakat
menurut Mazhab Hambali di atas, yang dimaksud dengan “kelompok yang khusus”
adalah delapan kelompok yang diisyaratkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran surat
At-Taubah (9): 60:
2) Zakat fitrah
“Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan umat Islam, baik laki-
laki, perempuan, besar atau kecil, merdeka atau budak, tua dan muda, pada
awal bulan Ramadhan sampai menjelang Idul Fitri. Zakat ini diwajibkan
sejak tahun kedua Hijrah, yaitu tahun diwajibkannya bulan Ramadhan.
Berbeda dengan zakat mal yang dikenakan atas harta, zakat fitrah ini
merupakan pungutan wajib atas pribadi atau jiwa yang hidup, yaitu setiap bayi
yang dilahirkan sebelum bulan Syawal. Maka, dalam zakat fitrah tidak
disyaratkan sebagaimana syarat pada zakat mal seperti nishab atau haul.
22
Jumlah yang dikeluarkan per jiwa adalah sekitar 2½ kilogram makanan pokok
daerah setempat dan dikeluarkan dalam bulan Ramadhan sebelum sholat Ied
dilakukan”.
Bila diperiksa ketiga puluh kali zakat disebutkan itu, delapan terdapat pada
surat Makiyah dan selebihnya pada Madiyah. Beliau juga menyatakan bahwa kata
zakat yang terdapat delapan puluh dua ayat terlalu dibesar-besarkan, sehingga
tidak sesuai dengan perhitungan yang kita sebutkan tersebut. Tetapi bila yang
dimaksudkan mereka adalah kata-kata lain yang sama maksudnya dengan zakat
seperti al-infak, “pemberian”, al-maun, “barang-barang kebutuhan” dan tha’am
al-miskin, “memberi makan orang miskin”, dan lain-lain, maka kita belum
mengetahui jumlahnya secara pasti namun akan berkisar 32-82 tempat.
23
4.3 Tujuan dan manfaat zakat
1. Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup
serta penderitaan.
2. Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para gharimin, ibnu
sabil, dan mustahiq lainnya
3. Membentangkan dan membina tali silaturrahmi dan persaudaraan sesama umat
Islam dan manusia pada umumnya
4. Menghilangkan sifat kikir pemilik harta
5. Membersihkan diri dari sifat dengki dan iri dalam hati orang-orang miskin
6. Menjembatani jurang pemisah antara orang yang kaya dengan yang miskin
dalam suatu masyarakat
7. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama
pada mereka yang mempunyai harta kekayaan
8. Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan
hak orang lain yang ada padanya
9. Sarana pemerataan pendapatan (rezeki) untuk mencapai keadilan sosial”.
24
Zakat dan aspek ekonominya
Zakat dilihat dari aspek ekonomi adalah “merangsang si pemilik harta
kepada amal perbuatan untuk mengganti apa yang telah diambil dari
mereka. Ini terutama jelas sekali pada zakat mata uang, di mana Islam
melarang menumpuknya, menahannya dari peredaran dan pengembangan”.
Zakat dan tegaknya jiwa umat
Zakat mempunyai sasaran-sasaran dan dampak-dampak dalam menegakkan
akhlak yang mulia yang diikuti dan dilaksanakan oleh umat Islam, dibangun
kesadarannya dan dibedakannya dengan itu kepribadiannya”.
25
Pajak ialah “kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus
disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi
kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaranpengeluaran
umumdi satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik
dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai Negara”.
Zakat ialah “hak tertentu yang diwajibkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
terhadap kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam Quran
disebut kalangan fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas
nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta
untuk membersihkan diri dan hartanya”.
Dapat dipetik beberapa titik persamaan antara zakat dan pajak:
1. Adanya unsur paksaan untuk mengeluarkan
2. eduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat dikenal amil
zakat)
3. Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi.
4. Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan
keuangan.
Adapun segi perbedaannya:
1. Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat:
suci, tumbuh. Pajak (dharaba): upeti.
2. Mengenai hakikat dan tujuannya Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah
dalam rangka pendekatan diri kepada Allah.
3. Mengenai batas nisab dan ketentuannya. Nisab zakat sudah ditentukan oleh
sang Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi oleh
siapapun juga. Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai
dengan kebijakan pemerintah.
4. Mengenai kelestarian dan kelangsungannya, Zakat bersifat tetap dan terus
menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah.
5. Mengenai pengeluarannya, Sasaran zakat telah terang dan jelas. Pajak untuk
pengeluaran umum negara.
6. Hubungannya dengan penguasa, hubungan wajib pajak sangat erat dan
tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. Bila
penguasa tidak berperan, individu bisa mengeluarkannya sendiri-sendiri.
7. Maksud dan tujuan, zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi
dari pajak.
Berdasarkan point-point di atas dapatlah dikatakan bahwa “zakat adalah
ibadat dan pajak sekaligus”. Karena sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban
berupa harta yang pengurusannya dilakukan oleh negara. Negara memintanya
secara paksa, bila seseorang tidak mau membayarnya sukarela, kemudian hasilnya
digunakan untuk membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat.
26
Apa yang coba diterangkan dalam masalah perpajakan dewasa ini telah
dilaksanakan Islam jauh sebelumnya. Inilah syariat yang berasal dari Pembuat
Syariat yang Maha Tahu. Berikut ini adalah salah satu bab dalam buku Yusuf Al
Qardhawi yang mengupas hal tersebut.
Tentang Keadilan
Ini merupakan prinsip pertama yang wajib diperhatikan dalam setiap pajak
yang dikenakan pada masyarakat. Prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, dimana
Islam menuntutnya dalam segala hal. Prinsip keadilan ini dijumpai pada:
1. Sama rata dalam kewajiban zakat. Setiap Muslim yang mempunyai satu nisab
zakat adalah “wajib zakat tanpa memandang bangsa, warna kulit, keturunan
atau kedudukan dalam masyarakat, laki-laki, perempuan, pemerintah, yang
diperintah, pemimpin agama, pemimpin negara, semua sama”.
2. Membebaskan harta yang kurang dari nisab
3. Larangan berzakat dua kali. Banyak hadits yang menerangkan larangan ini.
Dalam studi perpajakan dikenal dengan nama: “Larangan Pajak Ganda”.
4. Besar zakat sebanding dengan besar tenaga yang dikeluarkan. Semakin mudah
memperoleh, semakin besar zakatnya, seperti halnya zakat pertanian ada yang
10% dan 5%. Prinsip ini masih belum begitu dihiraukan oleh para ahli
keuangan.
5. Memperhatikan kondisi dalam pembayaran. Dengan juga memperhatikan
besarnya pendapatan, beban keluarga, hutang-hutang yang dimiliki, dipungut
dari pendapatan bersih, dan lain-lain.
6. Keadilan dalam praktek. Islam memberikan perhatian istimewa dan hati-hati
terhadap pelaksana pemungut zakat (amil), yaitu dengan persyaratan yang
tinggi untuk menjadi amil, dan posisi yang mulia bagi mereka, seperti hadits
sebagai berikut: “Orang yang bekerja memungut sedekah dengan benar
adalah seperti orang yang berperang di jalan Allah” (Hadits shahih).
Tentang Kepastian
27
Pengetahuan para subjek pajak tentang kewajiban-kewajibannya hendaklah
pasti, tak boleh ada keraguan sedikitpun, sebab ketidakpastian dalam sistem pajak
apapun sangat membahayakan bagi tegaknya keadilan dalam distribusi beban pajak.
Kepastian itu sangat erat hubungannya dengan kestabilan pajak. Dalam mekanisme
zakat tidak diragukan lagi bahwa kaidah ini sangat jelas.
Tentang Kelayakan
Kesimpulan prinsip ini ialah menjaga perasaan wajib pajak dan berlaku
sopan terhadap mereka, sehingga dengan sukarela mereka akan menyerahkan pajak
itu tanpa ada rasa ragu dan terpaksa karena suatu perlakuan yang kurang baik.
Dalam zakat hal ini sudah mendapat perhatian seperti halnya:
Perintah untuk memungut zakat dari harta yang kualitasnya pertengahan dan
melarang memungut yang terbaik, misalnya ternak.
Nabi menyuuruh tukang taksir agar memperkecil taksiran terhadap tanaman
dan buah-buahan.
Bolehnya menangguhkan zakat karena ada satu sebab yang menghalangi,
misalnya ketika terjadi wabah kelaparan.
Dan lain-lain.
28
fungsinya yang utama dalam menegakkan solidaritas sosial. Zakat tidak
digunakan untuk pembangunan jalan, jembatan dan lain-lain. Bila pemerintahan
Islam dulu memperoleh pemasukan dari Kharaj (rampasan perang) untuk
membiayai keperluan-keperluan tersebut, maka untuk saat ini Yusuf Al
Qardhawi menyokong pendapat para ulama yang berpendapat bahwa pemerintah
dapat memungut kewajiban pajak dari orang-orang kaya.
3. Adanya kaidah-kaidah umum hukum syara’ yang memperbolehkan. Misalnya
kaidah “Maslahih Mursalah” (atas dasar kepentingan). Kas yang kosong akan
sangat membahayakan kelangsungan negara, baik adanya ancaman dari luar
maupun dari dalam. Rakyat pun akan memilih kehilangan harta yang sedikit
karena pajak dibandingkan kehilangan harta keseluruhan karena negara jatuh ke
tangan musuh.
4. Adanya perintah Jihad dengan harta. Islam telah mewajibkan ummatnya untuk
berjihad dengan harta dan jiwa sebagaimana difirmankan dalam Al Quran 9:41,
49:51, 61:11, dan lain-lain. Maka tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta
itu adalah kewajiban lain di luar zakat. Di antara hak pemerintah (ulilamri) dari
kaum Muslimin adalah menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul
beban jihad dengan harta ini.
5. Kerugian yang dibalas dengan keuntungan. Sesungguhnya kekayaan yang
diperoleh dengan pajak akan digunakan untuk segala keperluan umum yang
manfaatnya kembali kepada masyarakat seperti; pertahanan dan keamanan,
hukum, pendidikan, kesehatan, pengangkutan, dan lain-lain.
Syarat-syarat diperbolehkannya pajak di luar zakat
Pajak yang diakui dalam sejarah Islam dan dibenarkan sistemnya harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harta itu benar-benar dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Tidak diperbolehkan
memungut sesuatu dari rakyat selagi dalam baitul-mal masih terdapat kekayaan.
2. Adanya pembagian pajak yang adil. Pengertian adil tidak harus sama rata
bebannya.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan ummat bukan
untuk maksiat dan hawa nafsu. Pajak bukan upeti untuk para raja dalam rangka
memuaskan hawa nafsu, kepentingan pribadi dan keluarga mereka, atau
kesenangan para pengikut mereka, tetapi harus dikembalikan untuk kepentingan
masyarakat luas.
4. Adanya persetujuan para ahli dan cendikia. Pemerintah tidak bertindak sendirian
dalam hal mewajibkan pajak, menentukan besarnya serta memungutnya tanpa
adanya persetujuan dari hasil musyawarah para ahli atau cendikia dari kalangan
masyarakat (dewan perwakilan rakyat).
Terdapat beberapa pendapat yang mencoba mengawinkan antara zakat dan
pajak, dan memungkinkan adanya substitusi antara pajak dan zakat. Sehingga bagi
29
kita yang telah rajin membayar pajak tidak perlu lagi membayar zakat, benarkah?
Hal ini diulas panjang lebar oleh Yusuf Al Qardhawi di bagian akhir buku beliau.
“Kegiatan utama dari Bank Syariah selalu terkait dengan masalah uang
antara lain:
1. Memindahkan uang
2. Menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran.
3. Mendiskonto surat wesel, surat order maupun surat berharga lainya.
4. Membeli dan menjual surat –surat berharga.
5. Membeli dan menjual cek, surat wesel dan kertas dagang.
6. Memberi jaminan bank”.
Pada dasarnya fungsi bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank
konvensional atau bank umum lainnya, seperti yang tertera dalam “UU RI no 21
tahun 2008 tentang perbankan syariah bahwasannya :
30
1. Bank Syariah dan UUS ( Unit Usaha Syariah ) wajib menjalankan fungsi
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
2. Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga
baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah,
atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
3. Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf
uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf ( nazhir ) sesuai dengan
kehendak pemberi wakaf (wakif).
4. Alat transmisi kebijakan moneter (sama seperti bank Konvensional)”.
31
5.2 bank konvensional
1. Agent of Trust
2. Agent of Development
3. Agent of Service
32
1. Menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman (safe keeping
function), dan
2. Menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa (transaction
function).
a. Persamaan
33
a. Keunggulan bank konvensional adalah :
a. Metode bunga telah lama dikenal oleh masyarakat, bank konvensional
lebih mudah menarik nasabah penyimpanan dana sehingga lebih mudah
mendapatkan modal.
b. Bank konvensional lebih kreatif dalam menciptakan produk-produk
dengan metode yang telah teruji dan berpengalaman, bank konvensional
lebih mengetahui permainan pasar perbankan dan mencari celah-celah
baru dalam mengupayakan ekspansinya.
c. Nasabah penyimpan dana yang telah terbiasa dengan metode bunga
cenderung memilih bank konvensional dari pada beralih ke metode bagi
hasil yang relatif masih baru.
d. Dengan banyaknya bank-bank konvensional, persaingan antar bank lebih
menggairahkan yang dapat memacu manajemen untuk bekerja lebih baik.
e. Dukungan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang
lebih mapan, sehingga bank dapat bergerak lebih pasti.
34
b. Kelemahan Bank Syariah adalah:
1) Terlalu berprasangka baik kepada semua nasabah dan berasumsi bahwa
semua orang terlihat jujur dan dapat dipercaya, sehingga rawan terhadap
itikad baik.
2) Metode bagi hasil memerlukan perhitungan rumit, sehinga resiko salah
hitung lebih besar dari pada bank konvensioanal.
3) Kekeliruan penilaian proyek berakibat lebih besar dari pada bank
konvensional.
4) Produk-produk Bank Syariah belum biasa mengakomodasi kebutuhan
masyarakat dan kurang kompetitif, karena manajemen Bank Syariah
cenderung mengadopsi produk perbankan konvensional yang
disyariahkan, dengan variasi produk yang terbatas.
5) Pemahan masyarakat yang kurang tepat terhadap kegiatan operasional
Bank Syariah.
6) Produk-produk Bank Syariah belum biasa mengakomodasi kebutuhan
masyarakat dan kurang kompetitif, karena manajemen Bank Syariah
cenderung mengadopsi produk perbankan konvensional yang
disyariahkan, dengan variasi produk yang terbatas.
7) Pemahan masyarakat yang kurang tepat terhadap kegiatan operasional
Bank Syariah.
35
BAB VI
Konsep muamalah dalam islam
6.1 menjelaskan mengenai gadai
A. Pengertian Gadai (Rahn)
Gadai dalam bahasa arab disebut dengan rahn. Secara etimologi berate
tetap, kekal, dan jaminan. Gadai istilah hukum positif di indonesia adalah apa
yang disebut barang jaminan, agunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan
tanggungan. Gadai merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi
agunan dari fasilitas pembiayaan yang diberikan. Dalam terminologinya gadai
mempunyai banyak pengertian dan pemaknaan. Dalam kitab undang-undang
hukum perdata, gadai diartikan sebagai suatu hak yang di peroleh kreditor (si
berpiutang) atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur
(si berhutang), atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang
memberikan kekuasaan pada kreditor itu untuk mengambil pelunasan
dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya,
dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
di keluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan dan
biayabiaya yang harus didahulukan
“Gadai adalah jaminan atas barang yang dapat di jual sebagai jaminan
hutang, dan kelak nantinya dapat di jual untuk membayar hutang, jika yang
hutang tidak mampu membayar hutangnya karena kesulitan”. Rahn Disebut
juga dengan al-habsu yang artinya menahan. Sedangkan menurut “syari’at
islam gadai berati menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syari’at
sebagai jaminan hutang, hingga orang tersebut dibolehkan mengambil hutang
atau mengambil sebagian manfaat barang tersebut. Pemilik barang gadai
disebut rahin dan orang yang mengutangkan yaitu orang yang mengambil
barang tersebut serta menahannya disebut murtahin, sedangkan barang yang di
gadaikan disebut rahn”.
Adapun “istilah – istilah yang di gunakan dalam perjanjian gadai menurut
hukum islam adalah sebagai berikut:
1. Pemilik barang (yang berhutang) atau penggadai diistilahkan dengan rahn.
2. Orang yang memberi utang atau penerima gadai, diistilahkan dengan
36
murtahin.
3. Obyek atau barang yang di gadaikan, diistilahkan dengan marhun”.
37
1) Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah ialah : “akad
antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan
keuntungan”.
2) Menurut Muhammad al-Syarbani al-Khatib, yang dimaksud dengan
syirkah ialah: “ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih
dengan cara yang masyhur (diketahui)”.
3) Menurut Syihab al-Din al-Qalyubi wa Umaira, yang dimaksud dengan
syirkah ialah: “penetapan hak pada sesuatu bagi dua orang atau lebih”.
4) Menurut Imam Taqiyyudin Abi Bakr Ibn Muhammad al- Husaini,
yang dimaksud dengan syirkah ialah: “ibarat penetapan suatu hak
pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang
telah diketahui”.
5) Menurut Hasbi Ash-Shiddieqie, bahwa yang dimaksud dengan syirkah
ialah: “akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk ta’awun
(tolong menolong) dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi
keuntungannya”.
6) Idris Ahmad menyebutkan syirkah sama dengan syarikat dagang yakni
“dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam
dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing. Dimana
keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya
modal masingmasing”.
7) Pengertian menurut M. Syafi’i Anwar dalam sebuah tulisannya pada
majalah Ulumul Qur’an merumuskan sebagai berikut: “perjanjian
kesepakatan bersama antara beberapa pemilik modal untuk
menyertakan modalnya pada suatu proyek, yang biasanya berjangka
waktu panjang. Resiko rugi atau laba dibagi secara berimbang dengan
penyertaannya (modal)”.
8) Pengertian lain menyebutkan bahwa “syirkah atau juga disebut
Musyarakah adalah akad suatu kerjasama anatara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (kompetensi, expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan”.
Pada initinya bahwa “asy-syirkah atau musyarakah yang
didefinisikan oleh para ulama fiqh hanya berbeda secara redaksional
sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya sama, yaitu ikatan kerja
sama anatara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan
keuntungan”.
38
Jadi, kemitraan termasuk salah satu bentuk dari syirkah atau
perserikatan karena di dalam kemitraan itu juga tergabung dua orang atau
lebih bercampur melakukan perserikatan.
B. Rukun Syirkah
Rukun syirkah diperselisihkan oleh para ulama, menurut Hanafiyyah
berpendapat bahwa “rukun syirkah hanya satu, yaitu shighah (ijab dan qabul)
alasananya karena shigah merupakan sebab terwujudnya akad. Akan tetapi
mayoritas ulama berpendapat bahwa rukun syirkah ada empat, yaitu shighah,
dua orang yang melakukan transaksi (‘aqidan), dan objek yang ditransaksikan
(al-ma’qud ‘alaih)”.
Adapun yang menjadi “rukun serikat menurut ketentuan
syari’at islam” adalah (Sulaiman Rasyid, 1990 : 278) :
a. Sighaat (lafaz akad); “ijab dan qabul harus diucapkan oleh kedua pihak
atau lebih untuk menunjukkan kemauan mereka, dan terdapat kejelasan
tujuan mereka dan melakukan sebuah kontrak”. “Sighat pada hakikatnya
adalah kemauan para pihak untuk mengadakan serikat atau kerjasama
dalam menjalankan suatu kegiatan usaha”. Namun dewasa ini seseorang
dalam membuat perjanjian berbentuk tertulis berupa akta.
b. Orang (pihak-pihak yang mengadakan) serikat: “Orang yang akan
mengadakan perjanjian perserikatan harus memenuhi syarat yaitu, bahwa
masing-masing pihak yang hendak mengadakan syirkah ini harus dewasa
(baligh), sehat akalnya, dan atas kehendaknya sendiri”.
c. “Pokok pekerjaan (bidang usaha yang dijalankan) Setiap perserikatan
harus memiliki tujuan dan kerangka kerja yang jelas. Serta dibenarkan
menurut syara. Untuk menjalankan pokok pekerjaan ini dari pihak-pihak
yang ada harus memasukkan barang modal atau saham yang telah
ditentukan jumlahnya”.
C. Jenis Dan Macam-Macam Syirkah
a. Syirkah ibahah, yaitu “orang pada umumnya berserikat dalam hak milik
untuk mengambil atau menjaga sesuatu yang mubah yang pada asalnya
tidak dimiliki oleh seorangpun”.
b. Syirkah Milk, yaitu “jika dua orang atau lebih memiliki suatu barang atau
hutang secara bersama-sama karena suatu sebab kepemilikan, seperti
membeli, hibah, dan menerima wasiat”.
c. Syirkah al-‘aqd (transaksi), merupakan “syirkah yang dimaksud dalam
terminologi fuqaha’. Yaitu suatu istilah mengenai transaksi antara dua
orang atau lebih untuk bekerja secara komersial melalui modal atau
39
pekerjaan atau jaminan nama baik (al-wujuh) agar keuntungan dan
kerugian ditanggung bersama”.
4) Masing-masing salah satu dari keduanya harus memberi izin yang lainnya
dalam memperniagakan harta perkongsian itu,
40
2) Syarat yang berkaita dengan benih yang akan ditanam harus jelas dan
menghasilkan.
3) Syarat yang berkaitan dengan lahan pertanian adalah:
a) Lahan itu bisa diolah dan menghasilkan, sebab ada tanaman yang tidak
cocok ditanam didaerah tertentu.
b) Batas-batas lahan itu jalas.
c) Lahan itu sepenuhnya diserahkan kepada petani untuk dioalah dan
pemilik lahan tidak boleh ikut campur tangan untuk mengelolanya.
4) syarat yang berkaitan dengan hasil sebagai berikut:
a) Pembagian hasil panen harus jelas
b) Hasil panen itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa
ada pengkhususan seperti disisihkan lebih dahulu sekian persen.
c) Bagian atara amil dan malik adalah dari satu jenis barang yang sama.
d) Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
e) Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang maklum.
5) syarat yang berkaitan dengan waktu pun harus jelas didalam akad,
sehingga pengelola tidak dirugikan seperti membatalkan akad sewaktu-
waktu.
a) Waktu yang telah ditentukan.
b) Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud.
c) Waktu tersebut memungkinkan dua belah pehak hidup menurut
kabiasaan.
6) Syarat yang berhubungan dengan alat-alat muzara’ah, alat-alat tersebut
disyaratkan berupa hewan atau yang lain dibebankan kepada pemilik
tanah”.
2. Rukun-rukun Muzara’ahdan Mukhabarah
Jumhur ulama membolehkan akad muzara’ah, mengemukakan rukun yang
harus dipenuhi, agar akad itu menjadi sah.
a. Penggarap dan pemilik tanah (akid)
Akid adalah “seseorang yang mengadakan akad, disini berperan
sebagai penggarap atau pemilik tanah pihak-pihak yang mengadakan akid,
maka para mujtahid sepakat bahwa akad muzara’ah atau mukhabarah sah
apabila dilakukan oleh : seseorang yang telah mencapai umur, seseorang
berakal sempurna dan seseorang yang telah mampu berihtiar”.
b. Obyek muzara’ah dan mukhabarah (ma’qud ilaih)
“Ma’qud ilaih adalah “benda yang berlaku pada hukum akad atau
barang yang dijaddikan obyek pada akad”. Ia dijadikan rukun karena kedua
belah pihak telah mengetahui wujud barangnya, sifat keduanya serta
harganya dan manfaat apa yang diambil. Akad muzara’ah atau mukhabarah
itu tidak boleh kecuali tanah yang sudah diketahui.Kalau tidak diketahui
41
kecuali dengan dilihat seperti tanah pekarangan, maka dengan hal ini tidak
boleh hingga dilihat terlebih dahulu. Dan juga tidak boleh kecuali atas
tanah-tanah yang bermanfaat atau subur.Kesuburan tanah-tanah terseebut
dapat dilihat dari penggunaan tersebut pada masa sebelumnya atau dapat
menggunakan alat pengukur kualaitas kesuburan tanah tersebut. Hal ini
dilakukan untuk menghindari kerugian(baik tenaga maupun biaya) dari
masing-masing pihak yang bersangkutan.
c. Harus ada ketentuan bagi hasil
“Menurut ketentuan dalam akad muzara’ah atau mukhabarah perlu
diperhatikan ketentuan pembagian hasil seperti setengah, sepertiga,
seperempat, lebih banyak atau lebih sedikit dari itu”. Hal itu harus diketahui
dengan jelas, disamping untuk pembagiannya.Karena masalah yang sering
muncul kepermukaan dewasa ini dalam dunia perserikatan adalah masalah
yang menyangkut pembagian hasil serta waktu pembiayaan. Pembagian
hasil harus sesuai dengan kesepakatan keduanya.
42
b. Tukar-menukar tersebut atas suatu harta (barang). Atau sesuatu yang
dihukumi sebagai harta yang seimbang nilainya.
c. Adanya perpindahan kepemilikan antara pihak yang melakukan transaksi
tukar-menukar harta tersebut.
d. Dilakukan dengan cara tertentu / wajah tertentu, yang dibenarkan oleh
hukum syara’
2. Rukun dan Syarat Jual Beli
a. Akid adalah: “pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli, yang terdiri
dari penjual dan pembeli. Baik itu merupakan pemilik asli, maupun orang
lain yang menjadi wali / wakil dari sang pemilik asli. Sehingga ia memiliki
hak dan otoritas untuk mentransaksikanya”.
b. Ma’qud ‘Alaihi (obyek akad). Harus jelas bentuk, kadar dan sifat-sifatnya
dan diketahui dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Jadi, jual beli barang
yang samar, yang tidak dilihat oleh penjual dan pembeli atau salah satu dari
keduanya, maka dianggap tidak sah.
c. Shighat (ijab dan qabul)
“Ijaab adalah perkataan dari penjual, seperti aku jual barang ini kepadamu
dengan harga sekian”. Dan “qabul adalah ucapan dari pembeli, seperti aku
beli barang ini darimu dengan harga sekian”. Dimana, keduanya terdapat
persesuaian maksud meskipun berbeda lafaz seperti penjual berkata “aku
milikkan barang ini”, lalu pembeli berkata “aku beli” dan sebaliknya. Selain
itu tidak terpisah lama antara ijab dan qabulnya, sebab terpisah lama
tersebut membuat boleh keluarnya (batalnya) qabul tersebut”.
43
disyariatkan dalam islam. Hukum asalnya adalah boleh atau mubah bila
dilakukan dengan ketentuan yang ditetapkan islam”.
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبدلو االباحة بعوضمعلوم
“Penyewa memiliki manfaat yang ada paa seorang budak, rumah dan hewan
tunggangan sampai pada masa yang diisyaratkan, sehingga si penyewa barhak
untuk mengambil manfaat yang disewanya dari pada pemilik yang sebenarnya,
dan pemilik yang sebenarnya mendapatkan imbalan yang diambilnya dari
hewan tunggangan dan rumah itu.Ini sejenis dengan jual beli”.
44
2. Yang menyewa
3. Barang atau sesuatu yang disewakan
4. Harga atau nilai sewa”.
“Sewa-menyewa dipandang sah, jika memenuhi syarat-syaratnya sebagai
berikut :
1. Yang menyewakan dan yang menyewa telah baligh, berakal sehat dan
samasama ridho.
2. Barang atau sesuatu yang disewakan itu mempunyai faedah yang berharga,
faedahnya dapat dinikmati oleh yang menyewa dan kadarnya jelas,
misalnya: rumah disewa satu tahun, taksi disewa dari Yogya sampai Solo
satu hari, atau seorang pekerja disewa mengerjakan membuat pintu
berukuran sekian meter.
3. Harga sewanya dan keadaannya jelas, misalnya: rumah Rp.
1.000.000/bulan, dibayar tunai atau angsuran.
4. Barang yang diambil manfaatnya, harus masih tetap wujudnya sampai
waktu yang telah ditentukan menurut perjanjian.
5. Waktunya harus dapat diketahui dengan jelas, misalnya sehari, seminggu
atau sebulan dan seterusnya.
6. Dalam sewa-menyewa ini adakalanya berupa jasa, seperti dokter, tukang
pijat, supir dan lain-lain. Dan adakalanya berupa “kegunaan” suatu barang,
seperti: kebun untuk ditanami, rumah untuk dihuni, mobil untuk
mengangkat barang”.
1. Para pihak yang menyelenggarakan akad haruslah berbuat atas kemauan sendiri
dengan penuh kerelaan. Dalam konteks ini, tidaklah boleh dilakukan akad ijarah
oleh salah satu pihak atau kedua-duanya atas dasar keterpaksaan, baik
keterpaksaan itu datangnya daripihak-pihak yang berakad atau dari pihak lain.
2. Di dalam melakukan akad tidak boleh ada unsur penipuan, baik yang dating dari
mu’jir (orang yang menyewakan) ataupun dari musta’jir (penyewa). Banyak ayat
ataupun riwayat yang berbicara tentang tidak bolehnya berbuat khianat ataupun
menipu dalam berbagai lapangan kegiatan, dan penipuan ini merupakan suatu
sifat yang amat dicela agama. Dalam kerangka ini, kedua pihak yang melakukan
akad ijarah pun dituntut memiliki pengetahuan yang memadai akad objek yang
45
mereka jadikan sasaran dalam berijarah, sehingga antara keduanya tidak merasa
dirugikan atau tidak mendatangkan perselisihan di kemudian hari.
3. Sesuatu yang diakadkan mestilah sesuatu yang sesuai dengan realitas, bukan
sesuai yang tidak berwujud.
4. Manfaat dari sesuatu yang menjadi objek transaksi ijarah mestilah berupa sesuatu
yang mubah, bukan sesuatu yang haram. Ini berarti bahwa agama tidak
membenarkan terjadinya sewa-menyewa atau perburuhan terhadap sesuatu
perbuatan yang dilarang agama, seperti tidak boleh menyewakan rumah untuk
perbuatan maksiat, baik kemaksiatan itu datang dari pihak penyewa atau yang
menyewakan.
46