Anda di halaman 1dari 50

RESUME HUKUM EKONOMI SYARIAH

TUGAS

Diajukan Guna Memenuhi Tugas dalam

Mata Kuliah hukum ekonomi syariah

Kelas Ilmu Hukum 340

Dosen pengampu:  Yusika Riendy S.H.,M.H.

Disusun oleh:

Rangga Bimo Saputro 171010200995

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS PAMULANG

TANGERANG SELATAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, Penulis panjatkan atas limpahan


rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada Penulis sehingga Penulis
dapat menyelesaikan penulisan tugsd dengan cukup baik dengan judul: resume

hukum ekonomi syariah

Meskipun dengan usaha maksimal yang penulis kerahkan untuk


menyelesaikan tugas ini, penulis merasa bahwa tugas ini masih jauh dari pada
sempurna, oleh karena keterbatasan waktu dan tenaga, serta literatur bacaan.
Namun dengan ketekunan, tekad serta rasa keingintahuan akan ilmu pengetahuan,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas ini.

Penulis menyadari tugas ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik dosen pembimbing maupun
teman-teman sejawat. Segala bantuan, budi baik dan uluran tangan berbagai pihak
yang telah penulis terima tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Dalam kesempatan ini penulis memohon maaf sebesar-besarnya pada


semua pihak apabila dalam proses penyusunan tugas ini ada kesalahan yang telah
penulis lakukan baik yang sengaja maupun tidak sengaja.

Tangerang,july2020

Penulis

Rangga bimo

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I Sistem ekonomi syariah............................................................................1


1.1 Konsep Ekonomi Syariah............................................................................1
1.2 Perbedaan Sistem Ekonomi Syari'ah dengan Ekonomi Konvensional. .1
1.3 Daya tarik dan Keunggulan daripada Bank Syari'ah..............................3
BAB II Kepemilikan dalam islam........................................................................4
2.1 Konsep kepemilikan dalam islam.........................................................4
2.2 Transaksi yang dilarang dalam ekonomi syariah................................7
2.3 Etika dalam ekonomi syariah.................................................................8
BAB III Riba dalam perspektif agama dan sejarah..........................................9
3.1 Definisi riba..............................................................................................9
3.2 Konsep riba dalam perspektif non muslim.........................................10
3.3 Jenis-jenis riba.......................................................................................11
3.4 Dasar hukum riba dalam Al-quran dan Sunnah...............................12
3.5 Dampak negatif riba.............................................................................14
BAB IV Zakat dan pajak dalam sistem ekonomi nasional..............................19
4.1 Definisi zakat..........................................................................................19
4.2 Dasar hukum zakat...............................................................................21
4.3 Tujuan dan manfaat zakat...................................................................22
4.4 Prinsip-prinsip zakat.............................................................................23
4.5 Zakat dan pajak dalam sistem hukum nasional.................................24
BAB V bank syariah dan bank konvensional....................................................29
5.1 bank syariah...........................................................................................29
5.2 bank konvensional.................................................................................30
5.3 perbedaan bank syariah dan bank konvensional...............................32

ii
BAB VI Konsep muamalah dalam islam...........................................................35
6.1 menjelaskan mengenai gadai................................................................35
6.2 menjelaskan mengenai syirkah............................................................36
6.3 Muzara’ah dan Mukhabarah...............................................................39
6.4 Jual beli..................................................................................................41
6.5 Sewa menyewa.......................................................................................42

iii
BAB I
Sistem ekonomi syariah

1.1 Konsep Ekonomi Syariah


Indonesia yang sebagai Negara dengan penduduk muslim terbesar dan terluas
di dunia adalah suatu kewajaran jika tumbuh kecenderungan untuk menciptakan
sistem ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Bank Muamalat berbeda
dengan bank konvensional yang mempraktikan bunga. Bank Muamalat
mempunyai sistem bagi hasil ( mudharabah ) yang menjadi asas utama dalam
transaksi ('aqad) dan dinilai oleh warga masyarakat cukup efektif untuk
meminimalisir kerugian kedua belah pihak ( pihak bank dan nasabahnya ).
Kekuatan Bank Muamalat ternyata bukan terletak pada besarnya rasio kecukupan
modal yang dimilikinya, justru terdapat sistem untung dan rugi bagi sama ( lose
and profit sharing ) yang di terapkannya. Dan segi aspek etos kerja sistem ini
dapat memacu kedua belah pihak untuk tetap menggunakan modalnya dalam
koridor bisnis produktif dan sedapat mungkin menghindari bisnis konsumtif yang
justru dapat mengurangi modal yang telah dimilikinya
Dengan demikian, Sistem Ekonomi Islam tidak bisa disamakan dengan
Sistem Ekonomi Kapitalis yang kini tampil dengan Ekonomi Neo Liberal' nya dan
sering mengklaim sebagai Sistem Ekonomi Modern. Dan Sistem Ekonomi Islam
juga tidak bisa disamakan dengan Sistem Ekonomi Komunis atau yang kini tampil
dengan Ekonomi Neo Sosialis nya dan sering mengklaim sebagai Sistem Ekonomi
Kerakyatan.

1.2 Perbedaan Sistem Ekonomi Syari'ah dengan Ekonomi


Konvensional
1. Ekonomi Syari'ah
Ekonomi Syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang
perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak
berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat

1
komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah. Selain itu, dalam
rangka melindungi keseimbangan individual dan sosial dalam aktivitas
ekonomi umat, maka Sistem Ekonomi Islam membuat proteksi yang tinggi
dan segala penyimpangan perilaku ekonomi yang mengancam dan
membahayakan keseimbangan tersebut.3 Lebih dan itu, Sistem Ekonomi
Islam tidak hanya menjaga keseimbangan antara hak individu dan hak
sosial, bahkan antara hak Khaliq dan hak makhluq. Karenanya, Ekonomi
Islam disebut sebagai Ekonomi Wasathiyah (Ekonomi Pertengahan) yaitu
sistem ekonomi yang menjaga tawazun (keseimbangan) antara : Hak Allah
dan Hak Manusia, Hak Dunia dan Hak Akhirat, Hak Individu dan Hak
Sosial, Hak Rakyat dan Hak Negara.

2. Ekonomi Konvensional
Pada krisis ekonomi yang sering terjadi ditengarai adalah ulah dari
sistem ekonomi konvensional. Karena ekonomi konvensional selalu
mengedepankan sistem bunga sebagai instrumen provitnya. Berikut
dibawah ini adalah hasil daripada Sistem Konvensional yang penulis
dapatkan dari beberapa referensi : a) Zionis dan Riba Kalangan Zionis
Yahudi mengharamkan "Transaksi Riba" antar sesama Yahudi, namun
mewajibkannya terhadap selain Yahudi. Zionislah yang pertama
menciptakan "Sistem Perbankan Ribawi" untuk tujuan penaklukan semua
bangsa-bangsa secara ekonomi dan keuangan. Zionis jugalah yang
menciptakan IMF dan World Bank sebagai sentral transaksi keuangan
Dunia, sekaligus yang mengontrol dan mengendalikan seluruh Bank Riba
di atas muka Bumi, sehingga seluruh keuntungan Bank Riba dan berbagai
negara akan terns mengalir ke perbendaharaan Zionis Internasional.

Dalam tulisan ini akan dipaparkan secara singkat bagaimana "Permainan


Zionis" dalam Sistem Perbankan Ribawi yang diciptakannya.
 Menabung
 Berbohong

2
 Iklan Mahal
 Bebas Pakai
 Dana Bank
 Kerja Bank
 Kredit Bank
 Bisnis Maksiat

1.3 Daya tarik dan Keunggulan daripada Bank Syari'ah


Sejarah mencatat bahwa ekonomi syari'ah diciptakan dan telah dipakai sejak
masa kejayaan Islam selama berabad-abad dan sukses membawa kemakmuran dan
kejayaan pada masyarakat Islam saat itu. Fakta ini membawa pemikiran baru
untuk kembali memakai ekonomi Syari'ah agar dunia Islam dapat kembali kepada
masa kejayaannya, dengan menerapkan konsep ekonomi dan muamalat secara adil
dan merata. Dampak ketidakseimbangan penerapan konsep ekonomi kapitalis
melahirkan konglomerasi sebagian orang lainnya. Hal ini mendorong pemikiran
ekonomi syari'ah hingga berkembang pesat. Perkembangan ini bukan hanya
terjadi di dunia muslim, tetapi diseluruh dunia. Uniknya, di Eropa yang
notabenenya nonmuslim dan menciptakan ekonomi kapitalis, malah lebih antusias
memakai sistem ekonomi syariah jika dibandingkan dengan sebagian negara
muslim.

Daya tarik dan keunggulan daripada bank Syari'ah adalah sebagai berikut :

 Berpihak pada Nasabah


 Kebersamaan
 Tahan Menghadapi Gejolak Moneter
 Ikatan Emosional Yang Kuat
 Menekan Inflasi
 Pemihakan pada Ekonomi Rakyat
 Kelonggaran Psikologis
 Tidak Diskriminatif

3
 Memberikan Kesempatan yang Luas
 Meningkatkan Produksi dan Memperlancar Arus Barang
 Pinjaman Lunak

4
BAB II
Kepemilikan dalam islam

2.1 Konsep kepemilikan dalam islam


Dalam Islam terdapat tiga unsur-unsur kepemilikan, yaitu “kepemilikan
individu (private property), kepemilikan umum (public property), dan
kepemilikan Negara (state property)”.

1. Kepemilikan Individu / Private Property


Kecenderungan pada kesenangan adalah fitrah manusia, Allah
menghiasi pada diri manusia kecintaan terhadap wanita, anak-anak, dan
harta benda. Sebagaimana Allah suratkan dalam Al Qur’an,
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa
yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda
yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak
dan sawah ladang. Itulah kesenanganhidup didunia, dan disisi Allah lah
tempat kembali yang baik” (Q.S Ali Imran:14)
Dalam ayat diatas dengan sangat jelas Allah menjelaskan bahwa
kecenderungan manusia terhadap kesenangan adalah fitrah manusia. Oleh
karena itu, manusia terdorong untuk memperolehnya dan berusaha untuk
mendapatkannya. Hal ini sudah menjadi suatu keharusan. Dari sinilah, maka
usaha manusia untuk memperoleh kekayaan adalah suatu hal yang fitri, dan
merupakan suatu yang pasti dan harus dilakukan.

2. Kepemilikan Umum / Public Property


Kepemilikan umum adalah “izin Syari’ kepada suatu komunitas
masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan suatu barang atau harta.
Benda-benda yang termasuk kedalam kategori kepemilikan umum adalah
benda-benda yang telah dinyatakan oleh Asy-Syari’ memang diperuntukan
untuk suatu komunitas masyarakat”. Benda-benda yang termasuk kedalam
kepemilkan umum sebagai berikut:
1) Merupakan fasilitas umum, kalau tidak ada didalam suatu negri atau
suatu komunitas maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya.
2) Barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya.
3) Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk
dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.

3. Kepemilikan Negara / State Property

5
Kepemilikan Negara adalah “harta yang merupakan hak seluruh kaum
muslim, sementara pengelolaannya menjadi wewenang Negara. Asy Syari’
telah menentukan harta-harta sebagai milik Negara; Negara berhak
mengelolanya sesuai denga pandangan dan ijtihad. Yang termasuk harta
Negara adalah fai, Kharaj, Jizyah dan sebagainya. Sebab syariat tidak
pernah menentukan sasaran dari harta yang dikelola. Perbedaan harta
kepemilikan umum dan Negara adalah, harta kepemilikan umum pada
dasarnya tidak dapat di berikan Negara kepada individu. Sedang harta
kepemilikan Negara dapat di berikan kepada individu sesuai dengan
ketentuan yang telah disepakati”.

4. Sebab-Sebab Kepemilikan
Harta (al maal) adalah “apa saja yang bisa menjadi kekayaan, apapun
bentuknya. Sedang, yang dimaksud dengan sebab kepemilikan (sabab at
tamalluk) adalah sebab yang bisa menjadikan seseorang memiliki harta, yang
sebelumnya bukan memjadi miliknya. Adapun sebab-sebab pengembangan
kepemilikan adalah perbanyakan kuantitas harta yang sudah dimiliki”.

1. Bekerja
Kata bekerja sangat luas maknanya, beraneka ragam jenisnya,
bermacam-macam bentuknya. Allah telah menentukan bentuk-bentuk kerja dan
jenisnya yang layak untuk di kerjakan sebagai sebab kepemilikan. Dalam
hukum-hukum syariat sudah sangat jelas ketentuan-ketentuan terkait hal ini.

2. Warisan
Warisan adalah “salah satu sebab-sebab seseorang memiliki harta
kepemilikan. Sifat dari kepemilikan harta ini diperoleh secara turun-temurun
kepemilikan dari orang tua ke ahli waris yang berhak didasarkan prinsip-
prinsip kewarisan Islam”. Allah berfirman:
“Allah mensyariatkan kepada kalian tentang (pembagian harta
pusaka untuk anak-anak kalian, yaitu: bagian seorang anak laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan; jika anak itu
semuanya wanita lebih dari dua orang maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan.” (QS. An Nisa : 11)

3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup (darurat)

Diantara sebab-sebab kepemilikan adalah adanya kebutuhan akan


harta untuk menyambung hidup. Sebab, kehidupan adalah hak bagi setiap
orang. Sesorang wajib untuk mendapatkan kehidupan sebagi haknya. Salah

6
satu hal yang dapat menjamin seseorang untuk hidup adalah denga bekerja,
untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

4. Pemberian harta Negara untuk rakyat


Yang juga termasuk kedalam sebab kepemilikan adalah “pemberian
Negara kepada rakyat yang diambil dari baitulmal, baik dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan mereka atau memanfaatkan kepemilikan mereka.
Dapat berupa pemberian tanah untuk digarap, atau melunasi utang-utang
mereka. Pada masa Khalifah Umar bin Khatab pernah memberikan para
petani di Irak harta dari Baitul Mal, yang bisa membantu mereka untuk
menggarap tanah pertanian mereka, serta memenuhi hajat hidup mereka,
tanpa meminta imbalan dari mereka”.

5. Harta yang diperoleh tanpa harta dan tenaga


“Yang termasuk kedalam kategori harta yang diperoleh dari tanpa
harta dan tenaga ada lima, yaitu :
 Hubungan antara individu satu sama lain, baik ketika masih hidup
seperti Hibah dan Hadiah, atau pun ketika sepeninggal mereka, seperti
wasiat.
 Menerima harta sebagai gantirugi dari kemudharatan yang menimpa
seseorang, seperti Diyat (denda) atas oaring yang terbunuh atau
terluka.
 Memperoleh mahar berikut harta yang diperoleh melalui akad nikah
 Barang temuan (luqathah)
 Santunan untuk Khalifah atau orang-orang yang disamakan
statusnya”.

6. Harta yang diperoleh tanpa harta dan tenaga


“Yang termasuk kedalam kategori harta yang diperoleh dari tanpa
harta dan tenaga ada lima, yaitu :
 Hubungan antara individu satu sama lain, baik ketika masih hidup
seperti Hibah dan Hadiah, atau pun ketika sepeninggal mereka, seperti
wasiat.
 Menerima harta sebagai gantirugi dari kemudharatan yang menimpa
seseorang, seperti Diyat (denda) atas oaring yang terbunuh atau
terluka.
 Memperoleh mahar berikut harta yang diperoleh melalui akad nikah
 Barang temuan (luqathah)

7
 Santunan untuk Khalifah atau orang-orang yang disamakan statusnya”

2.2 Transaksi yang dilarang dalam ekonomi syariah


1. Riba
Riba adalah “jenis transaksi terlarang yang bersifat ma’lumun minad din bid darurah.
Keharamannya bersifat absolut dari al-Qur’an dan Sunnah dan sumber hukum
lainnya”.Banyak ayat dan hadis yang menyebutkan segala hal yang berkaitan dengan
riba. Semuanya menunjukkan bahwa riba adalah “transaksi yang dilarang secara
absolut. Dalam al-Qur’an, pengharaman riba dilakukan dalam empat tahap
menyesuaikan gradual penerimaan masyarakat akan larangan ini”. Hal ini disebabkan
karena riba adalah “transaksi yang awalnya lumrah dilakukan dalam keseharian”.
Adapun tahapan yang dimaksud secara berurutan terdapat dalam surat Ar Rum: 39, An
Nisa: 160-161, Ali Imran: 130, dan Al Baqarah: 278-179.
2. Gharar
Secara bahasa gharar berarti al-khatr (resiko, berbahaya). Secara istilah : Menurut Ibn
Abidin, gharar adalah keraguan atas wujud fisik dari obyek transaksi. “Menurut Ibn
Hazm, unsur gharar dalam transaksi bisnis jual beli adalah sesuatu yang tidak diketahui
pembeli apa yang ia beli dan penjual apa yang ia jual. Imam Sharkasi, gharar adalah
sesuatu yang akibatnya tidak dapat diprediksi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama ahli
fiqh”.
3. Bai lnah
“Yaitu seseorang membeli sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh dengan
harga tertentu, lalu menjualnya kembali dengan harga yang lebih rendah secara tunai.
Substansinya adalah bukan jual beli tetapi utang piutang dengan adanya tambahan dan
tidak ada perpindahan barang secara title. Dinamakan dengan inah karena pelakunya
memperoleh uang (ayn) atau karena dalam inah wujud (ayn) barang kembali ke
pemiliknya
4. Bai Tawarruq
Bai’ tawarruq hampir mirip dengan bai al-‘inah. Jika bai’ al’inah penjualan kembali
barang dilakukan  kepada penjual semula, sedangkan bai’ tawarruq, penjulan barang
yang baru dibelinya secara cicilan itu dijual kepada pihak ketiga.
5. Bai Dayn

8
“Dalam Islam, muamalat dalam bentuk utang-piutang adalah sesuatu yang
dibolehkan”.“Bai dayn adalah salah satu kontrak jual beli dimana kreditor menjual hak
“utang”nya kepada debitur itu sendiri atau pihak lain”

2.3 Etika dalam ekonomi syariah


Ajaran Islam tidak pernah memisahkan antara ekonomi dan etika atau akhlak
dalam tataran amaliyahnya karena kerangka dasar ajaran Islam (Aqidah, syariah dan
akhlak) menjadi satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan. Itulah salah satu ciri
perbedaan yang mendasar antara ekonomi syariah dengan sistem ekonomi liberal,
kapitalis dan sosialis.
Di dalam Islam, “rangkaian keimanan seseorang teramu dari kepercayaan,
keyakinan dan keimanan yang teguh terhadap ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh
agama. Jika the spirit of trust memiliki keterkaitan aksi dan prilaku seseorang, maka
agama (dalam hal ini Islam) juga memiliki keterkaitan aksi dan prilaku terhadap
setiap tindakan seseorang. Tolak ukurnya adalah, bahwa di dalam al-Qur’an banyak
sekali ayat yang menguraikan the spirit of trust terhadap kegiatan ekonomi
diantaranya adalah, tentang akad, kepercayaan, keadilan, etika dan lain sebagainya.
Secara sederhana, Islam sebagai the spirit of trust memiliki peranan meramu dan
merumuskan beberapa variabel aksi ajaran yang berkenaan dengan aktifitas dan
kegiatan ekonomi seseorang”.
Umat Islam diberikan kebebasan untuk mencari keuntungan yang sebanyak-
banyaknya, namun disisi lain ia terikat dengan hukum Islam, sehingga tidak bebas
mutlak dalam menginvestasikan modalnya ataupun membelanjakan hartanya.
Berbisnis dengan cara yang syariah sebagai sarana beribadah kepada Allah SWT.
Al-Qur’an memiliki peranan penting di dalam meramu sistem ekonomi Islam.
“Sistem ekonomi Islam berpedoman kepada nilai-nilai etika yang diketengahkan
oleh al-Qur’an”. Sehingga tidak ada sistem ekonomi yang tercipta dengan
melepaskan pedoman etika qur’ani. Hal ini secara umum digambarkan oleh al-
Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkahlangkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (Q.s. [2]: 208). ‘Keseluruhan’ di sini adalah
“perihal menyeluruh baik ibadah dan muamalah, baik perihal sholat ataupun cara
mencari nafkah, dan begitupula di dalam ekonomi, dimana sistemnya telah
ditetapkan oleh Islam yang termaktub di dalam al-Qur’an”.
“Menurut Yusuf Qardhawi, mengemukakan bahwa Islam telah sukses dalam
menggaubungkan etika dan ekonomi, sementara sistem kapitalis, liberalis dan
sosialis memisahkan keduanya

9
BAB III
Riba dalam perspektif agama dan sejarah
3.1 Definisi riba
Di dalam “Kamus Bahasa Indonesia, pengertian riba adalah pelepas uang, lintah
darat, bunga uang dan rente”. Sehingga tidak dapat diambil kesimpulan yang
konklusif (simpul) tentang riba, dan tidak ditemui perbedaan yang tegas antara riba
dengan bunga.
Sementara itu, “Riba menurut bahasa berarti tambahan (ziyadah). Secara
linguistik, riba juga berarti tumbuh dan besar”. Sedangkan menurut syara’,
riba adalah tambahan yang diperoleh dari seseorang yang meminjam (barang
atau uang) dengan tempo atau batas waktu. Menurut Ali bin Muhammad al-
Juijani, riba adalah tambahan yang tidak menjadi imbalan bagi sesuatu
yang disyaratkan bagi salah seorang yang meminjam dan yang memberi
pinjaman. “Riba menurut istilah tadi barangkali terlalu sempit. Istilah yang
lebih baik dikemukakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman Taj, yaitu setiap tambahan
pada salah satu pihak (dalam) akad mu’awwadlah tanpa mendapat imbalan, atau
tambahan itu diperoleh karena penangguhan”. Adapun menurut “istilah teknis, riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil”

Diskursus mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam


perkembangan pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba
merupakan permasalahan yang pelik dan sering terjadi pada masyarakat, hal ini
disebabkan perbuatan riba sangat erat kaitannya dengan transaksi-transaksi di
bidang perekonomian (dalam Islam disebut kegiatan muamalah) yang sering
dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-hari. Pada dasarnya, transaksi
riba dapat terjadi dari transaksi hutang piutang, namun bentuk dari sumber tersebut
bisa berupa qardh (pinjaman), buyu (jual beli) dan lain sebagainya. Para ulama
menetapkan dengan tegas dan jelas tentang pelarangan riba, disebabkan riba
mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya merugikan orang lain, hal ini
mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama. Bahkan dapat

10
dikatakan tentang pelarangannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam.
“Beberapa pemikir Islam berpendapat bahwa riba tidak hanya dianggap sebagai
sesuatu yang tidak bermoral melainkan sesuatu yang menghambat aktifitas
perekonomian masyarakat. Sehingga orang kaya akan semakin kaya sedangkan
orang miskin akan semakin miskin dan tertindas”.

3.2 Konsep riba dalam perspektif non muslim


Tidak hanya orang Islam saja yang mengharamkan riba, akan tetapi semua
agama telah mencela riba, sampai orang Yahudi pun mengharamkannya antar
mereka meskipun membolehkannya dalam hubungan bisnis mereka dengan bangsa
selain Yahudi, sebagaimana terekam dalam pernyataan mereka”.

1. Kitab Eksodus (keluaran) padal 22 ayat 25


“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang ummatku, orang yang
miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang
terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya”.

2. Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19:


“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun
bahan makanan, atau apa pun yang dapat dingakan”

3. Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7:


“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan
engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu.
Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga
makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba”.

Adapun kalangan umat Kristen terinspirasi oleh Lukas 6:34-35 yang


berbunyi :
“6:34 Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu
berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu?   Orang-orang
berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima
kembali sama banyak. 6:35  Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik
kepada mereka   dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka
upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak   Allah Yang

11
Mahatinggi,   sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih
dan terhadap orang-orang jahat”.

Karena tidak secara tegas menolak bunga, maka timbul beberapa persepsi dan
tafsiran tentang boleh tidaknya praktek bunga. “Para pendeta Kristen di Abad I
hingga abad XII dengan tegas menolak dan mengharamkan bunga. Namun pada
abad XII hingga abad XVI, beberapa pendeta muda mulai mengajukan usulan
diperbolehkannya bunga. Dan pada abad XVI sampai dengan tahun 1836, atas
pandangan beberapa reformis Kristen, para pendeta Kristen sudah mulai
merealisasikan penghalalan system riba”.

3.3 Jenis-jenis riba

Pendapat ulama fiqh, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Sura’i Abdul Hadi
(1993) membagi riba menjadi dua macam, yaitu ribâ fad.l dan riba an-nasî'ah.
Ribâ fad.l adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh para
ulama fiqh dengan “kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan
dengan ukuran syara”, yang dimaksud dengan ukuran syara’ adalah “timbangan atau
ukuran tertentu. Misalnya, satu kilogram beras dijual dengan satu seperempat
kilogram. Kelebihan ¼ kg tersebut disebut ribâ fad.l. Jual beli semacam ini disebut
dengan barte”r.

Sedangkan riba an-nasî'ah adalah “kelebihan atas piutang yang diberikan orang
berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila
waktu tempo telah tiba, ternyata orang yang berutang tidak sanggup membayar
hutang dan kelebihannya, maka waktu bisa diperpanjang dan utangnya pun
bertambah”.

Sehubungan dengan dua macam jenis riba tersebut, para ulama fiqh berbeda
pendapat. Menurut ulama mazhab Hanafi dalam salah satu riwayat imam Ahmad
bin Hanbal, “ribâ fadl ini hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang
sejenis, bukan terhadap nilai harta, maka kelebihan yang terjadi tidak termasuk
ribâ fadl”.

Sementara itu, mazhab Maliki dan Syafi’i berpendirian bahwa ‘illat keharaman
ribâ fadl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari
sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk. Intinya apapun bentuk emas dan
perak apabila sejenis, tidak boleh diperjualbelikan dengan cara menghargai yang
satu lebih banyak dari yang lain. Pelarangan ribâ an-nasî'ah mempunyai pengertian

12
bahwa penetapan keuntungan positif atas uang yang harus dikembalikan dari suatu
pinjaman sebagai imbalan karena menanti, pada dasarnya tidak diizinkan syari’ah,
intinya penetapan keuntungan positif di muka yang menurut syari’ah pembayaran
kembali pinjaman tidak dengan sendirinya menghasilkan justifikasi atas keuntungan
positif dimaksud.

Adapun yang dimaksud dengan “jenis barang ribawi menurut para ahli fiqh
Islam, meliputi:

A. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk
lainnya;
B. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan
makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan”.

3.4 Dasar hukum riba dalam Al-quran dan Sunnah


Larangan supaya umat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber
dari berbagai dalil-dalil di dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW.
1. Larangan Riba dalam Al-Qu’an

Menurut “Antonio Syafei, larangan riba yang terdapat dalam Al-Qr’an tidak
diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap”.

Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada


zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan
mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT

Surat ar-Ruum ayat 39

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”

Tahap kedua, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT
mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang
memakan riba.

Surat an-Nisa ayat 160-161

13
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah,
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka
Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda
orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.“

Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan


yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan
tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada
masa tersebut, Allah berfirman dalam Surat Ali-Imran ayat 130

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan ribadengan


berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan”.

Tahap keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun
jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang
diturunkan menyangkut riba.

Surat Al-Baqarah ayat 278-279

“Hai orang-orang beriman, bertakwalah pada Allah dan tinggalkan sisa


riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
melaksanakan (apa yang diperintahkan ini) maka ketahuilah, bahwa akan
terjadi perang dahsyat dari Allah dan RosulNya dan jika kamu bertaubat
maka bagi kamu pokok harta kamu, kamu tidak dianiaya dan tidak (pula)
dianiaya”.

2. Larangan Riba dalam Hadits/as-Sunnah


Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada al-Quran melainkan
juga al-Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk
menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui al-Quran,

14
pelarangan riba dalam hadits lebih terinci. Banyak hadits yang menguraikan
masalah riba. Di antaranya adalah:
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak
yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari tubuh),
ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku
bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab,
bahwa Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk menerima
uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan, beliau juga
melaknat pekerjaan pembuat tato dan yang minta ditato, menerima dan
memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.” (Shahih al-
Bukhari no. 2084 kitab Al-Buyu’)

Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakr bahwa ayahnya


berkata, “Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang penjualan
emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan
membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya
sesuai dengan keinginan kita." (Shahih al-Bukhari no. 2034, kitab Al-
Buyu’)

Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah  Shallallahu


'alaihi wa sallam bersabda, "Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan
(cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan,
sesungguhnya ia telah berurusan denga riba. Penerima dan pemberi
statusnya sama (berdosa)." (Shahih Muslim no. 2971, dalam kitab Al-
Masaqqah) 

Jabir berkata bahwa Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutuk


orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang
mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, "Mereka
itu semuanya sama." (Shahih Muslim no. 2995, kitab Al-Masaqqah).

Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi  Shallallahu 'alaihi


wa sallam bersabda: “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling
rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan
ibunya!”

3.5 Dampak negatif riba


A. Dampak negatif bagi individu

15
 Riba memberikan dampak negatif bagi akhlak dan jiwa pelakunya. Jika
diperhatikan, maka kita akan menemukan bahwa mereka yang
berinteraksi dengan riba adalah individu yang secara alami memiliki
sifat kikir, dada yang sempit, berhati keras, menyembah harta, tamak
akan kemewahan dunia dan sifat-sifat hina lainnya.
 Riba merupakan akhlaq dan perbuatan musuh Allah, Yahudi.
Allah ta’ala berfirman:

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka


Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda
orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An Nisaa’: 161)

 Riba merupakan akhlak kaum jahiliyah. Barang siapa yang


melakukannya, maka sungguh dia telah menyamakan dirinya dengan
mereka.
 Pelaku (baca: pemakan) riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak
dalam keadaan seperti orang gila. Allah ta’ala berfirman:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan


seperti berdirinya  orang  yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang
kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)

 Seseorang yang bergelut dan berinteraksi dengan riba berarti secara


terang-terangan mengumumkan dirinya sebagai penentang Allah dan
rasul-Nya dan dirinya layak diperangi oleh Allah dan rasul-Nya.
Allah ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan


tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan
memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279).

16
 Memakan riba menunjukkan kelemahan dan lenyapnya takwa dalam
diri pelakunya. Hal ini menyebabkan kerugian di dunia dan akhirat.
Allah ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba


dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api
neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah
Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat.”(QS. Ali Imran: 130-132)

 Memakan riba menyebabkan pelakunya mendapat laknat dan dijauhkan


dari rahmat Allah. Rasulullah pun melaknat pemakan riba, yang
memberi riba, juru tulisnya dan kedua saksinya, beliau
berkata, “Mereka semua sama saja.” (HR. Muslim: 2995)
 Setelah meninggal, pemakan riba akan di adzab dengan berenang di
sungai darah sembari mulutnya dilempari dengan bebatuan sehingga
dirinya tidak mampu untuk keluar dari sungai tersebut, sebagaimana
yang ditunjukkan dalah hadits Samurah radliallahu ‘anhu (HR. Bukhari
3/11 nomor 2085)
 Memakan riba merupakan salah satu perbuatan yang dapat
menghantarkan kepada kebinasaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan!” Para
sahabat bertanya, “Apa sajakah perkara tersebut, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Syirik, sihir, membunuh jiwa yan
diharamkan Allah kecuali dengan cara yang hak, memakan riba,
memakan harta anak yatim, lari dari medan pertempuran dan menuduh
wanita mukminah berzina.” (HR. Bukhari nomor 2615, Muslim nomor
89)
 Riba merupakan perbuatan maksiat kepada Allah dan rasul-Nya.
Allah ‘Azza wa Jalla  berfirman,

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut


akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nuur:
63)

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan


melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan. (QS. An Nisaa: 14)

17
 Pemakan riba diancam dengan neraka jika tidak bertaubat. Allah ‘Azza
wa Jalla berfirman,

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.


orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)

 Allah tidak akan menerima sedekah yang diperoleh dari riba, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Allah itu baik dan tidak akan menerima sesuatu kecuali yang
baik.” (HR. Muslim 2/3 nomor 1014)
 Do’a seorang pemakan riba tidak akan terkabul. Rasullullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menceritakan bahwa ada seorang yang
bersafar kemudian menengadahkan tangannya ke langit seraya berdo’a,
“Ya Rabbi, ya Rabbi!” Akan tetapi makanan dan minumannya berasal
dari yang haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan oleh barang
yang haram. Maka bagaimana bisa do’anya akan dikabulkan?! (HR.
Muslim nomor 1014)
 Memakan riba menyebabkan hati membatu dan memasukkan “ar
raan”  ke dalam hati. Allah ta’ala berfirman,

“Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka


usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthaffifin: 14)

 Riba melunturkan rasa simpati dan kasih sayang dari diri seseorang.
Karena seorang rentenir tidak akan ragu untuk mengambil seluruh harta
orang yang berhutang kepadanya. Oleh karena itu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah sifat kasih sayang itu diangkat kecuali dari seorang yang
celaka.” (HR. Abu Dawud nomor 4942, Tirmidzi nomor 1923 dan
hadits ini dishahihkan oleh al ‘Allamah Al Albani dalam Shahih
Tirmidzi, 2/180)

B. Dampak negatif bagi masyarakat dan perekonomian

18
 Riba menimbulkan permusuhan dan kebencian antar individu dan
masyarakat serta menumbuhkembangkan fitnah dan terputusnya jalinan
persaudaraan.
 Masyarakat yang berinteraksi dengan riba adalah masyarakat yang
miskin, tidak memiliki rasa simpatik. Mereka tidak akan saling tolong
menolong dan membantu sesama manusia kecuali ada keinginan
tertentu yang tersembunyi di balik bantuan yang mereka berikan.
Masyarakat seperti ini tidak akan pernah merasakan kesejahteraan dan
ketenangan. Bahkan kekacauan dan kesenjangan akan senantiasa terjadi
di setiap saat.
 Perbuatan riba mengarahkan ekonomi ke arah yang menyimpang dan
hal tersebut mengakibatkan ishraf (pemborosan).
 Riba mengakibatkan harta kaum muslimin berada dalam genggaman
musuh dan hal ini salah satu musibah terbesar yang menimpa kaum
muslimin. Karena, mereka telah menitipkan sebagian besar harta
mereka kepada bank-bank ribawi yang terletak di berbagai negara kafir.
Hal ini akan melunturkan dan menghilangkan sifat ulet dan kerajinan
dari kaum muslimin serta membantu kaum kuffar atau pelaku riba
dalam melemahkan kaum muslimin dan mengambil manfaat dari harta
mereka.
 Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu
kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari
Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka
sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk
diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim 2/37, beliau menshahihkannya dan
disetujui oleh Adz Dzahabi. Syaikh Al Albani menghasankan hadits ini
dalam Ghayatul Maram fii Takhrij Ahaditsil Halal wal Haram  hal. 203 nomor
344)

 Memakan riba merupakan sebab yang akan menghalangi suatu


masyarakat dari berbagai kebaikan. Allah ta’ala berfirman,

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas


mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan
bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang
lain dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”  (QS. An Nisaa’: 160-161)

19
 Maraknya praktek riba sekaligus menunjukkan rendahnya rasa simpatik antara
sesama muslim, sehingga seorang muslim yang sedang kesulitan dan
membutuhkan lebih “rela” pergi ke lembaga keuangan ribawi karena sulit
menemukan saudara seiman yang dapat membantunya.

 Maraknya praktek riba juga menunjukkan semakin tingginya gaya hidup


konsumtif dan kapitalis di kalangan kaum muslimin, mengingat tidak sedikit
kaum muslimin yang terjerat dengan hutang ribawi disebabkan menuruti hawa
nafsu mereka untuk mendapatkan kebutuhan yang tidak mendesak.

BAB IV
Zakat dan pajak dalam sistem ekonomi nasional
4.1 Definisi zakat

Istilah zakat merupakan istilah khusus yang ada dalam agama Islam yang
diambil dari bahasa Arab yaitu “zakaa” yang berarti bertambah atau berkembang.
Secara istilah syariat, zakat merupakan kewajiban yang diperintah oleh Allah SWT
untuk mengeluarkan harta tertentu kepada pihak tertentu. Dengan pengertian
demikian, zakat sering kali dibandingkan dengan pajak atau pungutan agama wajib. Jika
dimaknai demikian, maka bukan hanya agama Islam yang menerapkan kewajiban
mengeluarkan harta, namun juga agama samawi lain, seperti Yahudi atau Kristen.
Untuk itu, di bawah ini akan dibahas apa pengertian zakat dan bagaimana agama
menerapkan zakat dan perbedaan zakat dengan sedekah.

Secara bahasa, “zakat merupakan kata dasar (masdar) zaka yang berarti tumbuh,
bersih dan baik”. Jika zakat ditujukan kepada seseorang, itu berarti untuk
meningkat, untuk menjadi lebih baik. Maka, orang berzakat dimaknai orang tersebut
diberkahi, tumbuh, bersih dan baik. Istilah ini digunakan dalam Al-Quran maupun
Hadis. Zakat secara istilah ini dapat ditemukan pada beberapa ayat Al-Quran, seperti
makna tumbuh berkembang (QS Al-Kahfi (18):81), suci atau bersih hatinya (QS
Maryam (19):13), suci atau bersih dari kemungkaran (QS An-Nur (24):21) dan
menyucikan (QS At-Taubah (9):103).

Berikut ini “pandangan ulama dari empat mazhab utama dalam memaknai
zakat”:

1. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki mendefinisikan zakat dengan mengeluarkan sebagian yang
khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas

20
yang wajib dizakatkan) kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq).
Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan
barang tambang dan pertanian.

2. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi mendefinisikan zakat dengan menjadikan sebagian harta yang
khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan
oleh syariah karena Allah SWT. Penjelasan: yang dimaksud dengan kata
”menjadikan sebagian harta yang khusus” dalam definisi di atas dimaksudkan
sebagai penghindaran dari kata ibahah (pembolehan). Dengan demikian, seandainya
seseorang memberi makan seorang yatim dengan niat mengeluarkan zakat, maka
zakat dengan cara kepada anak yatim tersebut seperti halnya ketika dia memberikan
pakaian kepadanya, dengan syarat kepemilikan harta itu dikaitkan kepadanya
(yakni, orang yang menerimanya). Jika harta yang diberikan itu hanya dihukumi
sebagai nafkah kepada anak yatim, syarat-syarat tersebut tidak diperlukan.

Yang dimaksud dengan kata “sebagian harta” dalam pernyataaan di atas


adalah keluarnya manfaat (harta) dari orang lain untuk berdiam di rumahnya
selama setahun dengan diniati sebagai zakat, maka hal itu belum bisa dianggap
sebagai zakat. Yang dimaksud dengan “bagian yang khusus” adalah kadar yang
wajib dikeluarkan dan maksud “harta yang khusus” adalah nishab yang ditentukan
oleh syariat. Maksud “orang yang khusus” ialah para mustahiq zakat. Yang
dimaksud dengan “yang ditentukan oleh syariat” ialah seperempat puluh (yakni
2,5%) dari nishab yang ditentukan dan telah mencapai hawl, dengan ukuran
seperti inilah zakat nafilah dan zakat fitrah dikecualikan. Sedangkan yang
dimaksud dengan pernyataan “karena Allah SWT” adalah bahwa zakat itu dimaksud
untuk mendapatkan ridha Allah SWT.

3. Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i mendefinisikan zakat adalah “ungkapan untuk keluarnya
harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus. Cara khusus adalah terkait dengan

21
cara dalam pengambilan dari harta yang tertentu menurut sifat- sifat tertentu
(untuk diberikan) kepada golongan yang tertentu dan dengan niat tertentu”.

4. Madhzab Hambali
Mazhab Hambali mendefinisikan zakat ialah “hak yang wajib (dikeluarkan) dari
harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula”. Dari pengertian zakat
menurut Mazhab Hambali di atas, yang dimaksud dengan “kelompok yang khusus”
adalah delapan kelompok yang diisyaratkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran surat
At-Taubah (9): 60:

Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,


orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Secara umum kewajiban zakat ini ada dua jenis, yaitu:

1) Zakat mal atau zakat harta

Zakat mal artinya “sebagaimana dijelaskan di atas yaitu zakat yang


dikenakan atas harta tertentu setelah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu
persyaratan pemenuhan waktu (haul) dan persyaratan jumlah (nishab).
Sebagai implikasinya, adanya perbedaan harta maka bisa berbeda pula batas
waktu kapan zakat harus dibayarkan dan berapa jumlah minimal harta yang
harus dibayarkan zakatnya. Sebagai misal, harta simpanan emas memiliki
batasan haul dan nishab yang berbeda dengan harta hasil perniagaan”.

2) Zakat fitrah
“Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan umat Islam, baik laki-
laki, perempuan, besar atau kecil, merdeka atau budak, tua dan muda, pada
awal bulan Ramadhan sampai menjelang Idul Fitri. Zakat ini diwajibkan
sejak tahun kedua Hijrah, yaitu tahun diwajibkannya bulan Ramadhan.
Berbeda dengan zakat mal yang dikenakan atas harta, zakat fitrah ini
merupakan pungutan wajib atas pribadi atau jiwa yang hidup, yaitu setiap bayi
yang dilahirkan sebelum bulan Syawal. Maka, dalam zakat fitrah tidak
disyaratkan sebagaimana syarat pada zakat mal seperti nishab atau haul.

22
Jumlah yang dikeluarkan per jiwa adalah sekitar 2½ kilogram makanan pokok
daerah setempat dan dikeluarkan dalam bulan Ramadhan sebelum sholat Ied
dilakukan”.

4.2 Dasar hukum zakat

“Zakat merupakan salah satu rukun di antara rukun-rukun Islam, dan


hukumnya wajib berdasarkan Al-Quran, ijma atau kesepakatan umat- umat
Islam. Menurut Ayub” di “dalam Al-Quran, zakat disebut-sebut secara langsung
sesudah shalat dalam 82 (delapan puluh dua) ayat. Namun, menurut Yusuf
Qardawi”, kata zakat dalam Al-Quran dalam bentuk ma’rifah (definisi) disebut
30 (tiga puluh) kali di dalam Al-Quran, di antara dua puluh tujuh kali disebutkan
dalam satu ayat bersama shalat, dan hanya satu kali disebutkan dalam konteks
yang sama dengan shalat tetapi tidak di dalam satu ayat, yaitu Al-Quran surat
Al-Mu’minun ayat 2 yang mempunyai arti: Dan orang-orang yang giat
menunaikan zakat, dan juga pada ayat 4 yang mempunyai arti: orang-orang
yang khusyu’ dalam bershalat.

Bila diperiksa ketiga puluh kali zakat disebutkan itu, delapan terdapat pada
surat Makiyah dan selebihnya pada Madiyah. Beliau juga menyatakan bahwa kata
zakat yang terdapat delapan puluh dua ayat terlalu dibesar-besarkan, sehingga
tidak sesuai dengan perhitungan yang kita sebutkan tersebut. Tetapi bila yang
dimaksudkan mereka adalah kata-kata lain yang sama maksudnya dengan zakat
seperti al-infak, “pemberian”, al-maun, “barang-barang kebutuhan” dan tha’am
al-miskin, “memberi makan orang miskin”, dan lain-lain, maka kita belum
mengetahui jumlahnya secara pasti namun akan berkisar 32-82 tempat.

Di dalam rukun Islam, zakat menempati peringkat ketiga yaitu setelah


membaca dua kalimat syahadat dan shalat, seperti terdapat pada surat Al
Muzzammil ayat 20 yang artinya: “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”.
Dan dalam surat Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya: “Mereka tidak diperintahkan
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Serta dalam hadis nabi yang bersumber dari Ibnu Umar ra, sesungguhnya
Rasulullah saw bersabda: “Islam didirikan atas lima perkara, yaitu bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba
sekaligus rasul utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, pergi haji ke
baitullah, dan puasa ramadhan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

23
4.3 Tujuan dan manfaat zakat

“Tujuan dan manfaat zakat menurut Faridah Prihartini, diantaranya:

1. Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup
serta penderitaan.
2. Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para gharimin, ibnu
sabil, dan mustahiq lainnya
3. Membentangkan dan membina tali silaturrahmi dan persaudaraan sesama umat
Islam dan manusia pada umumnya
4. Menghilangkan sifat kikir pemilik harta
5. Membersihkan diri dari sifat dengki dan iri dalam hati orang-orang miskin
6. Menjembatani jurang pemisah antara orang yang kaya dengan yang miskin
dalam suatu masyarakat
7. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama
pada mereka yang mempunyai harta kekayaan
8. Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan
hak orang lain yang ada padanya
9. Sarana pemerataan pendapatan (rezeki) untuk mencapai keadilan sosial”.

“Menurut Yusuf Qardhawi, tujuan zakat adalah sebagai berikut:


1. Tujuan zakat dan dampaknya bagi pemberi, yaitu:
 Zakat mensucikan jiwa dari sifat kikir
 Zakat mendidik berinfak dan memberi
 Berakhlak dengan akhlak Allah
 Zakat merupakan manifestasi syukur atas nikmat Allah
 Zakat mengobati hati dari cinta dunia
 Zakat mengembangkan kekayaan batin
 Zakat menarik rasa simpati/cinta
 Zakat mensucikan harta, tetapi zakat tidak mensucikan harta yang haram
 Zakat mengembangkan harta
2. Tujuan zakat dan dampaknya bagi penerima, yaitu:
 Zakat membebaskan si penerima dari kebutuhan
 Zakat menghilangkan sifat benci dan dengki
3. Tujuan zakat dan dampaknya dalam kehidupan masyarakat, yaitu:
 Zakat dan tanggung jawab social
Pada sasaran ini ada yang bersifat identitas social, seperti menolong orang
yang mempunyai kebutuhan, menolong orang-orang yang lemah, seperti
fakir, miskin, orang yang berutang dan ibnu sabil.

24
 Zakat dan aspek ekonominya
 Zakat dilihat dari aspek ekonomi adalah “merangsang si pemilik harta
kepada amal perbuatan untuk mengganti apa yang telah diambil dari
mereka. Ini terutama jelas sekali pada zakat mata uang, di mana Islam
melarang menumpuknya, menahannya dari peredaran dan pengembangan”.
 Zakat dan tegaknya jiwa umat
Zakat mempunyai sasaran-sasaran dan dampak-dampak dalam menegakkan
akhlak yang mulia yang diikuti dan dilaksanakan oleh umat Islam, dibangun
kesadarannya dan dibedakannya dengan itu kepribadiannya”.

4.4 Prinsip-prinsip zakat


sebagaimana yang dikutip oleh Hikmat Kurnia dan A.
Hidayat  menyebutkan bahwa zakat mempunyai enam prinsip, yaitu:
1. Prinsip keyakinan keagamaan, yaitu bahwa orang yang membayar zakat
merupakan salah satu manifestasi dari keyakinan agamanya.
2. Prinsip pemerataan dan keadilan; merupakan tujuan sosial zakat, yaitu
membagi kekayaan yang diberikan Allah lebih merata dan adil kepada
manusia.
3. Prinsip produktivitas, yaitu menekankan bahwa zakat memang harus dibayar
karena milik tertentu telah menghasilkan produk tertentu setelah lewat jangka
waktu tertentu.
4. Prinsip nalar, yaitu sangat rasional bahwa zakat harta yang menghasilkan itu
harus dikeluarkan.
5. Prinsip kebebasan, yaitu bahwa zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas
atau merdeka (hurr).
6. Prinsip etika dan kewajaran, yaitu zakat tidak dipungut secara semena-mena,
tapi melalui aturan yang disyariatkan”.

4.5 Zakat dan pajak dalam sistem hukum nasional


Zakat dan pajak, meski keduanya sama-sama merupakan kewajiban dalam
bidang harta, namun keduanya mempunyai falsafah yang khusus, dan keduanya
berbeda sifat dan asasnya, berbeda sumbernya, sasaran, bagian serta kadarnya,
disamping berbeda pula mengenai prinsip, tujuan dan jaminannya. Sesungguhnya
ummat Islam dapat melihat bahwa zakat tetap menduduki peringkat tertinggi
dibandingkan dengan hasil pemikiran keuangan dan perpajakan zaman modern,
baik dari segi prinsip maupun hukum-hukumnya.

Hakikat Pajak dan Zakat

25
Pajak ialah “kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus
disetorkan kepada negara sesuai  dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi
kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaranpengeluaran
umumdi satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik
dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai Negara”.
Zakat ialah “hak tertentu yang diwajibkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
terhadap kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam Quran
disebut kalangan fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas
nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta
untuk membersihkan diri dan hartanya”.
Dapat dipetik beberapa titik persamaan antara zakat dan pajak:
1. Adanya unsur paksaan untuk mengeluarkan
2. eduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat dikenal amil
zakat)
3. Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi.
4. Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan
keuangan.
Adapun segi perbedaannya:
1. Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat:
suci, tumbuh. Pajak (dharaba): upeti.
2. Mengenai hakikat dan tujuannya Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah
dalam rangka pendekatan diri kepada Allah.
3. Mengenai batas nisab dan ketentuannya. Nisab zakat sudah ditentukan oleh
sang Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi oleh
siapapun juga. Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai
dengan kebijakan pemerintah.
4. Mengenai kelestarian dan kelangsungannya, Zakat bersifat tetap dan terus
menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah.
5. Mengenai pengeluarannya, Sasaran zakat telah terang dan jelas. Pajak untuk
pengeluaran umum negara.
6. Hubungannya dengan penguasa, hubungan wajib pajak sangat erat dan
tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. Bila
penguasa tidak berperan, individu bisa mengeluarkannya sendiri-sendiri.
7. Maksud dan tujuan, zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi
dari pajak.
Berdasarkan point-point di atas dapatlah dikatakan bahwa “zakat adalah
ibadat dan pajak sekaligus”. Karena sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban
berupa harta yang pengurusannya dilakukan oleh negara. Negara memintanya
secara paksa, bila seseorang tidak mau membayarnya sukarela, kemudian hasilnya
digunakan untuk membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat.

26
Apa yang coba diterangkan dalam masalah perpajakan dewasa ini telah
dilaksanakan Islam jauh sebelumnya. Inilah syariat yang berasal dari Pembuat
Syariat yang Maha Tahu. Berikut ini adalah salah satu bab dalam buku Yusuf Al
Qardhawi yang mengupas hal tersebut.

Prinsip Keadilan Antara Pajak dan Zakat


Para ahli ekonomi keuangan menyerukan agar dalam masalah perpajakan
hendaknt tetap memegang prinsip dan kaedah yang dapat menghalangi timbulnya
penipuan dan kecurangan sehingga menepati prinsip keadilan, disamping itu dapat
mencapai sasaran yang tepat dengan tidak memberatkan pihak wajib pajak disatu
segi dan pihak pelaksana administrasi keuangan di sisi lain. Hal ini ternyata sudah
diterapkan Islam dalam mekanisme zakat jauh sebelumnya.
Dikenal “empat prinsip yang mesti diperhatikan dalam soal perpajakan,
yaitu: keadilan, kepastian, kelayakan dan ekonomis”.

Tentang Keadilan
Ini merupakan prinsip pertama yang wajib diperhatikan dalam setiap pajak
yang dikenakan pada masyarakat. Prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, dimana
Islam menuntutnya dalam segala hal. Prinsip keadilan ini dijumpai pada:
1. Sama rata dalam kewajiban zakat. Setiap Muslim yang mempunyai satu nisab
zakat adalah “wajib zakat tanpa memandang bangsa, warna kulit, keturunan
atau kedudukan dalam masyarakat, laki-laki, perempuan, pemerintah, yang
diperintah, pemimpin agama, pemimpin negara, semua sama”.
2. Membebaskan harta yang kurang dari nisab
3. Larangan berzakat dua kali. Banyak hadits yang menerangkan larangan ini.
Dalam studi perpajakan dikenal dengan nama: “Larangan Pajak Ganda”.
4. Besar zakat sebanding dengan besar tenaga yang dikeluarkan. Semakin mudah
memperoleh, semakin besar zakatnya, seperti halnya zakat pertanian ada yang
10% dan 5%.  Prinsip ini masih belum begitu dihiraukan oleh para ahli
keuangan.
5. Memperhatikan kondisi dalam pembayaran. Dengan juga memperhatikan
besarnya pendapatan, beban keluarga, hutang-hutang yang dimiliki, dipungut
dari pendapatan bersih, dan lain-lain.
6. Keadilan dalam praktek. Islam memberikan perhatian istimewa dan hati-hati
terhadap pelaksana pemungut zakat (amil), yaitu dengan persyaratan yang
tinggi untuk menjadi amil, dan posisi yang mulia bagi mereka, seperti hadits
sebagai berikut: “Orang yang bekerja memungut sedekah dengan benar
adalah seperti orang yang berperang di jalan Allah” (Hadits shahih).

Tentang Kepastian

27
Pengetahuan para subjek pajak tentang kewajiban-kewajibannya hendaklah
pasti, tak boleh ada keraguan sedikitpun, sebab ketidakpastian dalam sistem pajak
apapun sangat membahayakan bagi tegaknya keadilan dalam distribusi beban pajak.
Kepastian itu sangat erat hubungannya dengan kestabilan pajak. Dalam mekanisme
zakat tidak diragukan lagi bahwa kaidah ini sangat jelas.

Tentang Kelayakan
Kesimpulan prinsip ini ialah menjaga perasaan wajib pajak dan berlaku
sopan terhadap mereka, sehingga dengan sukarela mereka akan menyerahkan pajak
itu tanpa ada rasa ragu dan terpaksa karena suatu perlakuan yang kurang baik.
Dalam zakat hal ini sudah mendapat perhatian seperti halnya:
 Perintah untuk memungut zakat dari harta yang kualitasnya pertengahan dan
melarang memungut yang terbaik, misalnya ternak.
 Nabi menyuuruh tukang taksir agar memperkecil taksiran terhadap tanaman
dan buah-buahan.
 Bolehnya menangguhkan zakat karena ada satu sebab yang menghalangi,
misalnya ketika terjadi wabah kelaparan.
 Dan lain-lain.

Tentang Faktor Ekonomis


Yang dimaksudkan disini adalah ekonomis dalam biaya pemungutan pajak
dan menjauhi berbagai pemborosan. Jangan sampai bagian besar dari pajak yang
terkumpul hanya habis terserap oleh petugas pajak. Islam sangat melarang
pemborosan kepada harta pribadi seseorang, apalagi terhadap harta kepunyaan
umum terutama lagi terhadap harta zakat. Diceritakan, bagaimana para petugas
zakat berangkat untk mengumpulkan zakat, yang lalu dibagikan kepada yang
berhak, sehingga ketika mereka pulang pun mereka tidak membawa apa-apa lagi.
Jatah untuk para amilpun di batasi (maksimal 1/8 bagian).

Apakah Pajak Diwajibkan Di Samping Zakat?


Apabila Islam telah mewajibkan zakat sebagai hak yang dimaklumi atas
harta kaum Muslimin dan menjadikannya sebagai pajak yang dikelola oleh
pemerintah Islam, maka bolehkah pemerintah Islam mewajibkan kepada orang kaya
pajak-pajak lain disamping zakat untuk melaksanakan kepentingan ummat dan
menutupi pembiayaan umum negara? Jawabnya boleh tapi dengan syarat.
Dalil-dalil yang memperbolehkan adanya kewajiban pajak disamping zakat :
1. Karena jaminan/solidaritas sosial merupakan suatu kewajiban. Hal ini sudah kita
kupas pada bagian yang membahas adanya kewajiban lain di luar zakat.
2. Sasaran zakat itu terbatas sedangkan pembiayaan negara itu banyak sekali. Zakat
harus digunakan pada sasaran yang ditentukan oleh syariah dan menempati

28
fungsinya yang utama dalam menegakkan solidaritas sosial. Zakat tidak
digunakan untuk pembangunan jalan, jembatan dan lain-lain. Bila pemerintahan
Islam dulu memperoleh pemasukan dari Kharaj (rampasan perang) untuk
membiayai keperluan-keperluan tersebut, maka untuk saat ini Yusuf Al
Qardhawi menyokong pendapat para ulama yang berpendapat bahwa pemerintah
dapat memungut kewajiban pajak dari orang-orang kaya.
3. Adanya kaidah-kaidah umum hukum syara’ yang memperbolehkan. Misalnya
kaidah “Maslahih Mursalah” (atas dasar kepentingan). Kas yang kosong akan
sangat membahayakan kelangsungan negara, baik adanya ancaman dari luar
maupun dari dalam. Rakyat pun akan memilih kehilangan harta yang sedikit
karena pajak dibandingkan kehilangan harta keseluruhan karena negara jatuh ke
tangan musuh.
4. Adanya perintah Jihad dengan harta. Islam telah mewajibkan ummatnya untuk
berjihad dengan harta dan jiwa sebagaimana difirmankan dalam Al Quran 9:41,
49:51, 61:11, dan lain-lain. Maka tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta
itu adalah kewajiban lain di luar zakat. Di antara hak pemerintah (ulilamri) dari
kaum Muslimin adalah menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul
beban jihad dengan harta ini.
5. Kerugian yang dibalas dengan keuntungan. Sesungguhnya kekayaan yang
diperoleh dengan pajak akan digunakan untuk segala keperluan umum yang
manfaatnya kembali kepada masyarakat seperti; pertahanan dan keamanan,
hukum, pendidikan, kesehatan, pengangkutan, dan lain-lain.
Syarat-syarat diperbolehkannya pajak di luar zakat
Pajak yang diakui dalam sejarah Islam dan dibenarkan sistemnya harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harta itu benar-benar dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Tidak diperbolehkan
memungut sesuatu dari rakyat selagi dalam baitul-mal masih terdapat kekayaan.
2. Adanya pembagian pajak yang adil. Pengertian adil tidak harus sama rata
bebannya.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan ummat bukan
untuk maksiat dan hawa nafsu. Pajak bukan upeti untuk para raja dalam rangka
memuaskan hawa nafsu, kepentingan pribadi dan keluarga mereka, atau
kesenangan para pengikut mereka, tetapi harus dikembalikan untuk kepentingan
masyarakat luas.
4. Adanya persetujuan para ahli dan cendikia. Pemerintah tidak bertindak sendirian
dalam hal mewajibkan pajak, menentukan besarnya serta memungutnya tanpa
adanya persetujuan dari hasil musyawarah para ahli atau cendikia dari kalangan
masyarakat (dewan perwakilan rakyat).
Terdapat beberapa pendapat yang mencoba mengawinkan antara zakat dan
pajak, dan memungkinkan adanya substitusi antara pajak dan zakat. Sehingga bagi

29
kita yang telah rajin membayar pajak tidak perlu lagi membayar zakat, benarkah?
Hal ini diulas panjang lebar oleh Yusuf Al Qardhawi di bagian akhir buku beliau.

Apakah Cukup Membayar Pajak Saja Tanpa Membayar Zakat


Itu adalah suatu pertanyaan yang sering muncul diantara kita. Yang saat ini
merasakan terbebani dua kewajiban sekaligus.
Namun setelah mengkaji beberapa perbedaan antara pajak dan zakat maka
dapat dimengerti bahwa zakat tidak dapat digantikan oleh pajak, walaupun sasaran
zakat dapat dipenuhi sepenuhnya oleh pengeluaran dari pajak.
Zakat berkaitan dengan ibadah yang diwarnai dengan kemurnian niat karena
Allah. Ini adalah tali penghubung seorang hamba dengan khaliqnya yang tidak bisa
digantikan dengan mekanisme lain apapun. Zakat adalah “mekanisme yang unik
Islami, sejak dari niat menyerahkan, mengumpulkan dan mendistribusikannya.
Maka apapun yang diambil negara dalam konteks bukan zakat tidak bisa diniatkan
oleh seorang Muslim sebagai zakat hartanya”.
BAB V
bank syariah dan bank konvensional
5.1 bank syariah
1. Pengertian Bank Syariah

“Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan


pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang
yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah”.

2. Kegiatan bank syariah

“Kegiatan utama dari Bank Syariah selalu terkait dengan masalah uang
antara lain:

1. Memindahkan uang
2. Menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran.
3. Mendiskonto surat wesel, surat order maupun surat berharga lainya.
4. Membeli dan menjual surat –surat berharga.
5. Membeli dan menjual cek, surat wesel dan kertas dagang.
6. Memberi jaminan bank”.

Pada dasarnya fungsi bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank
konvensional atau bank umum lainnya, seperti yang tertera dalam “UU RI no 21
tahun 2008 tentang perbankan syariah bahwasannya :

30
1. Bank Syariah dan UUS ( Unit Usaha Syariah ) wajib menjalankan fungsi
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
2. Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga
baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah,
atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
3. Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf
uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf ( nazhir ) sesuai dengan
kehendak pemberi wakaf (wakif).
4. Alat transmisi kebijakan moneter (sama seperti bank Konvensional)”.

Ada prinsip-prinsip dalam bank syariah yang membedakannya dengan bank


konvensional, antara lain :
a. Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-wadi’ah)
Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendakinya.
b. Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)
Pada dasarnya prinsip ini terbagi atas :
1. Al-Mudharabah
Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua
pihak,di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak
lain menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi,
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat
kelalaian di pengelola.
2. Al-Musyarakah
Dalam sistem ini terjadi kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu. Para pihak yang bekerja sama memberikan kontribusi modal.
Keuntungan ataupun risiko usaha tersebut akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan. Dalam sistem ini, terkandung apa yang biasa disebut di
bank konvensional sebagai sarana pembiayaan.
c. Prinsip Al-Murabahah
Dalam sistim ini, terjadi jual beli suatu barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang nilainya disepakati kedua belah pihak. Penjual dalam hal ini
harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat
keuntungan sebagai tambahan.

31
5.2 bank konvensional

Definisi Bank Konvensional menurut UU No. 4 Tahun 2003 tentang


Perbankan

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam


bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Definisi Bank Konvensional menurut Triandaru (2006:153)

Bank Konvensional yaitu “bank yang aktivitasnya, baik penghimpunan


dana maupun dalam rangka penyaluran dananya, memberikan dan mengenakan
imbalan berupa bunga atau sejumlah imbalan dalam persentase tertentu dari
dana untuk suatu periode tertentu”. Persentase tertentu ini biasanya ditetapkan
per tahun.

Definisi Bank Konvensional menurut Harahap, Wiroso dan Yusuf


(2010:5)

“Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya


secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum
Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat”.

Fungsi Bank Konvensional menurut Santoso (2006:9)

1. Agent of Trust

Dasar utama kegiatan perbankan adalah trust atau kepercayaan, baik


dalam hal menghimpun dana maupun penyaluran dana.

2. Agent of Development

Kelancaran kegiatan investasi, distribusi, konsumsi ini tidak lain adalah


kegiatan pembangunan perekonomian masyarakat.

3. Agent of Service

Selain menghimpun dan menyalurkan dana, bank juga memberikan


penawaran jasa-jasa perbankan yang lain kepada masyarakat seperti jasa
pengiriman uang , jasa penitipan barang berharga, dll.

Fungsi Bank Konvensional menurut Arifin (2006:2)

32
1. Menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman (safe keeping
function), dan
2. Menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa (transaction
function).

Fungsi Bank Konvensional menurut Siamat (2001:88)

1. Menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang lebih efisien dalam


kegiatan ekonomi.
2. Menciptakan uang.
3. Menghimpun dana dan menyalurkan kepada masyarakat.
4. Menawarkan jasa- jasa keuangan lain.
5. Menyediakan fasilitas untuk perdagangan internasional.

5.3 perbedaan bank syariah dan bank konvensional

“Persamaan dan perbedaan antara Bank Syariah dengan bank konvensional


adalah sebagai berkut”:

a. Persamaan

Persamaan antara Bank Syariah dengan bank konvensional adalah:

1) Dalam sisi teknis penerimaan uang.


2) Mekanisme transfer.
3) Teknologi Komputer yang digunakan.
b. Perbedaan
“Secara umum perbedaan Bank Syariah dengan bank konvensional adalah
sebagai berikut”:

Bank Syariah Bank Konvensional


Melakukan investasi-investasi Melakukan Investasi-investasi h
yang halal saja yang halal dan haram ang
Berdasarkan prinsip bagi hasil Memake metode bunga
Profit dan falah oriented Profit oriented
Hubungan dengan dalam bentuk nas Hubungan dengan nasabah
kemitraan ab dalam bentuk hubungan
ah kreditur-debitur

“Bank konvensional memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan”:

33
a. Keunggulan bank konvensional adalah :
a. Metode bunga telah lama dikenal oleh masyarakat, bank konvensional
lebih mudah menarik nasabah penyimpanan dana sehingga lebih mudah
mendapatkan modal.
b. Bank konvensional lebih kreatif dalam menciptakan produk-produk
dengan metode yang telah teruji dan berpengalaman, bank konvensional
lebih mengetahui permainan pasar perbankan dan mencari celah-celah
baru dalam mengupayakan ekspansinya.
c. Nasabah penyimpan dana yang telah terbiasa dengan metode bunga
cenderung memilih bank konvensional dari pada beralih ke metode bagi
hasil yang relatif masih baru.
d. Dengan banyaknya bank-bank konvensional, persaingan antar bank lebih
menggairahkan yang dapat memacu manajemen untuk bekerja lebih baik.
e. Dukungan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang
lebih mapan, sehingga bank dapat bergerak lebih pasti.

b. Kelemahan bank konvensional adalah:


1) Faktor manajemen, yang ditandai oleh inkonsisatensi penyaluran kredit,
campur tangan pemilik yang berlebihan, dan manajer yang tidak
professional.
2) Kredit bermasalah, karena prosedur pemberian kredit tidak dipatuhi dan
penumpukan pemberian kredit pada grup sendiri dan kalangan tertentu.
3) Praktik curang, seperti bank dalam bank dan transaksi fiktif.
4) Praktik spekulasi yang terlalu ambisius dan tanpa perhitungan.

Bank Syariah memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan antara lain


sebagai berikut.

a. Keunggulan Bank Syariah adalah:


1) Mekanisme Bank Syariah didasarkan pada prinsip efisiensi, keadilan, dan
kebersamaan.
2) Tidak mudah dipengaruhi gejolak moneter. Penentuan harga bagi bank
bagi hasil didasarkan pada kesepakatan antara bank dengan nasabah
penyimpanan dana sesuai dengan jenis simpanan dan jangka waktunya,
yang akan menentukan besar kecilnya porsi bagi hasil yang akan diterima
penyimpan.
3) Bank Syariah lebih mandiri dalam penentuan kebijakan bagi hasilnya
4) Bank Syariah relatif lebih mudah merespon kebijakan pemerintah
5) Terhindar dari praktik money laundering.

34
b. Kelemahan Bank Syariah adalah:
1) Terlalu berprasangka baik kepada semua nasabah dan berasumsi bahwa
semua orang terlihat jujur dan dapat dipercaya, sehingga rawan terhadap
itikad baik.
2) Metode bagi hasil memerlukan perhitungan rumit, sehinga resiko salah
hitung lebih besar dari pada bank konvensioanal.
3) Kekeliruan penilaian proyek berakibat lebih besar dari pada bank
konvensional.
4) Produk-produk Bank Syariah belum biasa mengakomodasi kebutuhan
masyarakat dan kurang kompetitif, karena manajemen Bank Syariah
cenderung mengadopsi produk perbankan konvensional yang
disyariahkan, dengan variasi produk yang terbatas.
5) Pemahan masyarakat yang kurang tepat terhadap kegiatan operasional
Bank Syariah.
6) Produk-produk Bank Syariah belum biasa mengakomodasi kebutuhan
masyarakat dan kurang kompetitif, karena manajemen Bank Syariah
cenderung mengadopsi produk perbankan konvensional yang
disyariahkan, dengan variasi produk yang terbatas.
7) Pemahan masyarakat yang kurang tepat terhadap kegiatan operasional
Bank Syariah.

35
BAB VI
Konsep muamalah dalam islam
6.1 menjelaskan mengenai gadai
A. Pengertian Gadai (Rahn)
Gadai dalam bahasa arab disebut dengan rahn. Secara etimologi berate
tetap, kekal, dan jaminan. Gadai istilah hukum positif di indonesia adalah apa
yang disebut barang jaminan, agunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan
tanggungan. Gadai merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi
agunan dari fasilitas pembiayaan yang diberikan. Dalam terminologinya gadai
mempunyai banyak pengertian dan pemaknaan. Dalam kitab undang-undang
hukum perdata, gadai diartikan sebagai suatu hak yang di peroleh kreditor (si
berpiutang) atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur
(si berhutang), atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang
memberikan kekuasaan pada kreditor itu untuk mengambil pelunasan
dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya,
dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
di keluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan dan
biayabiaya yang harus didahulukan

“Gadai adalah jaminan atas barang yang dapat di jual sebagai jaminan
hutang, dan kelak nantinya dapat di jual untuk membayar hutang, jika yang
hutang tidak mampu membayar hutangnya karena kesulitan”. Rahn Disebut
juga dengan al-habsu yang artinya menahan. Sedangkan menurut “syari’at
islam gadai berati menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syari’at
sebagai jaminan hutang, hingga orang tersebut dibolehkan mengambil hutang
atau mengambil sebagian manfaat barang tersebut. Pemilik barang gadai
disebut rahin dan orang yang mengutangkan yaitu orang yang mengambil
barang tersebut serta menahannya disebut murtahin, sedangkan barang yang di
gadaikan disebut rahn”.
Adapun “istilah – istilah yang di gunakan dalam perjanjian gadai menurut
hukum islam adalah sebagai berikut:
1. Pemilik barang (yang berhutang) atau penggadai diistilahkan dengan rahn.
2. Orang yang memberi utang atau penerima gadai, diistilahkan dengan

36
murtahin.
3. Obyek atau barang yang di gadaikan, diistilahkan dengan marhun”.

B. Dasar Hukum Gadai (Rahn)


“Menggadai barang boleh hukumnya baik di dalam hadlar (kampung)
maupun didalam safar (perjalanan). Hukum ini di sepakati oleh umum
mujtahidin”.
“Jaminan itu tidak sah kecuali dengan ijab dan qabul. Dan tidak harus
dengan serah terima jika keduanya sepakat bahwa barang jaminan itu berada di
tangan yang berpiutang (pemegang surat hipotik) maka hukumnya boleh. Dan
jika keduanya sepakat barang jaminan itu berada di tangan seorang adil, maka
hukumnya juga boleh. Dan jika keduanya masing-masing menguasai sendiri
maka hakim menyerahkannya kepada orang yang adil. Semua barang
(benda) yang boleh di jual boleh pula dijaminkan”.

6.2 menjelaskan mengenai syirkah


A. Pengertian Syirkah

“Syirkah atau syarikah secara etimologi diartikan sebagai


percampuran atau kemitraan antara beberapa mitra, atau perseroan. Syarik
adalah anggota dalam perseroan bersama mitranya untuk suatu pekerjaan atau
urusan sehingga semua anggota menjadi satu kesatuan. Syarikah atau syirkah
secara terminologi perserikatan dalam kepemilikan hak untuk melakukan
tasharruf (pendayagunaan harta)”.

Menurut “terminologi, ulama fiqh beragam pendapat dalam


mendefinisikannya”:

a) Menurut Malikiyah; perkongsian adalah “izin untuk mendayagunakan


harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya yakni
saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta
milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf”.
b) Menurut Hanabilah; perhimpunan adalah “hak atau kewenangan atau
pengolahan harta (tasharruf)”.
c) Menurut Syafi’iyah; ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang
atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui).
d) Menurut “Hanafiyah; ungkapan tentang adanya transaksi (akad) antara
dua orang yang bersekutu pada pokok harta dan keuntungan. Dalam
pengertian lain Menurut terminologi, yang dimaksud syirkah ialah”:

37
1) Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah ialah : “akad
antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan
keuntungan”.
2) Menurut Muhammad al-Syarbani al-Khatib, yang dimaksud dengan
syirkah ialah: “ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih
dengan cara yang masyhur (diketahui)”.
3) Menurut Syihab al-Din al-Qalyubi wa Umaira, yang dimaksud dengan
syirkah ialah: “penetapan hak pada sesuatu bagi dua orang atau lebih”.
4) Menurut Imam Taqiyyudin Abi Bakr Ibn Muhammad al- Husaini,
yang dimaksud dengan syirkah ialah: “ibarat penetapan suatu hak
pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang
telah diketahui”.
5) Menurut Hasbi Ash-Shiddieqie, bahwa yang dimaksud dengan syirkah
ialah: “akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk ta’awun
(tolong menolong) dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi
keuntungannya”.
6) Idris Ahmad menyebutkan syirkah sama dengan syarikat dagang yakni
“dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam
dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing. Dimana
keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya
modal masingmasing”.
7) Pengertian menurut M. Syafi’i Anwar dalam sebuah tulisannya pada
majalah Ulumul Qur’an merumuskan sebagai berikut: “perjanjian
kesepakatan bersama antara beberapa pemilik modal untuk
menyertakan modalnya pada suatu proyek, yang biasanya berjangka
waktu panjang. Resiko rugi atau laba dibagi secara berimbang dengan
penyertaannya (modal)”.
8) Pengertian lain menyebutkan bahwa “syirkah atau juga disebut
Musyarakah adalah akad suatu kerjasama anatara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (kompetensi, expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan”.
Pada initinya bahwa “asy-syirkah atau musyarakah yang
didefinisikan oleh para ulama fiqh hanya berbeda secara redaksional
sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya sama, yaitu ikatan kerja
sama anatara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan
keuntungan”.

38
Jadi, kemitraan termasuk salah satu bentuk dari syirkah atau
perserikatan karena di dalam kemitraan itu juga tergabung dua orang atau
lebih bercampur melakukan perserikatan.
B. Rukun Syirkah
Rukun syirkah diperselisihkan oleh para ulama, menurut Hanafiyyah
berpendapat bahwa “rukun syirkah hanya satu, yaitu shighah (ijab dan qabul)
alasananya karena shigah merupakan sebab terwujudnya akad. Akan tetapi
mayoritas ulama berpendapat bahwa rukun syirkah ada empat, yaitu shighah,
dua orang yang melakukan transaksi (‘aqidan), dan objek yang ditransaksikan
(al-ma’qud ‘alaih)”.
Adapun yang menjadi “rukun serikat menurut ketentuan
syari’at islam” adalah (Sulaiman Rasyid, 1990 : 278) :
a. Sighaat (lafaz akad); “ijab dan qabul harus diucapkan oleh kedua pihak
atau lebih untuk menunjukkan kemauan mereka, dan terdapat kejelasan
tujuan mereka dan melakukan sebuah kontrak”. “Sighat pada hakikatnya
adalah kemauan para pihak untuk mengadakan serikat atau kerjasama
dalam menjalankan suatu kegiatan usaha”. Namun dewasa ini seseorang
dalam membuat perjanjian berbentuk tertulis berupa akta.
b. Orang (pihak-pihak yang mengadakan) serikat: “Orang yang akan
mengadakan perjanjian perserikatan harus memenuhi syarat yaitu, bahwa
masing-masing pihak yang hendak mengadakan syirkah ini harus dewasa
(baligh), sehat akalnya, dan atas kehendaknya sendiri”.
c. “Pokok pekerjaan (bidang usaha yang dijalankan) Setiap perserikatan
harus memiliki tujuan dan kerangka kerja yang jelas. Serta dibenarkan
menurut syara. Untuk menjalankan pokok pekerjaan ini dari pihak-pihak
yang ada harus memasukkan barang modal atau saham yang telah
ditentukan jumlahnya”.
C. Jenis Dan Macam-Macam Syirkah

“Syirkah dibagi menjadi tiga macam sebagaimana berikut”:

a. Syirkah ibahah, yaitu “orang pada umumnya berserikat dalam hak milik
untuk mengambil atau menjaga sesuatu yang mubah yang pada asalnya
tidak dimiliki oleh seorangpun”.
b. Syirkah Milk, yaitu “jika dua orang atau lebih memiliki suatu barang atau
hutang secara bersama-sama karena suatu sebab kepemilikan, seperti
membeli, hibah, dan menerima wasiat”.
c. Syirkah al-‘aqd (transaksi), merupakan “syirkah yang dimaksud dalam
terminologi fuqaha’. Yaitu suatu istilah mengenai transaksi antara dua
orang atau lebih untuk bekerja secara komersial melalui modal atau

39
pekerjaan atau jaminan nama baik (al-wujuh) agar keuntungan dan
kerugian ditanggung bersama”.

4. Prinsip dan Syarat Syirkah

Menurut “Syaikh Abu Syujak Pada dasarnya Syarikat (perkongsian) itu


dibolehkan dengan lima syarat yaitu”;

1) Harus mengenai mata uang,

2) Hendaknya jenis dan macam perserikatannya satu,

3) Kedua harta haruslah dicampur,

4) Masing-masing salah satu dari keduanya harus memberi izin yang lainnya
dalam memperniagakan harta perkongsian itu,

5) Untung dan ruginya berdasarkan jumlah harta yang dikongsikan.

6.3 Muzara’ah dan Mukhabarah


Menurut Syaikh Ibrahim Al-bajuri berpendapat bahwa
“mukhabarah adalah, sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada
pekerja dan modal dari pengelola. Sedangkan muzara’ah adalah pekerja
mengelola tanah denagan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari
pemilik tanah”

B. “Syarat-Syarat dan Rukun-Rukun muzara’ah dan Mukhabarah


1. Syarat Muzara’ah atau Mukhabarah
Menurut jumhur ulama, syarat-syarat muzara’ah, ada yang berkaitan dengan
orang-orang yang berakad, benih yang akan ditanam, lahan yang akan
dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan jangka waktu berlaku akad.
1) Syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad, harus baligh
dan berakal, agar mereka dapat bertindak atas nama hukum. Oleh
sebagian ulama mazhab Hanafi, selain syarat tersebut ditambah lagi
syarat bukan orang murtad, karena tindakan orang murtad dianggap
Mauquf, yaitu tidak mempunyai efek hukum, seperti ia masuk islam
kembali, namun, Abu Yusuf dan Muhammad Hasan Asy- Syaibani,
tidak menyetujui syarat tambahan itu karena akad muzara’ah tidak
dilakukan sesama muslim saja, tetapi boleh juga antara muslim dengan
non muslim.

40
2) Syarat yang berkaita dengan benih yang akan ditanam harus jelas dan
menghasilkan.
3) Syarat yang berkaitan dengan lahan pertanian adalah:
a) Lahan itu bisa diolah dan menghasilkan, sebab ada tanaman yang tidak
cocok ditanam didaerah tertentu.
b) Batas-batas lahan itu jalas.
c) Lahan itu sepenuhnya diserahkan kepada petani untuk dioalah dan
pemilik lahan tidak boleh ikut campur tangan untuk mengelolanya.
4) syarat yang berkaitan dengan hasil sebagai berikut:
a) Pembagian hasil panen harus jelas
b) Hasil panen itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa
ada pengkhususan seperti disisihkan lebih dahulu sekian persen.
c) Bagian atara amil dan malik adalah dari satu jenis barang yang sama.
d) Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
e) Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang maklum.
5) syarat yang berkaitan dengan waktu pun harus jelas didalam akad,
sehingga pengelola tidak dirugikan seperti membatalkan akad sewaktu-
waktu.
a) Waktu yang telah ditentukan.
b) Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud.
c) Waktu tersebut memungkinkan dua belah pehak hidup menurut
kabiasaan.
6) Syarat yang berhubungan dengan alat-alat muzara’ah, alat-alat tersebut
disyaratkan berupa hewan atau yang lain dibebankan kepada pemilik
tanah”.
2. Rukun-rukun Muzara’ahdan Mukhabarah
Jumhur ulama membolehkan akad muzara’ah, mengemukakan rukun yang
harus dipenuhi, agar akad itu menjadi sah.
a. Penggarap dan pemilik tanah (akid)
Akid adalah “seseorang yang mengadakan akad, disini berperan
sebagai penggarap atau pemilik tanah pihak-pihak yang mengadakan akid,
maka para mujtahid sepakat bahwa akad muzara’ah atau mukhabarah sah
apabila dilakukan oleh : seseorang yang telah mencapai umur, seseorang
berakal sempurna dan seseorang yang telah mampu berihtiar”.
b. Obyek muzara’ah dan mukhabarah (ma’qud ilaih)
“Ma’qud ilaih adalah “benda yang berlaku pada hukum akad atau
barang yang dijaddikan obyek pada akad”. Ia dijadikan rukun karena kedua
belah pihak telah mengetahui wujud barangnya, sifat keduanya serta
harganya dan manfaat apa yang diambil. Akad muzara’ah atau mukhabarah
itu tidak boleh kecuali tanah yang sudah diketahui.Kalau tidak diketahui

41
kecuali dengan dilihat seperti tanah pekarangan, maka dengan hal ini tidak
boleh hingga dilihat terlebih dahulu. Dan juga tidak boleh kecuali atas
tanah-tanah yang bermanfaat atau subur.Kesuburan tanah-tanah terseebut
dapat dilihat dari penggunaan tersebut pada masa sebelumnya atau dapat
menggunakan alat pengukur kualaitas kesuburan tanah tersebut. Hal ini
dilakukan untuk menghindari kerugian(baik tenaga maupun biaya) dari
masing-masing pihak yang bersangkutan.
c. Harus ada ketentuan bagi hasil
“Menurut ketentuan dalam akad muzara’ah atau mukhabarah perlu
diperhatikan ketentuan pembagian hasil seperti setengah, sepertiga,
seperempat, lebih banyak atau lebih sedikit dari itu”. Hal itu harus diketahui
dengan jelas, disamping untuk pembagiannya.Karena masalah yang sering
muncul kepermukaan dewasa ini dalam dunia perserikatan adalah masalah
yang menyangkut pembagian hasil serta waktu pembiayaan. Pembagian
hasil harus sesuai dengan kesepakatan keduanya.

6.4 Jual beli


1. Pengertian Jual Beli
Menurut kitab Fathul mu’in karangan Syekh Zainuddin bin
Abdul Aziz dijelaskan: “menurut bahasanya, jual beli adalah menukarkan
sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut syara’ ialah
menukarkan harta dengan harta pada wajah tertentu”.
Dalam “kitab Fiqih Muamalah karangan Dimyaudin Djuwaini
diterangkan, secara linguistik, al-Bai’ (jual beli) berarti pertukaran sesuatu
dengan sesuatu. Secara istilah, menurut madzhab Hanafiyah, jual beli adalah
pertukaran harta dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Disini harta
diartikan sebagai sesuatu yang memiliki manfaat serta ada kecenderungan
manusia untuk menggunakannya. Dan cara tertentu yang dimaksud adalah
sighat atau ungkapan ijab dan qabul”.
Sedangkan dalam kitab Fiqih Sunnah buah karya Sayyid Sabiq
Muhammad at-Tihami diterangkan, jual beli menurut pengertian bahasanya
adalah saling menukar. Dan kata al-Bai’ (jual) dan asy-Syiraa’ (beli) biasanya
digunakan dalam pengertian yang sama. Dua kata ini mempunyai makna dua
yang satu sama lain bertolak belakang.
Menurut “pengertian syariat, jual beli adalah pertukaran harta atas
dasar saling rela, atau memindahkan milik dengan ganti yang dibenarkan”.
Dan dari berbagai pengertian jual beli tersebut di atas, terdapat
beberapa kesamaan pengertian jual beli, antara lain:
a. Jual beli dilakukan oleh dua orang (dua pihak) yang saling melakukan
kegiatan tukar-menukar.

42
b. Tukar-menukar tersebut atas suatu harta (barang). Atau sesuatu yang
dihukumi sebagai harta yang seimbang nilainya.
c. Adanya perpindahan kepemilikan antara pihak yang melakukan transaksi
tukar-menukar harta tersebut.
d. Dilakukan dengan cara tertentu / wajah tertentu, yang dibenarkan oleh
hukum syara’
2. Rukun dan Syarat Jual Beli

Menurut “Imam Nawawi dalam syarah al-Muhadzab rukun jual beli


meliputi tiga hal, yaitu: harus adanya akid (orang yang melakukan akad),
ma’qud alaihi (barang yang diakadkan) dan shighat, yang terdiri atas ijab
(penawaran) qabul (penerimaan)”.

a. Akid adalah: “pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli, yang terdiri
dari penjual dan pembeli. Baik itu merupakan pemilik asli, maupun orang
lain yang menjadi wali / wakil dari sang pemilik asli. Sehingga ia memiliki
hak dan otoritas untuk mentransaksikanya”.
b. Ma’qud ‘Alaihi (obyek akad). Harus jelas bentuk, kadar dan sifat-sifatnya
dan diketahui dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Jadi, jual beli barang
yang samar, yang tidak dilihat oleh penjual dan pembeli atau salah satu dari
keduanya, maka dianggap tidak sah.
c. Shighat (ijab dan qabul)
“Ijaab adalah perkataan dari penjual, seperti aku jual barang ini kepadamu
dengan harga sekian”. Dan “qabul adalah ucapan dari pembeli, seperti aku
beli barang ini darimu dengan harga sekian”. Dimana, keduanya terdapat
persesuaian maksud meskipun berbeda lafaz seperti penjual berkata “aku
milikkan barang ini”, lalu pembeli berkata “aku beli” dan sebaliknya. Selain
itu tidak terpisah lama antara ijab dan qabulnya, sebab terpisah lama
tersebut membuat boleh keluarnya (batalnya) qabul tersebut”.

6.5 Sewa menyewa


A. Pengertian Sewa-menyewa (Ijarah)

Ijarah secara sedehana diartikan dengan ’’transaksi manfaat atau jasa


dengan imbalan tertentu’’. Bila yang terjadi objek transaksi adalah “manfaat
atau jasa dari suatu benda disebut ijarat al-‘ain atau sewa-menyewa, seperti
sewa rumah untuk ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat
atau jasa dari tenaga seseorang, disebut ijarat al-zimmah atau upah-mengupah
seperti upah menjahit pakaian.Ijarah baik dalam bentuk sewa-menyewa
maupun dalam bentuk upah-mengupah itu merupakan muamalah yang telah

43
disyariatkan dalam islam. Hukum asalnya adalah boleh atau mubah bila
dilakukan dengan ketentuan yang ditetapkan islam”.

Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah ialah


“ijarah. al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang artinya menurut bahasa ialah
al-‘iwadh yang artinya menurut bahasa Indonesia ialah ganti atau upah”.
Dalam arti luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefenisikan

ijarah antara lain adalah sebagai berikut :

1. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan :

‫عقد عل منا فعبعوض‬

Artinya: “Transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan”.

2. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikan :

‫عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبدلو االباحة بعوضمعلوم‬

Artinya: “Transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu bersifat bias


dimanfaatkan dengan suatu imbalan tertentu”. suatu dengan jalan
memberikan imbalan dalam jumlah tertentu.

3. Ulama Malikiyah dan Hambaliyah mendefinisikan :

‫تملیك منافع شيء مباحة مد ة معلوم بعوض‬

Artinya: “Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu


dengan imbalan”.

“Penyewa memiliki manfaat yang ada paa seorang budak, rumah dan hewan
tunggangan sampai pada masa yang diisyaratkan, sehingga si penyewa barhak
untuk mengambil manfaat yang disewanya dari pada pemilik yang sebenarnya,
dan pemilik yang sebenarnya mendapatkan imbalan yang diambilnya dari
hewan tunggangan dan rumah itu.Ini sejenis dengan jual beli”.

B. Rukun dan Syarat Ijarah


Transaksi ijarah dalam kedua bentuknya akan sah bila terpenuhi rukun
dan syarat. Rukun dari ijarah sebagai sesuatu transaksi adalah akad atau
perjanjian kedua belah pihak, yang menunjukkan bahwa transaksi itu telah
berjalan secara suka sama suka. Adapun “rukun sewa-menyewa ada 4 macam
yaitu sebagai berikut :
1. Yang menyewakan

44
2. Yang menyewa
3. Barang atau sesuatu yang disewakan
4. Harga atau nilai sewa”.
“Sewa-menyewa dipandang sah, jika memenuhi syarat-syaratnya sebagai
berikut :
1. Yang menyewakan dan yang menyewa telah baligh, berakal sehat dan
samasama ridho.
2. Barang atau sesuatu yang disewakan itu mempunyai faedah yang berharga,
faedahnya dapat dinikmati oleh yang menyewa dan kadarnya jelas,
misalnya: rumah disewa satu tahun, taksi disewa dari Yogya sampai Solo
satu hari, atau seorang pekerja disewa mengerjakan membuat pintu
berukuran sekian meter.
3. Harga sewanya dan keadaannya jelas, misalnya: rumah Rp.
1.000.000/bulan, dibayar tunai atau angsuran.
4. Barang yang diambil manfaatnya, harus masih tetap wujudnya sampai
waktu yang telah ditentukan menurut perjanjian.
5. Waktunya harus dapat diketahui dengan jelas, misalnya sehari, seminggu
atau sebulan dan seterusnya.
6. Dalam sewa-menyewa ini adakalanya berupa jasa, seperti dokter, tukang
pijat, supir dan lain-lain. Dan adakalanya berupa “kegunaan” suatu barang,
seperti: kebun untuk ditanami, rumah untuk dihuni, mobil untuk
mengangkat barang”.

Agama menghendaki agar dalam pelaksanaan ijarah itu senantiasa


diperhatikan ketentuan-ketentuan yang bisa menjamin pelaksanaannya yang tidak
merugikan salah satu pihak serta terpelihara pula maksud-maksud mulia yang
diinginkan agama. Dalam kerangka ini, ada beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian dalam pelaksanaan aktivitas ijarah, yaitu :

1. Para pihak yang menyelenggarakan akad haruslah berbuat atas kemauan sendiri
dengan penuh kerelaan. Dalam konteks ini, tidaklah boleh dilakukan akad ijarah
oleh salah satu pihak atau kedua-duanya atas dasar keterpaksaan, baik
keterpaksaan itu datangnya daripihak-pihak yang berakad atau dari pihak lain.

2. Di dalam melakukan akad tidak boleh ada unsur penipuan, baik yang dating dari
mu’jir (orang yang menyewakan) ataupun dari musta’jir (penyewa). Banyak ayat
ataupun riwayat yang berbicara tentang tidak bolehnya berbuat khianat ataupun
menipu dalam berbagai lapangan kegiatan, dan penipuan ini merupakan suatu
sifat yang amat dicela agama. Dalam kerangka ini, kedua pihak yang melakukan
akad ijarah pun dituntut memiliki pengetahuan yang memadai akad objek yang

45
mereka jadikan sasaran dalam berijarah, sehingga antara keduanya tidak merasa
dirugikan atau tidak mendatangkan perselisihan di kemudian hari.

3. Sesuatu yang diakadkan mestilah sesuatu yang sesuai dengan realitas, bukan
sesuai yang tidak berwujud.

4. Manfaat dari sesuatu yang menjadi objek transaksi ijarah mestilah berupa sesuatu
yang mubah, bukan sesuatu yang haram. Ini berarti bahwa agama tidak
membenarkan terjadinya sewa-menyewa atau perburuhan terhadap sesuatu
perbuatan yang dilarang agama, seperti tidak boleh menyewakan rumah untuk
perbuatan maksiat, baik kemaksiatan itu datang dari pihak penyewa atau yang
menyewakan.

46

Anda mungkin juga menyukai