Anda di halaman 1dari 6

Bada dasarnya kegiatan operasional atau produk yang ditawarkan oleh bank syariah dapat dibagi

menjadi tiga bagian besar, yaitu : produk penghimpunan dana (funding), peroduk penyaluran dana
(financing) dan produk jasa (service).

a.       Penghimpunan Dana (funding)

Penghimpunan dana di Bank Syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip
operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah
prinsip wadi’ah dan mudharabah.[9]

1.      Prinsip Wadi’ah

Dalam PBI No. 7/46/PBI/2005, Pasal 1 (4), wadi’ah didefinisikan sebagai penitipan dana penyimpan
dana atau barang dari pemilik dana atau barang pada penyimpan dana atau barang dengan
kewajiban pihak yang menerima titipan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-
waktu.

Para ahli hukum Islam membedakan al-wadi’ah dalam tataran aplikasinya yaitu al-wadi’ah yad al-
amajnah dan wadiah yad al-dhamanah.

Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah al-wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk


rekening giro. Wadi’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah, pada
prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sedangkan dalam i, pihak yang
dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta
titipan tersebut.[10]

2.      Prinsip Mudharabah

Dalam PBI No. 7/46/PBI/2005, Pasal 1 ayat (5), mudharabah ialah ”penanaman dana dari pemilik
dana (shahibul mal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu,
dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan bagi rugi (profit and loss sharing) atau
metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah
disepakati sebelumnya.

Secara umum Mudharabah terbagi kepada dua jenis, yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah


muqayyadah.

1.      Mudharabah Mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal  dan mudharib yang


cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi  jenis usaha, waktu dan daerah
bisnis. Dalam pembahasan fikih sering dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan
sesukamu) dari shahibul mal ke mudharib yang memberikan kekuasaan yang sangat besar.

2.      Mudharabah Muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah mutlaqah. Mudharib dibatasi dengan


batas jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini sering kali mencerminkan
kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki dunia usaha.[11]

Dalam praktik perbankan syariah modern, akad mudharabah muqayyadah, dibedakan menjadi dua
hal :

1.      Mudharabah muqayyadah on balance-sheet, dalam bentuk mudharabah ini aliran dana dicatat
dalam neraca bank. Oleh karena itu, di samping mempertemukan antara investor dan pengusaha,
bank juga terlibat dalam proyek usaha itu. Dengan demikian, bagi hasilnya melibatkan tiga pihak
yaitu bank, investor dan pengusaha dan besarnya nisbah masing-masing pihak tergantung pada
kesepakatan.

2.      Mudharabah muqayyadah off balance-sheet, pada jenis ini bank hanya bertindak sebagai arranger
saja dan transaksinya tidak dicatat dalam neraca bank, tetapi hanya dicatat dalam rekening
administrasi saja. Bagi hasilnya hanya melibatkan investor dan pengusahanya. Nisbah bagi hasilnya
tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak dan bank hanya memeproleh komisi dari
usahanya mempertemukan keduanya.[12]

b.      Penyaluran Dana (financing)

Dalam penyaluran dananya kepada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi
ke dalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu :

1.      Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil

2.      Pembiayaan dengan prinsip sewa.

3.      Pembiayaan dengan prinsip jual beli.

4.      Pembiayaan dengan akad pelengkap.[13]

a.       Prinsip Bagi Hasil

1.      Pembiayaan Musyarakah

Dalam PBI Nomor 7/46/2005, Pasal 1 ayat (6), musyarakah adalah ”penanaman dana dari pemilik
dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian
ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing.

Aplikasi praktis dari kontrak ini di dalam pembiayaan dalam perbankan syariah dalam bentuk joint
ventures. Meskipun saat ini musyarakah telah dikembangkan, mislanya dengan
diadopsinya musyarakah mutanaqisah, namun perbankan Islam di Indonesia masih relatif asing
dengan skema atau akad tersebut.[14]

Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan


nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Semua bentuk usaha melibatkan dua pihak atau
lebih dimana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang
berwujud maupun tidak berwujud.

Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerja sama dapat berupa dana, barang
perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan
(property) peralatan (eqiuipment) atau intangible asset (seperti paten dan goodwill),
kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau
tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.

2.      Pembiayaan Mudharabah

Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang populer dalam produk perbankan syariah


yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak di mana
pemilik modal (shahib al-maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib)
dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja sama dalam paduan
kontribusi 100% modal kas dari shahib al-maal dan keahlian dari mudharib.[15]

Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahib al-maal dalam manajemen proyek.


Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap
kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahib al-maal dia diharapkan untuk
mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laga optimal.

Perbedaan yang esensial antara musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas
manajemen dan keuangan atau salah satu di antara itu. Dalam mudharabah, modal hanya berasal
dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak.

Musyarakah dan mudharabah dalam literatur fikih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al-


amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-
masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-
masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul
akan merusak ajaran Islam.

b.      Prinsip Jual Beli

Prinsip jual beli dilaksanakan berhubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau
benda (triansfer of property). Tingkat keuntungan  bank ditentukan di depan dan menjadi bagian
harga atas barang yang dijual.

1.      Pembiayaan Murabahah

Dalam PBI Nomor 7/46/PBI/2005, pasal 1 (7), kontrak ini diartikan dengan ”jual beli barang sebesar
harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.

Murabahah (al-ba’i bi tsaman ajil) lebih dikenal sebagai murabahah. Murabahah berasal dari


kata ribhu (keuntungan), adalah transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya.
Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli
dari pemasok ditambah keuntungan (margin).

Kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual
dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya
akad. Dalam perbankan, murabahah selalu dilakukan dengan pembayaran cicilan (bi tsaman ajjil
atau muajjal). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad, sedangkan pembayaran
dilakukan secara tangguh/cicilan.
2.      Pembiayaan salam

Menurut PBI No. 7/46/PBI/2005,  Pasal 1 (8), Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan
dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh. Bank bertindak
sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun
dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara
pasti.

Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya
kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual
yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank
menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing). Sedangkan
dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka
waktu pembayaran.

Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama
berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada
seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau
secara cicilan.

3.      Pembiayaan Istisna’

Menurut PBI Nomor 7/46/PBI/2005 Pasal 1 (9), akad salam ialah jual beli barang dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan
pembayaran sesuai dengan kesepakatan.

Produk istisna menyerupai produk salam, tapi dalam istisna pembayarannya dapat dilakukan oleh


bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim Istishna’ dalam Bank Syariah umumnya,
diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan kontruksi.

Ketentuan umum pembiayaan istisna’ adalah spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis,
macam ukuran, mutu dan jumlahnya. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad
istishna dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria
pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, seluruh biaya tambahan tetap
ditanggung nasabah.

c.       Prinsip Sewa (Ijarah)

Dalam PBI Nomor 7/46/PBI/2005, yang dimaksud ijarah ialah transaksi sewa-menyewa atas suatu
barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa
atau imbalan jasa. Kontrak ini didefinisikan sebagai sebuah kontrak yang melibatkan kedua hal
sekaligus : barang (aset) dan tenaga kerja (skill), sebagaimana fiqh al-muamalah pada asalnya
mendefiniskan dengan hal seperti ini. Adapun terkait dengan aplikasi dari kontrak ini dalam praktik
perbankan hanyalah yang terkait dengan aset, bukan tenaga kerja

Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama
dengan prinsip jual beli, tetapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli
objek transaksinya adalah barang, pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.

Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena
itu dalam perbankan syariah dikenal ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan
perpindahan kepemilikan)
4.      Akad pelengkap

Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad ini
tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta
pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti ini untuk
menutupi biaya yang benar-benar timbul. Akad pelengkap ini adalah akad-akad tabarru’(gratuitous 
contract) yaitu segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi
nirlaba). Akad-akad pelengkap tersebut antara lain :

1.      Hiwalah (alih hutang)

Tujuan fasilitas hiwalah ialah untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat
melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan hutang. Untuk
mengantisipasi risiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan
pihak yang berhutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang
berhutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek
yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta
bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek

2.      Rahn (gadai)

Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam
memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria : 1) milik nasabah
sendiri, 2) jelas ukuran, sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar, 3) dapat dikuasai
namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.

Atas izin bank nasabah boleh menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak
mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau
cacat, nasabah harus bertanggung jawab.

Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas
perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank.
Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, kelebihan tersebut menjadi milik nasabah. Dalam hal
hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, maka nasabah harus menutupi
kekurangannya.

3.      Qardh

Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan syariah biasanya dalam empat hal,
yaitu :

a.       Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk
memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum
keberangkatan hajinya.

b.      Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi
keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya
sesuai waktu yang ditentukan.

c.       Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan si
pengusaha apabila diberikan pembiayaan dengan skema jual-beli, ijarah atau bagi hasil.
d.      Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan
terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikan dana itu secara cicilan
melalui pemotongan gajinya.

4.      Wakalah (Perwakilan)

Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk
mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer
uang.

Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus
untuk pembukaan L/C, apabila dana sudah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C
(settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah,
atau musyarakah.

5.      Kafalah (Garansi Bank)

Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban
pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana.

6.      Sharf (Jual beli Valuta Asing)

Secara harfiah, sharf adalah penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan atau transaksi jual
beli. Menurut istilah, yang dimaksud dengan sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan
valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing dapat dilakukan baik dengan sesama mata uang
yang sejenis, misalnya mata uang rupiah dengan rupiah, maupun yang tidak sejenis seperti rupiah
dengan dollar US atau sebaliknya. Jual beli mata uang yang tidak sejenis, penyerahannya harus
dilakukan pada waktu yang sama.

http://arifindbkosmik.blogspot.com/2017/10/penerapan-akad-pada-perbankan-syariah.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai