Anda di halaman 1dari 7

Pemikiran Abu Ubaid dan yusuf Qardhawi tentang zakat

Abu Ubaid bernama lengkap Al Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Azadi Al-Bagdady lahir

pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afganistan dan wafat di Mekkah pada tahun

224 H. Pada umur 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah,

Basrah dab Baqhdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain tata bahasa arab Qira’at, Tafsir, Hadits Dan

Fiqih. Abu Ubaid hidup pada masa khalifah Daulah Abbasiyah, yakni pada masa khalifah al Mahdi

(158/775 M).

Abu Ubaid juga merupakan seorang ahli hadis dan ahli fiqih terkemuka pada masa hidupnya.

Pemikiran Abu Ubaid dipengaruhi oleh pemikiran Abu Amr Abdurrahmam ibn amr al-Awza’i, serta ulama-

ulama suriah lainnya sewaktu dia menjadi Qadi Tarsus. Dalam pemikirana Abu Ubaid yang di tuangkan ke

dalam buku yang berjudul Al-Amwal lebih terfokus pada permasalah yang berkaitan dengan standar etika

politik suatu pemerintah ketimbang berorientasi pada teknik efesiensi pengelolaan, Abu Ubaid lebih concern

kepada masalah restributif dari sisi “apa” daripada “bagaimana”.

Filosofi yang dikemukakan Abu Ubaid hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat

profesional yang bersandar pada kemampuan teknis, dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip keadilan

masyarakat beradab. Pandangan Abu Uabid mengedepankan dominasi intelektualitas islami serta bersifat

teologis. Ini menjadi fondasi bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat, baik individu maupun sosial,

sehingga dengan pola seperti itu, akhirnya Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendikiawan Muslim

terkenal pada abad ke-3 h yang menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan Qur’an dan

Hadist, yang dilakukan melalui reformasi kebijakan keuangan dan institusinya.

Jika isi buku Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu ubaid

menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa

kepada kesejahteraan ekonomi dan prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan pendekatan yang selaras

dengan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang pada hak-hak individual, publik dan

negara, jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik, maka ditekankan lebih dahulu

kepentingan publik.

Tulisan-tulisan Abu Ubaid ditulis dan dihasilkan pada masa Dinasti Abassiyah,dan tidak pernah ada

masalah legitimasi,meski pemikirannya sering menyoroti kebijakan khalifah untuk membuat keputusan
dengan hati-hati. Sebagai contoh, Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada

negara ataupun penerimaanya sendiri, sedangkan zakat komoditi harus diberikan kepada pemerintah. Jika

tidak, maka kewajiban agama diasumsikan tidak tertunaikan. Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas

Imam dan memutuskan kepentingan publik seperti membagi tanah taklukkan. Para penakluk didorong untuk

memberikan kepemilikannya diambil alih oleh penduduk setempat.

Abu Ubaid juga membahas tentang masalah tarif dasar pajak atau polltax, dia juga menyinggung

tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non Muslim, dalam finansial

modren disebut sebagai “capacity to pay” (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan

para penerima dari kalangan Muslim. Menurut Abu Ubaid, dia membela pendapat bahwa tarif pajak

kontraktual tidak dapat dinaikan tapi dapat diturunkan jika terjadi kemampuan membayar dengan

berkesinambungan.

Lebih jauh Abu Ubaid mengatakan jika permohonan pembahasan hutang disaksikan oleh saksi

muslim, maka komoditas komersial subyek Muslim serta hutangnya itu akan dibebaskan oleh saksi Muslim,

maka komoditas komersial subyek Muslim serta hutangnya itu akan dibebaskan dari pajak/cukai (duty free).

Abu Ubaid juga menjelaskan tentang pengumpulan kharaj, jizyah, ushur atau zakat tidak boleh menyiksa

seseorang dan disisi lain orang tersebut harus melunasi kewajiban finansialnya secara teratur, dan Abu

Ubaid berusaha untuk menghentikan terjadinya diskriminasi dalam perpajakan serta menghindari pajak (tax

evasion).

Dalam beberapa permasalahan, Abu Ubaid tidak merujuk kepada kharaj yang dipelopori oleh

khalifah Umar bin Khatab, ia memandang bahwa adanya permasalahn dalam meningkatkan atau

menurunkannya berdasarkan kepada situasi dan kondisi.

Kitab al Amwal dibagi ke dalam beberapa bagian dan bab yang tidak beraturan isinya, dalam bab

pendahuluan, maka Abu Ubaid secara singkat membahas tentang hak dan kewajiban pemerintah terhadap

rakyatnya serta sebaliknya, dengan penekanan terhadap kebutuhan suatu pemerintah yang adil. Pada bagian

selanjutnya kitab ini membahas tentang berbagai jenis pemasukan negara yang dipercayakan kepada

pemimpin atas nama rakyat serta berbagai landasan hukum yang sesuai dengan Alqur’an dan Hadist. Dalam

bab tersebut, Abu Ubaid menekankan pembahasanya kedalam pendapatan negara yang menjadi hak
Rasulullah, seperti harta fai, bagian khumus dan safi serta pengalokasiannya, baik dimasa rasul itu sendiri

maupun sesudahnya. Jadi pada bagian selanjutnya, ketiga hal tersebut menjadi kerangka dasar pemikiran

dalam kitab al Amwal, ketika membahas tiga sumber utama pendapatan negara, yaitu fai, khumus dan
shadaqah yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus dan mendistribusikannya kepada

masyarakat.

Tiga bagian dalam kitab al-Amwal tersebut meliputi beberapa bab yang membahas masalah

penerimaan fai. Menurut Abu Ubaid, harta fai merupakan pendapatan negara yang diambil oleh orang

muslim terhadap harta non-muslim yang diambil dengan jalan damai, berasal dari jizyah, kharaj dan unshur

atau zakat. Dan pada bagian keempat dalam kitab tersebut,sesuai dengan perluasan daerah Islam di masa

dahulu, maka itu dibahas mengenai pertahanan, administrasi, hukum internasional, dan hukum perang,

bagian kelima membahas tentang distribusi, pendapatan fai, bagian keenam dalam kitab tersebut membahas

tentang iqta, ihya al mawat.

Jadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa isi bagian dari kitab al Amwal tersebut lebih mendalam

membahas masalah keuangan publik (public Finance), secara umum. Pada masa Abu Ubaid masih hidup,

pertanian dipandang sebagai usaha yang paling baik dan utama, karena fungsi utamanya untuk menyediakan

kebutuhan dasar, makanan dan juga merupakan sumber utama pendapatan negara, maka hal inilah yang

menjadikan sektor pertanian sebagai isue utama, bukan masalah pertumbuhan ekonomi. Sebab itu, Abu

Ubaid memfokuskan kajiannya pada persoalan sosio-politik-ekonomi yang stabil dan adil. Jadi kesimpulan

bahwa isi bagian dari kitab al Amwal tersebut lebih mendalam membahas masalah keuangan publik ( public

finance), secara umum. ( Taufik Hidayat,2019, http://www.journal.iaincurup.ac.id/index/alfalah, 29 Maret

2019).

Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwal menyatakan bahwa distribusi kekayaan kepada masyarakat, harus

adil dan merata, adil dan merata yang dimaksud adalah distribusi yang didasarkan kepada konstribusi yang

diberikan masyarakat kepada negara. Hal ini juga berlaku pada distribusi zakat. Menurut Abu Ubaid, tidak

seluruh masyarakat miskin dapat menerima zakat diantara delapan asnaf penerima yaitu fakir, miskin, riqab,

gharim, mualaf, fisabilillah, ibnu sabil, dan amil zakat, berhak menerima zakat, kecuali ia tidak dapat

memenuhi kebutuhan dasarnya dan memiliki kekayaan kurang dari 40 dirham, walapun kebutuhan sandang,

papan, pangan telah terpenuhi namun ia tidak memiliki uang lebih dari 40 dirham, maka mereka wajib untuk

dizakati. ( Muthia muharani, kompasian.com, 29 Oktober 2016).

Abu Ubaid juga menganggap bahwa seseorang yang memiliki 2000 dirham, yakni jumlah minimum
yang terkena wajib zakat, sebagai “orang kaya” sehingga mengenakan kewajiban zakat terhadap orang

tersebut. Abu Ubaid pun menjelaskan : “ berkaitan dengan zakat binatang ternak (mawasih), biji-bijian

(habb) dan buah (thimar) tidak ada yang bisa mengelola itu semua kecuali pemerintah. Pemilik kekayaan
jenis itu tidak boleh menyembunyikan dari pemerintah. Jika seseorang mendistribusikan dan

menyampaikannya bahkan kepada penerima yang berhak, dia dianggap tidak melaksanakan kewajibannya.

Dia harus mengembalikannya kepada pemerintah. ( mariam Ulfa Puspita, kompasiana, 30 Maret 2019)

Abu Ubaid mengelompokan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terikat dengan status zakat,

yaitu kalangan kaya yaitu seseorang yang memiliki harta 2000 dirham sehingga terkena wajib zakat,

kalangan menegah yaitu seseorang yang memiliki harta dibawah 2000 dirham dan diatas 40 dirham sehingga

tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, dan golongan berhak menerima zakat

yaitu seseorang yang memiliki harta dibawah 40 dirham. ( mariam Ulfa Puspita, kompasiana, 30 Maret

2019)

Berkaitan dengan distribusi zakat, Abu Ubaid mengadopsi prinsip “mendistribusikan kepada setiap

orang menurut kebutuhannya masing-masing “, dan ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah

zakat/pajak yang diberikan kepada pengumpul zakat, pada prinsipnya Abu Ubaid menekankan implementasi

prinsip “bagi setiap orang sesuai dengan haknya”. Karena zakat yang dibagikan kepada pengelola zakat

harus dengan kebijakan imam. ( Taufik Hidayat,2019, http://www.journal.iaincurup.ac.id/index/alfalah, 29

Maret 2019).

Syekh Dr. Yusuf al- Qaradawi (lahir di shafth Turaab, kairo, Mesir, 9 September 1926; umur 93

tahun) adalah seorang cendekiawan Muslim yang berasal dari Mesir. Ia dikenal sebagai seorang Mujtahid

pada era modern ini. Pada usia 10 tahun, ia sudah hafal al-Qur’an.menamatkan pendidikan di Ma’had

Thantha dan Ma’had Tsanawi, Qardhawi terus melanjutkan ke Universitas al-Azhar, fakultas Ushuluddin.

Dan lulus tahun 1952. Tapi gelar doktornya baru ia peroleh pada tahun 1972 dengan disertai “Zakat dan

Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian disempurnakan menjadi Fiqih Zakat.

Sebuah buku yang komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern. (Wikipedia, 7 juli

2018).

Zakat saham dan obligasi sebenarnya mulai dikenal pada zaman modern akhir-akhir ini. Saham dan

obligasi dianggap sebagai harta kekayaan yang wajib dizakati karena kedua benda tersebut sama-sama

memiliki nilai ekonomi. Disamping bernilai ekonomi, saham dan obligasi merupakan harta yang dapat

memberikan pemasukan yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan pertanian atau perdagangan. Namun,
para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban mengeluarkan zakatnya.
Menurut Yusuf Qardhawi saham adalah hak pemilikan tertentu atas kekayaan suatu perseorangan

terbatas atau atas penunjukkan atas saham tersebut. Sedangkan obligasi adalah perjanjian tertulis dari bank,

perusahaan, atau pemerintah kepada pembawanya untuk melunasi sejumlah pinjaman dalam masa tertentu

dengan bunga tertentu pula. Beliau membedakan saham dan obligasi sebagai berikut: a) Saham merupakan

bagian kekayaan bank atau perusahaan sedangkan obligasi merupakan pinjaman kepada perusahaan, bank,

atau pemerintah. b) Saham memberikan keuntungan sesuai dengan keuntungan perusahaan atau bank yaitu

sesuai dengan keberhasilan perusahaan atau bank tersebut, dan menanggung kerugian yang di alami bank

atau perusahaan. Sedangkan obligasi memberikan keuntungan atas pinjaman tanpa bertambah atau

berkurang. c) Pembawa saham dianggap sebagai pemilik sebagian perusahaan atau bank sebesar nilai saham

yang dimiliki, sedangkan pembawa obligasi adalah pemberi hutang atau pinjaman kepada bank atau

perusahaan, pemerintah. d) Saham dibayar dari keuntungan bersih perusahaan atau bank sedangkan obligasi

dibayar pada waktu tertentu.

Selain memiliki perbedaan keduanya juga memiliki beberapa persamaan, yaitu: a) antara saham dan

obligasi sama-sama memiliki harga tertulis, yaitu harga waktu diterbitkan, dan harga pasar yang tergantung

pada surat-surat berharga.b) keduanya digunakan sebagai alat dalam bertransaksi untuk memperoleh

keuntungan seperti jual beli. c) Harganya terpengaruh oleh keadaan politik dan ekonomi suatu Negara, pusat

perdagangannya, dan keberhasilan perusahaan dan besar keuntungan nyata saham serta besar bunga obligasi,

bahkan dipengaruhi oleh situasi internasional seperti perang,damai dan sebagainya.

Menurut Yusuf Qardhawi, ketentuan seperti ini jelas bertentangan dengan keadilan hukum (syariat),

karena syariat tidak membedakan dua hal yang sama. Di mana saham yang dikeluarkan dari perusahaan

industri murni tidak terkena kewajiban zakat selama-lamanya, baik atas saham maupun atas keuntungan

yang diperolehnya, sedangkan saham yang dikeluarkan dari perusahaan perdagangan ataupun industri-

perdagangan maka akan terkena kewajiban zakat satiap tahun, baik atas saham maupun keuntungan dari

saham itu.

Dalam “Fiqh al-Zakah”, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pembahasan “zakat investasi

gedung, pabrik, dan lainnya”, Yusuf Qardhawi mengemukakan tiga pendapat yaitu: 1) pendapat yang

menyamakan gedung dan pabrik dengan harta perdagangan, karena itu harus dinilai (dihitung) harganya tiap

tahun dan dikeluarkan zakatnya diambil dari pendapatan dan keuntunganya, dengan alasan bahwa ia
termasuk kekayaan yang bersifat penggunaan. Oleh karena itu maka zakatnya dipungut sesuai ketentuan
zakat uang. 3) pendapat yang menyamakannya dengan tanah pertanian, dengan demikian harus dikeluarkan

zakatnya 10 % atau 5% atas pendapatan bersih.

Sedangkan perusahaan perdagangan, yaitu perusahaan yang kebanyakan modalnya terletak dalam

bentuk barang yang diperjual-belikan dan materinya tidak tetap, maka zakatnya diambil dari sahamnya,

sesuai dengan harga yang berlaku di pasar, ditambah dengan keuntugannya. Oleh karena itu zakatnya sekitar

2,5 %, setelah nilai peralatan yang masuk dalam saham, dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan pendapat beliau

mengenai harta perdagangan yaitu, bahwa zakatnya wajib atas modal yang begerak. Parlakuan terhadap

perusahaan-perusahaan dagang ini sama dengan perlakuan terhadap toko-toko dagang yang dimiliki

perorangan.

Mengenai obligasi, Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa obligasi adalah semacam cek berisi

pengakuan bahwa bank, perusahaan, atau pemerintah berhutang kepada pembawanya sejumlah tertentu

dengan bunga tertentu pula. Maka, obligasi sesungguhnya pemilik piutang yang ditangguhkan

pembayaranya, tetapi hutang itu harus segera dibayar bila tiba masa pembayaranya. Dari sini, maka obligasi

itu sudah berada di tangan selama satu tahun atau lebih.

Obligasi yang mendatangkan bunga, sebagaimana deposito berbunga itu wajib dikeluarkan zakatnya

seperti zakat perdangangan yaitu sebesar 2.5 %. Sedangkan bunga yang diperoleh darinya tidak wajib

dizakati, sebab merupakan harta tidak halal.

Menurut yusuf Qardhawi, saham dapat dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan yaitu: 1) Jika

sahamnya dijadikan sebagai objek jual-beli (barang dagangan ) maka zakat yang wajib dikeluarkan sebesar

2,5 % dari harga di pasar, yaitu harga pada hari wajibnyazakat, sebagaimana barang-barang dagangan. 2)

Jika saham itu diambil keuntungan tahunannya, maka zakatnya sebagai berikut: a) jika pemilik saham bisa

mengetahui, baik melalui perusahaan maupun lainya, nilai atau jumlah kekayaan perusahaan yang

direprentasikan oleh sahamnya, maka di mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. b) Jika dia tidak

mengetahuinya, maka para ulama berbeda pendapat yaitu: mayoritas ulama berpendapat bahwa pemilik

saham menggabungkan keuntungan saham itu dengan hartanya yang lain, jika sudah lewat satu tahun dan

mencapai satu nisab maka dia mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % sedangkan ulama lain bependapat

bahwa dia mengeluarkan zakat sebesar 10% dari keuntungan sahamnya, langsung setelah keuntungan itu di
dapat. Hal ini diqiyaskan dengan zakat pertanian.
Menurut Yusuf Qardhawi zakat obligasi dapat dianalogikan dengan zakat perdagangan yaitu sebesar

2,5 % dan zakatnya baru dapat dikeluarkan setelah obligasi tersebut berada di tangannya selama satu tahun,

dan jika belum mencapai satu tahun maka tidak dipugut zakatnya.

Selain beberapa ushul yang telah dijelaskan sebelumnya, Alasan lain Yusuf Qadhawi mewajibkan

zakat atas saham dan obligasi adalah karena menurutnya saham dan obligasi merupakan jenis kekayaan

dimana pada setiap harta terdapat hak bagi orang lain yang berupa zakat, infaq, dan sedekah. Yusuf

Qardhawi juga mewajibkan zakat atas semua jenis harta yang berkembang baik dengan sendirinya maupun

dengan pengelolaan sebagaimana saham dan obligasi. Selain itu dari kedua benda tersebut sama-sama

memiliki nilai ekonomi. Disamping bernilai ekonomi, saham dan obligasi merupakan harta yang dapat

memberikan pemasukan yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan pertanian dan perdagangan. Sehingga

menurutnya kedua benda tersebut merupakan sumber zakat yang wajib dikeluarkan zakatnya. ( Ririn

Fauziyah, 2010, nitropdf.com/professional, 2 Desember 2019).

NAMA KELOMPOK 2 NIM

1. ASMAWATI HALIM 18.2400.109

2. DEWI PERMATASARI 18.2400. 014

3. ZAINAL SM 18.2400.062

Anda mungkin juga menyukai