Anda di halaman 1dari 10

PEMIIKIRAN EKONOMI ISLAM ABAD I-V H P ART 4 (PEMIKIRAN

ABU UBAID )

Makalah Diajukan Uuntuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam

Dosen Pengampu :
Dr.Ahmad Nuruzzaman,M,E.

Oleh:
SUCI RAMADHANI (2304030038)

MBS-B Semester 2

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) PALOPO 2024
BAB 1
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Pemikiran Ekonomi Islam muncul sejak zaman Rasulullah Saw, dengan mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kehidupan bermasyarakat, setelah itu digantikan oleh
penerusnya yaitu khaulafaurasyidin serta khalifah lainnya dalam menata ekonomi negara. Sistem
ekonomi Islam terbentuk secara berkala dan berdasarkan paradigma Islam. Para cendekiawan
muslim telah memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi Islam.
Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan kembali jejak-jejak pemikiran munculnya
konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai
pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal-haram atau berprinsip syariat Islam.
Kelangkaan tentang kajian pemikiran ekonomi dalam Islam sangat tidak menguntungkan karena,
sepanjang sejarah Islam para pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai
gagasan ekonominya dengan sedemikian rupa, sehingga terkondisikan mereka dianggap sebagai
para pencetus ekonomi Islam sesungguhnya.
Pemikir ekonomi Islam dibagi dalam dua masa, yakni masa pemikir ekonomi klasik dan
juga masa pemikir ekonomi kontemporer. Dalam makalah ini akan dipaparkan pemikir ekonomi
pada masa klasik dengan tokoh Abu Ubaid (150-224 H) dan juga Yahya Bin Umar (213-289 H).

B. Rumusan Masalah

1.Bagaimana biografi beserta sejarah pemikiran ekonomi Islam menurut Abu Ubaid?
2.Bagaimana biografi beserta sejarah pemikiran ekonomi Islam menurut Yahya bin Umar?

C. Tujuan

1. Agar mahasiswa dapat memahami akar kemunculan pemikiran dan teori ekonomi Islam,
macam-macam trend, tipe, model, dan karakter pemikiran Abu Ubaid dan Yahya bin Umar
2. Agar mahasiswa dapat memahami, mengkritisi dan mengaktualkan kembali secara ilmiah dan
objektif isu-isu dan gagasan pemikiran tokoh ekonomi muslim klasik, menemukan metodologi
dan kerangka pemikirannya, mendalami dan menganalisis implikasi yang ditimbulkan dari
pemikiran atau konsep tersebut.
BAB II PEMBAHASAN

1. Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid (150-224 H)


A. RiwayatHidup
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bi Zaid Al-Harawi Al
Azadi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut
Afghanistan. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Setelah
memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi
berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, sepeti Kufah, Basrah dan Baghdad. Ilmu-ilmu
yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa arab, qira’at, tafsir, hadis dan fiqih.
Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah
harun Ar-Rashid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 2110 H.
Setelah itu, penulis kitab al-Amwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H,
setelah berhaji ia menetap di Makkah sampai wafatnya. ia meninggal pada tahun 224 H.

B.Latar Belakang Kehidupan dan Corak pemikiran


Abu Ubaid merupakan muhaddits dan fuqaha terkemuka di masa hidupnya.
Selamamenjabat qadi di Tarsus, Ia sering menangani berbagai kasus tanah pertanahan dan
perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap
kata-kata dari bahasa Parsi ke bahasa Arab juga menunjukkan bahwa Abu Ubaid sedikit banyak
menguasai bahasa tersebut.
Abu Ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta
penanggulangannya. Namun demikian, kitab al-Amwal dapat dikatakan lebih kaya daripada
kitab al-Kharaj dalam hal kelengkapan hadis dan pendapat para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in.
Dalam hal ini, fokus perhatian Abu Ubaid tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang
berkaitan degan standar etika politik suatu pemerintahan dari pada teknik efisiensi pengelolannya.
Sebagai contoh, Abu Ubaid lebih tertarik membahas masalah keadilan redistributif dari sisi “apa”
daripada “bagaimana”.
Filosofi yang dikembangkan Abu Ubaid bukan merupakan jawaban terhadap berbagai
permasalahan sosial, politik dan ekonomi yang diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan
praktis, tetapi hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat profesional dan teknokrat yang
bersandar pada kemampuan teknis. Dengan demikian, tanpa menyimpang dari prinsip keadilan
dan masyarakat beradab, pandangan-pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi
intelektualitas Islam yang berakar pada pendekatannya yang bersifat holistik dan teologis
terhadap kehidupan manusia di dunia dan akhirat baik yang bersifat individual maupun sosial.
Berdasarkan hal itu, Abu Ubaid menetapkan revitalisasi sistem perekonomian
berdasarkan Al-qur’an dan hadis melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan
institusinya. Abu Ubaid sering mengutip pandangan Malik ibn Anas salah seorang guru dari As-
Syafi’i.

C.Isi, Format dan Metodologi Kitab al-Amwal


Secara literal al-Amwal (tunggal, mal) berarti kekayaan atau keuangan. Dari catatan
sejarah kita melihat sekurang-kurangnya enam buku telah disusun dengan judul al-Amwal. Dari
enam buku ini, hanya tiga yang telah dipublikasikan hingga saat ini. Kitab al-Amwal merupakan
karya yang sangat sistematis dan komprehensif tentang masalah keuangan publik. Abu Uabid
mendasarkan bukunya pada ayat-ayat Al-qur’an, sunnah Nabi, praktik para khalifah yang salih
dan menyelidiki berbagai penafsiran. Buku ini merupakan kumpulan pendapat tentang masalah
keuangan dan pengelolaan keuangan negara dalam konteks historis dan fiqih. Dalam buku ini
juga memaparkan 2000 ucapan tentang masalah-masalah keuangan.1[1] Kitab al-Amwal dibagi
menjadi beberapa bagian dan bab. Pada bab pendahuluan, Abu Ubaid membahas hak dan
kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya serta hak dan kewajiban rakyat terhadap
pemerintahnya. Pada bab selanjutnya kitab ini menguraikan berbagai jenis pemasukan negara
yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta berbagai landasan hukumnya dalam
Al-qur’an dan sunnah. Dalam bab ini Abu Ubaid memberikan prioritas pada pendapatan negara
yang menjadi hak Rasulullah seperti fa’i, bagian khums dan safi, serta pengalokasiannya di masa
Rasulullah maupun setelahnya. Pada bagian-bagian berikutnya ketiga hal tersebut menjadi
kerangka dasar pemikiran dalam kitab ini tentang 3 sumber utama penerimaan negara, yakni :
fa’i, khums dan sodaqoh.
Tiga bagian pertama dari kitab al-Amwal meliputi beberapa bab yang membahas
penerimaan fa’i. Walaupun menurut Abu Ubaid fa’i mencakup pendapatan negara yang berasal
dari jizyah, kharaj dan usr, tetapi usr dibahas dalam bab sedekah. Sebaliknya ghanimah dan
fidyah yang tidak termasuk dalam definisi tersebut dibahas bersama dengan fa’i.
Pada bagian keempat berisi pembahahasan tentang pertanahan, administrasi, hukum
internasional dan hukum perang. Pada bagian kelima membahas tentang distribusi fa’i dan pada
bagian keenam membahas tentang iqta’, ihya al-mawat dan hima dua bagian terakhir ini masing-
masing didedikasikan untuk membahas khums dan sedekah.
Dari hasil penelaahan tersebut, tampak bahwa kitab al-Amwal secara khusus
memfokuskan perhatiannya pada masalah keuangan publik (public finance). Sekalipun mayoritas
materi yang ada di dalamnya membahas tentang administrasi pemerintahan secara umum. Kitab
al-Amwal menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum pertanahan serta hukum
administrasi dan hukum internasional. Pada masa Abu Ubaid pertanian dipandang sebagai sektor
usaha yang baik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar, makanan dan juga merupakan
sumber pendapatan negara. Oleh karena itu, Abu Ubaid mengarahkan sasarannya pada legitimasi
sosio-politik-ekonomi yang stabil dan adil.
Abu Ubaid dianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena kehandalannya
dalam melakukan istimbath hukum dari Al-qur’an dan hadis, sehingga dapat menghasilkan suatu
karya yang sistematis tentang kaidah-kaidah keuangan (financial maxims), terutama yang
berkaitan dengan perpajakan. Dalam mengkaji sebuah permasalahan yang memerlukan ketentuan
hukum, Abu Ubaid selalu mempertimbangkan maqasid syariah dengan menempatkan manfaat
bagi publik (al-maslahah al ammah) sebagai penentu akhir.

D. PandanganEkonomiAbuUbaid Filosofi Hukum dari Segi Ekonomi


1.Filosofi Hukum Dari Segi Hukum Ekonomi
Di dalam kitab al-Amwal tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai
prinsip utama. Bagi Abu Ubaid pengimplementasian prinsip-prinsip ekonomi ini akan membawa
kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya Abu Ubaid memiliki pendekatan
yang imbang terhadap hak-hak individu, publik dan negara. Jika kepentingan individu
berbenturan dengan kepentingan publik maka akan berpihak pada kepentingan publik.
Abu Ubaid menyusun suatu ihtisar tentang keuangan publik yang bisa dibandingkan
dengan kitab Al-kharaj Abu Yusuf. Namun, sejauh ini karyanya kurang menarik para ahli
ekonomi. Kitab Al-Amwal sangat kaya dengan sejarah materi ilmu hukum.
Tulisan-tulisan yang lahir pada masa keemasan dinasti Abbasiyah menitik beratkan pada
berbagai persoalan yang berkaitan hak khalifah dalam mengambil kebijakan dalam memutuskan
perkara selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan kaum muslimin. Berdasarkan hal ini,
Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan pada negara atau langsung pada
penerimanya, sedangkan zakat komoditas harus diberikan pada pemerintah jika tidak maka
kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Untuk pembagian tanah taklukan diserahkan pada pemerintah, lebih jauhnya setelah
mengungkapkan alokasi khums ia menyatakan bahwa penguasa yang adil dapat memperluas
berbagai batasan yang telah ditentukan apabila kepentingan publik sangat mendesak.
Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan tidak boleh disalahgunakan atau
dimanfaat penguasa untuk kepentingan pribadi. Ketika membahas tarif pada kharaj dan jizyah, ia
menyinggung tentang keseimbangan anatara kekuatan finansial non muslim dengan kepentingan
muslim yang berhak menerimanya. Kaum muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah
penduduk non muslim melebihi dari apa yang telah diperbolehkan. Abu Ubaid juga menayatakan
bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan, bahkan dapat diturunkan apabila terjadi
ketidakmampuan membayar. Abu Ubaid menekankan kepada disatu sisi pada pengumpulan
jisyah, usr dan zakat untuk tidak menyiksa masyarakatnya dan agar masyarakatnya dapat
memenuhi kewajiban finansial secara teratur dan sepantasnya. Dengan kata lain Abu Ubaid
menghentikan terjadinya diskriminasi atau favoritisme, penindasan dalam perpajakan serta upaya
penghindaran pajak (tax evasion).
2.Dikotomi Badui-Urban
Pembahasan mengenai Badui-Urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi
pendapatan fa’i. Abu Ubaid menegaskan bahwa bertentangan dengan kaum Badui kaum Urban :
a.Ikut serta dalam keberlangsungan negara dengan kewajiban administatif dari semua kaum
muslimin.
b.Memelihara kekuatandan pertahanans sipil melalui mobilitas jiwa dan harta mereka.
c..Menggalakkan pendidikan melaui proses belajar mengajar Al-qur’an dan sunnah serta
penyebaran keunggulannya.
d.Memberikan konstribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan
hudud.
e.Memberikancontohuniversalismedengansolatberjamaah.

Di samping keadilan, Abu Ubaid membangun suatu negara Islam berdasarkan


administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum dan kasih sayang. Karakteristik di atas hanya
diberikan oleh Allah SWT kepada kaum Urban. Kaum Badui yang tidak memberikan konstribusi
sebesar kaum Urban tidak bisa memperoleh manfaat pendapatan fa’i sebanyak kaum Urban.
dalam hal ini kaum Badui tidak berhak mendapat tunjangan dari negara. Mereka memilik hak
klaim terhadap penrimaan fa’i hanya pada saat terjadi 3 kondisi kritis, yakni ketika terjadi inflasi
musuh, kemarau panjang dan kerusuhan sipil. Abu Ubaid memperluas cakupan kaum Badui
dengan memasukkan golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.
Abu Ubaid memberikan pada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa
terhadap tunjangan yang berasal dari pendapatan fa’i, lebih lanjutnya Abu Ubaid mengakui hak
dari pada budak perkotaan terhadap arzaq (jatah), yang bukan untuk tunjangan. Dari semua ini
terlihat bahwa Abu Ubaid membedakan antara gaya hidup kaum Badui dengan kaum Urban, dan
membangun fondasi masyarakat muslim berdasarkan martabat kaum Urban, solidaritas serta
kerja sama berdasarkan komitmen dan kohesi, vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari
stabilitas sosio-politik dan makro ekonomi. Mekanisme yang disebut di atas, membuat kultur
perkotaan lebih unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden.

3.Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian


Abu Ubaid mengakui kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Mengakui hak
seseorang untuk memiliki apa saja yang dia inginkan dari barang-barang produksi, dan dalam
waktu yang bersamaan mengakui juga kepemilikan umum yang memadukan kemaslahatan
individ u dan kemaslahatan umum.2[2] Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas
adalah mengenai hubungan kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Abu Ubaid
mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah, seperti iqta (enfeoffment) tanah gurun dan
deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai
insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan
persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan selama
3 tahun berturut-turut, akan didenda kemudian akan dialihkan kepada penguasa.
Tanah gurun yang termasuk dalam hima pribadi dengan maksud untuk direklamasi, jika
tidak ditanami dalam periode yang sama, dapat ditempati orang lain dengan proses yang sama.
Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diberi
pengairan.Jika tandus, menjadi kering atau rawa-rawa, apabila tidak diberdayakan atau tidak
ditanami selama 3 tahun berturut-turut, hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki
sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati oleh orang
lain.
Dalam pandangan Abu Ubaid sumber daya publik seperti air, padang rumut dan api tidak
boleh dimonopoli seperti hima. Seluruh sumber daya ini hanya bisa dimasukkan dalam
kepemilikan negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

4. Pertimbangan Kebutuhan
Abu Ubaid sangat menentang tentang pembagian harta zakat yang harus dilakukan secara
merata antara 8 asnaf dan cenderung menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian seseorang.
Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan dasar, seberapa pun besarnya
serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Namun pada saat yang
bersamaan, Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat kepada orang-orang yang
memiliki harta 40 dirham atau yang setara, di samping pakaian, rumah dan pelayan yang
dianggapnya sebagai kebutuhan standart minimun. Abu Ubaid menganggap seseorang yang
memiliki 200 dirham dianggap sebagai orang kaya sehingga mengenakan kewajiban zakat pada
orang tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan Abu Ubaid ini mengindikasikan
adanya 3 kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat yaitu :
a. Kalangankayayangterkenawajibzakat.
b. Kalanganmenegahyangtidakterkenawajibzakat,tetapijugatidakberhakmenerimazakat. c.
c.Kalanganpenerimazakat.
Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui zakat, secara umum Abu Ubaid
mengadopsi prinsip “Bahwa bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing”.
Ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat yang diberikan pada
pengumpulnya (amil), pada prinsipnya ia lebih cenderung pada prinsip “Bagi setiap orang adalah
sesuai dengan haknya”.
5.Fungsi Uang
Umat Islam telah akrab dengan mata uang yang disebut dinar dan dirham. Dinar dan
dirham yang digunakan orang arab waktu itu tidak didasarkan pada nilainya, melainkan menurut
beratnya. Sebab dinar dan dirham tersebut dianggap sebagai mata uang yang dicetak, mengingat
bentuk timbangan dinar dan dirham yang tidak sama dan karena kemungkinan terjadinya
penyusutan akibat peredaran. Nilai tukar dinar-dirham relatif stabil pada jangka waktu yang
panjang dengan kurs dinar-dirham 1:10 pada saat itu perbandingan emas dan perak 1:7. Peredaran
dinar sangat terbatas, peredaran dirhah berfluktuasi kadang-kadang malah menghilang,
sedangkkan yang beredar luas adalah fullus.
Menurut Al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat
merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah klasik dapat dikatakan bahwa uang tidak
mempunyai kegunaan langsung (direct utiliti function). Hanya, bila uang itu digunakan untuk
membeli barang-barang itu akan memberi kegunaan.
Abu Ubaid mengakui adanya 2 fungsi uang yakni : sebagai standart nilai pertukaran dan
media pertukaran. Disamping itu sekalipun tidak menyebutkan secara jelas Abu Ubaid secara
implisit mengakui tentang adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai ketika membahas jumlah
tabungan minimum yang wajib terkena pajak. Salah satu ciri khas kitab al-Amwal diantara kitab-
kitab lain yang membahas tentang keuangan publik adalah pembahasan tentang timbangan dan
ukuran, yang bisa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan
dengan harta atau benda. Takaran dan timbangan menurut Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal
adalah 1 sha’= 4 mud dan 1 mud =1 1/3 rithl Baghdad. maka 1 sha’= 5 1/3 rithl.3[5]

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perkembangan Islam pada masa-masa awal menuju kejayaannya, ternyata bukan hanya
berupa perkebangan politik dan militer saja melainkan perkembangan ekonomi juga memainkan
peranan yang penting dalam menopang peradaban Islam. Perkembangan ekonomi Islam ini
bersumber dari pemikiran serta kebijakan para tokoh dan ulama Islam yang dimulai dari generasi
Rasul dan para sahabat dan kemudian para tabi’in dan tabiut tabi’in hingga kekhalifahan
Umayyah, Abbasiyah dan Utsmani.
Abu Ubaid secara singkat membahas hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahnya,
dengan studi khusus mengenai kebutuhan terhadap suatu pemerintahan yang adil. Secara umum
pada masa hidupnya Abu Ubaid, pertanian dipandang sebagai sektor usaha yang paling baik dan
utama karena menyediakan kebutuhan dasar, makanan dan juga marupakan sumber utama
pendapatan negara.
Beberapa pandangan ekonomi Abu Ubaid ialah dalam hal, a) Filosofi Hukum dan Sisi
Ekonomi, b) Diktomi Badui – Urban, c) Kepemilikan dalam konteks Kebijakan Perbaikan
Pertanian, d) Pertimbangan Kebutuhan, dan e) Fungsi Uang.

DAFTAR PUSTAKA

Azmi, Sabahuddin. 2005. Menimbang Ekonomi Islam Keuangan Publik dalam pemikiran Islam
Amwal. Cet I. Bandung : Penerbit Nuansa.
Azwar Karim, Adiwarman. 2002. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Ed III. Cet 6. Jakarta : PT.
Pustaka Pelajar.
Azwar Karim, Adiwarman. 2008. Ekonomi Mikro Islam. Ed. III. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada.
Azwar Karim, Adiwarman. 2014. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Cet. II. Jakarta : Rajawali
Pers.
Izzan, Ahmad dan Syahri Tanjung. 2006. Referensi Ekonomi Syariah Ayat-Ayat Al- Qur’an yang
Berdimensi Ekonomi. Cet. I. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Mujahidin, Akhmad. 2007. Ekonomi Islam. Ed. I. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Sudarsono, Heri. 2007. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Ed.I. Cet. V. Yogyakarta :
Ekonisia.
Suprayitno, Eko. 2005. Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional. Cet.
I. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai