Puji Syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas terstrukutur dalam bentuk makalah.
Makalah ini akan membahas tentang Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam menurut
pandangan Abu Ubaid pada masa kekhalifahan Abbasiyah, yang memiliki pengaruh kuat
dalam kemajuan pekonomian Islam.
Dalam pembuatan makalah ini kami selaku penyusun makalah ini masih ada kesalahan,
kekeliruan dalam penyusunan atau penggunaan kata. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan kualitas penyusunan makalah kami
di masa datang.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi banyak orang.
Tim penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya sudah diawali sejak Muhammad saw. dipilih
menjadi seorang Rasul. Rasulullah saw. mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut
berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan hidup bermasyarakat, yang kemudian
dilanjutkan oleh penggantinya, Khulafaur Rasyidin serta khalifah selanjutnya dalam menata
ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam telah terbentuk secara berkala sebagai sebuah subyek
interdisipliner sesuai dengan paradigma Islam. Di dalam tulisan-tulisan para pengamat, Al-
Qur’an, ahli hukum/syariah, sejarawan, serta filosof, sosial, politik, serta moral. Sejumlah
cendekiawan Islam telah memberikan kontribusi yang sangat berharga sejak berabad abad yang
lampau. Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan kembali jejak-jejak pemikiran
munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu
diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal-haram atau
berprinsip syariat Islam. Kelangkaan tentang kajian pemikiran ekonomi dalam Islam sangat
tidak menguntungkan karena, sepanjang sejarah Islam, para pemikir dan pemimpin muslim
sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya sedemikian rupa, sehingga
terkondisikan mereka dianggap sebagai para pencetus ekonomi Islam sesungguhnya.
Dilihat dari waktu dimana para pemikir-pemikir ekonomi islam hidup, dapat dibagi
menjadi dua jenis pemikir, yaitu : para pemikir yang hidup sebelum abad 20 yang disebut
pemikir ekonomi islam klasik dan pemikir-pemikir yang hidup setelah abad 20 yang disebut
sebagai pemikir ekonomi islam kontemporer. Adapun sedikit pembahasan disini penulis
mencoba menapak tilasi salah seorang pemikir ekonomi islam klasik, yaitu Abu Ubaid.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Abu Ubaid ?
2. Bagaimana dengan latar belakang kehidupan dan corak pemikirannya ?
3. Apa saja yang dibahas dalam kitab al-amwal ?
4. Bagaimana pemikiran ekonomi Abu Ubaid ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang riwayat hidup Abu Ubaid
2. Untuk mengetahui latar belakang dan corak pemikiran Abu Ubaid
3. Untuk memahami tentang kitab al-amwal
4. Untuk memahami tentang pemikiran ekonomi Abu Ubaid
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Abu Ubaid
Abu ubaid bernama lengkap Al-Qosim bin sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-
Hazadi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 154 H di kota Harrah Khurasan, sebelah barat laut
Afganistan dari ayah keturunan byzantium, maulana dari suku azd. Dan wafat di mekkah pada
tahun 224 H
Dia pertama kali belajar di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan
Bagdad untuk belajar tata bahasa arab, qira'ah, tafsir, hadis, dan fikih. Pada tahun 192 H, Tsabit
Ibn Nasr Ibn Malik (Gubernur Thugur) dimasa pemerintahan Kholifah Harun Al-Rasid,
mengangkat Abu Ubaid menjadi qodi (hakim). Dia juga merupakan ahli Hadits dan ahli Fuqoha
yang terkemuka dimasa berhasil. Dia wafat dimakkah pada tahun 224 H.
Hasil karyanya ada sekitar 20, baik di bidang ilmu nahwu, qira'ah, fiqih, syair . Yang
tersebar dan terkenal adalah kitab al-amwal yang merupakan karya yang lengkap tentang
keuangan negara dalam islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah keuangan dari zaman
dahulu hijriyah kedua.
Berdasarkan hal tersebut, Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim
terkemuka pada awal abad ke-3. Yang menentukan revitalisasi investasi berdasarkan Al-Qur'an
dan Hadits.
Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadis (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqaha) terkemuka di
masa hidupnya. Selama menjabat qadi di Tarsus, Abu Ubaid sering menangani berbagai kasus
pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan baik.
1
Adiwarman Azwar Karim, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014). 268
2
Havus Aravik, “Ekonomi Islam: Konsep, Teori, dan Aplikasi serta Pandangan Pemikir Ekonomi Islam dari Abu
Ubaid sampai Al-Maududi”, (Malang: Empatdua, 2016). 193
membahas beberapa hal yang masih diragukan serta menjelaskan berbagai istilah
asing jika ada. Terkadang ia mengklasifikasikan isu-isu serta memberikan berbagai
hadits yang terkait. Di bagian lain ia mengelompokkan hadits-hadits atau kesimpulan
dari hadits tersebut. Menurut salah satu murid Abu Ubaid, Ibrahim al-Harbi. Kitab Al-
amwal merupakan karya abu Ubaid yang paling lemah karena sedikitnya jumlah
hadits yang dibahas. Namun demikian hal ini dapat dimaklumi mengingat Abu Ubaid
hanya menuliskan hadits-hadits yang sangat relevan, karena dalam beberapa
kesempatan terdapat haditt-hadits lain yang jumlahnya lebih banyak dari yang telah ia
bahas.3
Di samping seorang ahl al-Hadits, abu ubaid juga seorang ahl ar-ra’y. dalam setiap
isu, abu ubaid mengacu pada hadits-hadits serta interpretasi dari pendapat para ulama
yang terkait, kemudian melakukan kritik terhadapnya dengan melakukan evaluasi
terhadap kekuatan ataupun kelemahanya. Selain itu, ia akan memilih salah satu
pendapat yang ada atau, jika ada, melakukan ijtihad sendiri yang didukung dengan
hadits-hadits. Kadang kala ia juha akan membiarkan para pembaca kitabnya bebas
memilih, apakah mengikuti pendapatnya, atau dari salah satu pendapat alternatif yang
di anggap valid.
Sebagaimana ulama lainya, al-qur’an dan hadits merupakan referensi utama Abu
Ubaid dalam menarik kesimpulan hokum suatu peristiwa. Baginya, kedudukan al-
qur’an berada diatas hadits dan salah satu fungsi hadits adalah sebagai penjelas al-
qur’an. Sementara itu fatwah ataupun ijma para tabi’in mempunyai kedudukan hukum
yang lebih rendah daripada hadits serta dapat dikesampingkan apabila bertentangan
dengan hadits. Abu Ubaid mengatakan bahwa keumuman suatu hadits hanya dapat
ditakhsis (dispesifikasi) dengan hadits lainya, bukan dengan rasio seseorang. Lebih
jauh, ia mengatakan bahwa hadits dapat dipatahkan dengan hadits lain atau dengan ayat
al-qur’an.
Selain al-qur’an dan hadits, sumber hukum yang digunakan lainya adalah ijma’
(keseoakatan uamat). Ia menggunakan analoginya dalam rangka untuk mengambil
kesimpulan huikum jika hokum tersebut tidak secara eksplisit terdapat dalam al-quran
dan sunnah. Dalam mengkaji sebuah permasalahan hokum, Abu Ubaid selalu
mempertimbangkan maqasid al-syariahndengan menempatkan manfaat bagi public
3
Adiwarman Azwar Karim, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014). 270
(al-maslahah al-ammah) sebagai penentu akhir. Ia juga memberikan ruang pada ta’amul
(hukum adat atau tradisi) dalam menentukan suatu hukum.4
4
Ibid. 272
dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk non-Muslim melebihi dari apa yang
diperbolehkan dalam perjanjian perdamaian.
Abu Ubaid juga menyatakan bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat
dinaikkan, bahkan dapa diturunkan apabila terdapat ketidakmampuan membayar.
Lebih jauh, ia menataan bahwa jika seorang penduduk non-Muslim megajukan
permohonan bebas utang dan dibenarkan oleh saksi Muslim, barang perdagangan
orangg non-Muslim tersebut yang setara dengan jumlah utangnya akan dibebaskan dari
bea cukai (duty-free). Di samping itu, Abu Ubaid menekankan kepada, disatu sisi,
petugas pengumpul kharaj, jizyah, ushur atau zakat untuk tidak menyiksa masyarakat
dan, di lain sisi, masyarakat agar memenuhi ewajiban finansialnya secara teratur dan
sepantasnya. Dengan perkataan ain Ab Ubaid berusaha untuk menghentikan terjadinya
diskriminasi atau favoritisme, penindasan dalam perpajakan serta upaya penghindaran
pajak (tax evasion). Pandangan Abu Ubaid yang tidak merujuk pada tingkat kharaj
yang diterapkan oleh khalifah Umar ataupun pengamatannya terhadap permasalah yang
timbul dari kebijakan peningkatan dan penurunan tingkat kharaj berdasarkan situasi
dan kondisi menunjukkan bahwa Abu Ubaid mengadopsi kaidah fiqh “la yunkaru
taghayyiru al-fatwa bi taghayyuril azminati” (keberagaman aturan atau hukum karena
perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun demikian, baginya,
keberagaman ersebut hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui
suatu ijtihad.
2. Peranan Negara Dalam Perekonomian
Pemikiran Abu Ubaid yang tertuang dalam kitab Al Amwal dalam bahasan yang petama
adalah peranan negara dalam perekomomian yang mengulas tentang hak negara atas rakyat
dan hak rakyat atas negara, diama analisis yang digunakan beliau merujuk pada kaidah hadis-
hadis yang berkaitan dengan pemerintahan. Hasil dari implementasi dari anaslis itu
direalisakan dalam kaidah kontrak kekayaan bagi seluruh kaum muslimin.
Unsur-unsur kontrak itu meliputi:
1) Azaz peneloaan harta berdasarkan atas ketakwaan kepada Allah Swt
2) Keberadaan kekayaan pada komunitas kaum muslimin merupakan tanggung jawab seluruhnya
dan kepala negara berhak menggunakannya demi kepentingan seluruh kaum muslimin.
3) Setiap perbuatan dihadapkan pada tanggung jawab, pemerintah harus menjaga keamanan,
meningkatkan kesejahteraan melingdungi ha-hak rakyat mengatur kekayaan publik dan
menjamin terpeliharanya maqasit syariah.
Abu Ubaid menjadikan keadilan sebagai prinsip dasar dalam misi kekalifahan.
Diriwayatkan dari imam Ali ra.”Keadialan adalah suatu yang hak dan pemerintah wajib
menegakan hukum sesuai dengan yang Allah syariatkan dan menjalan kan amanat, ketika
pemerintah melakukan hal tersebut wajib bagi rakyat mendengar, mentaati dan memenuhi
panggilan negara dan pemerintah”.
Andil negara begitu besar dalam perekonomian karena tugas negara adalah meneegakan
kehidupan sosial berdasarkan nilai-nilai keadilan yang disyariatkan seperti penerapan zakat
dapat mengikis kesenjangan sosial dan menumbuhkan kepedulian sosial. Dan dengan mengatur
administrasi keuangan negara seefektif mungkin sehingga penyediaan pokok, pasilitas umum,
distribusi pendapatan dapat menjamin kemslahatan umat sehingga terselenggara kegiatan
ekonomi yang berkeadilan. Diamana sasaran beliau adalah legimitasi dari sosio-politik-
ekonomi yang stabil dan adil
Abu ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Dalam hal
kepemilikan, pemikiran abu ubaid yang khas adalah mengenai hubungan antara kepemilikan
dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implisit abu ubaid mengemukakan bahwa
kebijakan pemerintah, seperti iqta’ (enfeoffment) tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap
kepemilikan individualatas tanah tandus yang di suburkan, sebagai insentif untuk
meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan
untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur
selama tiga tahun berturut-turut, akan didenda dan kemudian dialihkan kepemilikannyaoleh
penguasa.
Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima’ pribadi dengan maksud untuk
direklamasi, jika tidak ditanami dalam periode yang sama, dapat ditempati oleh orang lain
melalui proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut
ditanami setelah diberi pengairan, jika tandus, atau menjadi kering, atau rawa-rawa. Adalah
tidak cukup memiliki sepetak ‘tanah mati’ dan apa yang tergantungdidalamnya dengan hanya
menggali sebuah sumur atau saluran. Setelah itu, jika diberdayakan atau ditanami selama tiga
tahun berturut-turut, hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat memiliki sedangkan
yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasikan dan selanjutnya ditempati oleh orang lain.
Dalam pandangan abu uabid, sumber daya publik, seperti air, padang rumput, dan api tidak
boleh dimonopoli seperti hima’ (taman pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat
dimasukkan kedalam kepemilikan negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.
7. Pertimbangan kebutuhan
Abu ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat
harus dilakukan secara merata diantara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung
menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi abu ubaid, yang paling
penting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapapun besarnya, bagaimana
menyelamatkan orang-orang dari bahay kelaparan. Namun, pada saat yang bersamaan, abu
ubaid tidak memberikan hak penerima zakat kepada orang-orang yang memiliki 40 dirham
atau harta lainnya yang setara, disamping baju, pakaian, rumah, dan pelayan yang dianggapnya
sebagai suatu kebutuhan standart hidup minimum. Disisi lain, biasanya abu ubaid menganggap
bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham, yakni jumlah minimum yang terkena wajib zakat,
sebagai “ orang kaya “ sehingga mengenakan kewajiban zakat terhadap orang tersebut. Oleh
karena itu, pendekatan yang digunakan Abu ubai ini mengindikasikan adanya tiga kelompok
sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu:
8. Fungsi uang
Pada prinsipnya, Abu ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagai standart
nilai pertukaran (standart of exchange value) dan media pertukaran ( medium of exchange).
Dalam hal ini, ia menyatakan :
“ Adalah hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apapun
kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang
dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah pengguanaannya untuk membeli sesuatu ( infaq )”
Salah satu ciri has kitab Al-amwal diantara kitab-kutab lain yang membahas tentang
keungan publik (public finance ) adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran, yang biasa
digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau
benda, dalam satu bab khusus. Diddalam bab ini, Abu ubaid juga menceritakan tentang usaha
kholifah Abdul Al-Malik Ibn Marwan dalam melakukan setndarisasi dari berbagai jenis mata
uang yang ada dalam sirkulasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bila dilihat dari sisi masa hidupnya yang relatif dekat dengan masa hidup
Rasulullah, wawasan pengetahuannya serta isi, format dan metodologi Kitab al-
Amwal. Abu Ubaid pantas disebut sebagai pemimpin dari “pemikir ekonomi mazhab
klasik” diantara para penulis tentang keuangan publik.
Seperti tergambar dalam karya monumentalnya, Kitab al-Amwal, Abu Ubaid
tampak jelas berusaha untuk mengartikulasikan ajaran Islam dalam aktifitas
kehidupan umat manusia sehari-hari. Inti dari doktrinnya adalah pembelaan terhadap
pelaksanaan distribusi kekayaan secara adil dan merata berdasarkan prinsip-prinsip
keadilan fiskal dengan sebaik dan sesempurna mungkin. Pemertah harus mengatur
harta kekayaan negara agar selalu dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan
mengawasi hak kepemilikan pribadi agar tidak disalah gunakan sehingga menganggu
atau mengurangi manfaat bagi masyarakat umum.
Pandanan-pandangan Abu Ubaid juga merefleksikan perlunya memelihara dan
mempertahankan keseimbangan antara hak dan kewajiban masyarakat serta
menekankan esprit de corps, rasa persatuan dan tanggung jawab bersama. Di samping
itu, Abu Ubaid juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan
jaminan standar kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat
muslim.