Anda di halaman 1dari 5

Nama : Melina Adha

Nim : 4012018098
Dosen Pengampu : Agustinar S Hi., M. Ei

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM MASA FORMALISASI KEBIJAKAN PUBLIK


Abu ubaid dan Yahya bin Umar
A. Abu Ubaid
1. Riwayat Hidup Abu Ubaid
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Azaidi
Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota harrah, khurasan sebelah barat laut af-
ganistan. Ayahnya keturunan byzantium yang menjadi maula suku azad. Setelah
memperoleh ilmu yg memadai di kota kelahiranya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi
berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah dan Baghdad.
Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir,
hadis dan fiqih. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur di masa
pemerintahan khalifah Harun Al-Rashit, mengangkat Abu Ubaid sebagai  qadi (hakim) di
tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis kitab al-Amwal ini tinggal di bagdad
selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia menetap di makkah sampai
wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.1

2. Latar Belakang Kehidupan Dan Corak Pemikiran


Abu Ubaid merupakan ahli hadis dan fikih terkemuka di jaman hidupnya. Abu
Ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta
penanggulangannya. Dalam hal ini fokus perhatian Abu Ubaid tampaknya lebih tertuju
pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu pemerintahan dari
pada tehnik efisiensi pengelolaannya akan permasalahan politik dan ekonomi yang
diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan praktis, tetapi hanya merupakan sebuah
pendekatan yang bersifat profesional dan teknokrat yang berstandar  pada kemampuan
teknis. Dengan demikian, tanpa menyimpang prinsip keadilan dan masyarakat beradab,
pandangan-pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang
berakar dari pendekatan yang bersifat holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia
didunia dan diakhirat.
Berdasarkan hal tersebut, Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan
muslim terkemuka pada awal abad ketiga hijriyah (abad kesembilan Masehi) yang
menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan perekonomian alquran dan
hadis melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan instansinya. Dengan kata
lain umpan balik dari sosial politik ekonomi islami, yang berasal dari ajaran alquran dan
hadis, mendapatkan tempat yang eksklusif serta diekspresikan dengan kuat dalam pola
pemikiran Abu Ubaid.

3. Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

a. Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi

1 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 264-268
Jika isi kitab al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa
Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid
pengimplementasian dari prinsip-prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan
ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang
berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara; jika kepentingan individu
berbenturan dengan kepentingan publik, ia akan berpihak dengan kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid yang lahir pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah
menitik beratkan pada berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak khalifah dalam
mengambil suatu kebijakan atau wewenang dalam memutuskan suatu perkara selama
tidak bertentangan dengan ajaran islam dan kepentingan kaum muslimin. Berdasarkan hal
ini, Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada negara
ataupun langsung kepada penerimanya, sedangkan zakat komuditas harus diberikan
kepada pemerintah dan jika tidak, maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Disamping itu, Abu Ubaid mengakui otoritas penguasa dalam memutuskan, demi
kepentingan publik, apakah akan membagikan tanah taklukan pada para penakluk atau
memberikan kepemilikannya tetap pada penduduk setempat.
Disisi lain, Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak
boleh disalah gunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya.
Dengan kata lain perbendaharaan negara harus digunakan untuk  kepentingan publik.
Abu Ubaid juga menyatakan bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan bahkan
dapat diturunkan apabila terjadi ketidak mampuan membayar. Lebih jauh, ia menyatakan
bahwa jika seorang penduduk non-Muslim mengajukan permohonan bebas utang dan
dibenarkan oleh saksi muslim, barang perdagangan penduduk non-Muslim tersebut yang
serta dengan jumlah utangnya akan dibebaskan dari bea cukai. Pandangan Abu Ubaid
yang tidak merujuk pada tingkat kharaj yang diterapkan oleh khalifah Umar ataupun
pengamatannya terhadap permasalahan yang timbul dari kebijakan peningkatan dan
penurunan tingkat kharaj berdasarkan situasi dan kondisi namun demikian baginya,
keberagaman tersebut hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui
sesuatu ijtihad.

b. Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian


Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Dalam
hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah mengenai hubungan antara
kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implisit Abu Ubaid
mengemukakan bahwa kewajiban pemerintah seperti iqta’ tanah gurun dan deklarasi
resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai
insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. oleh karena itu, tanah yang diberikan
dengan persyaratan untuk diolah dan dibebasakan dari pembayaran pajak.

c. Pertimbangan Kebutuhan
Abu ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa bagian harta zakat
harus dilakukan secara merata diantara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung
menentukan suatu batas tertinggi terhadap suatu bagian. Di sisi lain, biasanya abu ubaid
menganggap bahwa seorang yang memiliki 200 dirham adalah jumlah minimum yang
terkena wajib zakat. oleh kerena itu, pendekatan yang dilakukan abu ubaid ini
mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat,
yaitu :
1.  Kalangan kaya yang terkena wajib zakat;
2. Kalanagan menengah yang tidak terkena wajib pajak,tetapi juga tidak terkena wajib
pajak
3.  Kalangan penerima zakat

a. Fungsi Uang
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang –yang tidak mempunyai nilai intrinsik–
sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media
pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan
dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam. Ia merujuk pada
kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas
yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat
berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda
sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya.
Walaupun Abu Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of 'value) dari
emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang
jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.

B. Yahya Bin Umar

1.Riwayat Hidup Yahya bin Umar


Yahya bin Umar merupakan salah satu fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang
bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al Kannani Al Andalusi ini lahir
pada tahun 213 H. dan dibesarkan di Kordova, Spanyol. Seperti para cendekiawan
terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Pada mulanya, ia
singgah di Mesir dan berguru kepada para pemuka sahabat Abdullahbin Wahab Al-
Maliki dan Ibn Al-Qasim. Setelah itu, ia pindah ke Hijaz dan berguru, di antaranya,
kepada Abu Mus’ab Az-Zuhri.
Akhirnya, Yahya bin Umar menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan
pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin
Sulaiman Al-Farisi. Dalam perkembangan selanjutnya, ia menjadi pengajar di Jami’ Al-
Qairuwan.
Pada masa hidupnya ini, terjadi konflik yang menajam anatar fuqaha Malikiyah
dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam
pemerintahan. Yahya bin Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah
ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya, baik
dengan cara memenjarakan maupun membunuh, atau menjabat qadi di negeri itu. Setelah
Ibnu ‘Abdun turun  dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan
jabatan qadi  kepada Yahya bin Umar. Namun, ia menolaknya dan memilitetpa tinggal di
Sausah serta mengajar di Jami’ Al-Sabt hingga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat
pada tahun 289 H.(901 M.).

2.Pemikiran Ekonomi
Penekanan pemikiran ekonomi Yahya bin Umar adalah pada masalah penetapan
harga (al-tas’ir). Ia berpendapat bahwa penetapan harga tidak boleh dilakukan.
Hujjahnya adalah mengenai kisah para sahabat yang meminta Rosulullah untuk
menetapkan harga karena melonjaknya harga barang namun ditolak oleh Rosulullah
dengan alasan Allah-lah yang mengusai harga. Dalam konteks ini, penetapan harga yang
dilarang oleh Yahya bin Umar adalah kenaikan harga karena interaksi permintaan dan
penawaran. Namun jika harga melonjak karena human error maka pemerintah
mempunyai hak intervensi untuk kesejahteraan masyarakat.
Lebih luas lagi mengenai larangan penetapan harga, Yahya bin Umar mengijinkan
pemerintah melakukan intervensi apabila :
1.Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan yang dibutuhkan masyarakat
sehingga dapat merusak mekanisme pasar.
2.Para pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq atau banting harga (dumping) yang
dapat menimbulakan persaingan tidak sehat dan dapat mengacaukan stabilitas harga.

Anda mungkin juga menyukai