Nim : 4012018098
Dosen Pengampu : Agustinar S Hi., M. Ei
1 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 264-268
Jika isi kitab al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa
Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid
pengimplementasian dari prinsip-prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan
ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang
berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara; jika kepentingan individu
berbenturan dengan kepentingan publik, ia akan berpihak dengan kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid yang lahir pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah
menitik beratkan pada berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak khalifah dalam
mengambil suatu kebijakan atau wewenang dalam memutuskan suatu perkara selama
tidak bertentangan dengan ajaran islam dan kepentingan kaum muslimin. Berdasarkan hal
ini, Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada negara
ataupun langsung kepada penerimanya, sedangkan zakat komuditas harus diberikan
kepada pemerintah dan jika tidak, maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Disamping itu, Abu Ubaid mengakui otoritas penguasa dalam memutuskan, demi
kepentingan publik, apakah akan membagikan tanah taklukan pada para penakluk atau
memberikan kepemilikannya tetap pada penduduk setempat.
Disisi lain, Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak
boleh disalah gunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya.
Dengan kata lain perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan publik.
Abu Ubaid juga menyatakan bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan bahkan
dapat diturunkan apabila terjadi ketidak mampuan membayar. Lebih jauh, ia menyatakan
bahwa jika seorang penduduk non-Muslim mengajukan permohonan bebas utang dan
dibenarkan oleh saksi muslim, barang perdagangan penduduk non-Muslim tersebut yang
serta dengan jumlah utangnya akan dibebaskan dari bea cukai. Pandangan Abu Ubaid
yang tidak merujuk pada tingkat kharaj yang diterapkan oleh khalifah Umar ataupun
pengamatannya terhadap permasalahan yang timbul dari kebijakan peningkatan dan
penurunan tingkat kharaj berdasarkan situasi dan kondisi namun demikian baginya,
keberagaman tersebut hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui
sesuatu ijtihad.
c. Pertimbangan Kebutuhan
Abu ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa bagian harta zakat
harus dilakukan secara merata diantara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung
menentukan suatu batas tertinggi terhadap suatu bagian. Di sisi lain, biasanya abu ubaid
menganggap bahwa seorang yang memiliki 200 dirham adalah jumlah minimum yang
terkena wajib zakat. oleh kerena itu, pendekatan yang dilakukan abu ubaid ini
mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat,
yaitu :
1. Kalangan kaya yang terkena wajib zakat;
2. Kalanagan menengah yang tidak terkena wajib pajak,tetapi juga tidak terkena wajib
pajak
3. Kalangan penerima zakat
a. Fungsi Uang
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang –yang tidak mempunyai nilai intrinsik–
sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media
pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan
dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam. Ia merujuk pada
kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas
yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat
berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda
sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya.
Walaupun Abu Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of 'value) dari
emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang
jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.
2.Pemikiran Ekonomi
Penekanan pemikiran ekonomi Yahya bin Umar adalah pada masalah penetapan
harga (al-tas’ir). Ia berpendapat bahwa penetapan harga tidak boleh dilakukan.
Hujjahnya adalah mengenai kisah para sahabat yang meminta Rosulullah untuk
menetapkan harga karena melonjaknya harga barang namun ditolak oleh Rosulullah
dengan alasan Allah-lah yang mengusai harga. Dalam konteks ini, penetapan harga yang
dilarang oleh Yahya bin Umar adalah kenaikan harga karena interaksi permintaan dan
penawaran. Namun jika harga melonjak karena human error maka pemerintah
mempunyai hak intervensi untuk kesejahteraan masyarakat.
Lebih luas lagi mengenai larangan penetapan harga, Yahya bin Umar mengijinkan
pemerintah melakukan intervensi apabila :
1.Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan yang dibutuhkan masyarakat
sehingga dapat merusak mekanisme pasar.
2.Para pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq atau banting harga (dumping) yang
dapat menimbulakan persaingan tidak sehat dan dapat mengacaukan stabilitas harga.