Anda di halaman 1dari 4

Nama : Fitria Pratama Sopyanita

Nim : 1213020066
Kelas : HES IV B
Mata Kuliah : Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Dosen : - Yadi Janwari, Prof. Dr., M. Ag
- Didah Durrotun Naafisah, Hj., M. Ag
Tugas : menganalisis artikel sejarah Pemikiran ekonomi islam tokoh abad ke 1 hingga abad
ke-3.
Link artikel: https://osf.io/jgp6d/download
Judul artikel: Menilik Kembali Awal Mula Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa
Abu Ubaid
Analisis Artikel
Menilik Kembali Awal Mula Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Pada Masa Abu Ubaid
Oleh: Muhammad Abdul Azis
Abu Ubaid ialah seorang tokoh pemikiran ekonomi islam yang ada pada abad ke-3
Hijriah. Abu Ubaid hidup pada masa dinasti Abbasyiah. Nama lengkapnya ialah Abu 'Ubaid
al-Qasim bin Sallam al-Khurasani al-Harawi atau biasa dikenal dengan Abu Ubaid al-Qasim
bin Salam. Beliau lahir pada lahir di Herat tahun 154 H/770 wafat tahun 224 H/838 pada usia
67 tahun. Selama hidupnya ia berpindah-pindah ke berbagai daerah seperti kota Kufah,
Bagdad, Tartus dan berbagai daerah di Syam untuk menimba ilmu dari para ahli fikih, tafsir,
nahwu dan bahasa Arab. Ia pun pernah menjadi hakim yang membuat keputusan berdasarkan
syariat islam atau biasa dikenal dengan Qadi. Beliau memiliki karya yang terkenal di bidang
ekonomi islam yaitu kitab al-Amwal. Kitab ini membahas tentang perekonomian negara,
keuangan negara, dan mengkaji ilmu administrasi pemerintahan. Sebab itu lah beliau
dikatakan sebagai tokoh pemikiran ekonomi islam.
Di dalam artikel tersebut membahas kelebihan yang dimiliki kitab ini adalah menjadi
rujukan ekonom muslim dan non-muslim dalam mempelajari perpajakan, anggaran negara
baik pendapatan dan pengeluaran negara, tunjangan finansial bagi yang kurang mampu serta
kebijakan keuangan Islam. Abu Ubaid pun berpendapat bahwa berpendapat bahwa
revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan
keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al Qur’an dan Hdist. Dengan kata lain,
sumber dari yang suci, al Qur’an dan Hadist mendapatkan tempat eklusif serta terekkpresikan
dengan kuat pada pemikirannya.
Artikel tersebut menyatakan bahwa pemikiran ekonomi Abu Ubaid lebih membahas
pada sistem keuangan public seperti pajak, tarif pajak tanah atau Poll Tax, tarif presentase
perdagangan bebas. Hal tersebut sangat berkaitan dengan sistem keuangan modern saat ini
terutama sesuai dengan sistem keuangan yang diberlakukan di pemerintahan Indonesia. Jika
kita menilik pada kebijakan keuangan public yang ada pada pemerintahan Indonesia, lalu
membandingkan dengan pemikiran Abu Ubaid pada artukel tersebut ada beberapa persamaan
diantaranya:
1. Kepemilikan suatu Tanah
Abu Ubaid mengungkapkan adanya kepemilikan tanah pribadi dan juga tanah
milik negara, ini sangat relevan dengan kebijakan yang ada saat ini yaitu diatur dalam
pasal 16 ayat 1 UUPA menyatakan bahwa terdapat hak-hak atas tanah, yaitu hak
milik; hak guna usaha; hak bangun; hak pakai; hak sewa; hak membuka tanah; dan
hak memungut hasil hutan. Selain itu, menurut Abu Ubaid lahan kosong milik negara
dapat dimanfaatkan oleh warga setempat dengan beberapa syarat. Hal ini sesuai
dengan kebijakan yang ada di Indonesia yang menyatakan bahwa lahan kosong milik
negara dapat digarap oleh warga setempat, hal ini diatur dalam Undang-Undang
Pokok Pokok Agraria. Menuut Abu Ubaid, tanah yang sudah digarap tidak boleh
dibiarkan terlantar karena tanah Garapan akan memberikan keuntuntungan untuk
meningkatkan produktivitas pertanian. Maka abila, tanah Garapan tersebut dibiarkan
terlantar selama 3 tahun berturut-turut warga akan mendapat denda dan diubah hak
kepemilikan garapannya. Hal ini hamper sama yang tercantum dalam UUPA saat ini,
namun hanya berbeda kurun waktu nya saja.
Abu Ubaid pun mengatakan bahwa sumberdaya publik seperti air, padang
rumput dan api tidak boleh dimonopoli. Kebijakan ini di Indonesia diatur dalam Pasal
33 ayat (3) UUD 1945.
2. Kebijakan Pertanian
Ada istilah hubungan kepemilikan dengan kebijakan pertanian, diantaranya:
 Iqtha merupakan lahan yang diamanahkan oleh kepala negara untuk dikuasai
dan dikelola masyarakat dengan mengabaikan kepemilikan masyarakat yang
lain. Kebijakannya adalah mengambil kembali tanah yang diberikan, akibat
ditinggalkan pemiliknya.
 Ihya al-Mawat merupakan mengembalikan fungsi tanah-tanah yang tidak
dikelola, tidak terair, dan tidak menghasilkan manfaat. Maka negara boleh
mengambil alih tanah tersebut dengan tujuan dapat dipergunakan oleh
kepentingan umum dalam rangka memberikan kemaslahatan kepada
masyarakat.
 Hima (Perlindungan) merupakan lahan kosong yang digunakan sebagai tempat
mengembala ternak dan dilindungi oleh negara serta dipergunakan untuk
kepentingan Bersama.
3. Tarif pajak dari hasil perdagangan bebas/Perdagangan Internasional.
Di dalam artukel tersebut menjelaskan bahwa Abu Ubaid tidak
memberlakukannya tarif Nol terhadap perdagangan bebas (free trade), untuk
barangimpor kaum muslimin dikenakan zakat yang besarnya 2.5%. Sedangkan
non muslim, dikenakan cukai 5% untuk ahli dzimmah (kafir yang sudah
melakukan perdamaian dengan Islam) dan 10% untuk kafir harbi (yahudi dan
Nasrani). Kebijakan adanya cukai/ pajak dari luar negeri sudah ada saat zaman
dahulu, bahkan Abu Ubaid sudah menjelaskannya. Jadi, tiap suatu barag yang keluar
ataupun masuk dari suatu negara haruslah dikenai pajak. Di Indonesia Lembaga yang
mengatur pajak terhadap suatu barang yang masuk atau keluar disebut dengan Bea
Cukai. Sebetulnya, di Indonesia masih ada daerah yang bebas pajak seperti di batam,
bahkan yang baru-baru diberitakan ialah barang cimol (barang bekas) yang diambil
dari luar negeri dapat diperjualbelikan. Tetapi, tidak adanya tarif pajak karena
dimasukkannya secara illegal. Di dalam konsep islam itu tidak boleh dilakukan karena
barang yang masuk itu berates-ratus ton, apalagi merujuk pada pemikiran Abu Ubaid.
Perlu diingat bahwa Abu Ubaid tidak menerapkan pajak pada seluruh barang, dia
hanya menerapkan cukai pada barang-barang tertentu yang memang jumlahnya sangat
besar dan nilainya juga mahal atau dikatakan barang mewah. Sama halnya dengan di
Indonesia, bahwa barang mewah dari luar negeri haruslah dikenai pajak cukai.
4. Fungsi Uang
Dalam artikel tersebut menjelaskan bahwa pemikiran Abu Ubaid lainnya
terfokus pada fungsi uang yang mengatakan bahwa nilai tukar uang terhadapa emas
dan perak bernilai konstan. Pendapat Abu Ubaid menunjukkan bahwa dia mendukung
teori koin konvensional, meskipun dia tidak menjelaskan mengapa emas dan perak
tidak berharga kecuali jika itu adalah harga barang dan jasa. Abu Ubaid mengacu
pada penggunaan umum dan nilai yang relatif stabil dari kedua benda ini
dibandingkan dengan komoditas lainnya. Jika kedua barang ini juga digunakan
sebagai komoditas, nilainya juga akan berubah. Karena dalam kedua kasus ia
memainkan dua peran yang berbeda: komoditas yang akan dievaluasi atau komoditas
lain sebagai ukuran evaluasi. Abu Ubaid secara diam-diam mengakui bahwa uang
berfungsi sebagai penyimpan nilai dalam hal tabungan tahunan minimum yang
dicakup oleh zakat.

Kesimpulan:
Pemikiran ekonomi Abu Ubaid jika diteliti memang sangat relevan dengan
kebijakan sistem ekonomi pemerintah Indonesia saat ini. Beliau mengatakan bahwa
negara itu harus mementingkan segala kepentingan masyarakatnya, tidak boleh
merugikan masyarakat. Di mana, dalam artian pemerintah harus mengatur segala
kekayaan negara sebaik mungkin, baik pengeluaran ataupun pemasukan suatu negara.
Selain itu, dia pun mengatakan membolehkan kepemilikan pribadi menjadi
kepemilikan negara tetapi demi kepentingan Bersama. Serta ada pula Iqtha, Hima, dan
Ihya al-Mawat yang ketiga itu merupakan kebijakan tentang tanah kepemilikan
pribadi maupun negara yang dimanfaatkan untuk kepentingan Bersama. Lalu ada
pula, pemikiran terhadap fungsi uang ialah sebagai alat tukar, terutama emas. Semua
pemikiran ekonomi Abu Ubaid itu diterapkan semuanya di kebijakan ekonomi
Indonesia. Bahkan ada banyak Undang-undang atau peraturan yang mengaturnya
misalnya di UUPA, Undang-undang tentang bea cukai, dan lain sebagainya.
Hal demikian bahwa pemikiran ekonomi Abu Ubaid sangat mengedepankan
prinsip keadilan masyarakat. Artinya, abu Ubaid ini memperhatikan kesejahteraan
ekonomi masyarakatnya. Sesuai dengan Pasal 33 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.

Anda mungkin juga menyukai