Anda di halaman 1dari 5

Apartemen atau yang dalam peraturan perundang-undangan dikenal dengan istilah “rumah susun”, memang

tergolong sebagai sebuah bangunan gedung. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
(“UU Rumah Susun”) memberikan definisi mengenai rumah susun sebagai berikut:
 
“Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi
dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal
dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,
terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama.”
 

Oleh karena itu, sebagai bangunan gedung, tentu pengaturan mengenai apartemen/rumah susun, selain mengacu
pada UU Rumah Susun, juga mengacu pada peraturan mengenai bangunan gedung. Rumah susun merupakan salah
satu fungsi bangunan gedung, yaitu fungsi hunian. [1]
 

Peraturan Mengenai Merobohkan Gedung Secara Umum

Kemudian mengenai peruntuhan/perobohan bangunan gedung, perlu diketahui bahwa ini merupakan bagian dari
pembongkaran. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau sebagian bangunan
gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya.[2]
 
Bangunan gedung dapat dibongkar apabila:[3]
a.    Tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki.
Bangunan gedung yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki lagi berarti akan membahayakan
keselamatan pemilik dan/atau pengguna apabila bangunan gedung tersebut terus digunakan.
Dalam hal bangunan gedung dinyatakan tidak laik fungsi tetapi masih dapat diperbaiki, pemilik dan/atau
pengguna diberikan kesempatan untuk memperbaikinya sampai dengan dinyatakan laik fungsi.
b.    Dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan gedung dan/atau lingkungannya.
c.    Tidak memiliki izin mendirikan bangunan.
 

Sebelum sebuah bangunan gedung ditetapkan dapat dibongkar, dilakukan terlebih dahulu pengkajian teknis.[4]
Pengkajian teknis bangunan gedung dilakukan oleh pengkaji teknis dan pengadaannya menjadi kewajiban pemilik
bangunan gedung.[5]
 

Jika bangunan gedung tidak laik fungsi akan tetapi masih dapat diperbaiki, maka menjadi kewajiban dari pemilik
dan pengguna bangunan gedung untuk memperbaiki bangunan gedung yang telah ditetapkan tidak laik fungsi.
[6]Perbaikan dilakukan terhadap seluruh, bagian, komponen, atau bahan bangunan gedung yang dinyatakan tidak
laik fungsi dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pengkaji teknis, sampai dengan dinyatakan telah laik fungsi.
 

Ini berarti memang jika bangunan gedung apartemen tersebut sudah tidak layak lagi dan tidak dapat diperbaiki
setelah beberapa puluh tahun berdiri, maka ada kemungkinan gedung apartemen tersebut dirobohkan.
 

Peraturan Mengenai Peningkatan Kualitas Apartemen

Terkait perbaikan bangunan gedung, dalam hal gedung tersebut adalah apartemen, dapat dilihat ketentuan lebih
lanjut dalam UU Rumah Susun. Perbaikan gedung apartemen menjadi kewajiban dari pemilik satuan rumah susun
sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Rumah Susun:
 
(1) Peningkatan kualitas wajib dilakukan oleh pemilik sarusun terhadap rumah susun yang:
a.    tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki; dan/atau
b.    dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan rumah susun dan/atau lingkungan
rumah susun.
(2) Peningkatan kualitas rumah susun selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas
prakarsa pemilik sarusun.
 

Prakarsa peningkatan kualitas rumah susun dilakukan oleh:[7]


a.    Pemilik sarusun untuk rumah susun umum milik dan rumah susun komersial melalui PPPSRS;
b.    Pemerintah, pemerintah daerah, atau pemilik untuk rumah susun umum sewa dan rumah susun khusus; atau
c.    Pemerintah atau pemerintah daerah untuk rumah susun negara.
 

Prakarsa peningkatan kualitas rumah susun yang berasal dari pemilik harus disetujui paling sedikit 60% (enam puluh
persen) anggota perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun (“PPPSRS”).[8]
 

Penetapan peningkatan kualitas rumah susun merupakan kewenangan pemerintah daerah.[9]


 

Peningkatan kualitas ini dilakukan dengan pembangunan kembali rumah susun.[10] Pembangunan kembali
rumah susun tersebut dilakukan melalui pembongkaran, penataan, dan pembangunan.[11]
 

Peningkatan kualitas dilakukan dengan tetap melindungi hak kepemilikan, termasuk kepentingan pemilik atau
penghuni dengan memperhatikan faktor sosial, budaya, dan ekonomi yang berkeadilan.[12]
 

Mengenai bagaimana dengan nasib penghuni lama? Pemilik lama diprioritaskan untuk mendapatkan satuan rumah
susun yang sudah ditingkatkan kualitasnya.[13]
 
Pasal 66 UU Rumah Susun:
Pemrakarsa peningkatan kualitas rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) wajib:
a.    memberitahukan rencana peningkatan kualitas rumah susun kepada penghuni sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun sebelum pelaksanaan rencana tersebut;
b.    memberikan kesempatan kepada pemilik untuk menyampaikan masukan terhadap rencana peningkatan
kualitas; dan
c.    memprioritaskan pemilik lama untuk mendapatkan satuan rumah susun yang sudah ditingkatkan
kualitasnya.
 

Bagaimana dengan hunian untuk pemilik lama selama pelaksanaan peningkatan kualitas? Hal ini menjadi tanggung
jawab pelaku pembangunan.
 
Pasal 68 ayat (1) UU Rumah Susun:
Pelaku pembangunan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peningkatan kualitas, penyediaan tempat
hunian sementara yang layak dengan memperhatikan faktor jarak, sarana, prasarana, dan utilitas umum,
termasuk pendanaan.
 
Sedangkan jika peningkatan kualitas rumah susun telah selesai, PPPSRS yang bertanggung jawab terhadap
penghunian kembali pemilik lama.[14] Dalam hal penghunian kembali pemilik lama, pemilik tidak dikenai bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan.[15]
 

Menjawab pertanyaan Anda, apartemen memang dapat dirobohkan jika memang sudah tidak dapat diperbaiki.
Sedangkan jika masih dapat diperbaiki, maka dapat dilakukan peningkatan kualitas yang tahapannya adalah
melakukan pembongkaran, penataan, dan pembangunan.
 

Mengenai jangka waktu, tidak ada jangka waktu tertentu, ini bergantung pada bagaimana kondisi apartemen itu
sendiri. Jika memang sudah selayaknya diperbaiki, maka akan ada prakarsa, baik dari pemilik satuan rumah susun
atau pemerintah (bergantung pada jenis rumah susunnya).
 

Sanksi Bagi Penyelenggara yang Tidak Melakukan Peningkatan Kualitas Apartemen

Jika penyelenggara rumah susun tidak melakukan ketentuan mengenai peningkatan kualitas apartemen, maka dapat
dikenai sanksi administratif.[16] Sanksi administratif dapat berupa:[17]
a.    peringatan tertulis;
b.    pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha;
c.    penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
d.    penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan rumah susun;
e.    pengenaan denda administratif;
f.     pencabutan IMB;
g.    pencabutan sertifikat laik fungsi;
h.    pencabutan SHM sarusun atau SKBG sarusun;
i.      perintah pembongkaran bangunan rumah susun; atau
j.     pencabutan izin usaha.
 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.


 
Dasar Hukum:
1.    Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
2.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
 

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU
[1]
Bangunan Gedung”)

[2] Pasal 1 angka 8 UU Bangunan Gedung

[3] Pasal 39 ayat (1) UU Bangunan Gedung

[4] Pasal 39 ayat (2) UU Bangunan Gedung

[5] Pasal 39 ayat (3) UU Bangunan Gedung


[6] Pasal 41 ayat (2) huruf e UU Bangunan Gedung

[7] Pasal 65 ayat (1) UU Rumah Susun

[8] Pasal 65 ayat (2) UU Rumah Susun

[9] Pasal 64 UU Rumah Susun

[10] Pasal 62 ayat (1) UU Rumah Susun

[11] Pasal 62 ayat (2) UU Rumah Susun

[12] Pasal 63 UU Rumah Susun

[13] Pasal 66 UU Rumah Susun

[14] Pasal 68 ayat (2) UU Rumah Susun

[15] Pasal 68 ayat (3) UU Rumah Susun

[16] Pasal 107 UU Rumah Susun

[17] Pasal 108 UU Rumah Susun 

Pasal 3 uu No 20 tahun 2011 : Penyelenggaraan rumah susun bertujuan untuk: a.


menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang
sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta menciptakan permukiman yang terpadu guna
membangun ketahanan ekonomi, sosial, dan budaya; b. meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pemanfaatan ruang dan tanah, serta menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan
dalam menciptakan kawasan permukiman yang lengkap serta serasi dan seimbang dengan
memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; c. mengurangi
luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh; d. mengarahkan
pengembangan kawasan perkotaan yang serasi, seimbang, efisien, dan produktif; e. memenuhi
kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni dan masyarakat dengan
tetap mengutamakan tujuan pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak,
terutama bagi MBR; f. memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan
rumah susun; g. menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau,
terutama bagi MBR dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam
suatu sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang terpadu; dan h. memberikan kepastian
hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan, dan kepemilikan rumah susun.

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA UU Perlindungan konsumen


Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya
unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha
dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidakmemberi tanggapan dan/atau tidakmemenuhi ganti rugi
atas tuntuan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan
peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60
(1) Badan penyelesaian sengeketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap
pelaku usaha yang melanggar Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
(2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
(3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17, ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e,, ayat (2),
dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal
13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dalam pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
a. Perampasan barang tertentu;
b. Pengumuman putusan hakim;
c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. Pencabutan izin usaha.

Anda mungkin juga menyukai