2.1 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik (Chronic Kidney Desease)
2.1.1 Definisi Gagal ginjal kronis (Chronic Kidney Desease) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal) (Nursalam, 2010). Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang progesif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan sampah nitrogen lain dalam darah (Surhayanto, 2010). Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2011). Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus menerus yang berakibat fatal dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah. 2.1.2 Anatomi Fisiologi Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada dinding abdomen di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena besarnya lobus hepar. Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang terdalam adalah kapsula renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa, dan jaringan terluar adalah fascia renal. Ketiga lapis jaringan ini 9 berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan memfiksasi ginjal (Tortora, 2011). Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat terang dan medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks ginjal mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa triangular disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian apeks yang menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan hasil ekskresi yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal (Tortora, 2011).
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price dan Wilson, 2012). Menurut Sherwood (2011), ginjal memiliki fungsi yaitu: 1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh. 2. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. 3. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh. 4. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh. 5. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan. Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang diambil dari darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila orang tersebut merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka urin yang ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra (Sherwood, 2011). Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi tidak difiltrasi, kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian akan dieksresi (Sherwood, 2011). 2.1.3 Etiologi Menurut Muttaqin, 2012) etiologi dari gagal ginjal kronis yaitu sebagai berikut: 1. Penyakit dari Ginjal 1) Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteriti. 2) Batu ginjal: nefrolitiasis 3) Kista di ginjal: polcystis kidney. 4) Trauma langsung pada ginjal. 5) Keganasan pada ginjal. 6) Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/striktur. 2. Penyakit Umum di Luar Ginjal 1) Penyakit sistemik: diabetes melius, hipertensi dan kolesterol tinggi. 2) Dyslipidemia. 3) Infeksi di badan: TBC paru, sifilis, malaria dan hepatitis. 4) Preeklamsi. 5) Obat-obatan. 6) Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar). 2.1.4 Klasifikasi Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan Cronic Kidney Disease (CKD). Pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure (CRF), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/ merasa masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat (stage) menggunakan terminology CCT (clearance creatinin test) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF (cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF. 1. Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium : 1) Stadium I : Penurunan cadangan ginjal (1) Kreatinin serum dan kadar BUN normal (2) Asimptomatik (3) Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR 2) Stadium II : Insufisiensi ginjal (1) Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam diet) (2) Kadar kreatinin serum meningkat (3) Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan) Ada 3 derajat insufisiensi ginjal: (1) Ringan 40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal (2) Sedang 15% - 40% fungsi ginjal normal (3) Kondisi berat 2% - 20% fungsi ginjal normal 3) Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia (1) Kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat (2) Ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan elektrolit (3) Air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010 2. KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) : 1) Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2). 2) Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60 -89 mL/menit/1,73 m2). 3) Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2). 4) Stadium4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15- 29mL/menit/1,73m2). 5) Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal terminal. 2.1.5 Patofisiologi Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan penimbunan produk sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit.Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronis mungkin minimal karena nefron-nefron lain yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan laju filtrasi, reabsorbsi, dan sekresinya serta mengalami hipertrofi dalam proses tersebut. Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, nefron yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reasorbsi protein. Seiring dengan penyusutan progresif nefron, terjadi pembentukkan jaringan parut dan penurunan aliran darah ginjal.Pelepasan renin dapat meningkat dan bersama dengan kelebihan beban cairan, dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi mempercepat gagal ginjal, mungkin dengan meningkatkan filtrasi (karena tuntutan untuk reasorbsi) protein plasma dan menimbulkan stress oksidatif.Kegagalan ginjal membentuk eritropoietin dalam jumlah yang adekuat sering kali menimbulkan anemia dan keletihan akibat anemia berpengaruh buruk pada kualitas hidup.Selain itu, anemia kronis dapat menyebabkan penurunan oksigenasi jaringan di seluruh tubuh dan mengaktifkan refleks-refleks yang ditujukan untuk meningkatkan curah jantung guna memperbaiki oksigenasi.Refleks ini mencakup aktivasi susunan saraf simpatis dan peningkatan curah jantung.Akhirnya, perubahan tersebut merangsang individu yang menderita gagal ginjal mengalami gagal jantung kongestif sehingga penyakit ginjal kronis menjadi satu faktor risiko yang terkait dengan penyakit jantung (Corwin, 2010). Menurut (Muhammad, 2012) perjalanan umum gagal ginjal kronis dapat dibagi menjadi 4 stadium, yaitu sebagai berikut. 1. Stadium I (Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40%– 75%)) Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik dan laju filtrasi glomerulus 40-50% tetapi, sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi. Pada tahap ini penderita ini belum merasakan gejala gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test GFR yang teliti. 2. Stadium II (Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20% – 50%)) Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat-obatan yang bersifat mengganggu faal ginjal. Bila langkah- langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet.Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal. 3. Stadium III (Gagal Ginjal (faal ginjal kurang dari 10%)) Pada tahap ini laju filtrasi glomerulus 10-20% normal, BUN dan kreatinin serum meningkat.Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat melakukan tugas sehari - hari sebagaimana mestinya. Gejala- gejala yang timbul antara lain mual, muntah, nafsu makan berkurang, sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Oleh karena itu, penderita tidak dapat melakukan tugas sehari-hari. 4. Stadium IV (End Stage Meal Disease (ESRD)) Stadium akhir timbul pada sekitar 90% dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10% dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5- 10 ml/menit atau kurang.Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang tubulus ginjal, kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis. 2.1.6 Komplikasi Menurut (Corwin, 2011), komplikasi dari penyakit gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut. 1. Pada gagal ginjal progresif, terjadi beban volume, ketidakseimbangan elektrolit, asidosis metabolik, azotemia, dan uremia. 2. Pada gagal ginjal stadium 5 (penyakit stadium akhir), terjadi azotemia dan uremia berat. Asidosis metabolik memburuk, yang secara mencolok merangsang kecepatan pernapasan. 3. Hipertensi, anemia, osteodistrofi, hiperkalemia, ensefalopati uremik, dan pruritus (gatal) adalah komplikasi yang sering terjadi. 4. Penurunan pembentukan eriropoietin dapat menyebabkan sindrom anemia kardiorenal, suatu trias anemia yang lama, penyakit kardiovaskular, dan penyakit ginjal yang akhirnya menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. 5. Dapat terjadi gagal jantung kongestif. 6. Tanpa pengobatan dapat terjadi kima dan kematian. 2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik Menurut (Arif Muttaqin, 2011) pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut. 1. Laju Endap Darah (LED) Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan hipoalbuminemia. 2. Ureum dan kreatinin Meninggi,biasanya perbandingan antara ureum dan kreatinin kurang lebih 20:1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang: ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun. 3. Hiponatremi Umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya dieresis. 4. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia Terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin D3 pada GGK. 5. Phosphatealkaline meninggi akibat gangguan metabolism tulang, terutama Isoenzim fosfatase lindi tulang. 6. Hipoalbuminemia dan hipokolestrolemia Umumnya disebabkan gangguan metabolism dan diet rendah protein. 7. Peninggi gula darah Akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer). 8. Hipertrigliserida Akibat gangguan metabolism e lemak, disebabkan peninggi hormon insulin dan menurunnya lipoprotein lipase. 9. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya disebabkan retensi asam-asam organic pada gagal ginjal. 2.1.8 Manifestasi Klinis 1. Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia 1) Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa sal.cerna, gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek, bilirubuin serum meningkat/normal, uji comb’s negative dan jumlah retikulosit normal. 2) Defisiensi hormone eritropoetin Ginjal sumber ESF (Eritropoetic Stimulating Factor) → def. H eritropoetin → Depresi sumsum tulang → sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap proses hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer. 2. Kelainan Saluran cerna 1) Mual, muntah, hicthcup Dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia (NH3) → iritasi/rangsang mukosa lambung dan usus. 2) Stomatitis uremia Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva banyak mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut. 3) Pankreatitis Berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase. 3. Kelainan mata 4. Kardiovaskuler : Hipertensi, pitting edema, edema periorbital, pembesaran vena leher, friction Rub Pericardial 5. Kelainan kulit 1) Gatal (1) Terutama pada klien dgn dialisis rutin karena, toksik uremia yang kurang terdialisis, peningkatan kadar kalium phosphor, alergi bahan-bahan dalam proses HD, kering bersisik Karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan kristal urea di bawah kulit sehingga kulit mudah memar, kulit kering dan bersisik, rambut tipis dan kasar. (2) Neuropsikiatri (3) Kelainan selaput serosa (4) Neurologi : Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, perubahan Perilaku. (5) Kardiomegali. Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan fungsi ginjal yang serupa yang disebabkan oleh desstruksi nefron progresif. Rangkaian perubahan tersebut biasanya menimbulkan efek berikut pada pasien : bila GFR menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien menderita apa yang disebut Sindrom Uremik Terdapat dua kelompok gejala klinis : (1) Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi; kelainan volume cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi metabolit nitrogen dan metabolit lainnya, serta anemia akibat defisiensi sekresi ginjal. (2) Gangguan kelainan CV, neuromuscular, saluran cerna dan kelainan lainnya 2.1.9 Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada pasien dengan Gagal Ginjal adalah sebagai berikut. 1. Pencegahan Pencegahan mencakup perubahan gaya hidup dan jika diperlukan, obat untuk mengontrol hipertensi, obat pengontrol glikemik yang baik bagi penderita diabetes, dan jika mungkin menghindari obat-obat nefrotoksik. Pemakaian lama analgesik yang mengandung kodein dan obat-obat anti-inflamasi non steroid (NSAID) harus dihindari, khususnya pada individu yang mengalami gangguan ginjal.Diagnosis dini dan pengobatan lupus eritematosus sistemik dan penyakit lainnya yang diketahui merusak ginjal amat penting. Selain itu, pada semua stadium pada gagal ginjal kronik pencegahan infeksi perlu dilakukan (Elizabeth corwin, 2010). 2. Penatalaksanaan Medis Menurut (Arif Muttaqin, 2011) tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut. 1) Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia ;menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan; dan membantu penyembuhan luka. 2) Koreksi hiperkalemi. Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat adlah jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EKG dan EEG. Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium, pemberian Na bikarbonat, dan pemberian infus glukosa. 3) Koreksi anemia. Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi factor defisiensi, kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggi Hb. Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya ada insufisiensi koroner. 4) Koreksi asidosis. Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natrium bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 100 mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperlukan dapat diulang. Hemodialisis dan dialysis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis. 5) Pengendalian hipertensi. Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator dilakukan. Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium. 6) Transplantasi ginjal. Dengan pencangkokkan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka seluruh faal ginjal diganti dengan ginjal yang baru. 3. Penatalaksanaan Keperawatan Menurut (Price, 2010), penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut: 1) Pengaturan Diet Protein Pembatasan tidak hanya mengurangi kadar BUN dan mungkin juga hasil metabolism protein toksik yang belum diketahui, tetapi juga mengurani asupan kalium, fosfat, dan produksi ion hydrogen yang berasal dari protein. Mempertahankan keseimbangan protein pada diet protein 20g mungkin dilakukan, menyediakan protein dalam nilai biologik yang tertinggi dan kalori yang memadai. 2) Pengaturan Diet Kalium Jumlah yang diperbolehkan dalam diet adalah 40 hingga 80 mEq/hari. Tindakan yang harus dilakukan adalah dengan tidak memberikan obat- obatan atau makanan yang tinggi kandungan kalium. 3) Pengaturan Diet Natrium Dan Air Jumlah natrium yang biasanya diperbolehkan adalah 40 hingga 90 mEq/hari. Tapi asupan natrium yang optimal harus ditentukan secara individual pada setiap pasien untuk mempertahankan hidrasi yang baik. 2.2 Konsep Dasar Hemodialisa 2.2.1 Definisi Hemodialisa berasal dari hemo darah, dan dialysis pemisahan atau filtrasi. Hemodialisis adalah suatu metode terapi dialysis yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut ataupun progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Terapi ini digunakan dengan menggunakan mesin yang dilengkapi dengan membran penyaring semipermiabel (ginjal buatan). Hemodialisa dapat dilakukan pada saat toksin atau racun harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen atau menyebabkan kematian. (Muttaqin dan Sari, 2012). 2.2.2 Tujuan Hemodialisa Menurut Havens dan Terra (2010) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain: 1. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain. 2. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat. 3. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal. 4. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain. 2.2.3 Indikasi 1 Gagal ginjal akut 2 Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang dari 5 ml/menit 3 Kalium serum lebih dari 6 mEq/l 4 Ureum lebih dari 200 mg/dl 5 pH darah kurang dari 7,1 6 Anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari 7 Intoksikasi obat dan zat kimia 8 Sindrom Hepatorenal 9 Fluid overload. 2.2.4 Kontra Indikasi Menurut Thiser dan Wilcox (2010) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut. (PERNEFRI, 2003). Tidakdilakukanpadapasien yang mengalamisuhu yang tinggi.Cairandialisispadasuhutubuhakanmeningkatkankecepatandifusi, tetapisuhu yang terlalu tinggi menyebabkan hemodialisis sel-sel darah merah sehingga kemungkinan penderita akan meninggal. 2.2.5 Komplikasi Menurut Tisher dan Wilcox serta Havens dan Terra (2010) selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain: 1. Kram otot Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi. 2. Hipotensi Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan. 3. Aritmia Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa. 4. Sindrom ketidakseimbangan dialisa Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat. 5. Hipoksemia Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardio pulmonar. 6. Perdarahan Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan. 7. Ganguan pencernaan Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala. 8. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler. 9. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat. 2.2.6 Prosedur Hemodialisa 1. Persiapkan akses pasien dan kanula. 2. Berikan heparin (jika tidak ada kontraindikasi). 3. Masukkan heparin saat darah mengalir melalui dialiser semipermiabel dengan satu arah dan cairan dialisis mengitari membrane dan mengaliri sisi yang berlawanan. 4. Cairan dialisis harus mengandung air yang bebas dari sodium, potasium, kalsium, magnesium, klorida, dan dekstrosa setelah ditambahkan. 5. Melalui proses difusi, elektrolit, sampah metabolic, dan komponen asam- basa dapat dihilangkan atau ditambahkan kedalam darah. Penambahan air dihilangkan dari darah (ultrafiltrasi) Darah kemudian kembali ke tubuh melalui akses pasien. (Nursalam dan Fransisca, 2010).