Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Keluarga
2.1.1 Definisi Keluarga
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang bergabung karena
hubungan darah, perkawinan atau adopsi, yang hidup dalam satu rumah tangga,
saling berinteraksi satu sama lainnya dalam peranya, serta menciptakan dan
mempertahankan satu budaya. (Balion&Maglaya) dalam buku (BAKRI , 2017)
Definisi yang lain Keluarga adalah sebuah sistem yang saling
bergantung, yang meniliki dua sifat (keanggotaan dalam keluarga dan
berinteraksi dengan anggota yang lainya) (Jonasik and Green, 1992) dalam
buku (BAKRI , 2017)
Definisi yang lain keluarga adalah kelompok yang terdiri dari dua orang
atau lebih yang masing – masing mempunyai hubungan keakraban yang terdiri
dari bapak, ibu, adik, kakak, kakek, dan nenek. (Reisner, 1980) dalam buku
(BAKRI , 2017)
Definisi yang sering dipakai oleh masyarakat Indonesia, Keluarga
adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami
istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, (UU No. 10
tahun 1992) [CITATION SKM12 \l 1057 ]
Dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa keluarga yaitu dua
atau lebih individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan
perkawinan atau ikatan adopsi yang terdiri dari dua anggota atau lebih yang
masing – masing mempunyai hubungan keakraban yang terdiri dari bapak, ibu,
adik, kakak, kakek, nenek dan Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

10
yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan
anaknya, atau ibu dan anaknya .

11
11

2.1.2 Tipe – Tipe Keluarga


Menurut Sussman dalam buku (BAKRI, 2017) Secara umum, tipe keluarga
dibagi menjadi dua, yaitu keluarga tradisional dan keluarga modern (non-
tradisional) berikut yaitu :
1) Tipe Keluarga Tradisional
a) Keluarga Inti (Nuclear Family)
Keluarga inti ini merupakan keluarga kecil dalam satu rumah. Dalam
keseharian, anggota keluarga inti ini hidup bersama dan saling menjaga.
Meraka terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.
b) Keluarga Besar (Exstended Family)
Yaitu keluarga inti ditambah keluarga lain (sanak saudara) yang masih
mempunyai hubungan darah, misalnya kakek, nenek, paman, tante,
keponakan, saudara sepupu, cucu, cicit dan lain sebagainya.
c) Keluarga Pasangan Inti (Dyad Family)
Sepasang suami istri yang belum dikaruniai anak atau sepakat tidak
mempunyai anak lebih dulu.
d) Keluarga Orang Tua Tunggal (Single Parent Family)
Yaitu kondisi seseorang tidak memiliki pasangan lagi. Hal ini bisa
dikatakan karena perceraian atau meninggal dunia. Single farrent
mensyaratkan adanya anak, baik anak kandung atau anak angkat. Jika ia
sendirian maka tidak bisa dikatakan sebagai keluarga single farrrent
meski sebelumnya sudah membina rumah tangga.
e) Keluarga Bujang Dewasa (Single Adult Family)
Yaitu pasangan yang mengambil jarak atau berpisah sementara waktu
untuk kebutuhan tertentu.
2) Tipe Keluarga Modern (Non-Tradisional)
a) The Unmarriedeenege Mother
Kehidupan seorang ibu bersama anaknya tanpa pemikahan
12

b) Reconstituded Nuclear
Keluarga yang tadinya berpisah kemudian membentuk keluarga inti
melalui sebuah perkawinan.
c) The Stepparent Family
Seorang anak diadopsi oleh pasangan suami-istri.
d) Commune Family
Tipe keluarga ini biasanya hidup di dilam penampungan atau memang
memiliki kesepakatan bersama untuk hidup satu atap.
e) The Nonmarital Heterosexsual Cohabiting Family
Keluarga yang hidup bersama dan berganti-ganti pasagan tanpa melalui
pernikahan.
f) Gay and Lesbian Famely
Seseorang dengan jenis kelamin yang sama menyatakan hidup bersama
sebagaimana pasangan suami-istri.
g) Cohabitating Couple
Orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan pernikahan karena
beberapa alasan tertentu.
h) Group-marriage Family
Beberapa orang dewasa yang menggunakan alat rumah tangga bersama,
yang saling merasa telah saling menikah satu dengan yang lainnya,
berbagi sesuatu termasuk sexsual dan membesarkan anak.
i) Goup Network Family
Keluarga inti yang dibatasi oleh set aturan / nilai-nilai, hidup berdekatan
satu sama lain dan saling menggunakan barang-barang rumah tangga,
pelayanan dan bertanggung jawab membesarkan anaknya.
j) Forser Family
Keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan keluarga / didalam
waktu sementara pada saat orang tua anak tersebut perlu mendapatkan
bantuan untuk menyatukan kembali keluarga yang aslinya.
13

k) Institusional
Anak atau oarang dewasa yang tinggal dalam satu panti.
l) Homeless Family
Keluarga yang terbentuk dan tidak mempunyai perlindungan yang
permanen karena krisis personal yang dihubungkan dengan keadaan
ekonomi dan atau problem kesehatan mental.
2.1.3 Peran dan Fungsi Keluarga
Menurut Friedman dalam buku (Bakri, 2017).
1) Peran Keluarga
a) Sebagai Anggota Keluarga
Setiap keluarga harus mampu menjelaskan perannya dalam masyarakat
dari peran setiap individu dalam keluarga. Setiap anggota keluarga
memiliki beberapa peran misalnya peran dari keluarga inti :
(1) Peran Ayah
Sebagai suami, sebagai ayah dari anak-anaknya, sebagai pencari
nafkah, sebagagi pendidik, sebagai pelindung, sebagai kepala
keluarga, sebagai anggota masyarakat dan lainnya.
(2) Peran Ibu
Sebagai istri, sebagai ibu dari anak-anaknya, sebagai pengurus
rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya,
sebagai anggota masyarakat kadang-kadang ditambah sebagai
pencari nafkah dan lain-lainya.
(3) Peran Anak
Melaksanakan peran psiko-sosial melaksanakan tugas-tugas
perkembangan sesuai dengan perkembangan fisik dan mental serta
berdasarkan usianya.
14

2) Fungsi Keluarga
a) Fungsi Afektif
Fungsi ini hanya bisa diperoleh dalam keluarga, komponen yang
diperlukan dalam melaksanakan fungsi afektif yaitu saling mendukung,
menghormati dan saling asuh. Pengalaman di dalam keluarga ini akan
mampu membentuk perkembangan individu dan psikologis angota
keluarga.
b) Fungsi Sosialisasi
Yaitu fungsi yang mengembangkan dan melatih anak untuk hidup
bersosial sebelum meninggalkan rumah dan berhubungan dengan orang
lain. Anggota keluarga belajar disiplin, norma- norma, budaya dan
perilaku melalui interaksi dengan anggota keluarganya sendiri.
c) Fungsi Reproduksi
Fungsi reproduksi yaitu untuk mempertahankan generasi dan menjaga
kelangsungan sebuah keluarga.
d) Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan
seluruh anggota keluarganya yaitu : sandang pangan dan papan.
e) Fungsi Perawatan Keluarga
Fungsi ini penting ada untuk mempertahankan keadaan kesehatan
anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi.
15

2.1.4 Struktur dalam Keluarga


Friedman (Via Effendy, 1998) dalam buku (BAKRI, 2017) menjelaskan
bahwa struktur dalam keluarga terbagi menjadi empat yaitu :
a) Pola komunikasi keluarga.
b) Struktur peran.
c) Struktur kekuatan.
d) Nilai-nilai keluarga.
Struktur ini didasarkan pada pengorganisasian dalam keluarga, baik dari sisi
prilaku maupun pola hubungan antara anggota keluarga. Hubungan yang terjadi
ini bisa jadi sangat kompleks, tidak terbatas pada angota keluarga tertentu,
bahkan bisa melebar hingga keluarga besar, yang saling membutuhkan memiliki
peran dan harapan yang berbeda.
Pola hubungan dalam keluarga turut membentuk kekuatan dan struktur
peran dalam keluaraga. Struktur ini pun bisa fleksibel diperluas atau di
persempit tergantung pada sebuah keluarga dalam merespons interaksi dalam
keluarga. Struktur keluarga yang sangat kaku atau sangat fleksibel dapat
menggangu atau merusak fungsi keluarga. Struktur dan fungsi merupakan hal
yang berhubungan erat dan terus-menerus berinteraksi satu sama lain.
1) Pola Komunikasi keluarga
Komunikasi menjadi hal yang sangat penting dalam sebuah hubungan, tak
hanya bagi keluarga melainkan berbagai macam hubungan. Tanpa ada
komunikasi, tidak akan ada hubungan yang dekat dan hangat, atau bahkan
tidak akan saling mengenal.
Di dalam keluarga, komunikasi yang dibangun akan menentukan
kedekatan antara anggota keluarga. Pola komunikasi ini juga bisa menjadi
salah satu ukuran kebahagiaan sebuah keluarga. Friedman (1998)
menunjukan bagaimana pola komuniksi bekerja dalam sebuah sekuarga. Di
dalam keluarga, ada interaksi yang berfungsi dan ada yang tidak berfungsi.
Pola interaksi yang berfungsi dalam keluarga memiliki karakteristik :
16

a) terbuka, jujur, berpikiran positif, dan selau berupaya menyelesaikan


konflik keluarga.
b) Komunikasi berkualitas antara pembicara dan pendengar.
Dalam pola komunikasi, hal ini bisa di sebut dengan stimulus–respons.
Djamarah (2002) mengatakan bahwa komunikasi seperti ini sering terjadi
pada saat orangtua mengasuh bayi atau anak yang mengasuh orangtua.
Orangtua lebih aktif dan kreatif memberikan stimulus (rangsangan),
sementara bayi memberikan respons (tanggapan). Komunikasi berpola
stimulus-respons berbeda dengan komunikasi berpola interaksional.
2) Struktur Peran
Setiap individu dalam masyarakat memiliki peranya masing – masing.
Satu sama lain relatif berbeda tergantung pada kapasitasnya. Begitu pula
dalam sebuah keluarga. Seorang anak mungkin berperan sama dengan bapak
atau ibunya.
Struktur peran merupakan serangkaian prilaku yang di harapkan sesuai
dengan posisi sosial yang di berikan. Bapak berperan sebagai kepala rumah
tangga, ibu berperan dalam wilayah domestik, anak dan lain sebagainya
memikili peran masing-masing dan diharapkan saling mengerti dan
mendukung.
Selain peran pokok tersebut, ada pula peran informal. Peran ini dijalankan
dalam kondisi tertentu atau sudah menjadi kesepakatan antaranggota
keluarga. Misalnya seorang suami memperbolehkan istrinya bekerja di luar
rumah, maka instri telah menjalankan peran informal. Begitu pula
sebaliknya, suami juga tidak segan mengerjakan peran informalnya dengan
menbantu istri mengurus rumah.
3) Struktur kekuatan
Struktur keluatan keluarga menggambarkan adaya kekuasaan ayau
kekuatan dalam sebuah keluarga yang digunakan untuk mengendalikan dan
mempengaruhi anggota kaeluarga. Kekuasaan ini terdapat pada individu di
17

dalam keluarga untuk mengubah perilaku anggotanya ke arah positif, baik


dari sisi perilaku maupun kesehatan.
Friedman (1998) mengamini pendapat MC Donald (1980) bahwa
kekuasaan merupakan kemampuan seseorang dalam mengontrol,
memengaruhi, dan mengubah tingkah laku seseorang. Hal ini kemudian
dirumuskan oleh Cromwell dan Olson (1995) (via Dion dan Yasinta, 2013)
dengan baikbahwa kekuatan ini merupakan aspek paling fundamental dari
seluruh aspek interaksi sosial.
Ketika seseorang memliki kekuatan, maka ia sesungguhnya mampu
mengendalikan sebuah interaksi. Kekuatan ini dapat di bangun dengan
berbagai cara. Selain itu, ada beberapa faktor yang mendasari terjadinya
struktur kekuatan keluarga.
4) Nilai – Nilai dalam kehidupan keluarga.
Dalam suatu kelompok selalu terdapat nilai – nilai yang dianut bersama,
meski tampa tertulis. Nilai – nilai tersebut akan terus bergulir jika masih ada
anggota kelompok yang melestarikannya. Artinya, sebuah nilai akan terus
berkembang mengikuti anggotanya. Demikian pula dalam keluarga.
Keluarga sebagai kelompok kecil dalam sistem sosial memiliki nilai yang
diterapkan dalam tradisi keluarga. Misalnya tradisi makan bersama, yang
memiliki nilai positif dalam membangun kebersamaan dan melatih untuk
berbagi.
2.1.5 Ciri – Ciri Struktur Keluarga
Sebagai sebuah kelompok, peran setiap anggota keluarga tidak bisa di
sepelekan setiap anggota keluarga tidak bisa disepelekan. Masing-masing
memiliki peran dan fungsinya. Mubarak (via Dion dan Betan, 2013),
mengategorikan ciri-ciri struktur keluarga dalam tiga bagian.
a) Terorganisasi
Setiap anggota keluarga telah memahami fungsi dan peran masing-masing,
sehingga tujuan keluarga dapat tercapai.
18

b) Negosiasi
Setiap orang memiliki keterbatasanya masing-masing. Orang tidak bisa
melakukan peran sekaligus. Oleh sebab itu, keluarga masing-masing
anggota sebaiknya tidak menggunakan peran anggota lain, kecuali sudah
disepakati bersama.
c) Perbedaan dan Kekhususan
Dibutuhkan perlakuan khusus terhadap anggota keluarga karena belum bisa
menjalankan peran dan tugasnya.
2.1.6 Batasan Keluarga
Menurut Burger 1997 dalam buku (Muhlisin, 2012) Memberikan pandangan
tentang batasan keluarga yang berorientasi pada tradisi, yaitu :
1) Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan,
darah dan ikatan adopsi.
2) Anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah
tangga atau jika mereka hidup secara terpisah mereka tetap menganggap
rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka.
3) Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam
peran-peran sosial keluarga seperti halnya peran sebagai suami-istri, ayah
dan ibu serta peran sebagai anak.
4) Keluarga bersama-sama menggunakan kultur yang sama yaitu kultur yang
diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri.
2.1.7 Kriteria Keluarga Sejahtera
Beberapa kriteria keluarga sejahtera yang ditetapkan dalam buku (Bakri, 2017)
yaitu :
1) Keluarga Prasejahtera
Yaitu keluarga yang memenuhi lima pokok kebutuhan dasar. Namun jika
ada salah satu saja kebutuhan pokok yang belum bisa dipenuhi, maka
keluarga tersebut dinamakan sebagai keluarga prasejahtera. Lima
19

kebutuhan pokok tersebut pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan


kesehatan.
2) Keluarga Sejahtera Tahap I
Keluarga yang masuk dalam kategori ini yaitu keluarga yang mampu
memenuhi 5 kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari berikut ini :
a) Keluarga ini telah memiliki rumah sendiri yang layak huni dan tidak
berlantai tanah.
b) Agama, masing-masing anggota keluarga mampu melaksanakan ibadah
sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
c) Kebutuhan makan, keluarganya makan dua kali sehari atau lebih.
d) Pakaian, dapat dipenuhi. Setiap hari bisa berganti pakaian pembeda
antara ketika berada didalam rumah maupun di luar rumah.
e) Kondisi sakit, keluarga mampu membawa anggota keluarga yang sakit
ke fasisilitas kesehatan.
3) Keluarga Sejahtera Tahap II
Keluarga yang mampu memenuhi lebih dari 5 kebutuhan pokok. Atinya
keluarga ini harus memenuhi beberapa syarat psikososial, yaitu 6-14 syarat.
Berikut tambahanya :
a) Luas lantai rumah paling kurang 8 meter persegi tiap penghuni rumah.
b) Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat.
c) Paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berusia 15 tahun
keatas mempunyai penghasilan tetap.
d) Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca
tulisan latin.
e) Seluruh anak berusia 5 -15 tahun bersekolah pada saat ini.
f) Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur
memakai kontasepsi (kecuali sedang hamil)
20

4) Keluarga Sejahtera Tahap III


Selain 5 syarat yang sudah ditetapkan sebagai kriteria keluarga sejahtera dan
telah melewati syarat keluarga sejahtera 1 dan II, keluarga sejahtera tahap
III juga perlu memenuhi syarat sebagai berikut :
a) Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.
b) Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan
keluarga.
c) Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu
dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga.
d) Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
e) Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali / 6
bulan.
f) Dapat memperoleh berita dari surat kabar / TV / majalah.
g) Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transfortasi yang sesuai
dengan kondisi daerah setempat.
5) Keluarga Sejahtra Tahap III Plus
Keluarga ini telah melewati seluruh tahapan dari keluarga sejahtera. Akan
tetapi, untuk bisa mencapai keluarga sejahtera tahap III plus, masih
dibutuhkan beberapa syarat berikut ini :
a) Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan
sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materil.
b) Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus
perkumpulan / yayasan / isntitusi masyarakat.
6) Keluarga Miskin
Keluaga miskin terjadi karena alasan ekonomi sehingga tidak bisa
memenuhi 5 syarat sebagai keluarga sejahtera. Meski demikian, keluarga
miskin ini setidaknya seminggu sekali masih mampu makan daging atau
telur atau ikan. Pakaian, paling tidak setahun sekali keluarga ini bisa
21

berbelanja pakaian satu stel. Kepemilikan rumah, luas tanah yang dimiliki
kurang dari 8 meter persegi.
7) Keluarga Miskin Sekali
Pada umunya, keluarga miskin sekali ini kesulitan dalam memenuhi
kebutuahan pokok sehari-hari. Segala yang dimiliki kurang dari apa yang
dimiliki oleh keluarga miskin.
2.1.8 Tingkat Kemandirian Keluarga
Menurut Depkes RI dalam buku (Efendy dkk, 2009) Kemandirian
keluarga dalam program perawatan kesehatan komunitas dibagi menjadi 4
tingkatan dari keluarga mandiri tingkat (paling rendah) sampai keluarga
mandiri tingkat 4 (paling tinggi).
1) Tingkat Kemandirian I (Keluarga Mandiri Tingkat I / KM-I)
a) Menerima petugas perawatan kesehatan masyarakat.
b) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan
rencana keperawatan.
2) Tingkat Kemandirian II (Keluarga Mandiri Tingkat II / KM-II)
a) Menerima petugas perawatan kesehatan masyarakat.
b) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan
rencana keperawatan.
c) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatan secara benar.
d) Melakukan tindakan keperawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.
e) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara aktif.
3) Tingkat Kemandirian III (Keluarga Mandiri Tingkat III / KM-III)
a) Menerima petugas perawatan kesehatan masyarakat.
b) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan
rencana keperawatan.
c) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatan secara benar.
d) Melakukan tindakan keperawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.
22

e) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara aktif.


f) Melaksanakan tindakan pencegahan sesuai anjuran.
4) Tingkat Kemandirian IV (Keluarga Mandiri Tingkat IV / KM-IV)
a) Menerima petugas perawatan kesehatan masyarakat.
b) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan
rencana keperawatan.
c) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatan secara benar.
d) Melakukan tindakan keperawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.
e) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara aktif.
f) Melaksanakan tindakan pencegahan sesuai anjuran.
g) Melakukan tindakan promotif secara aktif.
2.1.9 Keluarga Kelompok Risiko Tinggi
Jika ada beberapa keluarga yang membutuhkan perawatan, keluarga
dengan risiko tinggilah yang harus dijadikan sebagai prioritas. Menurut
Setiadi dalam buku (Bakri, 2017) Merumuskan beberapa keluarga yang
memiliki risiko tinggi tersebut.
1) Keluarga dengan anggota keluarga dalam masa usia subur dengan masalah
sebagai berikut :
a) Tingkat sosial ekonomi keluarga yang rendah.
b) Keluarga kurang atau tidak mampu mengatasi masalah kesehatan
keluarga sendiri.
c) Keluarga dengan keturunan kurang baik atau dengan penyakit
keturunan.
2) Keluarga ibu dengan resiko tinggi kebidanan, wanita hamil :
a) Umur ibu (16 atau lebih dari 35 tahun).
b) Menderita kekurangan gizi atau anemia.
c) Menderita hipertensi.
d) Primipara atau multipara.
e) Riwayat persalinan atau komplikasi.
23

3) Keluarga dimana anak menjadi resiko tinggi, di karenakan :


a) Lahir prematur atau BBLR.
b) Lahir dengan cacat bawaan.
c) ASI ibu kurang sehingga tidak mencukupi kebutuhan nutrisi bayi.
d) Ibu menderita penyakit menular yang dapat mengancam bayi atau
anaknya.
4) Keluarga mempunyai masalah antara anggota keluarga :
a) Anak yang tidak dikehendaki dan pernah dicoba untuk digugurkan.
b) Tidak adanya kesesuaian pendapat antara anggota keluarga dan sering
cekcok sehingga menimbulkan ketegangan.
c) Ada anggota keluarga yang sering sakit.
d) Salah satu orang tua (suami atau istri) meninggal, cerai atau lari
meniggalkan keluarga.
2.1.10 Indikator Keluarga Sehat
Untuk menyatakan bahwa suatu keluarga sehat atau tidak digunakan
sejumlah penanda atau indikator. Dalam rangka pelaksanaan program
Indonesia Sehat telah disepakati adanya 12 indikator utama untuk penanda
status kesehatan sebuah keluarga. Ke 12 indikator utama tersebut adalah
sebagai berikut :
1) Keluarga mengikuti program keluarga berencana (KB).
2) Ibu melakukan persalinan dibantu dengan fasilitas kesehatan.
3) Bayi mendapat imunisasi dasar lengkap.
4) Bayi mendapat air susu ibu (ASI) ekslusif.
5) Balita mendapatkan pemantauan pertumbuhan.
6) Penderita tuberkulosis paru mendapatkan pengobatan sesuai standar.
7) Penderita hipertensi melakukan pengobatan secara teratur.
8) Penderita gangguan jiwa mendapatkan pengobatan dan tidak
ditelantarkan.
9) Anggota keluarga tidak ada yang merokok.
24

10) Keluarga sudah menjadi anggota jaminan kesehatan nasional (JKN).


11) Keluarga mempunyai akses sarana air bersih.
12) Keluarga mempunyai akses atau menggunakan jamban sehat.
Berdasarkan indikator tersebut, dilakukan penghitungan Indeks Keluarga
Sehat (IKS) dari setiap keluarga. Sedangkan keadaan masing-masing
indikator, mencerminkan kondisi PHBS dari keluarga yang bersangkutan.
Dalam pelaksanaan pendekatan keluarga ini tiga hal berikut harus diadakan
atau dikembangkan, yaitu instrument yang digunakan di tingkat keluarga,
forum komunikasi yang dikembangkan untuk kontak dengan keluarga dan
keterlibatan tenaga dari masyarakat sebagai mitra puskesmas (Nadirawati,
2018)
2.1.11 Prinsip Perawatan Keluarga
Setiadi, 2008 (Bakri, 2017) Menjelaskan setidaknya ada 9 prinsip yang
sangat berperan dalam memberikan asuhan keperawatan keluarga.
1) Fokus dari pelayanan kesehatan adalah keluarga yang disebut sebagai unit
atau satu kesatuan.
2) Objek dan tujuan utama dari asuhan keperawatan kesehatan adalah
keluarga.
3) Asuhan keperawatan dibutuhkan dan diberikan kepada pasien dalam
rangka untuk mencapai peningkatan kesehatan keluarga.
4) Keluarga dilibatkan secara aktif oleh perawat. Dengan demikian, peran
keluarga akan sangat terasa dan bisa membantu pasien dari sisi psikologis.
Perawat diharapkan melibatkan keluarga sejak dari awal merumuskan
masalah hingga tindakan-tindakan yang perlu diambil.
5) Kegiatan-kegiatan yang bersifat promotif dan preventif lebih diutamakan,
akan tetapi tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif.
6) Keluarga diharapkan mengerahkan kemampuan sumber daya keluarga
secara maksimal demi kesehatan anggota keluarga.
25

7) Pemecahan masalah adalah salah satu pendekatan yang bisa digunakan


oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kesehatan keluarga.
8) Penyuluhan adalah kegiatan utama dalam memberikan asuhan
keperawatan kesehatan keluarga. Setelah itu, dilakukan asuhan
keperawatan kesehatan dasar atau perawatan dirumah.
9) Jika ada beberapa keluarga yang sedang membutuhkan perawatan
kesehatan keluarga, maka pilihannya adalah keluarga yang termasuk risiko
tiggi.
2.1.12 Peran Perawat dalam Keluarga
Dalam buku (Muhlisin, 2012) Peran perawat dalam melakukan perawatan
kesehatan keluarga adalah sebagai berikut :
1) Pendidik
Perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga agar
keluarga dapat melakukan program asuhan kesehatan secara mandiri dan
bertanggung jawab terhadap masalah kesehatan keluarga.
2) Koordinator
Koordinasi diperlukan pada perawatan berkelanjutan agar pelayanan yang
komprehensif dapat tercapai. Koordinasi juga sangat diperlukan untuk
mengatur program kegiatan atau terapi dari berbagai disiplin ilmu agar
tidak terjadi tumpang tindih dan pengulangan.
3) Pelaksana
Perawat yang bekerja dengan klien dan keluarga baik dirumah klinik
maupun dirumah sakit bertanggung jawab dalam memberikan langsung.
Kontak pertama perawat kepada keluarga melalui anggota keluarga yang
sakit. Perawat dapat mendemonstrasikan kepada keluarga asuhan
keperawatan yang diberikan dengan harapan keluarga nanti dapat
melakukan asuhan langsung kepada anggota keluarga yang sakit.
26

4) Pengawas Kesehatan
Perawat harus melakukan “home visit” atau kunjungan rumah yang
teratur untuk mengidentifikasi atau melakukan tentang kesehatan
keluarga.
5) Konsultan (Penasehat)
Perawat sebagai narasumber bagi keluarga didalam mengatasi masalah
kesehatan. Agar keluarga mau meminta nasihat kepada perawat maka
hubungan perawat dan keluarga harus dibina dengan baik, perawat harus
bersikap terbuka dan dapat dipercaya.
6) Kolaborasi
Perawat komunitas harus bekerja sama dengan pelayanan rumah sakit atau
anggota tim kesehatan yang lain untuk mencapai tahap kesehatan keluarga
yang optimal
7) Fasilitator
Peran perawat disini adalah membantu keluarga dalam menghadapi
kendala untuk meningkatkan derajat kesehatannya, Kendala yang sering
dialami keluarga adalah keraguan didalam menggunakan pelayanan
kesehatan, masalah ekonomi dan sosial budaya. Agar dapat melaksanakan
peran ini dengan baik maka perawat komunitas harus mengetahui sistem
pelayanan kesehatan, misalnya sistem rujukan dan dana sehat
8) Peneliti
Perawat mengidentifikasi masalah kesehatan secara dini, sehingga tidak
terjadi ledakan atau wabah. Penelitian dilaksanakan untuk menemukan
faktor yang menjadi penyebab terjadinya permasalahan tersebut.
9) Role Model
Perilaku yang dilakukan perawat harus dapat dijadikan panutan. Panutan
ini digunakan pada semua tingkat pencegahan terutama PHBS. Perawat
juga harus menampilkan profesionalisme dalam bekerja sehingga dapat
dicontoh oleh keluarga
27

10) Modifikasi Lingkungan


Perawat harus dapat memodifikasi lingkungan baik lingkungan rumah
maupun lingkungan masyarakat agar dapat tercipta lingkungan yang sehat.

2.2 Hipertensi
2.2.1 Pengertian Hipertensi
Tekanan darah tinggi (hipertensi) merupakan suatu peningkatan tekanan
darah didalam arteri. Hiper artinya berlebihan, sedangkan tensi artinya tekanan
atau tegangan. Untuk itu, hipertensi merupakan tekanan darah atau denyut
jantung yang lebih tinggi dibandingkan dengan normal karena penyempitan
pembuluh darah atau gangguan lainnya (Kamus Besar Indonesia).
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan
darah sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolik 90 mmHg atau
lebih. Tekanan darah berfluktuasi dalam batas-batas tertentu, tergantung pada
posisi tubuh, usia dan tingkat stress. Menurut WHO, batasan tekanan darah
yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg, sedangkan tekanan darah
>160/90 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Tekanan darah di antara
normotensi dan hipertensi disebut borderline hypertension (garis batas
hipertensi) dalam buku (Asikin dkk,2017).
28

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi

Kategori Sistolik Diastolik

Normal <120 <80

Prahipertensi 120-139 80-89

Hipertensi Stadium 1 140-159 90-99

Hipertensi Stadium 2 ≥160 ≥100

(sumber : Asikin dkk, 2017)

2.2.2 Etiologi Hipertensi


Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan
dalam buku (Asikin dkk, 2017).
1) Hipertensi Primer (Esensial)
Merupakan hipertensi yang penyebabnya tidak ditetahui, biasanya
berhubungan dengan faktor keturunan dan lingkungan. Hipertensi primer
dialami lebih dari 90% pengidap hipertensi, sedangkan 10% sisanya
mengalami hipertensi sekunder. Meskipun hipertensi primer belum
diketahui penyebabnya secara pasti, namun data penelitian telah
menemukan sejumlah faktor yang sering kali menyebabkan terjadinya
hipertensi. Faktor tersebut antara lain :
a) Faktor Keturunan
Berdasarkan data statistik, terbukti bahwa seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang
tuanya merupakan pengidap hipertensi.
b) Ciri Perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi yaitu usia
(jika usia semakin bertambah, maka tekanan darahpun semakain
29

meningkat), jenis kelamin (pria lebih tinggi dibandingkan wanita) dan


ras (ras kulit hitam lebih banyak dibandingkan dengan kulit putih).
c) Kebiasaan Hidup
Kebiasaan hidup yang sering kali menyebabkan timbulnya hipertensi
adalah konsumsi garam yang tinggi (lebih dari 2,3 gr / hari),
kegemukan, diabetes, stres dan pengaruh lain misalnya merokok dan
mengonsumsi alkohol.
2) Hipertensi Sekunder
Merupakan hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui secara pasti,
misalnya gangguan pembuluh darah dan penyakit ginjal.
Etiologi yang dapat menyebabkan hipertensi yaitu usia, jenis kelamin, ras
dan pola hidup
a) Usia
Pengidap hipertensi yang berusia lebih dari 35 tahun meningkatkan
insiden penyakit arteri dan kematian prematur.
b) Jenis Kelamin
Insiden terjadi hipertensi pada pria umumnya lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita. Namun, kejadian hipertensi pada wanita
mulai meningkat pada usia paruh baya, sehingga pada usia diatas 65
tahun insiden pada wanita lebih tinggi.
c) Ras
Hipertensi pada orang yang berkulit hitam lebih sedikit dua kali
dibandingkan dengan orang yang berkulit putih.
d) Pola Hidup
Penghasilan rendah, tingkat pendidikan rendah dan kehidupan atau
pekerjaan yang penuh stress berhubungan dengan kejadian hipertensi
yang lebih tinggi. Obesitas juga dipandang sebagai faktor risiko
utama. Merokok dipandang sebagai faktor risiko tinggi bagi pengidap
hipertensi dan penyakit arteri koroner. Hiperkolesterolemia dan
30

hiperglekimia merupakan faktor utama dalam perkembangan


aterosklerosis yang berhubungan dengan hipertensi.
2.2.3 Patofisiologi Hipertensi
Reseptor yang menerima perubahan tekanan darah yaitu refleks
baroreseptor yang terdapat pada sinus karotis dan arkus aorta. Pada hipertensi,
karena adanya berbagai gangguan genetik dan risiko lingkungan, maka terjadi
gangguan neurohormonal yaitu sistem saraf pusat dan sistem renin–
angiotensi-aldosteron, serta terjadinya inflamasi dan resistensi insulin.
Resistensi insulin dan gangguan neurohormonal menyebabkan vasokontriksi
sistemik dan peningkatan resistensi perifer. Inflamasi menyebabkan gangguan
ginjal yang disertai gangguan sistem renin–angiotensi-aldosteron (RAA) yang
menyebabkan retensi garam dan air diginjal, sehingga terjadi peningkatan
volume darah. Peningkatan resistensi perifer dan volume darah merupakan
dua penyebab utama terjadinya hipertensi. Pusat yang menerima implus yang
dapat mengenali keadaan tekanan darah terletak pada medula dibatang otak.
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembulu darah
perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada
usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elistisitas
jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang
pada akhirnya akan menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembulu darah. Konsekuensinya yaitu kemampuan aorta dan arteri besar
menjadi berkurang dalam mengakomodasi voleme darah yang dipompa oleh
jantung (volume sekuncup), sehingga mengakibatkan penurunan curah
jantung dan peningkatan resistensi perifer dalam buku (Asikin dkk, 2017)
31

Bagan 2.1 Patofisiologi Hipertensi

Genetik + Lingkungan

Gangguan sistem saraf pusat


Resistensi insulin dan sistem saraf renin- Inflamasi
angiotensi-aldostreron

Vasokontriksi Resistensi garam dan air

Peningkatan resistensi Peningkatan volume


perifer darah

Hipertensi

(Sumber : Asikin dkk, 2017)


32

2.2.4 Manifestasi Klinis Hipertensi


Nurarif dan Kusuma (2015) Mengemukakan tanda dan gejala pada
hipertensi dibedakan sebagai berikut :
1) Tidak Ada Gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan
tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa.
Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan
arteri tidak terukur.
2) Gejala yang Lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi
nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala
terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan
medis.
Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada pasien yang menderita hipertensi
yaitu : mengeluh sakit kepala, pusing, lemas, kelelahan, sesak nafas, gelisah,
mual dan muntah, epistaksis dan kesadaran menuru
2.2.5 Komplikasi Hipertensi
Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan berbahaya
sehingga menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat menyerang
berbagai target organ tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah arteri
serta ginjal. Sebagai dampak terjadinya komplikasi hipertensi, kualitas hidup
penderita menjadi rendah dan kemungkinan terburuknya adalah terjadinya
kematian pada penderita akibat komplikasi hipertensi yang dimilikinya.
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa
penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari
kenaikan tekanan darah pada 19 organ, atau karena efek tidak langsung, antara
lain adanya auto antibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down
regulation dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi
33

garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya


kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah
(eprints.undip.ac.id dilihat pada 1 Oktober 2019 jam 16:00)
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ yang umum
ditemui pada pasien hipertensi adalah :
1) Infark Miokard
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak
dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk
trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah.
2) Stroke
Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi diotak atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non otak tekanan tinggi.
3) Penyakit Gagal Ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progesif akibat tekanan tinggi
pada kapiler-kapiler ginjal dan glomerolus.
4) Kerusakan Penglihatan
Hipertensi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah dimata, sehingga
penglihatan menjadi kabur atau terjadi kebutaan.
2.2.6 Penatalaksanaan Keperawatan
Tujuan utama dari penatalaksanaan pada klien dengan hipertensi adalah
mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas penyerta dengan mencapai dan
mempertahankan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Efektivitas setiap
program ditentukan oleh derajat hipertensi, komplikasi, biaya perawatan dan
kualitas hidup sehubungan dengan terapi. Pencapaian tekanan darah target
pendekatan nonfarmakologi yang dapat mengurangi hipertensi adalah sebagai
berikut :
34

1) Menurunkan kelebihan berat badan karena obesitas merupakan salah satu


dari faktor risiko hipertensi yang dapat diubah kecuali faktor hereditas atau
riwayat keluarga dan usia.
2) Melakukan diit hipertensi, yaitu makan diit kaya buah, sayuran dan produk
susu rendah lemak, mengurangi asupan natrium, mengurangi asupan
kolesterol, lemak total dan jenuh.
3) Menghentikan kebiasaan buruk seperti kebiasaan merokok, minum kopi dan
alkohol.
4) Mengelola stress dengan baik dengan cara teknik relaksasi seperti meditasi
dan yoga.
5) Melakukan olahraga secara teratur.
2.2.7 Penatalaksanaan Medis
Tujuan dari program pengobatan adalah klien dengan hipertensi ringan
yang berada dalam risiko tinggi (pria perokok) atau bila tekanan darah
diastoliknya menetap diatas 85 atau 95 mmHg dan sistoliknya diatas 130
sampai 139 mmHg, maka perlu dimulai terapi obat-obatan (terapi
farmakologis).
Obat-obat antihipertensi dapat digunakan sebagai obat tunggal atau
dicampur dengan obat lain adalah sebagai berikut :
1) Diuretik
Obat jenis diuretik yang biasa digunakan sebagai antihipertensi terdiri atas
hidroklorotiazid dan penghambat beta. Hidroklorotiazid adalah diuretik
yang paling sering diresepkan untuk mengobati hipertensi ringan.
Hidroklorotiazid dapat diberikan sendiri pada penderita hipertensi ringan
atau penderita yang baru. Banyak obat antihipertensi dapat menyebabkan
retensi cairan. Oleh karena itu, sering kali diuretik diberi bersama
antihipertensi.Penghambat adrenergik beta sering kali disebut penghambat
beta (beta blocker), digunakan sebagai obat antihipertensi tahap I atau
dikombinasikan dengan diuretik dalam pendekatan tahap II untuk mengobati
35

hipertensi. Penghambat beta cenderung lebih efektif untuk menurunkan


tekanan darah pada klien yang memiliki peningkatan kadar renin serum.
2) Simpatolitik
Penghambat adrenergik yang bekerja di sentral simpatolitik. Penghambat
adrenergik alfa dan penghambat neuron adrenergik diklasifikasikan sebagai
penekan simpatetik atau simpatolitik. Penghambat adrenergik beta yang
telah dibahas sebelumnya juga dianggap sebagai simpatolitik dan
menghambat reseptor beta.
3) Vasodilator Arteriol yang Bekerja Langsung
Vasodilator yang bekerja langsung adalah obat tahap III yang bekerja
dengan merelaksasikan otot-otot polos dari pembuluh darah terutama arteri,
sehingga menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi,
tekanan darah akan turun dan natrium serta air tertahan, sehingga terjadi
edema perifer. Diuretik dapat diberikan bersama-sama dengan vasodilator
yang bekerja langsung untuk mengurangi edema. Refleks takikardia
disebabkan vasodilatasi dan menurunnya tekanan darah.
4) Antagonis Angiotensin (ACE Inhibitor)
Obat dalam golongan ini menghambat enzim pengubah angiotensin (ACE)
yang nantinya akan menghambat pembentukan angiotensin II
(vasokonstriktor) dan menghambat pelepasan aldosterone. Aldosterone
meningkatkan retensi natrium dan ekskresi kalium. Jika aldosterone
dihambat, natrium dieksresikan bersama-sama dengan air. Katopril,
enalapril dan lisinopril adalah ketiga antagonis angiotensin. Obat-obat ini
digunakan pada klien yang mempunyai kadar renin serum yang tinggi.
36

2.3 Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Hipertensi


Asuhan keperawatan keluarga dalam buku ( Muhlisin, 2012) Merupakan
proses yang kompleks dengan menggunakan pendekatan sistematik untuk
bekerjasama dengan keluarga dan individu sebagai anggota keluarga.
Proses keperawatan keluarga menurut Effendi dalam buku (Gusti, 2013)
Merupakan metode ilmiah yang digunakan secara sistematik untuk mengkaji dan
menentukan masalah kesahatan dan keperawatan keluarga, merencanakan asuhan
keperawatan dan melaksanakan intervensi keperawaatan terhadap keluarga sesuai
dengan rencana yang telah disusun dan mengevaluasi mutu hasil keperawatan yang
dilaksanakan terhadap keluarga.
2.3.1 Pengkajian Keperawaran Keluarga
Pengkajian adalah suatu tahapan dimana seorang perawat mengambil
informasi secara terus menerus terhadap anggota keluarga yang dibinanya.
Proses pengkajian dimulai dari penjajakan keluarga (membina hubungan yang
baik) kemudian pengkajian awal, terfokus sesuai data yang diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan dan tahap pengkajian lanjutan untuk memperoleh data
yang lebih lengkap sesuai masalah kesehatan keluarga yang berorientasi pada
pengkajian awal.
Dalam proses pengkajian ini, dibutuhkan pendekatan agar keluarga dapat
secara terbuka memberikan data-data yang dibutuhkan. Selain itu, diperlukan
metode yang tepat bagi perawat untuk mendapatkan data pengkajian yang
akurat dan sesuai dengan keadaan keluarga. Salah satu metode yang bisa
ditempuh adalah perawat menggunakan bahasa yang lugas dan sederhana dalam
buku (Bakri, 2017).
Pada anamnesis biasanya didapatkan adanya riwayat peningkatan tekanan
darah, adanya riwayat keluarga dengan penyakit sama, dan riwayat meminum
obat antihipertensi. Riwayat yang lengkap harus diperoleh untuk mengkaji
gejala yang menunjukan apakah sistem tubuh lainnya telah terpengaruh oleh
hipertensi. Hal ini meliputi tanda seperti perdarahan hidung, nyeri angina, napas
37

pendek, perubahan ketajaman penglihatan, vertigo, sakit kepala dan nokturia


Muttaqin (2009).
Menurut Nadirawati (2018) Hal-hal yang perlu dikaji dalam keluarga adalah
sebagai berikut :
1) Data Umum
2) Riwayat dan tahap perkembangan keluarga
3) Pengkajian Lingkungan
4) Struktur Keluarga
5) Fungsi Keluarga
6) Stres dan Koping Keluarga
7) Pemeriksaan Fisik (head to toe)
8) Harapan Keluarga

2.3.2 Diagnosa Keperawatan Keluarga


Diagnosa keperawatan keluarga dirumuskan berdasarkan data yang
didapatkan pada pengkajian yang terdiri dari masalah keperawatan yang
berkenaan pada individu dalam keluarga yang sakit berhubungan dengan
etiologi yang berasal dari pengkajian fungsi perawatan keluarga (Muhlisin,
2012).
Menurut Nadirawati (2018) Diagnosis keperawatan keluarga dianalisis
dari hasil pengkajian terhadap adanya masalah dalam tahap perkembangan
keluarga, lingkungan keluarga, struktur keluarga, fungsi-fungsi keluarga dan
koping keluarga, baik yang bersifat aktual, risiko maupun sejahtera.
Tipologi atau sifat dari diagnosis keperawatan keluarga adalah sebagai berikut:
1) Diagnosis keperawatan keluarga bersifat aktual berarti terjadi defisit /
gangguan kesehatan dalam keluarga dan dari hasil pengkajian didapatkan
data mengenai tanda dan gejala dari gangguan kesehatan.
38

2) Diagnosis keperawatan keluarga bersifat risiko (ancaman kesehatan) berarti


sudah ada data yang menunjang, namun belum terjadi gangguan, misalnya
lingkungan rumah yang kurang bersih atau pola makan tidak adekuat.
3) Diagnosis keperawatan keluarga bersifat keadaan sejahtera (wellness)
merupakan suatu keadaan dimana keluarga dalam keadaan sejahtera
sehingga kesehatan perlu ditingkatkan.
Langkah-langkah perumusan diagnosa keperawatan keluarga, dimulai dengan
menyusun analisa data dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.2 Analisa Data

No Data Masalah

1. Data Subjektif : Kode Dx :

Data Objektif :

(Sumber: Nadirawati, 2018)

Perumusan diagnosis keperawatan keluarga menggunakan aturan yang telah


disepakati Suprajimo dalam buku (Bakri, 2016) Terdiri dari :
1) Masalah (Problem, P) yaitu suatu pernyataan tidak terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia yang dialami oleh keluarga atau anggota keluarga (individu)
keluarga.
2) Penyebab (Etiologi, E) yaitu suatu pernyataan yang dapat menyebabkan
suatu masalah dengan mengacu kepada 5 tugas keluarga yaitu mengenal
masalah, mengambil keputusan yang tepat, merawat anggota keluarga,
memelihara lingkungan atau memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.
39

3) Tanda (Sign, S) yaitu sekumpulan data subjektif dan objektif yang diperoleh
perawat dari keluarga secara langsung atau tidak yang mendukung masalah
dan penyebabnya.
2.3.3 Intervensi Keperawatan Keluarga
Rencana asuhan keperawatan keluarga yaitu rencana tindakan yang
ditentukan perawat untuk dilaksanakan dalam memecahkan masalah kesehatan
dan keperawatan yang diidentifikasi dari masalah keperawatan yang sering
muncul (Gusti, 2013)
Nadirawati (2018) Menyatakan langkah-langkah perencanaan keperawatan
keluarga terdiri dari tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Dalam
merumuskan tujuan dengan prinsip SMART, yaitu : Spesifik (tujuan harus
spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda), Measurable (tujuan dapat diukur,
khususnya perilaku pasien, dapat dilihat, diraba, dirasakan dan dibau),
Achieveble (tujuan harus dapat dicapai), Reasonable / realistic (tujuan harus
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah) dan Time (batasan waktu / tujuan
keperawatan tercapai dalam jangka waktu yang ditentukan).
Manfaat rencana asuhan keperawatan yang pertama memudahkan
pemberian tindakan keperawatan / intervensi yang tepat dengan memperhatikan
keunikan klien kemudian memudahkan pemberian tindakan keperawatan sesuai
dengan prioritas, memudahkan pengembangan komunikasi yang efektif dan
sistematis antara perawat dan klien, menghindari pelayanan timpang tindih atau
tidak diberikannya pelayanan pada klien karena setiap klien kemungkinan besar
dilayani oleh tenaga perawat / kesehatan yang berbeda dan dapat diberikan
asuhan keperawatan yang berkelanjutan karena ada dokumentasi keperawatan.
Langkah-langkah dalam dalam rencana keperawatan keluarga yaitu :
1) Menentukan Prioritas Masalah
Dengan menggunakan proses skoring dari Bailon dan Maglaya (2009).
40

2) Menentukan Sasaran atau Goal.


Sasaran merupakan tujuan umum yang merupakan tujuan akhir yang akan
dicapai melalui segala upaya, dimana masalah (Problem) digunakan untuk
merumuskan tujuan akhir (TUM).
3) Menentukan Tujuan atau Objektif
Objektif merupakan pernyataan yang lebih spesifik atau lebih terperinci
tentang hasil yang diharapkan dari tindakan perawatan yang dilakukan,
dimana penyebab (Etiologi) digunakan untuk merumuskan tujuan (TUK).
4) Menentukan Pendekatan dan Tindakan Keperawatan yang akan dilakukan
Dalam memilih tindakan keperawatan sangat tergantung kepada sifat
masalah dan sumber-sumber yang tersedia untuk memecahkan masalah.
5) Menentukan Kriteria dan Standar Kriteria Standar mengacu kepada lima
tugas keluarga sedangkan kriteria mengacu kepada 3 hal, yaitu :
a) Pengetahauan Kognitif
Intervensi dengan domain kognitif ditunjukan untuk memberikan
informasi, gagasan, motivasi dan saran kepada keluarga sebagai target
asuhan keperawatan keluarga.
b) Sikap (Afektif)
Intervensi ini ditunjukan membantu keluarga dalam berespon emosional,
sehingga dalam keluarga terdapat perubahan sikap terhadap masalah
yang dihadapi.
c) Tindakan (Psikomotor)
Intervensi ini ditunjukan untuk membantu anggota keluarga dalam
perubahan perilaku yang merugikan ke perilaku yang menguntungkan
(Gusti, 2013).
41

2.3.4 Implementasi Keperawatan Keluarga


Implementasi pada asuhan keperawatan keluarga dapat dilakukan pada
individu dalam keluarga dan pada anggota keluarga lainnya. Implementasi yang
ditujukan pada individu meliputi : tindakan keperawatan, kemudian tindakan
kolaboratif dan pengobatan dasar, tindakan observasi dan tindakan pendidikan
kesehatan.
Implementasi keperawatan yang ditujukan pada keluarga mencakup hal-hal
dibawah ini :
1) Meningkatkan kesadaran atau penerimaan keluarga mengenai masalah dan
kebutuhan kesehatan dengan cara memberikan informasi, mengidentifikasi
kebutuhan dan harapan tentang kesehatan, mendorong sikap emosi yang
sehat terhadap masalah.
2) Membantu keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang tepat untuk
individu dengan cara mengidentifikasi konsekuensi jika tidak melakukan
tindakan, mengidentifikasi sumber-sumber yang dimiliki keluarga,
mendiskusikan tentang konsekuensi tiap tindakan.
3) Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga yang sakit
dengan cara mendemontrasikan cara perawatan, menggunakan alat dan
fasilitas yang ada dirumah, mengawasi keluarga melakukan perawatan.
4) Membantu keluarga menemukan cara bagaimana membuat lingkungan
menjadi sehat, dengan cara menemukan sumber yang dapat digunakan
keluarga melakukan perubahan lingkungan keluarga seoptimal mungkin.
5) Memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada
dengan cara mengenalkan fasilitas yang ada dilingkungan keluarga,
membantu keluarga menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada
(Nadirawati, 2018).
42

2.3.5 Evaluasi Keperawatan Keluarga

Evaluasi merupakan suatu langkah dalam menilai hasil asuhan yang


dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai terhadap tindakan yang
dilakukan dengan indikator yang ditetapkan. Tujuan evaluasi adalah untuk
melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Hasil asuhan keperawatan
dapat diukur melalui keadaan fisik, sikap, pengetahuan dan perilaku kesehatan
(Nadirawati, 2018).
Evaluasi diperlukan untuk melihat keberhasilan, bila tidak atau belum
berhasil, perlu disusun rencana baru yang sesuai. Perawat bertanggung jawab
untuk mengevaluasi status dan kemajuan klien dan keluarga terhadap
pencapaian hasil dari tujuan keperawatan yang telah ditetapkan sebelumnya
(Muhlisin, 2012).
Kegiatan evaluasi mengkaji kemajuan status kesehatan individu dalam
kontek keluarga, kemudian membandingkan respon individu dan keluarga
dengan kriteria hasil, dan menyimpulkan hasil kemajuan masalah serta
kemajuan pencapaian tujuan keperawatan.
Menyatakan evaluasi dapat dilakukan secara formatif dan sumatif. Evaluasi
formatif adalah evaluasi yang dilakukan selama proses asuhan keperawatan dan
bertujuan untuk menilai hasil implementasi secara bertahap sesuai dengan
kegiatan yang dilakukan, sistem penulisan evaluasi formatif ini biasnya ditulis
dalam catatan kemajuan atau menggunakan sistem SOAP, sedangkan evaluasi
sumatif adalah evaluasi akhir yang bertujuan untuk menilai secara keseluruhan,
sistem penulisan evaluasi sumatif ini dalam bentuk catatan naratif atau laporan
ringkas, evaluasi disusun dengan menggunakan format SOAP secara
operasional:
S : Hal-hal yang dikemukakan oleh keluarga secara subjektif setelah dilakukan
intervensi keperawatan.
43

O : Hal-hal yang ditemui oleh perawat secara objektif setelah dilakukan


intervensi keperawatan.
A : Analisis dari hasil yang telah dicapai dengan mengacu kepada tujuan terkait
dengan diagnosa keperawatan keluarga.
P : Perencanaan yang akan datang setelah melihat respon dari keluarga pada
tahap evaluasi.
Adapun format implementasi dan evaluasi dapat dilihat pada tabel dibawah
ini:
2.3.6 Catatan Perkembangan
Catatan perkembangan didokumentasikan dalam bentuk formal SOAPIER
secara operasional :
S : Subjektif (pernyataan atau keluhan pasien)
O : Objektif (data yang diobservasi)
A : Analisa (kesimpulan berdasarkan data subjektif dan data objektif)
P : Planning (apa yang dilakukan terhadap masalah)
I : Implementation (bagaimana rencana dilakukan)
E : Evaluation (respon pasien terhadap tindakan keperawatan)
R : Reviced (apakah rencana keperawatan akan diubah)
44

Tabel 2.3 Format Catatan Perkembangan

No Hari / Tanggal / Waktu Catatan Perkembangan Paraf

S:

O:

A:

P:

I :

E:

R:
(Sumber : Panduan Asuhan Keperawatan IPKKI, 2017)

Anda mungkin juga menyukai