Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

ATRIAL FIBRILASI

Disusun Oleh:

Qorry Welendri (1102013238)

Rufaida Mudrika (1102013259)

Salsabila Rahma (1102013260)

Sofie Hanafiah N (1102013278)

Soraya Haji Muhamad (1102013279)

Pembimbing

dr. Ardiayuman, Sp. An

dr. Sugihantoro Sp. An

Kepanitraan Klinik Anestesi

RSUD Kab. Subang

Periode 10 September 2018 – 29 September 2018

Universitas Yarsi
BAB I

PENDAHULUAN

Atrial fibrilasi adalah salah satu kasus aritmia jantung yang sering terjadi dan insidensinya
berhubungan dengan usia. Atrial fibrilasi mempengaruhi setidaknya 1% dari pasien yang
1,2,3
berusia kurang dari 60 tahun dan 8% pada pasien yang berusia lebih dari 80 tahun.
Framingham Heart Study yang merupakan suatu studi kohor pada tahun 1948 dengan
melibatkan 5209 subjek penelitian sehat (tidak menderita penyakit kardiovaskular)
menunjukkan bahwa dalam periode 20 tahun, angka kejadian FA adalah 2,1% pada laki-laki
dan 1,7% pada perempuan. Sementara itu data dari studi observasional (MONICA- multinational
MONItoring of trend and determinant in CArdiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta
menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan perempuan 3:2. Selain
itu, karena terjadi peningkatan signifikan persentase populasi usia lanjut di Indonesia yaitu
7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi 28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050), maka angka
kejadian FA juga akan meningkat secara signifikan. Dalam skala yang lebih kecil, hal ini juga
tercermin pada data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang
menunjukkan bahwa persentase kejadian FA pada pasien rawat selalu meningkat setiap tahunnya,
yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013).15

Pengertian kata AF berasal dari fibrillating atau bergetarnya otot-otot jantung atrium,
jadi bukan merupakan suatu kontraksi yang terkoordinasi. Hal ini sering diidentifikasi
dengan peningkatan denyut jantung dan ketidakteraturan irama jantung. Sedangkan
indikator untuk menentukan ada tidaknya AF adalah tidak adanya gelombang P pada

elektrokardiogram (EKG), yang secara normal ada saat kontraksi atrium yang terkoordinasi.4

Atrial fibrilasi didefinisikan sebagai takiaritmia supraventrikular yang dikarakterisasi


dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi. Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan
gelombang fibrilatori yang menggantikan gelombang P. Gelombang ini berbeda satu sama
lainnya seperti berbeda ukuran, amplitudo dan waktu. Sedangkan kompleks QRS tetap lancip
walaupun ada konduksi abnormal. Respon ventrikular biasanya terjadi secara cepat sekitar 90
hingga 170 kali per menit.1

AF seringkali tanpa disertai adanya gejala, tapi terkadang AF dapat menyebabkan


palpitasi, penurunan kesadaran, nyeri dada dan gagal jantung kongestif. Orang dengan AF
biasanya memiliki peningkatan signifikan risiko stroke (hingga >7 kali populasi umum). Pada
AF, risiko stroke meningkat tinggi, hal ini dikarenakan adanya pembentukan gumpalan di
atrium sehingga menurunkan kemampuan kontraksi jantung, khususnya pada atrium kiri
jantung. Disamping itu, tingkat peningkatan risiko stroke tergantung juga pada jumlah faktor
risiko tambahan. Tetapi, banyak orang dengan AF memang memiliki faktor risiko tambahan
dan AF juga merupakan penyebab utama dari stroke. Untuk presentase stroke yang berasal
dari AF berkisar 6-24% dari semua stroke iskemik, sedangkan 3-11% dari mereka yang
secara struktural terdiagnosis AF, memiliki jantung yang normal.5

Tatalaksana penting dari AF adalah untuk mengembalikan gelombang AF menjadi


ritme sinus yang normal. Tujuan dari tatalaksana AF adalah untuk mengontrol frekuensi dan
mencegah terjadinya tromboembolisme. Terapi antikoagulan diperlukan untuk mencegah
terjadinya stroke. Warfarin biasanya lebih superior penggunaanya dibanding aspirin dan
clopidogrel dalam tatalaksana pencegahan stroke. Pilihan operasi untuk pasien atrial fibrilasi
termasuk diantaranya ablasi pada sistem konduksi sebagai pilihan dalam mengembalikan
ritme sinus normal pada pasien dengan AF paroksismal. 6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi, Persarafan dan Pembuluh Darah Jantung


a. Anatomi Jantung
Jantung adalah organ berotot dan berongga yang berfungsi memompa darah

melalui pembuluh darah dengan frekuensi denyut yang ritmik. Jantung manusia
dewasa mempunyai berat yang hampir sama antara satu orang dengan orang yang
lain, yaitu kurang lebih sekitar 300-350 gr. Jantung secara normal terletak didalam
rongga toraks, yang berada diantara sternum di sebelah anterior dan vertebra di

sebelah posterior, sedangkan pada bagian inferior berbatasan dengan diafragma3.


Anatomi jantung dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu anatomi eksternal dan anatomi

internal4,5

1. Anatomi Eksternal
Anatomi eksternal jantung dapat dikatakan sebagai bagian lapisan- lapisan
pada jantung. Pada dasarnya terdapat tiga bagian lapisan pada jantung, yaitu
pericardium, miokardium dan endokardium. Lapisan perikardium merupakan lapisan
jantung bagian luar yang terbuat oleh jaringan ikat yang tebal. Lapisan ini terdiri dari 2
lapisan yaitu perikardium parietal yang berada dibagian luar dan perikardium visceral
yang berada dibagian dalam. Ruangan diantara perikardium parietal dan perikardium
visceral dinamakan rongga perikardial yang berisi cairan perikardium encer. Fungsi
rongga tersebut adalah sebagai ruang kompsensasi pergerakan jantung. Lapisan
kedua adalah lapisan miokardium, yang merupakan lapisan paling tebal dan lapisan
yang terdiri atas otot-otot jantung. Lapisan ini terdiri dari 3 macam otot, yaitu otot
atrium, otot ventrikel dan otot serat khusus. Otot atrium mempunyai karakteristik otot
yang lebih tipis dibandingkan dengan otot ventrikel, hal ini lebih banyak dipengaruhi
oleh fungsi kontraktilitas jantung berkaitan dengan fungsi pompa darah ke seluruh
tubuh. Otot atrium dan otot ventrikel mempunyai kinerja kontraksi yang sama,
sedangkan otot serat khusus lebih tergantung dari rangsang konduksi jantung. Lapisan
yang terakhir adalah lapisan endokardium. Lapisan ini adalah suatu lapisan yang
terdiri dari membran tipis di bagian luar yang membungkus jantung. Lapisan ini
terdiri dari jaringan epitel (endotel) dan berhubungan langsung dengan jantung.
2. Anatomi Internal
Jantung terdiri dari 4 ruang, yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan
dan ventrikel kiri. Bagian kanan (atrium dan ventrikel kanan) dan kiri (atrium dan
ventrikel kiri) jantung dipisahkan oleh suatu sekat yang dinamakan septum cordis.
Disamping itu, jantung juga mempunyai 4 buah katup jantung, yang terdiri dari
katup trikuspidalis, katup mitral/bikuspidalis, katup semilunar pulmonalis dan katup
semilunar aorta.

a. Atrium Kanan
Atrium kanan merupakan ruang pada jantung yang berfungsi untuk menampung
darah vena yang mengalir melalui vena kava inferior dan vena kava superior.
Kedua vena kava bermuara pada tempat yang berbeda, vena kava superior
bermuara pada dinding bagian supero-posterior atrium kanan, sedangkan vena
kava inferior bermuara pada dinding bagian infero-latero-posterior atrium kanan.

b. Ventrikel Kanan
Ventrikel kanan merupakan ruangan setelah atrium kanan. Darah vena akan
dialirkan dari atrium kanan ke ventrikel kanan, yang sebelumnya melewati katup
atrio-ventrikular kanan atau triskupidalis.

c. Atrium Kiri
Atrium kiri merupakan ruangan yang menerima darah (bersih) yang berasal dari
paru-paru. Atrium kiri menerima darah dari empat vena pulmonalis yang bermuara
pada dinding postero-posterior atau postero-lateral.

d. Ventrikel Kiri
Ventikel kiri merupakan bagian ruangan pada jantung yang berfungsi darah ke
seluruh bagian organ tubuh. Ventrikel kiri mempunyai tebal lapisan sebesar 2-3
kali lipat dibandingkan dengan ventrikel kanan. Hal ini dipengaruhi oleh fungsi
pompa darah ventrikel kanan dan kiri.

e. Katup Semilunar
Katup semilunar terdiri dari dua katup, yaitu katup semilunar pulmonalis dan katup
semilunar aorta. Kedua katup ini mempunyai bentuk katup yang sama, tetapi secara
antomis katup semilunar aorta lebih tebal dibandingkan dengan katup semilunar
pulmonalis. Katup semilunar pulmonalis berfungsi sebagai sekat antara ventrikel
kanan dengan paru-paru, sedangkan katup semilunar aorta berfungsi sebagai sekat
antara ventrikel kiri dengan aorta. Setiap katup terdiri dari tiga daun katup, untuk
katup semilunar pulmonalis terdiri dari daun katup anterior, dekstra dan sinistra.
Sedangkan katup semilunar aorta terdiri dari daun katup koroner dekstra, koroner
sinistra dan non-koroner.

f. Katup Atrio-Ventrikuler
Katup Atrio-ventrikuler terdiri dari dua katup, yaitu katup trikuspidalis dan katup
bikuspidalis atau mitral. Katup trikuspidalis terdiri dari tiga daun katup yang
berbeda ukuran pada setiap daun katup. Ketiga daun katup ini adalah katup
anterior, septal dan katup posterior. Katup ini terletak sebagai sekat antara atrium
kanan dengan ventrikel kanan. Sedangkan katup bikuspidalis (mitral) terletak sebagai
sekat antara atrium kiri dengan ventrikel kiri. Katup bikuspidalis (mitral)
mempunyai dua daun katup, yang terdiri dari daun katup mitral anterior dan
posterior.

Aliran darah yang melewati kedua katup tidak hanya diatur oleh kedua katub
ini, tetapi lebih diatur oleh interaksi antara atrium, annulus fibrosus, daun katup, korda
tandinea, otot papillaris dan otot ventrikel. Keenam komponen ini merupakan rangkaian
unit fungsional dalam proses aliran darah, sehingga bila terjadi gangguan pada salah
satu komponen akan mengakibatkan gangguan hemodinamik yang serius.
Gambar 2.1 Anatomi Jantung

b. Persarafan Jantung
Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom, yaitu serabut saraf simpatis dan serabut
saraf parasimpatis. Serabut saraf simpatis mempersarafi daerah atrium, ventrikel dan
pembuluh darah koroner. Sedangkan serabut saraf parasimpatis mempersarafi nodus

sino-atrial, atrio-ventrikuler dan otot- otot atrium11,12.


Persarafan simpatis eferen preganglionik berasal dari medulla spinalis torakal III-VI
dan diperantarai oleh norepinefrin. Sedangkan persarafan parasimpatis berasal dari
pusat nervus vagus di medulla oblongata dan diperantarai oleh asetilkolin. Secara
fungsional, saraf simpatis mempengaruhi kinerja dari otot ventrikel, sedangkan saraf
parasimpatis lebih berperan dalam mengontrol irama dan menurunkan laju denyut
jantung.

c. Pembuluh Darah Jantung


Pendarahan otot jantung berasal dari aorta melalui dua pembuluh koroner, yaitu

arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini, baik arteri koroner
kanan atau arteri koroner kiri keluar dari sinus valsava aorta. Arteri koroner kiri akan
bercabang menjadi arteri sirkumfleks kiri dan arteri desendens anterior kiri yang
memperdarahi sebagian besar bagian proksimal RBB (right bundle branch), LBB (left
bundle branch) dan fasikulus anterior LBB. Sedangkan arteri koroner kanan akan
bercabang menjadi arteri atrium anterior kanan yang memperdarahi nodus sino-atrial
dan arteri koroner desendens posterior yang memperdarahi nodus atrio-ventrikuler dan
fasikulus posterior LBB. Pembuluh darah balik dari otot jantung adalah vena koroner.
Vana koroner ini berjalan berdampingan dengan arteri koroner yang akan masuk atau

bermuara ke dalam atrium kanan melalui sinus koronarius11,12,13

Elektrofisiologi Jantung

Melalui studi elektrofisiologi diketahui ada tiga jenis kumpulan sel-sel jantung

yang dapat membangkitkan arus listrik, yakni; (1) sel-sel pacemaker (nodus SA, nodus
AV), (2) jaringan konduksi khusus (serat-serat purkinje), san (3) sel-sel otot ventrikel
dan atrium. Stimulasi listrik atau potensial aksi yang terjadipada ketiga sel-sel khusus
ini dihasilkan oleh interaksiionik transmembran, yaitu berupa transport berbagai ion
utama melalui kanal-kanal khusus yang melewati membran sarcolema (suatu membran
bilayer fosfolipid). Transportasi ionik ini mempertahankan gradien. konsentrasi dan
tegangan antara intra dan ekstra sel.Dalam keadaan normal, konsentrasi Na+ dan Ca+
+lebih tinggi diluar sel, sedangkan konsentrasi K+ lebih tinggi didalam sel.9

Gambar 2.2 Pembentukan potensial aksi

Phase 0 ( depolarisasi ) Masuknya Na + secara mendadak ke intra sel intra sel menjadi positif

Phase 1 (repolarisasi awal) Kanal Natrium tertutup muatan positif intra sel berkurang
sedikit

Phase 2 (plateu) Kalsium masuk lambat ke intrasel, muatan stabil. Disebut masa refrakter
negative

Phase 3 (repolasrisasi) Kalium keluar ke ekstra sel sehingga intrasel menjadi lebih
bermuatan negative kembali

Phase 4 ( istirahat ) terjadi polarisasi : intrasel negative, ekstrasel positif


Gambar 2.3 Kurva potensial aksi

Potensial transmembran saat istirahat (–80 s/d –90mV pada otot jantung dan –60 pada
sel pacemaker)terjadi akibat adanya akumulasi molekul-molekulbermuatan negatif (ion-ion)
didalam sel. Potensial aksipada sel jantung memberikan pola yang khas, danmencerminkan
aktifitas listrik dari satu sel jantung.Sebagaimana diillustrasikan pada gambar 4 dan 5.
Secara klasik aksi potensial dibagi dalam 5 fase, namun untuk memudahkan pemahaman
terhadap potensial aksi dapat disederhanakan menjadi 3 fase umum, yakni :9

1. Fase Depolarisasi
Fase depolarisasi (fase 0) adalah fase awal dari potensial aksi yang timbul pada
saat kanal Na+ membran sel terstimulasi untuk membuka. Bila hal ini terjadi, maka ion
Na+ yang bermuatan positif akan serentak masuk ke dalam sel, sehingga menyebabkan
potensial transmembran beranjak positif secara cepat. Perubahan resultan tegangan ini
disebut depolarisasi. Depolarisasi satu sel jantung akan cenderung menyebabkan sel-sel
yang berdekatan ikut berdepolarisasi dan membuka kanal Na+ sel sebelahnya. Sekali sel
berdepolarisasi, gelombang depolarisasi akan di hantarkan dari sel ke sel ke seluruh sel
jantung. Kecepatan depolarisasi suatu sel menentukan cepatnya impuls listrik dihantarkan
ke seluruh sel miokard.

2. Fase Repolarisasi
Sekali suatu sel berdepolarisasi maka tidak akan berdepolarisasi kembali hingga
aliran ionik kembali pulih selama depolarisasi. Proses mulai kembalinya ion- ion
ketempatnya semula seperti saat sebelum depolarisasi disebut repolarisasi. Fase
repolarisasi ini di tunjukkan oleh fase 1-3 kurva potensial aksi. Karena depolarisasi
berikutnya tidak dapat terjadi hingga repolarisasi, rentang waktu sejak akhir fase 0
hingga akhir fase 3 disebut sebagai periode refrakter (refractory periode). Fase 2 (fase
plateau) dimediasi oleh terbukanya kanal lambat kalsium, yang akan menyebabkan ion
kalsium yang bermuatan positif masuk kedalam sel.

3. Fase Istirahat
Pada hampir semua sel jantung, fase istirahat (rentang waktu antara 2 potensial
aksi sebagai fase 4) merupakan fase di mana tak ada perpindahan ion di membran sel.
Namun pada sel-sel pacemaker tetap terjadi perpindahan ion melewati membran sel pada
fase 4 ini dan secara bertahap mencapai ambang potensial, kemudian kembali
berdepolarisasi membangkitkan impuls listrik yang dihantarkan ke seluruh jantung.
Aktifitas fase 4 yang kemudian berdepolarisasi spontan disebut automatisitas.

Gambar 2.4 Pola potensial aksi masing-masing sistem konduksi jantung

Pola potensial aksi tidaklah sama pada setiap sel-sel yang menyusun sistem listrik
jantung. Gambar di atas memberikan model ilustrasi dari masing-masing sistem konduksi
listrik jantung. Pola potensial aksi sel-sel purkinje sangat berbeda dengan sel-sel nodus SA
dan nodus AV. Perbedaan ini terjadi pada fase 0 yaitu depolarisasi lambat sel nodus SA dan
AV, dikarenakan tidak adanya kanal cepat Na+ yang bertanggung jawab pada fase
depolarisasi cepat sel otot jantung yang lain (fase 0).9

Aritmia

Abnormalitas sistem listrik jantung menghasilkan dua jenis keadaan umum aritmia,
yaitu irama jantung yang terlalu lambat (bradiaritmia) dan irama jantung yang terlalu cepat
(takiaritmia). AF merupakan suatu bentuk takiaritmia, secara umum ada 3 mekanisme yang
mendasari gangguan irama ini, yaitu:6
1. Abnormal Automaticity
Automatisitas merupakan kemampuan suatu sel untuk berdepolarisasi spontan untuk
mencapai tegangan ambang (treshold potensial) secara ritmis (berirama). Sel-sel khusus
sistem konduksi nodus SA (native pacemaker) dan nodus AV (latent pacemaker) yang
telah disebutkan diatas memiliki kemampuan automatisitas secara alamiah. Meskipun
sel-sel otot ventrikel dan atrium tidak memiliki kemampuan automatisitas, tetapi mampu
berdepolarisasi secara spontan dalam keadaan patologis seperti iskemia. Sel- sel di nodus
SA secara normal mempunyai aktifitas fase 4 paling cepat dibanding bagian sel jantung
lainnya, sehingga potensial aksi spontannya dihantar- kan lebih dulu, memberikan
gambaran irama sinus. Bila karena suatu sebab terjadi kegagalan automatisitas di nodus
SA, maka sel-sel latent pacemaker (nodus AV akan mengambil alih fungsi pacemaker
jantung, akan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat. Gambaran potensial aksi
menentukan kecepatan konduksi, masa refrakter, dan automatisitas sel-sel jantung. ketiga
komponen tersebut sangat berpengaruh terhadap mekanisme terjadinya kelainan irama
jantung.

2. Reentry
Reentry merupakan mekanisme umum yang terjadi pada hampir semua jenis takiaritmia.
Untuk terjadinya Reentry harus terdapat beberapa syarat: 1) terdapat dua jaras paralel
yang saling berhubungan, pada bagian distal dan proksimal, membentuk sirkuit potensial
listrik; 2) salah satu jaras harus memiliki masa refrakter yang berbeda dengan jaras yang
lain. Bila suatu saat terjadi impuls prematur, impuls ini harus melewati sirkuit B (masa
refrakter panjang) dan sirkuit A (masa refrakter pendek). Impuls akan melewati sirkuit A
karena lebih cepat pulih dan siap kembali menerima impuls listrik, sedangkan sirkuit B
tidak dapat dilewati karena belum siap menerima impuls (masa refrakternya panjang).
Pada saat sirkuit A menjalarkan impuls secara lambat, sirkuit B sudah pulih dari masa
refrakter dan siap menerima impuls, yang ternyata dimulai dari arah berlawanan, berasal
dari impuls prematur sirkuit A (konduksi retrograde). Bila impuls retrograd ini kembali
melewati sirkuit A secara antegrade maka lingkaran impuls yang kontinu akan terbentuk,
dan terjadilah lingkar reentry (loop reentry).

3. Trigered activity
Trigered activity memiliki gambaran yang sama seperti automatisitas dan reentry. Seperti
pada automatisitas, trigered activity mencakup kebocoran ion positif kedalam sel jantung
yang menyebabkan cetusan potensial aksi pada fase 3 atau awal fase 4. Cetusan ini
disebut after-depolarization. Bila after-depolarization ini cukup besar untuk membuka
kanal natrium, potensial aksi yang kedua akan dibangkitkan.

2.2 Atrial Fibrilasi

2.2.1 Definisi Atrial Fibrilasi


AF merupakan gangguan irama jantung tersering dengan insiden yang makin
meningkat seiring bertambahnya usia. AF banyak terjadi pada perubahan
morfologi jantung dan penyakit paru, beberapa dikarenakan gangguan metabolik,
toksik, endokrin, dan genetik. AF pertama kali direkam oleh Sir Thomas Lewis di
London 9 tahun setelah William Einthoven menemukan elektrokardiografi pada
tahun 1900.9
AF dikenal sebagai suatu takiaritmia supraventrikular, yang ditandai oleh
adanya aktifasi yang tidak terkoordinasi pada atrium, sehingga mengakibatkan
perburukan pada fungsi mekanis atrium. Pada EKG, AF digambarkan dengan
berubahnya gelombang P menjadi gelombang osilasi cepat atau fibrilasi dengan
berbagai derajat ukuran,bentuk, dan waktu, berhubungan dengan suatu
responventrikel yang irregular dan cepat pada sistim konduks AV yang utuh.6

2.2.2 Klasifikasi Atrial Fibrilasi


Klasifikasi klinis subtipe AF didasarkan pada episode terhentinya AF:10,11
1. AF paroksismal berarti aritmia ini dapat hilang dan timbul secara spontan,
tidak lebih dari beberapa hari tanpa intervensi.
2. AF persisten berarti aritmia ini tak dapat terkonversi secara spontan menjadi
irama sinus, sehingga diperlukan kardioversi untuk kembali ke irama sinus,
baik konversi farmakologik ataupun non farmakologik.
3. AF permanen berarti aritmia ini tak dapat dikonversi menjadi irama sinus.
Berdasarkan ada tidaknya penyakit yang mendasari, AF dapat dibedakan
menjadi :10,11
1. AF primer terjadi bila tidak disertai penyakit jantung atau penyakit sistemik
lainnya
2. AF sekunder disertai adanya penyakit jantung atau penyakit sistemik seperti
gangguan tiroid

Berdasarkan bentuk gelombang P, AF dibedakan atas:10,11


1. AF coarse (kasar)
2. AF fine (halus)

Gambar 2.5 Tipe fibrilasi atrium

Klasifikasi berdasarkan gejalan menurut Skor EHRA:


1. EHRA I : tidak terdapat gejala
2. EHRA II : gejala sedang, tidak terganggu aktifitas sehari-hari
3. EHRA III : gejala berat, terganggunya aktifitas sehari-hari
4. EHRA IV : terjadi kelumpuhan, terhentinya aktifitas sehari-hari

Gambar 2.6 Skor EHRA

AF sangat penting untuk dicegah dan diterapi karena mempunyai


beberapa konsekuensi dan komplikasi klinis yang serius. Konsekuensi AF
antara lain palpitasi, takikardiomiopati, emboli sistemik terutama stroke,
menurunkan kualitas hidup penderita, dan menambah mortalitas.

2.2.3 Patogenesis Atrial Fibrilasi


Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple
wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal
atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang dominan
adalah berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga
berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini
menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan
menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus SA7,9,14.
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang
berulang dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet
reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal,
tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi
depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan
kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium
biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan penurunan
kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal
elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya

AF7,9,14.
Gambar 2.7 Prinsip mekanisme elektrofisiologi fibrilasi atrium. A, Aktivasi fokal (focal
activation). Fokus pencetus (ditandai bintang) seringkali terletak diantara muara vena- vena
pulmonalis. Wavelets yang dihasilkan merupakan konduksi fibrilasi seperti pada multiple-
wavelet reentry. B, Multiple-wavelet reentry. Wavelets (tanda panah) secara acak masuk
kembali ke jaringan yang sebelumnya diaktivasinya atau diaktivasi oleh wavelets lain.
Perjalanan wavelets bervariasi. LA - left atrium; PV- pulmonary vein; ICV – inferior vena
cava; SCV - superior vena cava; RA - right atrium.

Dapat disimpulkan di sini bahwa, terjadinya AF dimulai dengan adanya aktifitas listrik
cepat yang berasal dari lapisan muskular dari vena pulmonalis. Aritmia ini akan berlangsung
terus dengan adanya lingkaran sirkuit reentry yang multipel. Penurunan masa refrakter dan
terhambatnya konduksi akan memfasilitasi terjadinya reentry. Setelah AF timbul secara
kontinu, maka akan terjadi remodeling listrik (electrical remodeling) yang selanjutnya akan
membuat AF permanen. Perubahan ini pada awalnya reversibel, namun akan menjadi
permanen seiring terjadinya perubahan struktur, bila AF berlangsung lama.10,11
Michele et al., melakukan studi elektrofisiologi dengan merekam dan memetakan
fokus ektopi didalam dinding atrium pada 45 pasien yang menderita AF refrakter. Pada hasil
studi didapatkan 94% fokus ektopi terdapat pada vena pulmonalis. Berdasarkan penemuan
ini, kemudian banyak studi yang dilakukan untuk mengetahui secara lebih mendalam
bangkitan impuls oleh fokus tunggal dari vena pulmonalis atau regio atrium lain, yang dapat
menyebabkan terjadinya gelombang fibrilasi; dengan demikian ablasi sebagai pengobatan
definitive AF dapat dilakukan pada vena yang telah dilokalisir.9

Gambar 2.8 Re-entry. a) Impuls dari sinus mengaktifkan daerah A, b) Sebuah denyut
prematur muncul pada daerah B, namun gagal mencapai daerah A karena daerah tersebut
masih dalam masa refrakter setelah sebelumnya mendapat impuls dari sinus. c) Stimulus
prematur berjalan lambat melewati rute lain dan kembali ke daerah A, dan saat itu masa
refrakter daerah A baru saja selesai dan siap tereksitasi kembali. d) daerah A akan
melanjutkan impuls dan mengeksitasi daerah B dan lingkaran reentry akan muncul dengan
sendirinya.

2.2.4 Faktor Risiko Atrial Fibrilasi


Karena dapat mengakibatkan komplikasi serius seperti trombosis dan emboli
serebral, maka AF semakin banyak dipelajari, untuk mengetahui secara detail
mekanisme yang mendasarinya sehingga dapat diberikan pencegahan dan pengobatan
yang cepat dan tepat.9
Penyebab tersering AF akut adalah infark miokard (5-10% pasen dengan
infark), dan operasi jantung (mencapai 40% pasien yang dioperasi). Keadaan klinis
tersering yang menyertai AF permanen adalah hipertensi dan iskemik miokard,
dengan subset gagal jantung. Di negara berkembang AF sering menyertai penyakit
jantung katup rematik dan penyakit jantung bawaan.9
Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya adalah:
a. Diabetes Melitus
b. Hipertensi
c. Penyakit Jantung Koroner
d. Penyakit Katup Mitral
e. Penyakit Tiroid
f. Penyakit Paru-Paru Kronik
g. Post. Operasi jantung
h. Usia ≥ 60 tahun
i. Life Style

2.2.5 Etiologi Atrial Fibrilasi


Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor- faktor, diantaranya

adalah :
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor pulmonal
chronic)
6. Tumor intracardiac

b. Proses infiltratif dan inflamasi


1. Pericarditis/miocarditis
2. Amiloidosis dan sarcoidosis
3. Faktor peningkatan usia

c. Proses infeksi
d. Kelainan Endokrin
1. Hipertiroid
2. Feokromositoma
e. Neurogenik
1. Stroke
2. Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium
1. Infark miocardial
g. Obat-obatan
1. Alkohol
2. Kafein
h. Keturunan/ genetik

2.2.6 Penegakan Diagnosa Atrial Fibrilasi


Fibrilasi atrium memiliki gejala klinis bervariasi, yang tersering adalah
palpitasi. Gejala lain yang sering dijumpai berupa pre-sinkop, lemas, dispneu,
dizziness, serta nyeri dada. Sebagian lain pasien dengan fibrilasi atrium tidak
bergejala sehingga pasien tidak menyadari akan diagnose.
Untuk mendiagnosis AF, pemeriksaan elektrokardiografi merupakan standar
baku sebagai alat diagnostik. AF paroksismal dapat dideteksi dengan menggunakan
pemantau Holter atau pemeriksan EKG transtelefonik. Pemeriksaan foto toraks,
ekokardiografi mutlak diperlukan untuk menyingkirkan penyakit sekunder.9
Pemeriksaan fungsi tiroid diperlukan untuk menegakkan ada tidaknya kelainan
tiroid atau hipertiroidisme. Pemeriksaan TSH diperlukan untuk mengetahui adanya
hipertiroidisme subklinik, bila kadar tiroksin dalam batas normal. Pemeriksaan
elektrofisiologi hanya akan dilakukan bila akan dilakukan ablasi kateter, apakah ablasi
nodus AV atau ablasi fokal pada AF.9
Gambar 2.9 Pemeriksaan yang diperlukan pada pasien AF

Melalui riwayat medis harus diperoleh dari pasien yang diduga atau diketahui
dengan AF, manajemen akut pasien AF harus berkonsentrasi untuk menghilangkan
gejala dan penilaian faktor risiko AF terkait. Evaluasi klinis harus mencakup penentuan
skor EHRA, estimasi risiko stroke, dan mencari kondisi yang mempengaruhi AF dan
komplikasi aritmia tersebut. Pada 12 lead EKG harus diperiksa untu tanda-tanda
penyakit jantung structural (seperti: infark miokard akut, LVH, bundle branch block
atau ventricular pre-excitation, gejala kardiomiopati, atau iskemik).12

2.2.7 Penatalaksanaan Atrial Fibrilasi


Manajemen fibrilasi atrium meliputi 3 objektif utama yaitu(1) identifikasi dan
penanganan faktor kausatif terkait (misalnya hipertensi, penyakit jantung iskemik,
gagal jantung, kelainan katup, tirotoksikosis, dan lain-lain), (2) pemilihan strategi
terapi rate control atau rhythm control, dan penilaian terhadap tromboemboli serta
terapi prevensinya. 14
Jenis fibrilasi atrium akan menentukan pemilihan strategi terapi dan focus
objektif manajemen. Pada kasus fibrilasi atrium paroksismal, target terapi umumnya
adalah mereduksi aritmia yang terjadi dan mempertahankan irama sinus. Sedangkan
pada fibrilasi atrium permanen, pendekatan rate control lebih menjadi pilihan. Namun
apapun jenis fibrilasi atriumnya, upaya prevensi risiko tromboemboli, meredakan
gejala klinis dan hemodinamik serta penanganan komorbid merupakan aspek penting
manajemen keseluruhan.14
1. Terapi Farmakologik
Pada pasien dengan AF paroksismal yang singkat, tujuan strategi pengobatan
adalah dipusatkan pada kontrol aritmianya (rhytm control). Namun pada pasien
dengan AF yang persisten, terkadang kita dihadapkan pada dilema apakah mencoba
mengembalikan ke irama sinus (rhytm control) atau hanya mengendalikan laju
denyut ventrikular (rate control) saja. Uji klinik (AFFIRM trial, PIAF trial) akhir-
akhir ini menunjukkan bahwa kedua cara ini tidak ada yang lebih superior.10
Obat yang biasa digunakan untuk tujuan rhytm control adalah obat anti aritmia
golongan I seperti Quinidine, Disopiramid, dan Propafenon; Amiodaron dapat
diberikan sebagai obat anti aritmia golongan III. Untuk mengendalikan laju denyut
ventrikel (rate control), dapat diberikan obat-obatan yang bekerja pada nodus AV
seperti digitalis, verapamil dan penyekat beta. Amiodaron juga dapat dipakai untuk
rate control.11

Gambar 2.10 Farmakologi pada AF

2. Terapi Non-Farmakologik
a. Kardioversi Eksterna
Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat dilakukan pada setiap AF
paroksismal dan AF persisten. Untuk AF sekunder, seyogyanya penyakit yang
mendasari dikoreksi terlebih dahulu. Bilamana AF terjadi lebih dari 48 jam,
maka harus diberikan antikoagulan selama 4 minggu sebelum kardioversi dan
selama 3 minggu setelah kardioversi untuk mencegah terjadinya stroke akibat
emboli. Target antikoagulan adalah INR 2 sampai 3. Konversi dapat dilakukan
tanpa pemberian antikoagulan, bila sebelumnya sudah dipastikan tidak terdapat
trombus dengan transesofageal ekhokardiografi.

b. Ablasi
Ablasi saat ini dapat dilakukan secara bedah (MAZE procedure) dan
transkateter. Ablasi transkateter difokuskan pada vena-vena pulmonalis sebagai
trigger terjadinya AF. Ablasi nodus AV dilakukan pada penderita AF permanen,
sekaligus pemasangan pacu jantung permanen.

Gambar 2.11 Algoritme terapi pada AF


2.2.8 Stratifikasi Risiko dan Pencegahan Tromboemboli
Tromboprofilaksis yang optimal pada pasien dengan fibrilasi atrium bersifat personal,
sesuai dengan kondisi setiap pasien, serta membutuhkan beberapa
penilaian utama berupa stratifikasi risiko tromboembolik, pertimbangan untuk
memilih antara terapi antikoagulan atau antiplatelet, dan penilaian risiko perdarahan
sebagai komplikasi penggunaan obat-obatan tersebut.14
Risiko kejadian tromboembolik dan stroke pada pasien dengan fibrilasi atrium
tidaklah sama, terdapat berbagai faktor klinis yang turut berkontribusi terhadap risiko
tersebut. Oleh karena itu, pendekatan pencegahan stroke pun berbeda sesuai dengan
kondisi masing-masing pasien. Berbagai kriteria klinis dan ekokardiografis telah
digunakan dalam beberapa model stratifikasi risiko. Salah satu model yang paling
popular dan sukses dalam identifikasi pencegahan primer pasien dengan risiko tinggi
stroke adalah indeks risiko CHADS2 (Congestive heart failure, Hypertension, Age >75
years, Diabetes Mellitus, and prior Stroke or Transient isckaemic attack/TIA). Indeks
risiko CHADS2 merupakan suatu sistem scoring kumulatif yang memprediksi risiko
stroke pada pasien dengan fibrilasi atrium. Scoring CHADS2 memberikan poin 2 untuk
adanya riwayat stroke atau TIA sebelumya, sedangkan untuk masing-masing faktor
risiko klinis lainnya seperti usia >75 tahun, hipertensi, diabetes mellitus dan gagal
jantung kongestif diberi poin 1. Semakin tinggi kumulasi poin CHADS 2 yang dimiliki
pasien dengan fibrilasi atrium, semakin besar pula risiko untuk terkena stroke.14
Salah satu cara pemilihan agen antitrombotik dapat didasarkan pada indeks
risiko CHADS2. Pasien dengan skor CHADS2 0 tidak memerlukan antikoagulan dan
dapat diterapi dengan aspirin . antikoagulan diperlukan untuk skor CHADS2 2 atau
lebih besar, dengan mempertimbangkan risiko perdarahan. Untuk pasien dengan skor
CHADS2 1, baik aspirin maupun warfarin dapat digunakan.14

Gambar 2.12 Skor CHADS2


Gambar 2.13 Algoritma penggunaan obat antikoagulan

DAFTAR PUSTAKA

1. Faizel Osman, Michael D. Gammage, Michael C. Sheppard and Jayne A. Franklyn.


Cardiac Dysrhythmias and Thyroid Dysfunction - The Hidden Menace?. J Clin
Endocrinol. 2002;87(3):963-967.

2. Klein I, Ojamaa K Thyroid hormone and the cardiovascular sistem. N Engl J Med.
2001;344:501–509

3. Peterson P, Hansen J Stroke in thyrotoxicosis with atrialfibrillation. Stroke.2005;19:15–


18

4. Gregory Y, Beevers G. ABC of Atrial Fibrillation: History, Epidemiology, and


Importance of Atrial Fibrillation.BMJ.2006;311:1361.
5. Scheinman MM. Atrial Fibrillation, In: Current Diagnosis and Treatment in Cardiology.
2nd edition. McGraw-Hill /Appleton & Lange

6. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, Crijns HJ, Curtis AB, Ellenbogen KA, et al.
ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the management of patients with atrial fibrillation: a
report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice
Guidelines (Writing Committee to Revise the 2001 Guidelines for the Management of
Patients With Atrial Fibrillation). Circulation. 2006;114:e257-e354.

7. Kochiadakis GE, Skalidis EI, Kalebubas MD. Effect of acute atrial fibrillation on phasic
coronary blood flow pattern and flow reserve in humans. Eur Heart J. 2002;23:734–41.

8. Gutierrez C, Blanchard D. Atrial Fibrilation : Diagnosis and Treatment. Am Fam


Physician. 2011;83(1):61-68. Copyright © 2011 American Academy of Family
Physicians.

9. Firdaus I. Fibrilasi Atrium pada Penyakit Hipertiroidisme Patogenesis dan Tatalaksana.


Jurnal Kardiologi Indonesia. 2007; 28: 375-386.

10. Alessie M, et al. Current Perspective; Pathophysiology and Prevention of Atrial


Fibrillation. Circulation. 2001; 103; 769.

11. Markides V, Schilling R. Atrial Fibrillation: classification, pathophysiology, mechanism


and drug treatment. Heart. 2003; 89; 939-934.

12. Camm AJ, Kirchhof P, Lip G, Shotten U, Savelieva I, Ernst S, Gelder IC, et al.
Guidelines for The Management of Atrial Fibrillation. European Society of Cardiology.
2010; 31; 2369-429.

13. Prystowsky EK, Katz AM. Atrial Fibrillation. In: Topol’s Text Book of Cardiovascular
Medicine. 2nd edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins. 2002; 64.

14. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, Crijns HJ, Curtis AB, Ellenbogen KA, et al.
ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for The Management of Patient with Atrial Fibrillation:
a report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines and The European Society of Cardiology Committee for Practice
Guidelines. Circulation. 2006; 144 ; 257-354.

15. PERKI. 2014. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia

Anda mungkin juga menyukai