Anda di halaman 1dari 10

4

BAB V
PEMBAHASAN

A. Pembahasan
1. Karakteristik Responden
Penelitian yang telah dilakukan di Desa Tegalmulyo Kecamatan Kemalang
Kabupaten Klaten diketahui bahwa umur lansia yang menjadi responden memiliki
rata-rata umur 70,55 ± 6,784 tahun dengan umur paling muda adalah 60 tahun dan
paling tua berusia 88 tahun dimana rentang umur ini adalah rentang umur lanjut usia
(elderly). Tidak ditemukan lansia dengan umur diatas 90 tahun. Hal ini
menggambarkan umur harapan hidup terbanyak berkisar sekitar 70 tahun, sesuai
dengan umur harapan hidup di Jawa Tengah pada sensus penduduk 2010 yaitu 72,7
tahun. Umur lansia dapat mempengaruhi dalam melakukan aktivitas sehari-hari,
seiring dengan bertambahnya umur seseorang akan mengalami kemunduran fisik
sehingga membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan aktifitasnya (Datmojo,
2002 h29). Proses menua merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Pada masa ini sedikit demi
sedikit seseorang akan mengalami kemunduran fisiologis, psikologis, dan sosial,
dimana perubahan ini akan berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupannya
termasuk kesehatannya. Lansia dapat menjadi usia yang bahagia jika memiliki
kesehatan yang baik, ikatan keluarga dan lingkungan sosial yang kuat, serta kondisi
ekonomi yang memadai disertai hubungan interpersonal yang baik (Pratikwo, 2006,
h3).
Hasil juga menunjukkan sebagian besar responden lansia berjenis kelamin
perempuan yaitu sebanyak 54,8%. Data yang didapatkan sesuai dengan data yang
diberikan dari Sistem Informasi Desa (SID) Tegalmuyo yang menunjukkan bahwa
mayoritas lansia yang hidup di Desa Tegalmulyo berjenis kelamin perempuan. Indah
Sampelan dalam penelitiannya (2015) juga mendapatkan responden terbanyak
berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 63,5% dan menurut asumsinya hal ini
disebabkan karena usia harapan hidup perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.
Angka harapan hidup perempuan adalah 73 tahun dan laki-laki 69 tahun berdasarkan
rata-rata angka harapan hidup secara nasional (BPS, 2016).
2. Dukungan Keluarga
Dukungan yang diberikan keluarga dibagi dalam 4 macam dukungan yaitu
dukungan informasi, instrumental, emosional, dan penilaian. Semua elemen
dukungan ini sangat membantu lansia yang hidup di kawasan rawan bencana dalam
upaya mempersiapkan diri sebelum, saat, dan setelah terjadi bencana Gunung
Merapi. Sebagian besar nilai dukungan keluarga berada diatas 50%, hasil itu
disesuaikan dengan skala hasil instrumen penelitian dukungan keluarga menunjukkan
bahwa lansia di Desa Tegalmulyo mendapatkan dukungan keluarga baik dalam upaya
menghadapi bencana Gunung Merapi.
Hasil analisa distribusi dukungan keluarga secara umum menunjukkan
responden lansia mendapatkan dukungan keluarga baik. Responden dengan
dukungan keluarga baik sebanyak 34 lansia (54,8%) dan sebanyak 28 responden
(45,2%) mendapatkan dukungan keluarga kurang baik. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar responden di Desa Tegalmulyo Kecamatan Kemalang
Kabupaten Klaten mendapatkan dukungan keluarga baik. Dukungan keluarga sangat
penting bagi lansia karena keluarga adalah salah satu tumpuan hidup untuk
membantu lansia tetap sehat dan meningkatkan adaptasi (Prasetyawati, 2011, h109).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mukhlisa (2014)
didapatkan bahwa sebagian besar reponden lansia mendapatkan dukungan keluarga
baik yaitu sebanyak 40 lansia (66,7%). Hasil penelitian ini hampir sama dengan
penelitian Dewi Dwi Haryani (2012) di wilayah Desa Klahang menunjukkan dari 80
responden lansia didapatkan sebanyak 64 lansia (80%) memiliki dukungan keluarga
baik.
Bentuk dukungan dengan persentase dukungan baik paling besar adalah
dukungan informasional (85,7%), sedangkan dukungan baik dengan persentase
paling kecil yaitu dukungan instrumental (50,0%). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dukungan informasional yang diberikan keluarga sudah baik. Bentuk
dukungan informasional yang diberikan pada lansia yaitu memberikan informasi,
nasehat dan ide yang berkaitan dengan upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana
Gunung Merapi. Nuraenah (2012, h29) menjelaskan dukungan informasional berupa
informasi-informasi atau nasehat yang dapat menjadikan individu lebih mampu untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Keluarga disini berperan sebagai pencari
informasi yang berhubungan dengan upaya meningkatkan kesiapsiagaan melalui
media cetak, pihak Tim Siaga Desa di Desa Tegalmulyo, lembaga yang berwenang
ataupun sumber lainnya yang mendukung. Mayoritas keluarga sudah mencarikan
informasi dan memberikan informasi kepada lansia diantaranya yaitu menjelaskan
kepada lansia bahaya dari bencana gunung api dan bahaya apabila tidak mengungsi,
tindakan yang perlu dilakukan sebelum, saat, dan setelah bencana gunung meletus
terjadi. Keluarga responden juga memberikan informasi tentang rute jalur evakuasi,
menjelaskan bagaimana proses evakuasi bila sewaktu-waktu terjadi aktivitas Gunung
Merapi yang memungkinkan disusul dengan letusan dari Gunung Merapi. Bentuk
dukungan informasi yang belum terpenuhi secara maksimal yaitu memberikan
informasi mengenai peralatan apa yang harus disediakan dan dipersiapkan sebelum
terjadi bencana letusan gunung Merapi, akibatnya banyak lansia yang mengaku tak
tahu peralatan apa saja yang sebaiknya disediakan. Informasi ini menjadi sangat
penting bagi lansia agar lansia dapat terlibat langsung dalam upaya kesiapsiagaan
dirinya juga keluarga.
Dukungan informasional merupakan hal yang penting yang perlu diperhatikan
karena perubahan pada fungsi kognitif responden lansia sejalan dengan pertambahan
usianya sehingga informasi perlu untuk di ulang-ulang. Hoi dalam BMC Geriatrics,
2011 mengatakan bahwa proporsi dari orang tua yang membutuhkan bantuan
tertinggi adalah bantuan dalam hal intelektual (menulis, membaca, mendengarkan
radio dan menonton TV), yaitu sebanyak 13-32%. Lansia mengalami keterbatasan
yang dipengaruhi oleh penurunan berbagai fungsi tubuh. Sesuai dengan teori penuaan
maka lansia membutuhkan bantuan dari keluarga. Sejalan dengan hasil penelitian ini,
peneliti jmenemukan bahwa dukungan informasi baik, terlihat dari upaya anggota
keluarga yang selalu memberikan informasi terbaru seputar aktifitas gunung Merapi.
Tingginya angka dukungan informasi ini juga ditemukan pada penelitian Mukhlisa
(2014) dari jawaban responden lansia bahwa keluarga selalu memberi informasi pada
lansia tentang upaya-upaya preventif agar lansia terhindar dari berbagai masalah
kesehatan yang sering menyerang lanjut usia, selain itu pihak keluarga rutin
memberitahu hasil pemerikasaan kesehatan dan kondisi kesehatan lansia yang terbaru
sehingga lansia selalu mengetahui kondisi kesehatannya.
Proporsi dukungan keluarga dengan persentase baik tertinggi kedua yaitu
dukungan penilaian yaitu sebanyak 75,0%. Friedman (2010, h446) sedikit
memaparkan tentang dukungan penilaian yaitu keluarga berperan sebagai umpan
balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan
validator identitas anggota keluarga, diantaranya memberikan support, perhatian dan
penghargaan. Tradisi keluarga Indonesia masih menghargai lansia untuk memberikan
pendapat dalam menyelesaikan masalah keluarga. Para lanjut usia mempunyai
peranan yang menonjol sebagai seseorang yang dituakan, bijak dan berpengalaman,
pembuat keputusan, dan kaya pengetahuan (Suhatini, 2004 disitasi Mangasi, 2012,
h11). Siti Wafroh (2016) melakukan penelitian tentang hubungan dukungan keluarga
dengan kualitas hidup lansia di PSTW Budi Sejahtera Banjarbaru. Penelitian itu
mengungkapkan bahwa lansia yang tidak mendapatkan dukungan keluarga yang baik
salah satunya disebabkan karena kurangnya dukungan penilaian yang diberikan
keluarga kepada lansia. Keluarga tidak membantu dalam pemecahan masalah yang
dialami lansia selama di panti sehingga ini membuat lansia merasa dirinya menjadi
beban keluarga dan merasa sudah dilupakan.
Bentuk dukungan penilaian yang diberikan keluarga kepada lansia guna
mempersiapkan diri sebelum terjadi bencana gunung Merapi meliputi keluarga
mengikutsertakan lansia berdiskusi mengenai tindakan yang perlu dilakukan sebelum
terjadi bencana, keluarga bersedia mendengarkan saran yang diajukan lansia, bantuan
dari keluarga untuk membantu lansia mempersiapkan keperluan untuk lansia dalam
kondisi darurat. Sebagian besar responden menuturkan bahwa anggota keluarga
membantu dalam mempersiapkan keperluan yang dibutuhkan lansia, seperti
makanan, minuman, obat-obatan bagi responden yang biasa mengonsumsi obat-
obatan. Salah satu poin penting dalam dukungan ini yang belum sepenuhnya
diberikan keluarga yaitu pihak keluarga kurang aktif mengikutsertakan lansia proses
pengabilan keputusan mengenai tindakan apa yang sebaiknya dilakukan sebelum
bencana terjadi. Lenawida (2011) memaparkan dalam penelitiannya bahwa dukungan
penilaian menjadi bagian penting yang dibutuhkan untuk meningkatkan
kesiapsiagaan dalam rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi. Nurma
(2015) pun menuturkan dalam penelitiannya di Dusun Soronanggan Panjangrejo
Pundong Bantul tentang hubungan pengetahuan dan dukungan keluarga terhadap
kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi bahwa
dukungan penilaian sudah baik dan cukup tinggi yaitu sebesar 70,4%.
Bentuk dukungan emosional menurut Nuraenah (2016, h30) adalah bantuan
emosional, pernyataan tentang cinta, perhatian, penghargaan, dan simpati serta
menjadi bagian dari kelompok yang berfungsi memperbaiki perasaan negatif
sehingga dapat membangkitkan semangat, rasa rendah diri, rasa keterbatasan sebagai
akibat dari ketidakmampuan yang dialami oleh individu. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dukungan emosional yang diberikan keluarga sudah baik
sebanyak 71,4%. Dukungan emosional yang diberikan keluarga pada lansia dengan
cara selalu mengingatkan lansia agar selalu mengaktifkan alat komunikasi sehingga
keluarga dapat menghubungi jika sewaktu-waktu terjadi keadaan darurat, poin ini
menunjukkan perhatian keluarga kepada lansia sebagai anggota keluarga yang rentan.
Responden mengatakan anggota keluarga selalu menanyakan kondisi kesehatan
lansia dan turut senang bila lansia dalam keadaan sehat.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Mukhlisa (2014) didapatakan hasil
bahwa lansia yang menjawab kuesioner mengenai dukungan emosional dengan
bentuk pertanyaan unfavorable bahwa keluarga tidak mencintai dan menyayangi
lansia yaitu sebanyak 2,36%, sehingga dapat diartikan sebanyak 97,64%
mendapatkan responden setuju bahwa keluarga mencintai dan menyayangi lansia.
Hasil ini menjelaskan bahwa dukungan emosional yang diberikan keluarga kepada
lansia sudah baik. Afriani Mangasi (2013) dalam penelitiannya yang berjudul
Hubungan Dukungan Keluarga dengan Motivasi Lansia di RW 05 Kelurahan
Paseban Kecamatan Senen Jakarta Pusat juga mendapatkan sebanyak 47 responden
lansia (69,1%) dari 68 lansia mendapatkan dukungan emosional tinggi.
Dukungan dengan persentase baik paling rendah yaitu sebanyak 50% adalah
dukungan instrumental. Dukungan instrumental yang sudah diterapkan adalah
menyediakan kendaraan yang digunakan untuk mengevakuasi lansia dan keluarga ke
tempat yang aman ketika dalam keadaan darurat. Keluarga responden rata-rata sudah
memiliki kendaraan roda dua di rumah yang ditinggali, tidak sedikit responden
menuturkan bahwa keluarga selalu mendahulukan dirinya untuk di evakuasi ke tempat
pengungsian. Keluarga juga sudah menyiapkan kendaraan pribadi (motor, mobil, truk)
yang disediakan untuk proses evakuasi bila gunung Merapi meletus. Sebagian lansia
juga menuturkan bahwa keluarga menyiapkan dana simpanan yang bisa digunakan
saat bencana terjadi.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Nurma (2015) tentang pengaruh pengetahuan dan dukungan keluarga terhadap
kesiapsiagaan rumah tangga yang mana peneliti menemukan hasil yang sebaliknya,
dimana dukungan instrumental merupakan dukungan dengan persentasi dukungan
baik tertinggi yaitu sebesar 75,4%. Dukungan instrumental adalah dukungan yang
bertujuan untuk meringankan beban bagi individu sehingga keluarga dapat
memenuhinya. Hasil yang sama oleh Afriani Mangasi (2013) mendapatkan hasil
dukungan instrumental yang tinggi sebanyak 61,8% yang diberikan keluarga pada
lansia di RW 05 Kelurahan Paseban Kecamatan Senen Jakarta Pusat.
Depkes RI (2005, hal432) menjelaskan lansia merupakan salah satu kelompok
rawan dalam keluarga. Bagi lansia, keluarga merupakan sumber kepuasan dan tempat
yang nyaman untuk kelangsungan hidupnya. Lansia merasa bahwa kehidupan mereka
sudah lengkap yaitu sebagai orang tua dan juga sebagai kakek dan nenek. Namun
keluarga dapat menjadikan frustasi bagi lansia jika ada hambatan komunikasi antara
lansia dengan anggota keluarga dimana perbedaan faktor generasi memegang
perhatian khusus sesuai dengan keadaannya. Dukungan keluarga sangat berperan
dalam meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup lansia yaitu salah satunya
pemenuhan aktivitas sehari-hari pada lansia.
Kaplan (2010, h12) menjelaskan keluarga merupakan sistem pendukung yang
berarti dapat memberikan petunjuk tentang kesehatan mental, fisik, dan emosi pada
lanjut usia. Lansia di Desa Tegalmulyo sebanyak 54,8% memperoleh dukungan
keluarga yang tinggi. Asumsi peneliti tentang hal ini dikarenakan lansia tinggal
bersama anak kandung mereka sendiri dan masih ada beberapa lansia yang
mempunyai pasangan. Pasangan dan anak kandung merupakan orang-orang yang
paling dekat dengan lansia. Mereka lebih memahami apa yang dibutuhkan oleh lansia
daripada orang lain sehingga lansia memperoleh kenyamanan dalam menjalani
kehidupan, sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam keluarga sudah cukup
memperhatikan dan peduli mengenai persiapan dan peralatan yang diperlukan
sebelum, saat dan setelah bencana Gunung Merapi.
3. Kesiapsiagaan Lansia
Hasil penelitian menunjukkan kesiapsiagaan lansia di Desa Tegalmulyo dalam
kategori siap sebesar 51,6% dan lansia dengan kategori kurang siap sebanyak 48,4%.
Kesiapsiagaan lansia dalam menghadapi bencana diukur menggunakan toolkit yang
dikembangkan American College of Emergency Physician (2013) yang berisi
perencanaan bagi kelompok khusus salah satunya lansia dalam menghadapi bencana
dan upaya kesiapsiagaan lansia yang dipaparkan oleh Health in Aging Foundation
(2015). Pengukuran kesiapsiagaan ini berdasarkan hasil akhir dari instrumen, bila
didapatkan nilai akhir lebih dari 50% maka menunjukkan kesiapsiagaan lansia dalam
kategori Siap, begitupun sebaliknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 62 orang
(100%) responden lansia setuju dan menyadari bahwa tempat tinggalnya berada di
area yang rawan akan bencana alam dan yang paling mengancam adalah bencana
gunung Merapi. Peneliti menemukan bahwa lansia merupakan penduduk asli Desa
Tegalmulyo Kecamatan Kemalang, sebanyak 58,1% (36 orang) responden tidak
memiliki kerabat/anggota keluarga lainnya yang bisa menyediakan tempat tinggal
sementara bagi lansia dan keluarga ketika terjadi bencana. Hasil ini sama dengan
penelitian yang dilakukan Erma (2016, h67) yaitu keluarga dengan lansia merupakan
penduduk asli Desa Balerante Kecamatan Kemalang, sehingga tidak terdapat anggota
atau kerabat yang dapat menampung keluarga dengan lansia ketika bencana terjadi.
Dodon (2013, h21) menyatakan salah satu variabel untuk mengetahui tindakan
kesiapsiagaan masyarakat adalah tersedianya perlengkapan gawat darurat pada saat
bencana terjadi. Peneliti menemukan bahwa persiapan peralatan berupa tas bencana
yang berisi obat-obatan khusus untuk lansia, kotak P3K, pakaian seperti baju atau
selimut yang dapat digunakan, alat bantu penerangan, baterai, dan peralatan penting
lainnya sudah baik dimana jumlah responden yang menyiapkan tas siaga bencana
sebanyak 54,8% (34 responden dari 62 responden). Fenemona menarik ditemukan
peneliti sewaktu melakukan penelitian yaitu responden yang tinggal di dusun yang
berada paling dekat dengan Gunung Merapi memiliki tas siaga beserta isi
perlengkapannya sedangkan dusun yang lokasinya lebih jauh dari puncak Merapi
banyak lansia yang mengatakan tidak memiliki tas siaga. Lansia yang memiliki tas
siaga mengungkapkan bahwa tas siaga selalu dipantau sekitar 3-4 bulan sekali
sebagai bentuk upaya peningkatan kesiapsiagaan.
Persediaan minuman dan makanan praktis (bergizi dan tahan lama) di rumah
yang dapat digunakan untuk kondisi darurat sebanyak 56,1% (37 lansia) tidak
menyediakan. Penelitian Lenawida (2011) juga menemukan bahwa persediaan air
mineral dan makanan instan masih kurang oleh pihak keluarga yaitu 50,7% untuk
pesediaan air minum dalam botol dan makanan ringan praktis. Peneliti menemukan
sebagian besar lansia memahami konsep dalam upaya kesiapsiagaan dikarenakan
pengalaman bencana Gunung Merapi pada tahun sebelumnya, sebagian besar pada
kejadian letusan Merapi pada tahun 2006 dan 2010 yang amat membekas di benak
para lansia. Sebagian lansia juga menyatakan sudah lebih dari 7 kali mengalami
letusan gunung merapi baik letusan kecil hingga besar sejak responden hidup di Desa
Tegalmulyo, sehingga responden sudah cukup paham tindakan seperti apa yang harus
dipersiapkan karena menyadari tempat tinggalnya berada di kaki Gunung yang masih
aktif. Pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran. Oleh karena
itu, pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya memperoleh
pengetahuan. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki seseorang maka
pengetahuan orang tersebut akan semakin tinggi.
Dodon (2013) juga menemukan dalam penelitiannya bahwasannya tindakan
kesiapsiagaan yang dilakukan masyarakat umumnya diperoleh dari pengalaman pada
saat mengalami bencana yang sering dialami masyarakat. Penelitian ini menemukan,
salah satu upaya peningkatan kesiapsiagaan bagi lansia yaitu dengan adanya lansia
ataupun anggota keluarga yang rutin mengikuti pelatihan, seminar maupun
memperbaharui pengetahuan dan informasi yang dapat secara langsung di akses oleh
lansia maupun anggota keluarga lainnya. Upaya peningkatan kesiapsiagaan atau
kewaspadaan diperlukan upaya peningkatan pengetahuan melalui informasi yang
diberikan di masyarakat, Wimbarda dan Sagala dalam penelitiannya (2013). Nurma
(2015) mengemukakan asumsinya, kurang siapnya kepala keluarga dalam
kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa bumi di dusun Soronanggan Panjangrejo
Pundong Bantul dikarenakan sebagian besar belum pernah mendapatkan informasi
mengenai kesiapsiagaan rumah tangga sebelum dan sesudah kejadian bencana gempa
bumi, serta kepala keluarga belum pernah mengikuti seminar atau penyuluhan
maupun karena kurangnya minat dan pemahaman tentang hal tersebut.
Sistem peringatan bencana yang dimiliki lansia yaitu dengan disediakannya alat
komunikasi (HP), atau pun kentongan yang disediakan di tiap-tiap pos kamplink
sehingga dapat dioperasikan untuk memberikan tanda apabila ada kondisi darurat.
Sebanyak 54,5% responden mengetahui sistem peringatan dini yang digalakkan
pemerintah desa. Infomasi ini didapatkan lansia dari anggota keluarga yang
mengikuti pelatihan-pelatihan untuk peningkatan kesiapsiagaan warga atau simulasi
bencana. Bentuk peringatan yang dilakukan pemerintah yaitu dengan memberikan
pengumuman lewat TOA masjid, dibunyikannya sirine tanda bahaya, dan
pengumuman yang disampaikan oleh anggota TSD di tiap-tiap dusun yang bisa di
dengar oleh seluruh masyarakat. Sistem peringatan bencana meliputi tanda
peringatan bencana dan distribusi informasi akan terjadinya bencana, sehingga
masyarakat terutama kelompok lanjut usia dapat melakukan tindakan yang tepat
untuk mengurangi korban jiwa, harta benda dan kerusakan lingkungan.
4. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kesiapsiagaan Lansia
Dukungan keluarga yang diukur dalam penelitian ini adalah dukungan keluarga
yang didapatkan lansia yang tinggal bersama keluarga dalam satu rumah. Penelitian
ini menemukan sebesar 51,6% lansia mendapatkan dukungan keluarga baik, terdiri
dari 45,2% lansia berada dalam kesiapsiagaan siap dan 6,5% lansia berada dalam
kesiapsiagaan kurang siap. Lansia yang mendapatkan dukungan keluarga kurang baik
sebesar 48,4% terdiri dari 9,7% keluarga dengan kesiapsiagaan siap dan 38,7% lansia
dengan kesiapsiagaan kurang siap.
Peneliti mendapatkan elemen dukungan keluarga tertinggi dengan hasil baik pada
dukungan informasional, responden mengatakan keluarga memberikan informasi
mengenai bahaya Gunung Merapi bagi kesehatan lansia seperti debu vulkanik hasil
produksi dari Gunung Merapi yang dapat mengganggu sistem pernafasan, keluarga
memberikan informasi tentang tindakan yang sebaiknya dilakukan sebelum terjadi
bencana letusan Merapi, dan elemen dukungan keluarga terendah yaitu pada
dukungan instrumental yaitu pada penyediaan dana khusus untuk lansia untuk
keperluan saat bencana terjadi. Peneliti berasumsi, rendahnya kesiapsiagaan lansia
disebabkan kurangnya pemahaman lansia mengenai tindakan yang benar dan tepat
yang harus diambil ketika bencana terjadi. Lansia sebagai kelompok rentan sangat
bergantung pada orang disekitarnya. Pentingnya dukungan dari keluarga kepada
lansia dalam pemenuhan kebutuhan lansia, pendampingan keluarga dan
mengikutsertakan lansia dalam mengambil keputusan guna persiapan menghadapi
bencana gunung Merapi.
Hasil analisa korelasi dengan uji Kendall Tau dengan tingkat kepercayaan 95%
diperoleh hasil p-value menunjukkan angka p < 0,05 yaitu p-value = 0,000. Hasil ini
menunjukkan bahwa hipotesis penelitian (Ha) diterima yaitu ada hubungan antara
dukungan keluarga dengan kesiapsiagaan lansia dalam menghadapi bencana Gunung
Merapi di Desa Tegalmulyo Kecamatan Kemalang Kabupaten Klaten. Kekuatan
korelasi yang diperoleh yaitu sebesar τ = 0,678 yang menunjukkan ada hubungan
yang kuat antara dukungan keluarga dengan kesiapsiagaan lansia dan nilai bernilai
positif yang artinya semakin tinggi dukungan keluarga maka semakin siap
kesiapsiagaan lansia dalam menghadapi bencana Gunung Merapi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lenawida
(2011, h19) yang meneliti tentang pengaruh dukungan anggota keluarga dengan
kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi di Desa Deyah
Raya Syiah Kuala Banda Aceh. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ada
pengaruh yang signifikan secara statistik antara dukungan anggota keluarga dengan
kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi. Febriana
(2009, h44) menjelaskan bahwa kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan salah
satu wujud perlindungan keluarga terhadap ancaman dan tantangan yang datang dari
luar bagi anggota keluarga. Keluarga seharusnya bekerja sama untuk mengenal dan
mengumpulkan sumber-sumber yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan dasar
ketika terjadi bencana dan setelahnya. Ketika seseorang dirasa siap maka
kemungkinan besar akan mampu menanggulanginya dengan lebih baik.
Dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh lansia dalam upaya meningkatkan
kesiapsiagaannya. Fernandez (2002, h2) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk
mengindentifikasi kerentanan lanjut usia saat bencana menjelaskan lansia memiliki
kebutuhan yang kuat untuk dukungan sosial selama bencana untuk mengurangi
dampak stress, dukungan tersebut dari orang terdekat pasangan, teman, dan keluarga
guna membantu dalam kesejahteraan emosional lanjut usia dan proses pemulihan
pasca bencana. Adanya hubungan positif antara dukungan keluarga dengan
kesiapsiagaan menghadapi bencana juga telah dibuktikan secara statistik oleh Nurma
(2015) dalam penelitiannya yang mendapatkan hasil yang signifikan antara kedua
variabel tersebut. Hal ini dibuktikan dari nilai koefisien yaitu sebesar 0,782 dengan
signifikan p sebesar 0,000 (p<0,05). Hal ini berarti bahwa hubungan antara dukungan
anggota keluarga dengan kesiapsiagaan rumah tangga dalam kategori kuat (0,600-
1,000). Koefisien korelasi sebesar 0,782 menunjukkan angka korelasi positif yang
artinya semakin tinggi dukungan anggota keluarga yang diberikan maka akan
semakin tinggi kesiapsiagaan rumah tangga.

B. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan yang dialami adalah sebagian responden menjawab pertanyaan di
dampingi oleh anggota keluarga sehingga mempengaruhi hasil jawaban yang dipilih oleh
lansia. Sebaran lansia yang dijadikan responden di Desa Tegalmulyo belum merata,
sehingga dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai