Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

AL-QUR’AN SEBAGAI WAHYU


Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata kuliah : Ilmu Islam Terapan

Dosen Pengampu : Dr. Muhammad Shohibul Itmam, M.H.

Disusun Oleh :

Muhammad Rizal Bahroini (1720710034)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM STUDI

HUKUM EKONOMI SYARIAH

TAHUN 2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kalammullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad lewat


perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum
muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah,
ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya.

Mempelajari isi Al-qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas


pandangan dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal
yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang
menunjukan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya. Allah berfirman yang artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka
yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami[546]; menjadi petunjuk
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S.Al-A’raf 52)

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Al-Quran?
2. Bagaimana Al-Qur’an sebagai Wahyu?
3. Jelaskan Proses Turunnya Wahyu?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Al-Qur’an

Secara bahasa, kata al-Qur’an berarti “bacaan” atau “kumpulan”. Al-Qur’an


bukan sekedar bacaan, tetapi juga bahan kajian dan penelitian. Ini yang membedakan
qiro-ah (reading) dengan tila-wah (reciting). Al-Qur’an yang dibaca dengan akal pikiran
dinamakan Qiro-atul Qur’an, sedangkan al-Qur’an yang hanya sekedar dibaca dengan
lisan saja disebut dengan Tila-watul Qur’an. Ada orang yang membaca al-Qur’an (qiro-
ah) dan ada pula yang membacakannya (tila-wah). Aktivitas membaca al-Qur’an bisa
ditemui pada kelas-kelas pengajaran al-Qur’an. Di kelas ini, semua ilmu pengetahuan
yang berkenaan dengan al-Qur’an diajarkan. Pelajaran Biologi, misalnya, yang
mengaitkan pengajaran makhluk hidup dengan ayat-ayat al-Qur’an bisa dikatakan
“membaca al-Qur’an”.1

Sementara itu, kegiatan “membacakan al-Qur’an” dapat dijumpai di acara-acara


keagamaan, seperti peringatan hari besar Islam, ritual pernikahan, dan sebagainya. Dalam
kegiatan ini, ada orang yang bertugas membacakan al-Qur’an, sedangkan orang lain
hanya mendengarkan.

Dalam pengertian istilah, arti utama al-Qur’an adalah firman Allah SWT. Namun,
arti ini perlu ditambah beberapa batasan yang terkait dengan al-Qur’an, yaitu :

1. Memiliki kehebatan yang luar biasa hingga mampu melemahkan lawan yang hendak
menandinginya.

2. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul yang paling akhir.

3. Diterima Nabi SAW dari Allah SWT melalui perantaraan malaikat Jibril.

4. Tertulis dalam lembaran-lembaran yang kemudian dibukukan. Dalam buku ini,


penulisan al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihah dan berakhir dengan surat al-Nas.

1
Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007,hal.37.
5. Umat Islam menerimanya dari Nabi SAW melalui banyak orang secara terus-menerus
antar generasi yang tidak mungkin menimbulkan kedustaan.

6. Membacanya dengan lisan (tilawah) maupun pikiran (qiro-ah) bisa dinilai ibadah.

7. Menjadi pedoman hidup bagi umat manusia, sekaligus bukti atas kenabian Nabi
Muhammad SAW.

Kata-katanya berbahasa Arab atau bahasa lain yang diserap sebagai bahasa
Arab.Semula al-Qur’an adalah bacaan yang bisa ditulis dengan kata-kata. Nabi SAW
menerimanya dalam wujud bacaan, lalu dimintakan kepada para sahabat untuk
menulisnya. Wujud tulisan ini dibacakan lagi di hadapan Nabi SAW. Setelah mendapat
persetujuannya, baru tulisan tersebut dihafalkan dan diajarkan. Dengan wujud tulisan, al-
Qur’an bisa terjamin keasliannya serta bersifat tetap meski kondisi masyarakat telah
berubah dari masa ke masa. Dari tulisan al-Qur’an tersebut, muncul ragam ilmu
pengetahuan yang terkait dengannya. ‘Ulumul Qur’an (Pengetahuan Tentang Al-Qur’an)
adalah nama untuk ragam ilmu pengetahuan tersebut. Ulumul Qur’an merupakan hasil
kreasi manusia yang didapatkan melalui ilham, sehingga ia bisa berubah. Berbeda dengan
al-Qur’an yang tidak bisa berubah sama sekali, karena ia adalah wahyu yang tertulis.2

B. Al-Qur’an Sebagai Wahyu

Al-qur’an Dengan Wahyu sangat erat kaitannya, karena Al-qur’an merupakan


wahyu Allah yang telah disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, sebagaimana Allah
swt. Telah menyampaikan wahyu Rasul sebelumnya. Telah jelas didalam Al-qur’an Allah
swt berfirman sebagai berikut di dalam surah an-nissa ayat 163-164. “Sesungguhnya
Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu
kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula)
kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan
Sulaiman. dan Kami berikan Zabur kepada Daud. Dan (kami telah mengutus) Rasul-

2
As-Shiddiqie, T.M. Hasbi, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta:Bulan Bintang, 1993,hal.57
rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-
rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara
kepada Musa dengan langsung[381].”

Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa a.s. merupakan keistimewaan Nabi
Musa a.s., dan karena Nabi Musa a.s. disebut: Kalimullah sedang Rasul-rasul yang lain
mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan Jibril. dalam pada itu Nabi Muhammad
s.a.w. pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam hari di waktu mi'raj.3

Al Fayyuni dalam Misbah Al Munir Mendefinisikan Wahyu menurut bahasa


berarti kitab dan juga petunjuk, tulisan, kerisalahan, ilham, pembicaraan rahasia dan
segala sesuatu yang kamu sampaikan kepada selainmu. Sedangkan menurut Istilah Al
Zurkani menyatakan Wahyu adalah pemberitahuan Allah kepada hamba-Nya yang
dipilih-Nya, akan segala sesuatu yang ia kehendaki untuk menampakkannya dari
berbagai hidayah dan pengetahuan, akan tetapi dengan jalan rahasia yang tidak biasa bagi
manusia untuk diperoleh.4

Wahyu dalam menurut istilah ini menjelaskan jalan yang khusus di gunakan Allah
swt untuk berhubungan dengan rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya untuk menyampaikan
kepada mereka berbagai macam hidayah dan ilmu. Allah swt berfirman dalam surah An-
nisa’ 136:

‫ب الَّ ِذي أَ ْن َز َل ِم ْن قَ ْب ُل ۚ َو َم ْن يَ ْكفُرْ بِاهَّلل ِ َو َماَل ئِ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه‬


ِ ‫ب الَّ ِذي نَ َّز َل َعلَ ٰى َرسُولِ ِه َو ْال ِكتَا‬
ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا آ ِمنُوا بِاهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه َو ْال ِكتَا‬
‫ضاَل اًل بَ ِعيدًا‬ َ ‫ض َّل‬ َ ‫َو ُر ُسلِ ِه َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر فَقَ ْد‬

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-

3
Ibid,hal.60.

4
Mansyur, Kahar, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hal.45.
Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya.”

Al-qur’an berbicara lebih banyak tentang masalah wahyu, yang menurunkan dan
yang membawanya, bahkan kualitas wahyu, dari pada kitab-kitab samawi yang terdahulu
seperti Taurat dan Injil, sehingga didalam Al-qur’an terdapat beberapa ayat yang
membicarakan tentang pewahyuan itu sendiri. Mengenai wahyu Al-qur’an mayoritas
kaum muslimin semua mempercayai bahwa al-qur’an dengan lafalnya adalah firman
Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Dengan perantara seorang
malaikat yang dekat dengan-Nya. Malaikat yang menjadi perantara itu disebut Jibril dan
ruhul Amin, datang membawa firman Allah kepada Rasulullah dalam berbagai waktu
yang berbeda selama dua puluh tiga tahun. Rasul pun membacakan ayat-ayat tersebut
kepada ummat manausia, dan memberitahukan makna-maknanya terhadap mereka, serta
mengajaka kepada ummat untuk menerima akidah, tata social, berbagai hukum dan tugas
perseorangan yang semuanya itu terdapat pada pedoman Al-qur’an.

Abd. Al-Shabur Syahim meberikan definisi tentang al-Qur’an. Al-Qur’an adalah


kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw dengan perantaraan wahyu melalui
ruh al-Qudus (Jibril) yang tersusun dalam bentuk ayat-ayat dan surah-surah, yang dimulai
dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Naas yang diriwayatkan secara
mutawatir yang merupakan mukjizat dan dalil-dalil atas kebenaran risalah Islam.5

Suatu ketika Imam Al-Zuhri ditanya tentang wahyu, kemudian beliau menjawab:
“Wahyu adalah lah kalam Allah yang disampaikan kepada salah seorang Nabi-Nya
kemudian perkokohka-Nya kedala hati seorang pilihan Allah yaitu kepada Nabi
Muhammad saw.” Dengan begitu beliau menyatakan itulah wahyu yang firman Allah
swt di sampaikan kepada Rasul-Nya. Percaya kepada wahyu yang diturunkan Allah,
berarti tidak hanya percaya kepada Al-Qur’an, tetapi juga percaya kepada segala wahyu
yang diturunkan dalam semua semua masa, serta yang diturunkan kepada tiap-tiap umat.
Menurut ajaran Al-qur’an setiap umat itu di manapun ia berada dimuka bumi ini, kepada
uamt itu diturunkan wahyu. Karena itu orang Islam harus percaya kepada kitab Taurat,
Injil dan lain-lain.
5
Ibid,hal.55.
Dengan demikian wahyu adalah pengetahuan dan hidayah yang dapat dengan
secara samar/ rahasia dan cepat oleh seseorang yaitu para Nabi dan Rasul didalam dirinya
disertai keyakinan bahwa hal tersebut dari sisi Allah baik dengan prantara atau tanpa
perantara atau tanpa perantara. Sedangkan hakikat wahyu itu tidaklah ada kemungkinan
kita mengetahuinya atau memperoleh rahasianya. Sebab wahyu itu sesuatu keadaan yang
tidak dapat diketahui hakekatnya oleh manusia kecuali oleh Nabi yang mendapat Wahyu
dari Allah. Dan dapat dipahami dari ayat-ayat Al-qur’an adalah bahwa ayat-ayat itu
memandang Al-qur’an sebagai kitab samawi yang diberikan kepada Nabi Muhammad
saw melalui Wahyu.6

C. Proses Turunnya Wahyu

Dikalangan ulama sampai saat ini sering diperdebatkan bagaimana sebenarnya


proses turunnya wahyu tersebut, apakah turunya seperti batu yang dilempar dengan
keras? Apakah seperti suara yang sangat keras dan dahsyat? Tentu semunya penuh
rahasia yang harus dipecahkan. Tetapi berdasarkan Al-qur’an mengenai proses turunnya
wahyu kepada Nabi dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Wahyu disampaikan melalui mimpi Nabi Muhammad s.a.w.

2. Wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w dengan cara dibisikkan ke


dalam jiwanya. (Qs. Asy-Syura: 51-52)

3. Wahyu disampaikan dengan cara kedatangan malaikat yang menyerupai


seorang laki-laki, sebagaimana Jibril pernah datang kepada Nabi sebagai
seorang laki-laki yang bernama Dihyah Ibn Khalifah, seorang laki-laki yang
tampan.

4. Wahyu datang kepada Nabi s.a.w., melalui Jibril yang memperlihatkan


rupanya yang asli dengan enam ratus sayap yang menutup langit.

5. Wahyu disampaikan oleh Allah dengan cara membicarakannya secara


langsung kepada Nabi s.a.w., di belakang hijab, baik dalam keadaan Nabi
sadar atau sedang terjaga, sebagaimana di malam Isra’, atau Nabi sedang tidur.
6
Ibid,Hal.60.
6. Israfil turun membawa beberapa kalimat dan wahyu sebelum Jibril datang
membawa wahyu Al-qur’an. Menurut ‘Amir Asy-Sya’by, Israfil
menyampaikan kalimat dan beberapa ketetapan kepada Nabi s.a.w selama
tiga tahun, sesudah itu, barulah Jibril datang membawa wahyu Al-qur’an.

7. Ketika Nabi Muhammad s.a.w., berada di atas langit pada malam Mi’raj,
Allah s.w.t., menyampaikan wahyu-Nya kepada beliau tanpa perantara
malaikat sebagaimana Allah pernah berfirman secara langsung kepada Nabi
s.a.w.

8. Wahyu disampaikan dengan menyerupai suara lebah.

9. Wahyu disampaikan dengan menyerupai suara gemercikan lonceng, yakni


Nabi mendengar suara lonceng sangat keras sehingga beliau tidak kuat
menahan gemercingannya. Menurut riwayat-riwayat yang shahih, Nabi s.a.w.
menerima wahyu yang datang dengan suara keras menyerupai suara lonceng.
Dengan sangat berat, ke luar peluh dari dahi Nabi s.a.w. meskipun ketika itu
hari sangat dingin. Bahkan unta yang sedang ditunggangi beliau menderum ke
tanah. Pernah pula Nabi menerima wahyu dengan cara yang sama, ketika itu
karena beratnya, beliau letakkan pahanya di atas paha Zaid bin Tsabit dan
Zaid pun merasakan betapa beratnya paha Nabi s.a.w. (Subhi Shahih, 1985:
25).

Kritikan Kaum Oreintalis Terhadap Proses Turunnya Wahyu. Dari sekian banyak
cara wahyu turun separti yang disebutkan di atas, ternyata di permasalhkan oleh kaum
Oreintalis, salah satunya H. A. R. Gibb dalam Muhammedanism (1989: 28) meraka
memandang bahwa cara-cara penyampaian wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w.,
merupakan cara-cara yang tidak masuk akal, dan ketika itu Muhammad adal dalam tidak
sadar, bahkan menyatakan Muhammad terkena panyakint ayan dan “sawan” (lihat dalam
Hasbi Ash-Shidieqie, Sejarah Ilmu Tafsir, hlm 23). Alasan-alasan oreintalis berkaitan
dengan hal itu adalah sebagai berikut:

a. Wahyu yang disampaikan melalui mimpi. Dalam pandangan ilmu jiwa, orang
yang sedang bermimpi adalah orang yang sedang tidak sadar atau berada di
alam bawah sadar. Dengan demikian, sangat tidak logis jika orang yang sedang
tidak sadar menerima pesan-pesan dari Tuhan dengan baik dan benar. Bahkan
dalam hukum Islam sendiri ditegaskan bahwa orang yang sedang tidur tidak
termasuk sebagai orang yang wajib melaksanakan hukum atau hukum menjadi
gugur disebabkan mukallaf sedang tidur.

b. Wahyu disampaikan dengan gemercingan lonceng, suara lebah, dan bisikan


yang rahasia adalah kenaifan karena tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa
Muhammad memahami bahasa lebah dan bahasa lonceng.

c. Wahyu disampaikan secara langsung oleh Jibril dengan rupa aslinya, saat itu
Muhammad ketakutan hingga tidak sanggup menerima kalimah wahyu. Dengan
demikian, penyampaian wahyu dengan cara tersebut tidak komonikatif apalagi
keadaan psikologis Muhammad terganggu dengan bentuk dan rupa Jibril yang
asli yang menakutkan Muhammad.

d. Wahyu disampaikan melalui Jibril yang menyerupai seoran laki-laki, hal ini
jelas bukan Jibril yang asli, sebab yang asli bukan manusia. Dengan demikian,
wahyu disampaikan tidak orisinil.

e. Wahyu disampaikan oleh Tuhan secara langsung ketika Muhammad sedang


Isra’ dan Mi’raj. Hal ini jelas tidak masuk akal, bahkan bertentangan dengan
dengan ayat Al-qur’an yang menyatakan bahwa Allah adalah Dzat yang tidak
sebanding dengan makhluk-Nya yang tidak akan dapat dilihat dengan kasat
mata. Dapat dilihat dalilnya dalam surah Asy-Syura: 51 yang artinya: “Dan
tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia
kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus
seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa
yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Dalam surah Asy-Syura ayat 51 menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa
manusia mana pun dan siapa pun tidak akan dapat berkononikasi secara
langsung dengan Allah, sebagaimana halnya manusia dengan manusia
berhadap.7

BAB III

PENUTUP

7
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Dana Bakti Primayasa,1998,hal.67.
A. Kesimpulan

Al-Quran ialah kalamullah yang dibaca berulang-ulang oleh manusia. Wahyu


adalah pemberitahuan oleh Allah swt, kepada hambanya tentang segala sesuatu yang di
inginkan dari berbagai macam bentuk hidayah dan ilmu dengan cara rahasia tersembunyi
yang bukan kebiasaan manusia.

Proses Turunnya Wahyu dikalangan ulama sampai saat ini sering diperdebatkan
bagaimana sebenarnya proses turunnya wahyu tersebut. Tetapi berdasarkan Al-qur’an
mengenai proses turunnya wahyu kepada Nabi dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Wahyu disampaikan melalui mimpi Nabi Muhammad s.a.w.

2. Wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w dengan cara dibisikkan ke


dalam jiwanya. (Qs. Asy-Syura: 51-52)

3. Wahyu disampaikan dengan cara kedatangan malaikat yang menyerupai


seorang laki-laki

4. Wahyu datang kepada Nabi s.a.w., melalui Jibril yang memperlihatkan rupanya
yang asli dengan enam ratus sayap yang menutup langit.

5. Wahyu disampaikan oleh Allah dengan cara membicarakannya secara langsung


kepada Nabi s.a.w., di belakang hijab, baik dalam keadaan Nabi sadar atau
sedang terjaga, sebagaimana di malam Isra’, atau Nabi sedang tidur.

6. Israfil turun membawa beberapa kalimat dan wahyu sebelum Jibril datang
membawa wahyu Al-qur’an.
DAFTAR PUSTAKA

Saebani, Ahmad, Filsafat Hukum Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.

As-Shiddiqie, T.M. Hasbi, Ilmu-ilmu Al-Qur’an,Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Mansyur, Kahar, Pokok-pokok Ulumul Qur’an,Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Dana Bakti Primayasa,1998.

Anda mungkin juga menyukai