Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Pada mata normal atau emetropia, sinar cahaya pararel yang datang dari
objek jauh akan jatuh pada fokus di retina atau bintik kuning, dengan mata
keadaan beristirahat atau tidak berakomodasi. Sedangkan pada mata dengan
gangguan refraksi atau mata ametropia, sinar cahaya pararel tidak jatuh pada
fokus di retina atau bintik kuning pada saat mata dalam keadaan istirahat.
Ametropia terbagi menjadi tiga yaitu miopia, hipermetropia dan astigmatisme.
Dimana ketiga jenis ameteropia ini dapat dikoreksi dengan lensa yang tepat.1,2
Miopia adalah bagian dari ametropia dimana sinar cahaya pararel yang
datang, jatuh di depan retina. Sehingga menyebabkan ketajaman penglihatan
kurang dari 5/5.1,2 Dalam beberapa penelitian didapatkan bahwa kejadian miopia
setinggi 70-90% di beberapa negara Asia, 30-40% di Amerika Serikat dan Eropa,
serta 10-20% di Afrika.3 Miopia menyebabkan penglihatan untuk jauh menjadi
kabur, sedangkan untuk penglihatan dekat tetap jelas. Gejala lain yang dapat
timbul adalah keluhan pusing, silau, mata perih, berair dan melihat jarak jauh
dengan memincingkan mata. Miopia dibedakan menjadi tiga derajat yaitu miopia
ringan, miopia sedang dan miopia berat. Dimana pada miopia dengan derajat yang
terlalu tinggi, akan menyebabkan kedua mata harus melihat dalam posisi
konvergensi dan hal ini menimbulkan keluhan (astenovergen). Posisi
konvergenensi secara terus menerus juga akan menimbulkan strabismus
konvergen (esotropia). Sedangkan apabila miopia pada satu mata jauh lebih tinggi
daripada mata yang lain, dapat terjadi ambliopia pada mata yang miopianya lebih
tinggi. Dimana mata yang mengalami ambliopia akan menggulir ke temporal dan
menimbukan kondisi strabismus divergen (eksotropia).1,2,4
Tatalaksana pada pasien dengan mata ametropia adalah koreksi dengan
lensa atau tindakan operasi. Tujuan yang ingin dicapai adalah tajam penglihatan
terbaik yang mampu dikoreksi. Dimana pada mata miopia, koreksi dilakukan
dengan lensa (Sferik -) yang terkecil agar tanpa berakomodasi, mata dapat melihat
dengan baik. Secara umum ametropia memiliki prognosis yang baik apabila
belum terjadi kelainan pada segmen posterior.1,2,4,5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Media Refraksi dan Akomodasi

Gambar 2.1 Anatomi Bola Mata6


2.1.1 Kornea
Merupakan dinding bola mata yang paling depan, berupa jaringan yang
jernih dan bening, bentuknya hampir seperti lingkaran dan lebih lebar sedikit pada
arah transversal (12 mm) dibandingkan arah vertikal. Kornea memiliki ketebalan
0,6 -1,0 mm dan tersusun atas lima lapisan yaitu epitel. Membran bowman,
stroma, membran Descemet, dan endotel. Epitel kornea merupakan lapisan paling
luar dai kornea dan berbentuk epitel berlapis tanpa tanduk. Gangguan pada lapisan
epitel kornea akan menimbulkan rasa sakit atau mengganjal, kerusakan pada
epitel kornea tidak membentuk jaringan parut karena daya regenerasi epitel cukup
besar. Membran bowman merupakan membran tipis homogeny yang terdiri atas
susunan serat kolagen yang kuat, kerusakan membran bowman akan
menimbulkan jaringan parut. Lapisan paling tebal dari kornea adalah stroma yang
terdiri atas kolagen, stroma bersifat higroskopis yaitu menarik air dari bilik mata
depan. Membran Descemet adalah lapisan tipis yang bersifat kenyal,kuat, tidak
berstruktur dan bening merupakan pelindung infeksi dan masuknya pembuluh
darah. Lapisan terdalam adalah endotel yang terdiri atas satu lapis sel dan
merupakan jaringan terpenting dalam mempertahankan kejernihan kornea.2,6
2.1.2 Humor Akuaeus
Humor akuaeus diproduksi oleh badan siliar, mengalir dari bilik mata
posterior, melewati pupil menuju ke kamera anterior dan bermuara di sudut bilik
mata depan. Memberikan nutrisi untuk lapisan kornea yang avaskular dan lensa.2
2.1.3 Iris
Iris merupakan membran berwarna, berbentuk sirkular yang ditengahnya
terdapat lubang atau pupil. Berfungsi untuk mengatur banyak dan sedikitnya
cahaya yang masuk ke dalam mata. Iris berpangkal pada badan siliar dan
merupakan pemisah antara bilik mata depan dan bilik mata belakang.2
2.1.4 Lensa
Merupakan badan yang bening dan bikonveks dengan ketebalan 5 mm dan
berdiameter 9 mm pada orang dewasa. Lensa mempunyai kapsul yang bening dan
difiksasi oleh zonula Zinn pada badan siliar. Lensa terdiri atas bagian nuleus dan
korteks, dimana nucleus lebih keras daripada korteks. Dengan bertambahnya usia,
nucleus semakin membesar dan korteks semakin menipis, sehingga pada akhirnya
lensa mempunyai konsistensi nucleus. Fungsi lensa adalah membiaskan cahaya
sehingga dapat difokuskan pada retina.2
2.1.5 Humor Vitreus
Vitreus merupakan substansi gelatin yang bersifat jernih, avaskular, dan
menyusun dua pertiga dari volume dan berat bola mata. Mengisi ruangan yang
dibatasi oleh lensa, retina, dan diskus optik. Terdiri dari 99% air dan 1% sisanya
tersusun atas dua komponen, yaitu kolagen dan asam hyaluronik, yang
memberikan vitreus bentuk seperti jel dan konsistensi karena kemampuannya
untuk berikatan dengan air dalam volume yang besar. Sebagai tambahan dalam
fungsinya untuk meneruskan cahaya ke retina, vitreus juga menyangga agar retina
tetap di tempatnya dan menyokong lensa.7
2.1.6 Badan Siliar
Badan siliar membentang dari ujung anterior koroid sampai akar iris
(sekitar 6 mm). Terdiri zona anterior yang berkerut disebut pars plicata (2 mm),
dan zona posterior yang memipih disebut pars plana (4 mm). Sebagian besar
tersusun atas kapiler dan vena yang berdrainase pada vena vortex. Prosessus
siliaris dan epitel yang siliari yang mengelilinginya bertanggung jawab atas
pembentukan akuaeus.7
Otot siliaris terbentuk atas kombinasi serat longitudinal, sirkular, dan
radial. Fungsi dari serat sirkular untuk mengatur kontraksi dan relaksasi serat
zonula, yang berorigo di cekungan antara prosessus siliaris. Hal ini menyebabkan
terganggunya tegangan kapsul lensa, yang memberikan lensa kemampuan untuk
fokus terhadap baik objek yang jauh maupun dekat dalam lingkup lapang
pandang.2,6

2.2 Fisiologis Refraksi dan Akomodasi


2.2.1 Fisiologis refraksi
Mata secara optik dapat disamakan dengan kamera. Mata mempunyai
sistem lensa, sistem apertura yang dapat berubah-ubah (pupil), dan retina yang
disamakan denga sebuah film. Sistem lensa mata terdiri atas empat perbatasan
refraksi yang terdiri dari: (1) perbatasan antara permukaan anterior kornea dan
udara, (2) perbatasan antara permukaan posterior kornea dengan humor akuaeus,
(3) perbatasan antara humor akuaeus dan permukaan anterior lensa mata, dan (4)
perbatasan antara permukaan posterior lensa dan humor vitreus. Indeks internal
udara adalah 1; pada kornea 1,38; pada humor akuaeus 1,33; lensa kristalina (rata-
rata) 1,40; dan humor vitreous 1,34. Pembentukan bayangan pada retina sama
seperti pembentukan bayangan pada sebuah kertas. Bayangan yang terbentuk pada
retina adalah terbalik dari benda aslinya. Namun demikian persepsi otak terhadap
benda tetap dalam keadaan tegak, tidak terbalik seperti bayangan yang terjadi di
retina, karena otak sudah dilatih menangkap bayangan yang terbalik itu sebagai
keadaan normal.6
2.2.2 Fisiologi Akomodasi
Pada anak-anak, daya bias lensa dapat ditingkatkan dari 20 dioptri (D)
menjadi kira-kira 34 D; ini berarti terjadi ‘akomodasi’ sebesar 14 D. Untuk
mencapai ini, bentuk lensa diubah dari yang tadinya konveks-sedang menjadi
lensa yang sangat konveks. 8
Pada orang muda, lensa terdiri atas kapsul elastik yang kuat dan berisi
cairan kental yang mengandung banyak protein namun transparan. Bila berada
dalam keadaan relaksasi tanpa tarikan terhadap kapsulnya, lensa dianggap
berbentuk hampir sferis, terutama akibat retraksi elastik dari kapsul lensa. Namun
terdapat kira-kira 70 ligamen suspensorium yang melekat di sekeliling lensa,
menarik tepi lensa ke arah lingkar luar bola mata. Ligamen ini secara konsisten
diregangkan oleh perlekatannya pada tepi anterior koroid dan retina. Regangan
pada ligamen ini menyebabkan lensa tetap relatif datar dalam keadaan mata
istirahat. 8
Walaupun demikian, tempat perlekatan lateral ligamen lensa pada bola
mata juga melekat otot siliaris, yang memiliki dua set serabut otot polos yang
terpisah (serabut meridional dan serabut sirkular). Serabut meridional
membentang dari ujung perifer ligamen suspensorium sampai peralihan kornea
sklera. Kalau serabut otot ini berkontraksi, bagian perifer dari ligamen lensa tadi
akan tertarik secara medial ke arah tepi kornea, sehingga regangan ligamen
terhadap lensa akan berkurang. Serabut sirkular tersusun melingkar mengelilingi
perlekatan ligamen, sehingga pada waktu berkontraksi terjadi gerak seperti
sfingter, mengurangi diameter lingkar perlekatan ligamen; hal ini juga
menyebabkan regangan ligamen terhadap kapsul lensa berkurang. 8
Jadi, kontraksi salah satu serabut otot polos dalam otot siliaris akan
mengendurkan ligamen kapsul lensa, dan lensa akan berbentuk lebih cembung,
sepeti balon, akibat sifat elastisitas alami kapsul lensa. 8

2.3 Miopia
2.3.1 Etiologi dan faktor risiko
Miopia disebabkan oleh kondisi sumbu mata yang terlalu panjang, yaitu
jarak antara kornea ke retina memanjang. Miopia juga disebabkan oleh daya bias
dari kornea, atau akuos humor terlalu kuat sehingga bayangan jatuh didepan
retina. Faktor risiko yang memingkatkan potensi miopia diantaranya riwayat
keluarga dengan miopia, miopia noncyloplegic retinoscopy saat bayi, penurunan
fungsi akomodasi, tingginya aktifitas jarak dekat, panjang axial yang tinggi dari
diameter kornea.2,4,6,9
Gambar 2.2. Titik Fokus pada Miopia6

2.3.2 Klasifikasi Miopia


2.3.2.1 Berdasarkan struktur yang menyebabkannya, miopia dibagi menjadi:
 Miopia refraktif
Bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi pada
katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga
pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau indeks yang
terjadi akibat pembiasan media kornea dan lensa yang terlalu kuat.
 Miopia aksial
Terjadi pada mata dengan kekuatan refraksi normal, namun diameter
anterior-posterior bola mata lebih panjang, dimana mata biasanya
lebih besar dari normal
2.3.2.2 Menurut derajat beratnya miopia dibagai menjadi:
 Miopia ringan, miopia kecil antara 1-3 D
 Miopia sedang, miopia lebih antara 3-6 D
 Myopia berat, miopia lebih besar dari 6 D
2.3.2.3 Menurut perjalanannya myopia dibagi menjadi:
 Miopia stasioner, jenis miopia yang menetap setelah dewasa
 Miopia progresif, miopia yang ikut bertambah seiring dengan
pertambahan usia akibat bertambah panjangnya bola mata
 Miopia maligna, myopia yang berjalan progresif, dapat
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan (atau miopia degeneratif).
Miopia maligna biasanya lebih dari 6 D yang disertai kelainan pada
fundus okuli dan atropi korioretina. Atropi retina berjalan kemudian
setelah terjadinya atropi sklera dan kadang-kadang terjadi robekan
membran bruch yang dapat menimbulkan rangsangan untuk
terjadinya neovaskularisasi subretina. 4,9,10,11
2.3.3 Gejala myopia
Pada pasien dengan mata miopia akan ditemukan keluhan ketika melihat
suatu obyek dilihat pada jarak dekat tampak jelas, sedangkan melihat jauh tampak
kabur (rabun jauh). Miopia juga dapat memberikan keluhan sakit kepala yang
sering disertai dengan juling dan celah kelopak mata yang sempit. Seorang yang
miopia juga mempunyai kebiasaan mengerinyitkan matanya untuk mendapatkan
efek pinhole (lubang kecil). Pasien miopia mempunyai pungtum remotum (titik
terjauh dimana seorang masih dapat melihat dengan jelas) yang dekat sehingga
mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan
keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita
akan terlihat juling ke dalam atau esotropia.2,4,6,
2.3.4 Kriteria Diagnosis Miopia
2.3.4.1 Tanda dan Gejala:
 Mata kabur bila melihat jauh
 Membaca atau melihat dekat tidak mengalami gangguan
 Dapat disertai sakit kepala bila miopia juga disertai astigmatisme
 Tajam penglihatan <6/6
 Terjadi perbaikan penglihatan apabila diberikan koreksi lensa sferis
negatif (lensa minus), hingga mencapai visus 6/6 apabila tidak
didapatkan amblyopia.4
2.3.4.2 Pemeriksaan Rutin
 Pemeriksaan tajam penglihatan jauh dan dekat secara subjektif dengan
metode trial and error
 Pemeriksaan segmen anterior dan posterior untuk menyingkirkan
kelainan organik
 Pemeriksaan strabismus dan kedudukan bola mata.4
2.3.4.4 Pemeriksaan Penunjang
 Autorefraktometer
 Streak retinoskopi dengan sikloplegik (pada anak)4
2.3.5 Penatalaksanaan
Pilihan terapi adalah dengan pemberian kacamata dengan lensa sferis
negatif terlemah yang dapat memberikan tajam penglihatan maksimal. Pada
miopia tinggi, apabila kacamata tidak dapat memberikan koreksi maksimal dapat
dipertimbangkan pemakaian lensa kontak lunak maupun RGP (rigid gas
permeable) untuk memperbaiki tajam penglihatan. Bedah refraktif dengan
penggantian lensa tanam (clear lens extraction) di depan lensa yang sudah ada
(phakic IOL) dapat membantu memperbaiki tajam penglihatan pada penderita
miopia dewasa (>30 tahun). Bila ditemukan ambliopia, pemberian kacamata
dievaluasi setelah 1 bulan dan terapi oklusi dapat dilakukan bila setelah memakai
kacamata masih didapatkan tajam penglihatan yang belum maksimal 1 mata.1,2,4,11
2.3.6 Komplikasi
Penyulit yang dapat timbul pada pasien dengan miopia adalah terjadinya
ablasi retina dan juling. Juling biasanya esotropia atau juling ke dalam akibat mata
berkovergensi terus-menerus. Bila terdapat juling ke luar, mungkin fungsi satu
mata telah berkurang atau terdapat ambliopia.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Bruce James, Chris Chew, dan Anthony Bron. Lecture Notes Oftalmologi.
Optika Klinis. 2003. Jakarta : PT Gelora Aksara Pratama. Hal 34-38
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. Ilmu Penyakit Mata Untuk
Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi 2. Optik dan Refraksi. 2002.
Jakarta : CV Sagung Seto. Hal 41-56
3. Mutti DO, Mitchell GL, Moeschberger ML, Jones LA, dan Zadnik K. Parental
myopia, nearwork, school achievement and children’s refractive error.
Investigative Ophtalmology and Visual Science. 2002;43(12):3633-3640
4. Komite Medik RSUP Sanglah. Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan
Mata. Miopia. 2014. Denpasar : RSUP Sanglah. Hal 9-10
5. Handayani AT , I GN Anom S, dan C.I. Dewayani P. Characteristic of patients
with refractive disorder At eye clinic of sanglah general hospital
denpasar,bali-indonesia. Bali Medical Journal (BMJ). 2012.1(3); 101-107
6. Paul Riordhan-Eva dan John Whitcher. Oftamologi Umum. Edisi 17. 2009.
Jakarta : EGC
7. Moore KL dan Agur AM. Essential Clinical Anatomy 3ed Edition. 2007. USA
: Lippincot Williams & Wilkins. Hal 530-537
8. Johnson, B R., William OC dan Claire W G. The eye and vision dalam Human
Physiology 6th Edition Amerika Serikat: Pearson Education. Hal 357-60
9. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Edisi kelima. 2004. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI. Hal 1-12
10. Tanjung H. Perbedaan Rata-rata Rigiditas Okuler pada Miopia dan
Hipermetropia di RSUP H. Adam Malik Medan. Medan: USU Digital Library,
2003
11. American Optometric Association. Care of the Patient with Myopia. 2006. St.
Louis

Anda mungkin juga menyukai