SESUDAH PENETAAN KAWASAN PERKOTAAN SARBAGITA DI KECAMATAN KUTA UTARA Jurnal Jurnal Planoearth Penulis I Putu Windhu Sanjaya dan Agam Marsoyo Volume 4, No 1 Tahun 2019 Link Jurnal https://www.researchgate.net/publication/334776726_PERUBAHA N_PEMANFAATAN_RUANG_SEBELUM_DAN_SESUDAH_PENETAPA N_KAWASAN_PERKOTAAN_SARBAGITA_DI_KECAMATAN_KUTA_U TARA
Latar Kecamatan Kuta Utara merupakan wilayah pinggiran Kota
Belakang Denpasar yang saat ini mengalami perkembangan pesat terutama pada pemanfaatan ruangnya. Sejak tahun 2011, Kecamatan Kuta Utara ditetapkan sebagai bagian wilayah pengembangan kawasan perkotaan Sarbagita yang merupakan kawasan strategis nasional. Kajian ini terkait perubahan pemanfaatan ruang untuk menggambarkan perubahan pemanfaatan ruang yang terjadi sebelum dan sesudah penetapan kawasan perkotaan Sarbagita Kecamatan Kuta yang merupakan pusat pariwisata di Bali Selatan dengan Pantai Kuta sebagai obyek wisata pavorit, dan Kota Mangupura pada wilayah administrasi Kecamatan Mengwi yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Badung. Kondisi ini membuat Kecamatan Kuta Utara yang berada pada posisi strategis bagi pengembangan wilayah kekotaan Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan adanya perubahan pemanfaatan ruang yang pesat sejak periode tahun 2011 sampai 2017 yang ditunjukkan dengan perubahan lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun.
Metode Untuk mengetahui perubahan pemanfaatan ruang,
Penelitian dilakukan analisis terhadap kondisi fisik menggunakan analisis spasial dengan teknik overlay secara time series Subjek Perubahan Pemanfaatan Ruang Sebelum Dan Sesudah Penelitian Penetapan Kawasan Perkotaan Sarbagita di Kecamatan Kuta Utara Hasil dan Kecamatan Kuta Utara pada mulanya memiliki Pembahasan pemanfaatan ruang yang beroreintasi pada kegiatan pertanian. Lahan pertanian yang ada di Kecamatan Kuta Utara adalah berupa lahan sawah dan lahan tegalan. Dominasi lahan sawah ini mencerminkan bahwa saat itu masyarakat di Kecamatan Kuta Utara yang memiliki profesi sebagai petani. Perkembangan yang terjadi di Kecamatan Kuta Utara mengakibatkan perubahan pemanfaatan ruang yang ditunjukkan dengan adanya perubahan bentuk penggunaan lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun yang menunjang kebutuhan akan ruang kekotaan. Selain terjadi perubahan pada bentuk lahan juga terjadi perubahan fungsi bangunan terutama pada bangunan rumah tinggal yang berfungsi ganda (tempat tinggal dan tempat usaha). Pembahasan perubahan pemanfaatan ruang di Kecamatan Kuta Utara dibahas dalam dua periode yaitu periode I ( Tahun 2003 sampai 2011) dan periode II (Tahun 2011 sampai 2017)
JURNAL 3
Judul TATA GUNA LAHAN BUKIT LAWANG SEBAGAI
KAWASAN WISATA BERKELANJUTAN Jurnal Jurnal Energy & Engineering (EE) Penulis Nurlisa Ginting dan I Putu Selly Veronica Volume 2, No 1 Tahun 2019 Link Jurnal https://www.researchgate.net/publication/334272506_Tata_Guna _Lahan_Bukit_Lawang_sebagai_Kawasan_Wisata_Berkelanjutan
Latar Bukit Lawang merupakan bagian dari kawasan
Belakang konservasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang menjadi tujuan wisata di Kabupaten Langkat. Aktivitas wisata dan konservasi yang terdapat di Bukit Lawang harus diakomodasi dengan adanya perencanaan tata guna lahan yang tepat. Tata guna lahan Bukit Lawang sebagai kawasan konservasi yang tidak direncanakan dengan mempertimbangkan adanya aktivitas wisata dapat menyebabkan gangguan terhadap kelestarian kawasan. Sebagai bagian dari kawasan konservasi maka perecanaan tata guna lahan yang paling tepat dilakukan untuk memaksimalkan potensi wisata Bukit Lawang adalah dengan konsep wisata berkelanjutan. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan yang terjadi akibat adanya pengembangan pariwisata di Desa Petitenget Kuta Utara Badung terhadap alih fungsi lahan sawah.
Metode Penelitian tata guna lahan Bukit Lawang ini
Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dimana data yang digunakan adalah data hasil observasi lapangan dan kajian literature Subjek Perencanaan tata guna lahan Bukit Lawang sebagai Penelitian kawasan wisata berkelanjutan Hasil dan Konsep perancangan tata guna lahan yang diterapkan Pembahasan oleh Swan Hill Riverfront, Victoria, Australia sangat tepat jika diterapkan di kawasan kajian. Pengembalian fungsi Sungai Bahorok dan pengoptimalan fungsi lahan di kawasan Bukit Lawang dapat dilakukan dengan menjadikan area tepi sungai sebagai zona ruang publik. Analisa pada perencanaan tata guna lahan di Bukit Lawang dilakukan berdasarkan tiga aspek yaitu (1) pembatasan zona; (2) pembagian fungsi; dan (3) peningkatan nilai kawasan.
JURNAL 4
Judul DAMPAK PEMBANGUNAN JALAN TOL
BALIMANDARA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK BENOA BALI Jurnal Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Penulis Ida Bagus Made Baskara Andika, Cecep Kusmana dan I Wayan Nurjaya Volume 9, No 3 Tahun 2019 Link Jurnal https://www.researchgate.net/publication/336247310_Dampak_P embangunan_Jalan_Tol_Bali_Mandara_Terhadap_Ekosistem_Man grove_di_Teluk_Benoa_Bali
Latar Ekosistem mangrove tersebut berada di kawasan
Belakang strategis pariwisata Bali, mengakibatkan ekosistem mangrove Teluk Benoa mengalami tekanan yang sangat besar. Tahura Ngurah Rai berada di kawasan yang sangat strategis karena terletak diantara tiga pusat pariwisata di Bali yaitu Nusa Dua, Kuta, dan Sanur. Selain itu ekosistem mangrove Teluk Benoa Bali juga terletak di dua pintu masuk Pulau Bali, yaitu Bandara Internasional Ngurah Rai dan Pelabuhan Laut Benoa Seiring dengan berkembangnya pariwisata di Bali, kebutuhan terhadap infrastruktur pembangunan pariwisata juga semakin meningkat. Melihat letak Tahura Ngurah Rai yang berada pada kawasan pariwisata yang strategis, maka pembangunan di sekitarnya pun berkembang sangat pesat. Menurut Wiradharma et al. (2010), telah terjadi pengalihan fungsi hutan mangrove seperti reklamasi Pulau Serangan, pembangunan estuari dam di muara Sungai Badung, pembangunan fasilitas air bersih, tempat pembuangan limbah, alih fungsi menjadi pabrik, dan perbengkelan, pembuatan jalan tol, serta perluasan pacu bandara dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Selain permasalahan di atas, pada tahun 2012 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Bali melakukan pembangunan Jalan Tol Bali Mandara. Jalan tol tersebut adalah jalan tol pertama di Bali, dan merupakan jalan tol atas laut pertama di Indonesia. Pembangunan jalan tol yang berada di wilayah perairan Teluk Benoa Bali tersebut dikhawatirkan dapat merusak ekosistem mangrove yang berada di Tahura Ngurah Rai, baik saat proses pembangunan maupun setelah Jalan Tol Bali Mandara beroperasi. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat dampak yang ditimbulkan dari pembangunan Jalan Tol Bali Mandara terhadap ekosistem mangrove di Teluk Benoa Bali. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dampak pembangunan jalan tol Bali Mandara menuju ekosistem mangrove di Taman hutan Ngurah Rai..
Metode Penelitian dengan metode kualitatif diterapkan
Penelitian dalam rangka untuk membandingkan parameter lingkungan ekosistem mangrove sebelum dan sesudah pembangunan jalan Raya Subjek Dampak Pembangunan Jalan Tol Bali Mandara Penelitian Terhadap Ekosistem Mangrove di Teluk Benoa Bali Hasil dan Pembangunan jalan tol Bali Mandara mempengaruhi Pembahasan beberapa parameter fisik ekosistem mangrove. Salinitas, nilai pH dan DO konten adalah parameter fisik yang menurun setelah contruction. Penurunan juga diidentifikasi untuk kecepatan saat ini, selama arus pasang kecepatan tinggi menurun menjadi 0-0,44 m/s sementara saat air surut turun ke 0-0,84 m/s. Di sisi lain, daerah sedimentasi meningkat sebesar 485,62 ha yang menyebabkan silting. Analisis vegetasi menunjukkan bahwa Bali Mandara Highway tidak berdampak signifikan terhadap keragaman jenis mangrove di Taman hutan Ngurah Rai. Di daerah tersebut masih mendominasi tanaman bakau.
JURNAL 5
Judul TATA GUNA LAHAN JALUR LINTAS SELATAN (JLS)
UNTUK PENYELAMATAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI (TNMB) DI PERBATASAN KABUPATEN JEMBER DAN BANYUWANGI DENGAN METODE IRAP Jurnal Jurnal Teknik Sipil Penulis Taufan Abadi dan Irawati Volume 10, No 2 Tahun 2016 Link Jurnal http://prokons.polinema.ac.id/index.php/PROKONS/article/view/1 13/111
Latar Rencana pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Belakang disekitar kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Kabupaten Jember dan Banyuwangi akan merubah tata guna lahan. Disamping itu, dengan terealisasinya pembangunan JLS akan memberi dampak pada masyarakat sekitar kawasan TNMB. Jalur JLS sekitar kawasan TNMB hendaknya benar- benar diperhatikan. Hal ini agar jalur JLS tidak masuk ke kawasan TNMB yang nantinya akan merusak konservasi alam dan ekosistemnya. Dari data Kantor TNMB Jember, kawasan TNMB mempunyai 642 spesies Flora dan 246 spesies Fauna. Data berikutnya, TNMB yang luasnya 58.000 Hektar mempunyai elevasi ketinggian 0 – 1.223 meter DPL. Selain hutan lindung, kawasaan TNMB sebagai tempat wisata dan penelitian. Rencana pembagunan JLS hendaknya terealisasi secepatnya, karena akses transportasi (prasarana) untuk masyarakat sekitar kawasan TNMB sangat kurang. Kabupaten Jember, jalur JLS disekitar TNMB sepanjang 30,567 kilometer melintasi 2 (dua) kecamatan, yaitu Kecamatan Tempurejo (Desa Curahnongko dan Sanenrejo) dan Kecamatan Silo (Desa Mulyorejo). Pada Kabupaten Banyuwangi, jalur JLS sepanjang 17.80 kilometer melintasi Kecamatan Kalibaru (Desa Kebonrejo). Penggunaan lahan JLS disekitar TNMB terdapat tanah masyarakjat (11%), Tanah Perkebunan PTPN XII (23%) dan tanah Perhutani (56% Tujuan Penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dan keharusan dalam perencanaan JLS dan Jalan local (sirip) disekitar TNMB dan Menjaga pelestarian Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) yang kaya flora dan fauna di perbatasan Kabupaten Jember dan Banyuwangi. Metode Metode IRAP Metode IRAP (Integrated Rural Penelitian Accesbility Planning) merupakan alat atau metode yang digunakan dalam proses indifikasi dalam prioritas perencanaan kebutuhan pembangunan di wilayah pedesaan (rural) dengan mempertimbangkan kapasitas penduduk pedesaan dalam memenuhi atau memperoleh akses kebutuhan dasar dan fasilitas pelayanan sosial ekonomi dan lainnya Subjek Penyelamatan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Penelitian di perbatasan kabupaten Jember dan Banyuwangi dengan Metode Irap Hasil dan Hasil penelitian metoe IRAP, skala prioritas jalur Pembahasan JLS dan Jalan pendukung (jalan sirip), yaitu Kecamatan Silo (IA=8.9375), Kecamatan Kalibaru (IA=6.4875), kemudian disusul Kecamatan Tempurejo (IA=6.1375). Untuk sektor perekonomian (SDA) tertinggi adalah Kecamatan Kalibaru (IA=9.816667), Silo (IA=9.466667) kemudian disusul Kecamatan Tempurejo (IA=8.766667). Memperhatikan JLS disekitar TNMB yang rawan “pengawasan”, perlunya “pemekaran Kecamatan” disekitar TNMB. Hal ini, Desa-desa yang dilintasi JLS sekitar kawasan TNMB, jauh dari kantor Pemerintahan (Kecamatan, Koramil dan Polsek). Selanjutnya tahap berikutnya adalah dari pelaporan akhir akan melakukan publikasi ilmiah dan dikirim ke pihak-pihak berwenang untuk arahan dalam perencanaan jalur JLS dan Jalan Pendukung (sirip).