Anda di halaman 1dari 7

Potret Pendidikan Amerika Serikat

POTRET PENDIDIKAN AMERIKA SERIKAT

Pendahuluan

Suatu Tinjauan Historis yang Belum Usai Krisis multidimensi sepertinya masih enggan
hengkang dari Indonesia, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Pendidikan yang dipandang
sebagai suatu proses memanusiakan manusia, dalam kenyataannya masih sebatas wacana saja.
Terbukti ketika pendidikan hanya dijadikan sebagai alat politik oleh para penguasa, pendidikan
hanya digunakan untuk mengejar strata ekonomi dan sosial yang tinggi. Bukti-bukti ini
menunjukkan bahwa hakekat pendidikan jauh dari memanusiakan manusia. Fenomena tersebut
mengisyaratkan adanya krisis yang dialami dunia pendidikan kita dan mengingatkan agar
dilakukan penanganan yang serius. Sudahkah pendidikan Indonesia berpijak pada landasan yang
kuat? Sudahkah 5 lembaga pendidikan yang ada berfungsi sebagaimana mestinya?

Salah satu persoalan dasar pendidikan di Indonesia selama kurun waktu 31 tahu sejak
dicanangkan pembangunan pendidikan secara intensif tahun 1917 adalah masih rendahnya mutu
pendidikan. Sedangkan rendahnya mutu pendidikan menurut banyak ahli antara lain disebabkab
oleh rendahnya biaya pendidikan. Sehingga perbaikan biaya pendidikan merupakan bagian
penting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

Makalah berikut ini mengulas tentang gambaran pendidikan di Amerika Serikat, yang mungkin
bisa dijadikan sebagai inspirasi untuk pengembangan pendidikan di tanah air.

A. Tinjauan Filsafat Amerika Serikat

Filsafat pada dasarnya merupakan pernyataan secara sengaja tentang suatu kebudayaan tertentu,
kekhususan pada adat-istiadat, pola tingkah laku, ide-ide, maupun sistem nilai. Filsafat juga bisa
berarti sebagai suatu ekspresi atau interpretasi secara objektif tentang watak nasional suatu
bangsa (Dimyati, 1988:29).
Amerika merupakan suatu negara yang dibentuk dari bangsa-bangsa asing yang mendiaminya.
Mereka secara sadar memilih menjadi warga negara Amerika. Kondisi tersebut berbeda dengan
bangsa-bangsa lain di dunia, karena pada umumnya suatu negara dibentuk dari penduduk-
penduduk asli bangsanya. Perbedaan tersebut memicu berkembangnya 2 aliran filsafat yang
berlainan, yaitu Transcendentalisme dan Pragmatisme. Transcendentalisme mengekspresikan
hal-hal yang berkenaan dengan kebudayaan, sedangkan Pragmatisme merupakan suatu
pemikiran yang berusaha membentuk Amerika yang hidup, dinamis, dan progresif. Kedua aliran
filsafat tersebut saling tidak bersesuaian sehingga belum ada kesepakatan tentang filsafat
nasional Amerika. Meskipun demikian, kegiatan pendidikan di Amerika tetap berpijak pada
landasan kependidikan yang berupa pemikiran kefilsafatan/keilmuwan/wawasan-wawasan lain
(Dimyati, 1988).

Ada seperangkat nilai yang merupakan sumber perilaku dan sikap orang Amerika yaitu: 1)
berorientasi pada prestasi kerja individual; 2) bekerja atau melakukan kegiatan sebagai nilai
kesusilaan; 3) berorientasi pada efisiensi, nilai praktis, dan kegunaan; 4) berorientasi pada masa
yang akan datang sebagai suatu kemajuan, oleh karenanya harus bekerja keras; 5) percaya bahwa
dengan rasionalitas dan ilmu pengetahuan orang akan dapat menguasai lingkungan; 6)
berorientasi pada keuntungan material; 7) berorientasi pada nilai kesamaan derajat di bidang
kesempatan pada berbagai bidang kehidupan; 8) berorientasi pada kemerdekaan; dan 9)
berorientasi pada nilai kemanusiaan,dalam arti membantu yang lemah (Dimyati, 1988: 61-62).

Sementara itu Garin Nugroho (dalam artikelnya yang berjudul Pemerintah tanpa Strategi
Kebudayaan) menuliskan …. “Amerika Serikat lewat filosofi kapitalis, sistem hukum anglo
saxon serta bentuk federalisnya, menjadikan strategi kebudayaannya senantiasa mendukung
pasar bebas dan partisipasi publik. Nilai-nilai keutamaan bangsa lebih ditekankan pada nilai
kompetisi, individualisme dan kerja keras, serta etika kapitalisme, sehingga sistem
pendidikannya pun lebih mengutamakan nilai swastanisasi daripada publik”.

Salah satu ide yang menjadi dasar filosofi pendidikan Amerika dikemukakan oleh Horace Mann
(dalam Mayer, 1966) sebagai berikut: 1) education was to be universal for rich and poor; 2)
education was to be free; 3) education should be handled by the state, not by ecclesiastical
organizations; 4) education depended upon carefully trained teachers; 5) education was to train
both men and women.

B. Sejarah Kegiatan Pendidikan Amerika Serikat

Pada awal perkembangannya persekolahan di Amerika telah dimulai sejak zaman penjajahan.
Persekolahan ketika itu bersifat elitis dan berorientasi pada agama. Masyarakat yang berada pada
lapisan sosial-ekonomi bawah hanya boleh mengenyam pendidikan di “sekolah ibu”, yaitu suatu
sekolah yang mengajarkan membaca, menulis, berhitung, dan agama. Sedangkan masyarakat
pada lapisan sosial-ekonomi atas dipersiapkan untuk menjadi pemimpin gereja, pemimpin
masyarakat, ataupun pemimpin negara melalui sekolah latin dan colleges. Pada masa itu anak
wanita tidak mempunyai kebebasan untuk bersekolah —suatu bentuk nyata diskriminasi gender
yang terjadi di banyak negara yang sedang terjajah— (Dimyati, 1988).
Rakyat Amerika berhasil memperoleh kemerdekaannya dan membentuk negara Amerika Serikat
pada 4 Juli 1776. Iklim kemerdekaan ini berdampak pada perubahan pola pendidikan di
Amerika. Pendidikan yang bersifat elitis diubah. Pada masa ini muncullah gerakan Public School
yang bersifat terbuka untuk semua anak kulit putih baik pria maupun wanita. Public School
dibentuk dan dirancang untuk membentuk kompetensi dan keterampilan dasar warga negara.
Upaya pengembangan Public School telah menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat.
Sebagian masyarakat setuju dengan campur tangan dan intervensi pemerintah dalam
pengembangan Public School, namun sebagian lagi menolaknya. Kelompok masyarakat yang
kontra tersebut berpendapat bahwa campur tangan pemerintah justru akan menghambat
perkembangan Public School itu sendiri.

Kegiatan pendidikan di Amerika tidak terhenti sampai disini saja. Sejarah panjang mewarnai
kegiatan pendidikan di negeri Paman Sam tersebut. Tiga periode reformasi pendidikan berikut
ini akan mengisi catatan panjang sejarah pendidikan Amerika. Ketiga periode reformasi
pendidikan tersebut adalah gerakan sekolah umum pada tengah abad 19, alam progressive pada
awal abad 20, dan gerakan fermentaso generasi terakhir. Setiap periode selalu mempertanyakan
dan mengubah pola-pola pendidikan yang telah ada.
Pada abad 19 Public School tersebar luas di seluruh Amerika, namun ironisnya tenaga pendidik
dan fasilitas-fasilitas penunjang pendidikan ketika itu sangat minim. Dalam perkembangan
selanjutnya, terjadilah reformasi di bidang pendidikan yang berhasil memunculkan gerakan yang
bisa mempersatukan kelompok-kelompok sosial yang berbeda keinginannya. Keberhasilan
gerakan tersebut mendukung perkembangan Public School. Pada tengah abad 19 ini Public
School dirancang untuk memberikan pendidikan dasar umum sehingga lulusannya diharapkan
mampu berpartisipasi dalam kehidupan politik dan dapat memasuki dunia kerja.
Pada zaman progressive terjadi sentralisasi pengawasan dan elaborasi dalam system pendidikan
Common School. Para ahli pendidikan menggunakan kekuatan negara untuk memperkuat posisi,
misalnya untuk memperoleh sertifikasi, dana, standarisasi fasilitas dan kurikulum. Pada masa ini
muncul pemikiran bahwa Common School tidak hanya membekali siswanya dengan pendidikan
dasar di bidang 3 R (reading, writing, aritmathic) dan pendidikan moral saja, tetapi juga
diharapkan mampu menyiapkan siswa secara langsung agar dapat melakukan peranan dalam
hidup bermasyarakat, sehingga disini sekolah merupakan suatu lembaga yang menjadi pintu
gerbang untuk mengarahkan siswa ke arah dunia kerja.

Gerakan fermentaso generasi terakhir dalam sejarah pendidikan Amerika diawali pada 1958
sampai tengah tahun 1970-an. Pada masa ini terjadi reformasi di bidang pendidikan yang berciri
lebih menekankan fungsi daripada tujuan pendidikan. Sentralisasi kebijakan pemerintah dalam
bidang pendidikan semakin bertambah sebagai akibat dari reformasi pendidikan tersebut. Dalam
perkembangan selanjutnya, organisasi-organisasi guru tumbuh, makin berpengaruh, dan
memperoleh kekuatan politik. Hal itu menyebabkan guru bersatu untuk menuntut perbaikan
ekonomi dan sosial. Pada awal tahun 1980-an peminat public school merosot. Ketika itu public
school menghadapi suatu krisis kepercayaan umum dan moral profesional yang rendah.
Masyarakat menghendaki terjadinya perubahan-perubahan pada public school, namun para
pengambil keputusan seringkali kurang memahami public education itu sendiri, sehingga mereka
tidak dapat menentukan prioritas untuk memperbaiki lembaga ini (public school). Reformasi
datang dan pergi silih berganti, tetapi pemecahan rasional yang dilakukan tidak menggarap
masalah yang sebenarnya (Dimyati, 1988).

C. Kegiatan Agama dan Ekonomi dalam Kaitannya dengan Pendidikan di Amerika


Serikat

Pada tahun 1950-an masyarakat Amerika dikenal sebagai masyarakat yang religius. Kondisi
tersebut terus berlangsung hingga tahun 1980-an. Kelompok-kelompok agama dan para
pemimpin agama tetap mendukung gaya kapitalisme masyarakat Amerika dan mengecam
humanisme sekuler. Terbukti bahwa agama masih mempunyai pengaruh yang kuat dalam
memberikan dukungan sosial dan mekanisme kontrol sosial (Dimyati, 1988:64).

Kegiatan pendidikan di Amerika Serikat merupakan suatu usaha besar-besaran. Hal tersebut
tercermin pada anggaran belanja pendidikannya yang sangat besar (berbeda dengan Indonesia
yang hanya menganggarkan sedikir saja APBN nya untuk pos pendidikan). Di Amerika Serikat
pembiayaan public school berasal dari pemerintah lokal, pemerintah negara bagian (sumber
utama untuk memperbaiki public education), dan pemerintah federal, yang ketiganya diperoleh
melalui pajak. Mengingat kegiatan pendidikan dibiayai dari pajak, maka para pembayar pajak
akan mempengaruhi bagaimana dan untuk apa saja uang digunakan dalam kegiatan pendidikan.
Pembaharuan pendidikan pada public education merupakan hal yang disoroti secara tajam oleh
para pembayar pajak dan para peminat pendidikan, disamping pemerintah Amerika Serikat
(Dimyati, 1988:71-73).

D. Bagaimana Pendidikan Amerika Serikat Bisa Ditingkatkan?

Bruce Joyce dalam bukunya yang berjudul Improving America’s Schools mengemukakan 3
tahap untuk mengembangkan sekolah atau yang sering dikenal sebagai The Three Rs
(Refinement, Renovation, Redesign). Refinement merupakan upaya untuk menggagas atau
mempersiapkan suatu proses. Dalam tahap ini secara garis besar ada 3 kegiatan yang bisa
dilakukan yaitu:

1)      Mengorganisasikan pihak-pihak yang bertanggungjawab atas sekolah guna mempelajari


program dan lingkungan sekolah;

2)      menggunakan kriteria efektif sebelum memulai pendidikan di sekolah; dan

3)      mengembangkan iklim sosial pendidikan. Renovation merupakan upaya untuk membangun
suatu proses.

Kegiatan yang bisa dilakukan dalam tahap ini antara lain:

1)      Memperluas pengembangan scope;

2)      pengembangan staff;

3)      mengembangkan area kurikulum.

Sedangkan Redesign merupakan upaya untuk memperluas scope. Dalam tahap terakhir ini
kegiatan yang bisa dilakukan adalah:

1)      menyelidiki misi sekolah;

2)      mempelajari teknologi;

3)      menyelidiki dengan teliti struktur organisasi; dan

4)      membuat rencana pengembangan jangka panjang.

Sementara itu dalam buku yang berjudul Education in America — editor oleh Charles P. Cozic
— disajikan beberapa sudut pandang yang saling bertentangan dari para praktisi dan pengambil
kebijakan dalam bidang pendidikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan
pendidikan di Amerika Serikat. Berikut ini beberapa sudut pandang yang saling bertolak-
belakang tersebut. Diawali dengan pertanyaan bagaimana public education bisa ditingkatkan?
Dari pertanyaan ini muncul respons sebagai berikut:
1. John Taylor Gatto menyatakan bahwa public education membutuhkan reformasi yang
luas. Menurutnya sekolah harus melibatkan keluarga dan masyarakat. Yang terpenting
adalah bahwa anak membutuhkan waktu untuk menyendiri, jauh dari setting kelas, agar
mereka dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri. Inti dari pendapat Gatto adalah
lembaga institusi “sekolah” memang sangat baik, tetapi tidak mendidik. Sebaliknya
Gerald Bracey menyatakan bahwa public education tidak membutuhkan reformasi yang
luas. Menurutnya, tidak ada bukti bahwa sistem pendidikan Amerika sekarang lebih
buruk daripada sebelumnya. Bracey menambahkan bahwa tingkat lulusan sekolah pada
jenjang yang lebih tinggi tetap banyak serta mereka berhasil memperoleh skor
matematika dan membaca yang lebih tinggi daripada yang pernah mereka peroleh selama
lebih dari 20 tahun.
2. Chester Finn berargumen bahwa masa sekolah yang lebih lama akan meningkatkan
public education. Ada banyak negara industri yang mempunyai kemampuan akademik
diatas Amerika, semisal Jepang. Jika dibandingkan, Jepang ternyata mempunyai masa
sekolah yang lebih lama daripada Amerika. Menurutnya, dengan menambahkan beberapa
hari dalam kalender sekolah akan menguntungkan bagi pendidikan Amerika. Finn
menambahkan bahwa masa sekolah yang lebih lama akan meningkatkan hasil belajar
siswa dan memperbaiki kualitas pembelajaran. Sebaliknya Colman Mc Carthy dan The
Charlotte Observer menyatakan bahwa masa sekolah yang lebih lama tidak akan
meningkatkan public education. Peningkatan jumlah hari sekolah tidak akan membantu
siswa belajar labih banyak karena ketidakefektifan gurulah yang menjadi penyebab nyata
krisis pendidikan Amerika, bukan jumlah hari sekolah. Mc Carthy berpendapat bahwa
sekolah membutuhkan guru-guru yang mempunyai inspirasi untuk memotivasi siswa,
bukan masa sekolah yang lebih lama. Sementara The Charlotte Observer berpendapat
bahwa masa sekolah yang lebih lama tidak akan mengatasi masalah yang paling serius
dalam pendidikan dan juga tidak menambah jumlah siswa yang efektif. Ia menambahkan,
penambahan masa sekolah membutuhkan biaya mahal. Lebih baik uangnya digunakan
untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
3. D. Monty Neill dan Noe J. Medina menyatakan bahwa mengeliminasi tes terstandar akan
meningkatkan sekolah. Menurut mereka, tes yang terstandar merupakan suatu tindakan
yang tidak fair terhadap siswa-siswa minoritas dan siswa-siswa yang berasal dari
keluarga yang kurang mampu. Mereka berpendapat, pertanyaan-pertanyaan tes terstandar
merefleksikan bahasa serta budaya dari kelas menengah dan kelas atas (kulit putih).
Sudut pandang yang berbeda dikemukakan oleh Gregory J. Cizek dan Ramsay Selden.
Mereka menyatakan, tes terstandar tidak harus dieliminasi dari sekolah. Tes terstandar
digunakan untuk membandingkan kecakapan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok
siswa yang berbeda. Cizek berargumen bahwa tes terstandar secara akurat mengukur
pengetahuan siswa dan skor tes tersebut dapat membantu mengidentifikasi the best
student. Sedangkan Selden berpendapat bahwa tes terstandar bisa memberikan informasi
tentang kegiatan akademik dari suatu sistem sekolah dan dapat membantu
mengidentifikasi sekolah-sekolah yang membutuhkan pengembangan.

Sebenarnya masih banyak pemikiran-pemikiran tentang hal-hal yang relevan dengan


peningkatan pendidikan Amerika yang disajikan dalam buku Education in America tersebut
(seperti misalnya: bagaimana profesi keguruan dapat ditingkatkan, apakah orang tua harus
memilihkan sekolah untuk anaknya, haruskah pendidikan untuk siswa-siswa minoritas
menekankan pada etnik , apakah agama harus berperan dalam public education ), namun tidak
semuanya disajikan dalam makalah ini.
Garin Nugroho dalam artikelnya yang berjudul Pemerintah tanpa Strategi Kebudayaan
mengungkapkan…..”Pendidikan di Amerika tahun 1970, riset nasional menunjukkkan bahwa
bangsa Amerika sangat tertinggal dalam pelajaran Matematika dan juga mengalami kemerosotan
dalam nilai respek/ rasa hormat (yang merupakan salah satu nilai penting keutamaan berbangsa).
Akibatnya, tanpa nilai respek, guru-guru ataupun orang tua sangat kesulitan dalam menjalankan
aspek belajar dan mengajar. Upaya yang dilakukan ketika itu adalah memfokuskan program
pendidikannya pada kedua hal tersebut”. Dari paparan itu dapat diketahui bahwa pendidikan
terhadap nilai respek merupakan salah satu fondasi penting bagi pendidikan secara menyeluruh.

F. Apa yang Terjadi dengan Pendidikan di Amerika Serikat Sekarang?

Pertanyaan tersebut selalu muncul dalam setiap kesempatan, tidak terkecuali dalam bidang
pendidikan. Seperti bidang lain, pendidikan juga sangat dipengaruhi dan mempengaruhi aspek-
aspek yang lain. Aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya, merupakan serangkaian hal yang
tidak bisa dipisahkan dari pendidikan. Amerika dalam sejarah pendidikannya juga harus
menghadapi masalah-masalah pelik yang menyangkut degradasi moral anak bangsanya. Aborsi,
drugs, free-sex merupakan contoh kegagalan dalam pendidikan moral dan budaya. Fenomena
tersebut tidak hanya terjadi di Amerika. Harus diakui bahwa dalam dekade akhir-akhir ini
Indonesia juga mengalami hal senada. Berapa banyak pelajar yang tersangkut kasus narkoba,
miras, aborsi, pornografi, sex bebas, pembunuhan, dan kejahatan-kejahatan lainnya? Siapa yang
harus bertanggung jawab atas runtuhnya budaya dan degradasi moral anak bangsa? Inilah PR
terbesar bagi kita.
Lantas bagaimana tinjauan pendidikan secara ekonomi dewasa ini? Tidak bisa dipungkiri bahwa
kritik-kritik terhadap komersialisasi pendidikan adalah benar. Semakin mahalnya biaya-biaya
penyelenggaraan pendidikan, melejitnya harga buku, penyelenggaraan study tour yang kurang
bermanfaat, dan kasus yang akhir-akhir ini mencuat “ijazah palsu”, merupakan beberapa contoh
komersialisasi dalam bidang pendidikan. Dari sisi politik masalah pendidikan juga tidak kalah
peliknya. Pendidikan hanya dijadikan sebagai syarat untuk dapat memegang tampuk kekuasaan,
sehingga tidak mengherankan ketika muncul kasus ijazah palsu anggota DPR dan penguasa
lainnya. Pendidikan hanya semata-mata sebagai alat para elit politik untuk memenangkan
kampanye politiknya.

Kasus-kasus yang baru saja dikemukakan tersebut terlihat sepintas hanya menyangkut sisi
ekonomi dan politik saja, tetapi sebenarnya apabila dikaji lebih lanjut akan diperoleh gambaran
tentang merosotnya nilai-nilai keutamaan berbangsa dewasa ini.

G. Kesimpulan

Pendidikan di Amerika Serikat dilandasi oleh pemikiran bahwa pendidikan harus menyeluruh
untuk pria dan wanita, orang kaya maupun miskin. Pendidikan juga tidak boleh mempersoalkan
masalah perbedaan agama, ras, golongan, dan etnik. Sesuai paham kapitalis yang dianutnya,
maka penyelenggaraan pendidikan di Amerika Serikat lebih memberikan kesempatan kepada
masyarakat luas untuk berpartisipasi didalamnya. Degradasi budaya dan moral bangsa
mengisyaratkan betapa pentingnya pendidikan yang berkebudayaan.
Berkaca pada sejarah panjang pendidikan di Amerika Serikat — Jika dibandingkan dengan
Indonesia — ternyata tidak jauh berbeda. Reformasi pendidikan berulang-kali digulirkan untuk
mencari suatu pola yang lebih baik. Yang perlu diingat disini adalah bahwa apa yang dialami
Indonesia saat ini sudah dialami Amerika Serikat lebih dulu, bahkan jauh sebelumnya.

Berdasarkan paparan dalam makalah ini, ada beberapa hal yang bisa dimanfaatkan untuk sistem
pendidikan Indonesia antara lain:

1. Pendidikan harus menyeluruh untuk semua agama, ras, golongan, etnik, budaya, gender,
maupun strata ekonomi. Hal ini merupakan landasan utama yang harus dipijak oleh setiap
penyelenggara pendidikan, karena bangsa Indonesia merupakan suatu masyarakat yang
plural.
2. Pendidikan harus berkebudayaan, memperhatikan aspek-aspek moral dan nilai-nilai
keutamaan berbangsa (yang akhir-akhir ini sudah mulai luntur).
3. Penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah harus didukung oleh banyak pihak antara
lain keluarga, masyarakat, dan lembaga agama. Dukungan yang diberikan bisa berupa
pembiayaan, pengawasan, maupun iklim yang kondusif untuk pendidikan.
4. Peningkatan pendidikan dapat dilakukan dengan cara membenahi komponen-komponen
didalam dan diluar pendidikan.

Daftar Pustaka

Buku Pegangan Kuliah: Pendidikan Komparatif

http://www.google .com

https://meilanikasim.wordpress.com/2009/05/27/98/

Anda mungkin juga menyukai